Event: Pilkada Serentak

  • Koster laporkan ke DPP kader PDIP tembus 230 ribu se-Bali

    Koster laporkan ke DPP kader PDIP tembus 230 ribu se-Bali

    Denpasar (ANTARA) – Ketua DPD PDI Perjuangan Bali Wayan Koster melaporkan capaiannya dalam konferensi daerah bahwa hingga saat ini keanggotaan mereka di Bali mencapai 230 ribu orang.

    “Realisasi kartu anggota juga berjalan dengan cukup baik, total anggota itu mencapai 230 ribu se-Bali, nanti ke depan harus ditingkatkan mencapai 500 ribu,” kata Koster di Denpasar, Sabtu.

    Dalam konferda yang juga akan menentukan Ketua DPD PDIP Bali baru itu dihadiri jajaran DPP PDIP yaitu Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi Djarot Saiful Hidayat, Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Komunikasi Adian Yunus Yusak Napitupulu, Ketua Bidang Keanggotaan dan Organisasi Andreas Hugo Pareira, dan Ketua Bidang Industri, Perdagangan, dan Tenaga Kerja Darmadi Durianto.

    Selama lima tahun lebih dipimpinnya, Wayan Koster memastikan bahwa di Bali partai moncong putih dari tingkat DPD hingga anak ranting terbentuk kuat dan kokoh.

    “Begitu juga sistem dan manajemen partai berjalan dengan sangat baik, struktur partai di Bali ini sudah sangat kuat, kemudian status kantor DPD PDIP Bali lahan seluas 10 are sekarang sudah menjadi milik DPD nilai belinya adalah Rp5,5 milyar, uangnya diperoleh dari gotong royong eksekutif dan legislatif PDIP,” ujarnya.

    Menurut politisi yang merupakan Gubernur Bali itu, kader partai merupakan tulang punggung jalannya organisasi, dituntut untuk memahami program dan tugas-tugas kepartaian di tengah masyarakat sehingga mereka diberikan pendidikan politik.

    “Pendidikan politik DPD, DPC, PAC sampai ke ranting dengan menggunakan dana partai, juga dilakukan sosialisasi haluan pembangunan Bali masa depan, dilakukan pelatihan transformasi digital dan sosialisasi monitoring perjuangan partai sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, jadi partai semakin adaptif,” kata Wayan Koster.

    Politisi asal Buleleng itu merasa keberhasilan dalam mengelola sumber daya partai juga tercermin dari berhasilnya kader PDIP di Bali menempati posisi-posisi strategis berkat budaya kaderisasi, kekuatan organisasi, dan disiplin.

    “Maka kita berhasil menempatkan sejumlah kader di posisi eksekutif maupun legislatif, menduduki jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah serta ketua DPRD se-Bali, ini perjuangan semua kecuali Kabupaten Karangasem di Pilkada 2024, kita di Bali sekarang cukup kokoh,” ujarnya.

    Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat menambahkan bahwa untuk bisa memenangkan Pemilu dan Pilkada 2029 bergantung pada kader yang mengurus organisasi di tingkat terbawah.

    Oleh karena itu DPP mendorong DPD PDIP Bali sebagai DPD pertama yang memulai menggelar konferda dan konfercab agar memilih kader-kader terbaik.

    “Supaya mereka yang masuk kepengurusan bukan hanya namanya saja tapi betul-betul aktif turun ke bawah karena yang memenangkan PDIP adalah rakyat, rakyat melihat kinerja kita, rekrut orang-orang terbaik kita harus membuka diri,” kata Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu.

    Pewarta: Ni Putu Putri Muliantari
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Komisi II Pertimbangkan Putusan MK soal Bentuk Lembaga Independen Pengawas ASN
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        18 Oktober 2025

    Komisi II Pertimbangkan Putusan MK soal Bentuk Lembaga Independen Pengawas ASN Nasional 18 Oktober 2025

    Komisi II Pertimbangkan Putusan MK soal Bentuk Lembaga Independen Pengawas ASN
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Ketua Komisi II DPR RI Muhammad Rifqinizamy Karsayuda menyatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) akan menjadi pertimbangan dalam revisi UU ASN.
    Rifqi menyebutkan, salah satu poin putusan MK yang menjadi pertimbangan adalah permintaan untuk membentuk lembaga independen pengawas aparatur sipil negara (ASN).
    “Pertama, tentu Komisi II DPR RI menghormati putusan Mahkamah Konstitusi. Hal ini akan menjadi salah satu masukan dalam revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang saat ini sudah teragendakan dalam Prolegnas Prioritas yang disepakati antara DPR dengan pemerintah,” ujar Rifqi dalam siaran pers, Sabtu (18/10/2025).
    Rifqi menuturkan, sejak Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dihapus, fungsi pengawasan dan pembinaan terhadap sistem merit dalam birokrasi dijalankan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN).
    Politikus Partai Nasdem ini berpandangan, putusan MK ini menekankan perlunya lembaga independen baru yang berfungsi secara otonom.
    “Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini, maka kita semua wajib mengikhtiarkan hadirnya satu lembaga baru yang bertugas secara otonom untuk memastikan bagaimana seluruh proses mulai dari pengangkatan, mutasi, rotasi, demosi, promosi, sampai dengan pemberhentian aparatur sipil negara dapat dilakukan dengan baik,” kata dia.
    Ia pun mengungkapkan Komisi II bersama Badan Keahlian DPR RI tengah melakukan kajian mendalam terkait dua hal penting dalam revisi UU ASN.
    Pertama, memastikan sistem meritokrasi diterapkan secara merata di seluruh Indonesia tanpa kesenjangan antara ASN pusat dan daerah.
    “Tidak boleh lagi ada kejomplangan antara ASN yang ada di daerah satu dengan daerah lain, maupun ASN di pemerintahan daerah dengan kementerian lembaga,” ucap Rifqi.
    Kedua, menjamin kesetaraan kesempatan bagi seluruh ASN untuk menduduki jabatan di kementerian, lembaga, maupun pemerintahan daerah.
    Ia menambahkan, Komisi II DPR RI berkomitmen agar niat baik dalam menjaga profesionalitas ASN sejalan dengan semangat putusan MK, terutama untuk mencegah politisasi birokrasi menjelang pemilu maupun pilkada.
    “Sehingga niat baik Komisi II DPR RI dengan kehendak putusan Mahkamah Konstitusi ini memiliki keinginan yang sama,” kata Rifqi.
    Sebelumnya diberitakan, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, dan Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait ditiadakannya Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
    MK memerintahkan pemerintah untuk membuat lembaga independen untuk mengawasi ASN setelah KASN tidak ada.
    Dalam sidang pengucapan putusan pada Kamis (16/10/2025), Ketua MK Suhartoyo mengatakan lembaga independen harus segera dibentuk.
    MK pun memberikan batas waktu maksimal 2 tahun dalam membentuk lembaga tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Diisukan Jadi Ketua DPC Gerindra Solo, Respati Ardi: Lihat Nanti, Saya Fokus Kerja…
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        16 Oktober 2025

    Diisukan Jadi Ketua DPC Gerindra Solo, Respati Ardi: Lihat Nanti, Saya Fokus Kerja… Regional 16 Oktober 2025

    Diisukan Jadi Ketua DPC Gerindra Solo, Respati Ardi: Lihat Nanti, Saya Fokus Kerja…
    Tim Redaksi
    SOLO, KOMPAS.com
    – Wali Kota Solo, Respati Ardi, menanggapi isu mengenai peluang dirinya untuk menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Gerindra Kota Solo, Jawa Tengah, pada Kamis (16/10/2025).
    Saat ini, Respati yang merupakan anggota Partai Gerindra mengaku masih menunggu arahan resmi terkait penugasan tersebut.
    “Intinya kami tetap menunggu penugasan karena di struktur Partai Gerindra itu perintah dari atas,” kata Respati Ardi di Gedung DPRD Solo.
    Ia menekankan bahwa fokus utamanya saat ini adalah menjalankan tugas sebagai Wali Kota Solo setelah memenangkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), serta melaksanakan berbagai program pemerintah pusat, termasuk program Makan Bergizi Gratis (MBG).
    “Ya, kita lihat nanti SK-nya, ini penugasan. Sekarang fokusnya banyak sekali yang harus dikerjakan. Seperti mempertahankan MBG zero accident, ini tugas khusus juga sebetulnya,” ujarnya.

    Meskipun demikian, Respati tidak menampik kemungkinan untuk menerima mandat sebagai Ketua DPC Gerindra jika itu diberikan.
    “Untuk penugasan Gerindra kita serahkan ke mekanisme partai saja. Apakah siap jika diberi mandat? Ya nanti kita lihat,” katanya.
    “Saya menginginkan ada sosok yang menggantikan saya. Saya sudah terlalu lama menjabat, sejak tahun 2012,” ungkap Ardianto.
    Ia menekankan pentingnya regenerasi dalam tubuh partai dan berharap muncul kader muda dengan posisi strategis, seperti Wali Kota Solo, yang mampu membawa Gerindra lebih besar di tingkat daerah.
    “Ya, beliau sempat menolak karena fokus sebagai Wali Kota saja. Tapi yang namanya kader harus mau. Sekarang beliau sudah bersedia menggantikan saya,” lanjutnya.
    Diketahui, Respati Ardi telah menjadi kader Partai Gerindra sejak tahun 2019, dengan posisi terakhir sebagai bendahara DPC Gerindra Kota Solo. Ia lalu diusung menjadi calon wali kota Solo didampingi Astrid Widayani dan menang pada PIlkada 2024. 
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Wiranto Tegaskan Ujaran Kebencian Jadi Alat Politik dalam Sejarah Hari Ini, 16 Oktober 2017

    Wiranto Tegaskan Ujaran Kebencian Jadi Alat Politik dalam Sejarah Hari Ini, 16 Oktober 2017

    JAKARTA – Sejarah hari ini, delapan tahun yang lalu, 16 Oktober 2017, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Wiranto tegaskan ujaran kebencian cenderung meningkat kala memasuki tahun politik 2018 dan 2019. Ujaran kebencian digunakan sebagai alat politik untuk menang.

    Satu hal yang kemudian jadi ancaman keberagaman. Sebelumnya, Pilkada DKI Jakarta 2017 jadi kontestasi politik yang tak terlupakan. Ajang itu tak hanya jadi tempat bertarung gagasan. Namun, Pilkada DKI Jakarta justru bak arena menebar benih kebencian hanya untuk menang.

    Pilkada DKI Jakarta kerap membawa kehebohan. Kondisi itu karena siapa yang terpilih punya peluang besar untuk dikenal di seantero Indonesia. Syukur-syukur bisa beranjak dari kursi Gubernur DKI Jakarta ke Presiden Indonesia seperti Joko Widodo (Jokowi).

    Wiranto yang kala itu menjadi Panglima ABRI melepas tanda kepangkatan di pundak Prabowo Subianto sebagai simbol pemberhentian dari dinas kemiliteran, 24 Agustus 1998. (Le Journal)

    Alhasil, pertarungan memperebutkan kursi Gubernur DKI Jakarta selalu menarik. Ambil contoh pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memastikan langkah untuk mencalonkan diri sebagai cagub.

    Demikian pula Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan. Belum lagi anak dari Mantan Presiden Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhono ikut sebagai penantang dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.

    Aroma persaingan meninggi. Pertarungan itu dinantikan banyak pihak. Namun, penantian itu banyak diciderai dengan aksi simpatisan menyebar ujaran kebencian kepada salah satu calon. Ujaran kebencian dan SARA kian deras pula hadir kepada sosok Ahok.

    Wiranto dan Prabowo Subianto di Hambalang, Bogor, 1 Mei 2023. (Gerindra)

    Latar belakang agama yang dianutnya terus dibahas. Catatan buruk Ahok – termasuk isu penistaan agama terus-terusan diangkat. Belum lagi urusan warga yang mendukungnya mendapatkan intimidasi. Bahkan, pendukung Ahok yang menganut agama Islam diancam tak disalatkan kala meninggal.

    Potret itu membuat PIlkada DKI Jakarta 2017 jadi buruk. Ujaran kebencian seolah-olah jadi senjata penting untuk meraih kekuasaan.

    “Jangan sampai terulang lagi. Urusan pilkada kalau diseret ke masalah etika agama itu tidak baik dan menurut saya itu tindakan tidak beradab. Tolong maafkan mereka yang suka mengkafir-kafirkan, jangan ada benci. Biarkan saja tidak apa-apa. Mungkin mereka belum sadar, mereka masih tertutup hatinya,” ungkap pasangan Ahok dalam pilkada DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat sebagaimana dikutip laman CNN Indonesia, 13 Maret 2017.

    Efek Pilkada DKI Jakarta besar. Menkopolhukam, Wiranto pun angkat bicara pada 16 Oktober 2017. Ia menegaskan bahwa ujaran kebencian akan cenderung meningkat kembali pada tahun politik 2018 dan 2019. Ujuran kebencian menurutnya sudah jadi alat politik untuk menang.

    Padahal, ujuran kebencian adalah ancaman besar dari keberagaman Indonesia. Wiranto mengajak segenap rakyat Indonesia untuk waspada terhadap kampanye hitam macam penyebaran ujaran kebencian.

    “Menjelang 2018 dan 2019, kita akan memasuki tahun politik. Pilkada, pemilu legislatif dan pemilu presiden langsung. Selama itu, radikalisme dalam bentuk ujaran kebencian bercampur dengan propaganda politik dan kampanye hitam akan digunakan sebagai alat meraih kekuasaan. Tentunya hal itu mengancam kedamaian dan pluralisme kehidupan masyarakat Indonesia,” ujar Wiranto sebagaimana dikutip laman kompas.com, 16 Oktober 2017.

  • Pemilih dalam Pemilu Lokal

    Pemilih dalam Pemilu Lokal

    Jakarta

    Dalam negara demokrasi pemilu yang adil dan jujur merupakan indikator penting bagi terbentuknya pemerintahan. Keadilan dan kejujuran pelaksanaan pemilu terekam dari sistem pemilu dan proses pemilihan.

    Sistem pemilihan menyangkut bagaimana pemilih memberikan suara, penghitungan suara dan pembagian kursi. Sedangkan proses pemilihan merupakan bagian esensial dari manajemen pelaksanaan yang fair, tidak berpihak, transparan oleh penyelenggara pemilu.

    Syarat pemilu adil adalah hak pilih yang sesuai, pendidikan politik dilakukan secara masif, proses pemilihan yang adil dan terbuka. Keterbukaan tidak hanya berlaku untuk penyelenggara pemilu tetapi juga dalam proses pencalonan kandidat, kampanye,
    pemungutan dan penghitungan suara.

    Dalam sistem pemilu isu krusial yang seringkali jadi magnet perdebatan adalah formula pemilihan, distrik magnitude (besaran dapil) dan elektoral threshold.

    Perludem menyebutkan ada empat hal utama yang menjadi bagian penting dalam dunia kepemiluan yakni aktor pemilu, sistem pemilu, manajemen pemilu dan hukum pemilu. Aturan-aturan tersebut terdapat dalam undang-undang kepemiluan yang bolak-balik diuji di mahkamah konstitusi.

    Di Indonesia, sejak pertamakali melaksanakan pemilu, sistem yang digunakan selalu sistem proporsional, baik tertutup, proporsional terbuka atau proporsional yang dimodifikasi.

    Perubahan signifikan dilakukan pasca reformasi dengan sistem yang melibatkan rakyat dari pemilihan langsung baik legislatif maupun eksekutif. Rekayasa sistem pemilu sampai pada titik keserentakan pemilu legislatif yang dilakukan dalam dua pemilu terakhir.

    Evolusi Sistem Pemilu

    Menurut Andrew Reynolds (2014) sistem pemilu yang baik dapat memberikan secercah surga, namun sistem pemilu yang buruk dapat memberikan perjalanan lebih cepat ke neraka.

    Pemilu serentak 2019 merupakan neraka bagi para penyelenggara, data KPU menyebutkan 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit akibat sistem coblos 5 kotak tersebut.

    Beban pemilu yang terlalu besar untuk penyelenggara dan jeda pelaksanaan pemilu ke pilkada yang berdekatan pada tahun 2024 menjadi salah satu dasar bagi MK untuk memutuskan perubahan sistem pemilu.

    Pemilu nasional, 3 kotak suara (Pilpres, pemilu anggota DPD dan pemilu anggota DPR RI) serta pemilu lokal yang bisa dilaksanakan bersamaan atau bergantian antara pemilu legislatif dan eksekutif di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pemilu lokal dijeda 2-2,5 tahun pasca pemilu nasional yang tetap pada tahun 2029.

    Allen Hicken (2020) dalam “When Does Electoral System Reform Occur?” menyebutkan ada tiga hal yang mendasari perubahan desain sistem pemilu. Ketiga hal tersebut adalah systemic failure atau kegagalan sistematis, catalysts crisis respon terhadap krisis, dan incumbent preference atau preferensi petahana.

    Kegagalan sistematis menyangkut kegagalan dari sistem pemilu yang melahirkan pemerintahan yang stabil, efektif, representatif dan bertanggungjawab. Selama pasca reformasi, pemilu di Indonesia terlepas dari kritik dan kekurangan pemerintahan terpilih mampu menjalankan pemerintahan secara baik.

    Dari pemilu ke pemilu yang berlangsung, pemerintahan dengan ajeg menjaga stabilitas politik, ekonomi, atau skandal besar yang mengguncang legitimasi sistem maupun pemerintahan. Preferensi petahana yang ditunjukkan dari sikap partai politik di parlemen menggambarkan bahwa perubahan desain tidak akan terjadi secara revolusioner.

    Fakta tersebut sangat terasa dalam konteks di Indonesia, kompromi kepentingan partai-partai parlemen menjadi determinan dari sistem pemilu terbentuk. Menurut Hicken, perubahan sistem pemilu adalah hasil interaksi antara tekanan struktural (kegagalan/krisis) dan kalkulasi strategis aktor (petahana/partai politik).

    Dengan kata lain, perubahan tidak semata karena idealisme demokratis, evaluasi terhadap penyelenggaraan, kejenuhan pemilih, isu daerah, kaderisasi partai, kartelisasi pilkada, hingga pelembagaan partai tetapi lebih karena dinamika kekuasaan dan konteks politik kepentingan pemilu.

    Perubahan dari MK dan beberapa penolakan dari pembuat undang-undang. Secara teoritik merupakan teropong untuk memahami teori strukturalisme, institusionalisme historis, dan teori pilihan rasional. Lebih dari itu, memahami perilaku politik partai-partai terhadap keputusan MK untuk melakukan perubahan desain.

    Respons pembuat undang-undang tidak lebih dari upaya untuk mencari kompromi kepentingan kekuasaan. Tiga hal yang jadi pendulum Hicken merasionalisasi lambat atau cepatnya pembahasan undang-undang kepemiluan/kepilkadaan.

    Koreksi Pemilih

    Pemilu adalah sarana transfer kekuasaan dengan damai sekaligus pelembagaan konflik secara formal yang terikat dalam undang-undang. Evaluasi terhadap kekalahan dan kemenangan akan dilakukan selama 5 tahun. Namun demikian, desain baru yang bersifat final dan mengikat dari MK sebagaimana aturan MK akan mengubah lanskap dan konstelasi pemilu.

    Pemilu lokal bisa jadi trayek evaluasi lebih cepat terhadap kepemimpinan nasional. Maksudnya, kemenangan partai-partai dalam pemilu nasional jika tidak diiringi dengan kerja-kerja publik yang baik, terampil dan teknokratis. Pada pemilu lokal yang dilaksanakan 2-2,5 tahun pasca pemilu nasional jadi ajang evaluasi kritis terhadap pemerintahan pusat yang sedang berkuasa.

    Pengalaman pemilu lokal pertama di Indonesia sepanjang 1957-1958 yang menggelar pemilu daerah di Jakarta, Jabar, Jateng, Yogjakarta, Jatim, Sumsel, Riau dan Kalimantan bisa jadi pelajaran mewah. Kemenangan PKI yang berhasil menaikkan perolehan suara hingga 27 persen dari pemilu 1955 menjadi sumber ketakutan penguasa pada saat itu.

    Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama (2003) menyebutkan kemenangan PKI ini menjadi kekhawatiran PNI, Masyumi, dan NU. Keberhasilan PKI memenangkan pemilu lokal akan jadi milestone memenangkan pemilu nasional yang direncanakan pada September 1959.

    Artinya, jika kita bandingkan dengan tradisi pemilu di Amerika, pemilu lokal akan jadi semacam pemilu sela. Dimana pemenang pilpres dan pileg nasional akan dievaluasi publik dalam pemilu lokal, sehingga mendorong mereka bekerja lebih baik agar tak dihukum di “mid-term” pemilihan. Kekalahan dalam pemilu lokal akan memupus harapan untuk bisa memenangkan pemilu nasional pada 5 tahun mendatang.

    Tradisi ini akan membuat pemilih tersosialisasikan dengan peran pemerintahan secara fungsional. Politisi dan partai akan berupaya melembagakan sistem kepartaian yang lebih terbuka, bertanggungjawab.

    Partai-partai politik juga akan bekerja penuh selama memimpin dan mendapatkan kekuasaan. Celah dan kegagalan akan berujung pada kekalahan. Desain sistem pemilu nasional dan lokal tentu akan sangat mempengaruhi cara dan perilaku memilih warga.

    Ahan Syahrul Arifin. Tenaga Ahli di DPR RI, Mahasiswa S3 di Universitas Brawijaya Malang.

    (rdp/imk)

  • DPD nilai kepala daerah wajar keberatan ketika TKD dipotong

    DPD nilai kepala daerah wajar keberatan ketika TKD dipotong

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Sultan Baktiar Najamudin menilai sikap kepala daerah yang keberatan karena Kementerian Keuangan memotong dana transfer ke daerah (TKD) merupakan hal yang wajar.

    Menurut Sultan, keberatan itu muncul karena beberapa hal, salah satunya terhambatnya para kepala daerah memenuhi janji politik kepada masyarakat.

    “Sangat wajar jika kebijakan efisiensi TKD sedikit banyak mengganggu kinerja para gubernur yang secara politik dapat menggerus tingkat kepercayaan publik,” kata Sultan dalam siaran pers resmi yang diterima Antara di Jakarta, Sabtu.

    Selain karena janji politik, Sultan menilai kebijakan pemangkasan alokasi TKD pemerintah dalam nota APBN 2026 menimbulkan dampak ganda terhadap agenda otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

    “Para gubernur memiliki hak untuk mempertanyakan dasar kebijakan yang dinilai berpotensi mengganggu kinerja,” jelas dia.

    Walau di satu sisi Sultan meyakini pemerintah mempunyai alasan kuat memangkas anggaran, dirinya di sisi lain juga tetap mengapresiasi sikap para kepala daerah

    Terkait permasalahan tersebut, Sultan mengusulkan kepada pemerintah untuk mengubah sistem pemilihan.

    “Kami mendorong agar ke depan jabatan gubernur tidak perlu lagi dipilih langsung oleh masyarakat melalui pilkada. Pilkada langsung cukup dilaksanakan di tingkat kabupaten/kota sebagai titik berat otonomi daerah,” usulnya.

    Dengan pilkada tidak langsung, lanjut Sultan, gubernur tidak memiliki tanggung jawab politik secara langsung kepada masyarakat.

    “Gubernur cukup fokus melakukan pengawasan serta pembinaan terhadap bupati/walikota dan bertanggung jawab merealisasikan program-program yang telah ditetapkan pemerintah pusat,” tutupnya.

    Pewarta: Walda Marison
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Bawaslu RI berkolaborasi dengan Bawaslu Kalsel laksanakan PDPB

    Bawaslu RI berkolaborasi dengan Bawaslu Kalsel laksanakan PDPB

    Kota Banjarmasin, Kalsel (ANTARA) – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI berkolaborasi dengan Bawaslu Kalimantan Selatan dan Bawaslu Banjarmasin melaksanakan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan (PDPB) tahun 2025 pada masa non-tahapan pemilihan umum.

    “Pemutakhiran data pemilih berkelanjutan ini harus dilakukan karena hak memilih itu kan hak konstitusional, dan ini merupakan langkah awal,” ujar anggota Bawaslu Kalsel Akhmad Mukhlis di Kota Banjarmasin, Kalsel, Kamis.

    Selain itu, Mukhlis mengatakan pemutakhiran data dilakukan sebab hal tersebut merupakan upaya menjamin kedaulatan rakyat.

    Lebih lanjut dia mengatakan pemutakhiran data dilakukan Bawaslu untuk memastikan kinerja dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).

    “Bawaslu hadir di sini dalam rangka untuk memastikan bahwa pemutakhiran pemilih berkelanjutan yang dilakukan oleh KPU itu berjalan dengan benar, lancar, dan verifikasinya itu memang betul-betul mencapai target yang dituju terkait dengan pemilih yang masih terdaftar ini, apakah masih sebagai pemilih atau sudah dicabut haknya untuk memilih karena sudah meninggal dunia,” katanya.

    Sementara itu, dia menjelaskan pemutakhiran data dilakukan Bawaslu dengan mendatangi rumah-rumah warga, dan mencocokkan dengan data yang dimiliki pihaknya.

    Ia mengatakan sejumlah target pemutakhiran data tersebut seperti pemilih pemula yang baru berumur 17 tahun setelah masa Pilkada 2024 selesai, anggota TNI/Polri yang baru pensiun, maupun warga negara yang sudah meninggal dunia.

    Untuk wilayah Kalsel, kata dia, Bawaslu kabupaten/kota sedang melakukan pemutakhiran data pada triwulan ketiga tahun 2025. Setelah itu, Bawaslu Provinsi akan menetapkan data tersebut pada rapat pleno setelah pemutakhiran triwulan keempat selesai dilakukan.

    Pewarta: Rio Feisal
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Matius Fakhiri: Kami Akan Jadikan Papua Induk Sebagai Contoh Pembangunan

    Matius Fakhiri: Kami Akan Jadikan Papua Induk Sebagai Contoh Pembangunan

    Bisnis.com, JAKARTA – Gubernur Papua Matius Fakhiri menegaskan komitmennya untuk menjadikan Provinsi Papua sebagai barometer percepatan pembangunan di seluruh Tanah Papua.

    Matius mengaku siap bekerja bersama Wakil Gubernur Aryoko Rumaropen untuk melanjutkan pembangunan dan menyatukan kembali masyarakat pasca-pilkada yang berlangsung panjang dan melelahkan. 

    “Pertama tentunya saya bersama Pak Aryoko mengucapkan syukur, Alhamdulillah, karena proses panjang Pilkada Provinsi Papua ini akhirnya berakhir. Kami berharap seluruh masyarakat bisa kembali bersatu membangun Papua. Kami ini Gubernur seluruh masyarakat Papua, tidak ada lagi pasangan-pasangan calon,” ujar Matius di Istana Negara, Jakarta, Rabu (8/10/2025).

    Matius menegaskan, pelantikannya bersama Aryoko menjadi momentum baru bagi Papua sebagai provinsi induk untuk memimpin percepatan pembangunan di wilayah timur Indonesia itu.

    “Kami tahu Provinsi Papua ini provinsi induk, sehingga harus bisa menjadi barometer untuk percepatan pembangunan semua provinsi di Tanah Papua karena kami lengkap infrastrukturnya,” katanya.

    Fokus 100 Hari Pertama: Pendidikan dan Kesehatan

    Menjawab pertanyaan mengenai program prioritas 100 hari pertama, Matius menekankan fokus utamanya adalah peningkatan sumber daya manusia Papua, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan.

    “Prioritas utama kami dalam kampanye adalah sumber daya manusia Papua. Bicara sumber daya manusia berarti sektor kesehatan dan pendidikan harus jalan dulu. Walaupun ada penghematan anggaran, untuk masyarakat tidak boleh kita kurangi,” tegasnya.

    Matius mengaku telah menyiapkan langkah konsolidasi bersama DPRD Papua dan kementerian terkait untuk mengoptimalkan anggaran pembangunan. Dia menilai, meski terjadi pengurangan anggaran pada 2026, hal tersebut tidak akan menghambat kerja pemerintah daerah.

    “Kami tahu Provinsi Papua yang tadinya anggarannya cukup besar, sekarang tinggal sekitar Rp2,7 triliun. Tapi kami akan berkoordinasi dengan DPRD, kementerian, dan lembaga lain. Kalau tidak mampu di tingkat provinsi, kami akan menghadap Presiden untuk mencari solusi agar Papua bisa cepat jalan,” ujarnya.

    Matius juga menyambut baik pembentukan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua yang baru dilantik Presiden pada hari yang sama. Dia menyebut keberadaan lembaga tersebut akan memperkuat koordinasi lintas sektor dalam mewujudkan percepatan pembangunan di Papua.

    “Ya, tentunya kami akan bergandeng tangan. Komite ini pasti akan membantu Provinsi Papua untuk menjadi contoh bagi semua provinsi di Tanah Papua. Kami akan melakukan langkah-langkah koordinatif dengan komite dan para menteri terkait,” jelasnya.

    Dia menegaskan, sinergi antarprovinsi di Tanah Papua harus dibangun dengan semangat kebersamaan dan kepercayaan.

    Matius juga menekankan pentingnya membangun kembali rasa percaya masyarakat terhadap pemerintah sebagai bagian dari proses percepatan pembangunan.

    “Kami ingin semua masyarakat, dari pantai, gunung, pedalaman, hingga rawa-rawa, merasakan kehadiran negara. Itu makna besar dari otonomi khusus yang akan kami jalankan,” tandasnya.

  • Capres Harus "Warlok", Calon Kepala Daerah Boleh "Naturalisasi"
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        9 Oktober 2025

    Capres Harus "Warlok", Calon Kepala Daerah Boleh "Naturalisasi" Nasional 9 Oktober 2025

    Capres Harus “Warlok”, Calon Kepala Daerah Boleh “Naturalisasi”
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Syarat pencalonan di pemilu, mengatur perbedaan yang jelas antara siapa yang boleh mencalonkan diri sebagai calon presiden dan calon kepala daerah.
    Berdasarkan Pasal 169 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, salah satu syarat untuk maju sebagai calon presiden adalah seorang warga negara Indonesia sejak lahir dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atau dalam tanda kutip, harus warga lokal (warlok).
    Sementara itu, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengatur bahwa tidak ada kewajiban bagi calon bupati, wali kota, maupun gubernur harus berasal dari daerah yang akan mereka pimpin. Dalam arti, warga dari provinsi A, bisa mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah provinsi B atau dalam istilah populernya “naturalisasi”.
    Fenomena ini pernah terjadi dalam Pilkada DKI Jakarta 2012. Saat itu, pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memenangi putaran kedua Pilkada.
    Jokowi ketika itu menjadi satu-satunya calon Gubernur DKI Jakarta yang berasal dari luar daerah. Presiden Ke-7 RI ini pernah menjabat sebagai Wali Kota Solo.
    Peristiwa serupa juga terjadi saat Pilkada DKI 2024 di mana Ridwan Kamil yang berasal dari Jawa Barat, maju di Pilkada DKI bersama Suswono.
    Namun, pasangan Ridwan Kamil-Suswono gagal memenangi Pilkada Jakarta melawan Pramono Anung-Rano Karno.
    Berangkat dari fenomena ini,
    Kompas.com
    mewawancarai beberapa pakar seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pakar Otonomi Daerah, dan Perludem untuk mengupas alasan syarat calon presiden harus WNI sejak lahir serta calon kepala daerah yang tak harus berdomisili di daerah yang akan dipimpinnya.
    Komisioner KPU Idham Holik mengatakan, Pasal 227 huruf a dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan bahwa syarat WNI sejak lahir ini harus dibuktikan dengan melampirkan akta kelahiran dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) saat mendaftar sebagai calon presiden.
    “Dalam menyelenggarakan Pemilu dan Pilkada, KPU harus melaksanakan ketentuan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 juncto Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 3 huruf d UU No. 7 Tahun 2017 dan Pasal 1 ayat (7) UU No. 8 Tahun 2015 juncto Pasal 2 ayat (2) huruf d Peraturan KPU No. 2 Tahun 2024 di mana KPU harus melaksanakan UU Pemilu dan Pilkada serta prinsip berkepastian hukum,” kata Idham melalui pesan singkat, pada Senin (6/10/2025).
    Sementara itu, Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP), Neni Nur Hayati berpendapat, syarat calon presiden wajib WNI sejak lahir ini bertujuan untuk memastikan pemahaman dan kesetiaan calon terhadap Indonesia.
    “Terkait syarat calon presiden dan wakil presiden harus WNI sejak lahir itu bertujuan untuk memastikan kesetiaannya terhadap NKRI, terutama juga calon harus paham sejarah, geopolitik, budaya, hukum yang menjadi elemen penting dalam bernegara,” kata Neni saat dihubungi wartawan, Senin.
    Neni mengamini bahwa aturan perundang-undangan mengatur bahwa calon presiden itu harus melampirkan kartu tanda penduduk dan akta kelahiran. Namun, ia menilai aturan tersebut harus diberikan penjelasan apakah cukup dengan memiliki KTP dan akta kelahiran saja.
    “Penjelasan dalam regulasi menjadi sangat penting misal menyangkut pernikahan campuran di mana orangtuanya kewarganegaraan ganda tetapi dia dilahirkan di Indonesia,” ujarnya.
    Secara terpisah, Pakar Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan mengatakan, calon presiden memang harus “WNI tulen”.
    Adapun yang dimaksud dengan WNI tulen itu adalah sosok yang lahir di Indonesia sehingga memiliki rasa keterikatan yang sama dengan masyarakat.
    “Sehingga nasionalismenya, kebangsaannya, rasa
    sense of belongingness
    -nya kepada negeri ini kuat,” kata Djohermansyah.
    Ia mengatakan, syarat calon presiden ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Syarat serupa juga dimiliki sebagian besar negara termasuk Amerika Serikat (AS).
    Djohermansyah mengatakan, Pemilu AS sempat berpolemik karena banyak yang mempertanyakan tempat lahir Barack Obama.
    “Nah itu kemudian dia (Barack Obama) tunjukkan akta kelahirannya, yang bantah. Jadi fenomenanya itu juga bukan uniqueness kita tapi itu juga dianut oleh negara-negara sebagai syarat calon pemimpin pemerintahannya,” ujarnya.
    Djohermansyah mengatakan, idealnya, kepala daerah berdomisili di daerah yang akan ia pimpin. Sebab, calon kepala daerah harus mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya.
    “Idealnya, pemimpin pemerintah itu harus berasal dari orang lokal. Local leaders is from the local people. Itulah teori,” kata Djohermansyah.
    Meski demikian, dia mengatakan, regulasi di Indonesia tidak mengunci aturan lokalitas dalam Pilkada di mana calon kepala daerah boleh dari daerah lain.
    Menurut dia, hal ini dilakukan karena ketersediaan sumber daya kepemimpinan di daerah.
    “Kita di daerah-daerah di Indonesia itu, sumber daya pemimpin itu, belum ketersediaannya bisa,” ujarnya.
    Meski demikian, Djohermansyah juga tak menampik bahwa regulasi itu membuat beberapa calon kepala daerah yang bukan dari daerah asalnya bisa diusung karena kekuatan politik nasional.
    Dia mencontohkan Pilkada Jakarta 2024 di mana Ridwan Kamil maju sebagai calon gubernur bersama Suswono.
    “Kayak yang praktik Ridwan Kamil (di Pilkada Jakarta) ini kan, itu kan sebetulnya dia calon
    dropping
    bukan
    genuine
    yang lokal leaders, yang orang merasa dari daerah itu,” tuturnya.
    Sementara itu, Neni Nur Hayati menilai syarat calon kepala daerah yang tidak berdomisili di daerahnya memang menjadi problematika tersendiri.
    Meski demikian, ia mengatakan, beberapa calon kepala daerah tidak berasal dari domisili itu tetapi sangat memahami kondisi daerah tersebut.
    “Kita fokus harus ke kemampuan, visi, misi dan rekam jejak, bukan pada tempat tinggal. Namun, kita juga sering menghadapi di mana tidak ada ikatan antara kandidat dan masyarakat,” kata Neni.
    Lebih lanjut, Neni menyarankan adanya regulasi untuk memperjelas syarat calon kepala daerah tersebut seperti minimal berdomisili satu tahun di daerah tersebut.
    “Saran saya memang perlu ada kejelasan regulasi di mana tidak menjadi kental politik kepentingan dan pragmatisme partai, jadi memang harus ada frasa memiliki wawasan kedaerahan,” ucap dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Perludem dan FISIP Unair Dorong Kodifikasi UU Pemilu untuk Wujudkan Demokrasi yang Lebih Representatif

    Perludem dan FISIP Unair Dorong Kodifikasi UU Pemilu untuk Wujudkan Demokrasi yang Lebih Representatif

    Surabaya (beritajatim.com) – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) bersama Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga mendorong lahirnya Kodifikasi Undang-Undang Pemilu untuk memperkuat sistem demokrasi yang lebih representatif dan efisien.

    Seminar bertajuk “Usulan Masyarakat Sipil untuk Perbaikan UU Pemilu” digelar di kampus FISIP Unair, Rabu (8/10/2025), menghadirkan perwakilan akademisi, aktivis, dan pembuat kebijakan.

    Direktur Eksekutif Perludem, Heroik Mutaqin Pratama, menegaskan bahwa kodifikasi UU Pemilu merupakan kebutuhan mendesak untuk memperbaiki tata kelola demokrasi dan memperkuat representasi rakyat. Menurutnya, partai politik perlu menjadi institusi yang kuat dan terstruktur agar tidak sekadar menjadi kendaraan politik pragmatis.

    “Partai politik yang kuat adalah partai yang memiliki kendali terhadap calon yang diusung dan konsisten antara janji politik serta pelaksanaannya di lapangan,” ujar Heroik.

    “Reformasi sistem kepartaian dan pemilu perlu diarahkan agar fungsi representasi tidak hanya bersifat prosedural, tetapi juga substantif,” tambah dia.

    Heroik menambahkan, kodifikasi UU Pemilu versi masyarakat sipil mencakup tiga aspek utama yak i sistem, aktor, dan manajemen pemilu. Dia menjelaskan, penyederhanaan regulasi diperlukan untuk menghindari tumpang tindih antara UU Pemilu, UU Partai Politik, dan UU Pilkada.

    “Kodifikasi bukan hanya soal penyatuan aturan, tetapi juga tentang memperbaiki cara kita memaknai pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat,” tegas Heroik.

    Ketua Komisi II DPR RI, Dr. Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, yang hadir secara daring, menilai bahwa proses kodifikasi UU Pemilu harus menjamin keseimbangan antara kepastian hukum dan fleksibilitas pelaksanaan. Dia menyebut, DPR membuka ruang dialog konstruktif dengan masyarakat sipil agar revisi undang-undang tidak sekadar menjadi produk politik, melainkan memperkuat integritas demokrasi .

    “Kodifikasi adalah langkah penting untuk menata ulang sistem elektoral kita agar lebih sederhana, efisien, dan selaras dengan prinsip kedaulatan rakyat,” ujarnya.

    Dari kalangan akademisi, Drs. Kris Nugroho, M.A., mengungkap lemahnya hubungan antara pemilih dan calon legislatif di Indonesia. Berdasarkan hasil survei FISIP Unair, sebagian besar pemilih tidak memiliki kedekatan langsung dengan calon yang mereka pilih.

    “Kondisi ini menunjukkan adanya krisis legitimasi dalam sistem representasi kita. Karena itu, kodifikasi UU Pemilu perlu mengatur mekanisme yang memperkuat akuntabilitas wakil rakyat terhadap pemilih,” jelas Kris.

    Sementara itu, Dr. Mohammad Syaiful Aris mengusulkan agar sistem pemilu ke depan mempertimbangkan model Mixed Member Proportional (MMP) kombinasi antara sistem proporsional tertutup dan distrik tunggal. Dia menilai, model ini bisa memperkuat hubungan pemilih dengan wakilnya tanpa mengorbankan stabilitas pemerintahan.

    “Model ini bisa memperkuat hubungan pemilih dengan wakilnya, sekaligus menjaga stabilitas pemerintahan dalam sistem presidensial,” ujarnya.

    Melalui seminar ini, Perludem dan FISIP Unair berharap proses kodifikasi RUU Pemilu dapat dilakukan secara inklusif, berbasis riset, dan melibatkan partisipasi publik luas.

    “Semoga upaya ini mampu melahirkan sistem pemilu yang sederhana, transparan, dan benar-benar mencerminkan kehendak rakyat dalam memperkuat demokrasi Indonesia,” pungkas Heroik.[asg/kun]