Event: Pilkada Serentak

  • OTT Kepala Daerah: Terus Menangkap atau Mulai Mencegah?

    OTT Kepala Daerah: Terus Menangkap atau Mulai Mencegah?

    OTT Kepala Daerah: Terus Menangkap atau Mulai Mencegah?
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
    OPERASI
    tangkap tangan kembali terjadi. Kepala daerah kembali ditangkap. Publik kembali terkejut—atau justru tidak lagi benar-benar terkejut.
    Dalam beberapa bulan terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi kembali menjerat bupati dan wali kota aktif. Modusnya tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya: proyek, izin, dan relasi kuasa yang diperdagangkan.
    OTT selalu hadir sebagai klimaks. Ia dramatis, tegas, dan menegangkan. Namun, OTT juga kerap menutupi pertanyaan yang lebih mendasar: mengapa pola ini terus berulang?
    Mengapa kepala daerah—yang lahir dari pemilu langsung dan legitimasi rakyat—begitu rentan terseret korupsi?
    Setiap OTT menegaskan bahwa
    korupsi kepala daerah
    bukan anomali. Ia bukan kecelakaan tunggal, melainkan gejala dari sistem yang terus memproduksi risiko.
    Menyederhanakan persoalan ini sebagai kesalahan moral individu hanya akan membuat kita terjebak pada siklus yang sama: tangkap, vonis, lalu ulangi.
    Dalam konteks pemerintahan daerah, korupsi sering kali tidak muncul secara tiba-tiba. Ia tumbuh perlahan, sejak sebelum kepala daerah dilantik.
    Akar persoalannya bukan hanya pada kekuasaan yang disalahgunakan, tetapi pada kekuasaan yang sejak awal dibeli dengan harga mahal.
    Pilkada langsung membawa harapan demokrasi, tetapi juga membawa ongkos politik yang kian tak rasional. Biaya kampanye melonjak, kompetisi makin sengit, dan tuntutan logistik makin kompleks.
    Dalam banyak daerah, ongkos politik tidak lagi sebanding dengan gaji dan fasilitas resmi kepala daerah selama masa jabatan.
    Ketimpangan inilah yang menciptakan paradoks. Jabatan publik yang seharusnya melayani rakyat justru menuntut modal pribadi yang luar biasa. Dalam situasi seperti ini, politik berubah dari pengabdian menjadi investasi.
    OTT KPK sering terjadi tak lama setelah kepala daerah menjabat. Ini bukan kebetulan. Tekanan untuk “mengembalikan modal” datang lebih cepat daripada proses adaptasi pemerintahan. Sponsor menunggu, tim sukses menagih, jaringan politik mengingatkan janji.
    Tekanan ini tidak selalu diekspresikan secara vulgar. Ia hadir dalam bentuk permintaan halus, rekomendasi proyek, atau dorongan “memperhatikan” pihak tertentu. Di bawah tekanan semacam ini, garis antara kebijakan dan transaksi menjadi tipis.
    High cost
    politik melahirkan utang politik yang laten. Utang ini tidak diakui secara hukum, tetapi sangat nyata dalam praktik. Kepala daerah tidak berhadapan dengan bank, melainkan dengan relasi kuasa. Dan utang semacam ini tidak mengenal restrukturisasi.
    OTT KPK sering kali membongkar lapisan terakhir dari utang politik tersebut. Suap yang tertangkap tangan bukan peristiwa pertama, melainkan ujung dari rangkaian relasi yang telah berlangsung sejak masa kampanye.
    Desentralisasi memberi kepala daerah kewenangan luas. Di sinilah persoalan menjadi kompleks. Kewenangan atas anggaran, perizinan, dan birokrasi menciptakan ruang diskresi yang besar.
    Dalam kondisi ideal, diskresi adalah alat pelayanan. Dalam kondisi tertekan, diskresi berubah menjadi komoditas.
    Banyak OTT KPK menunjukkan bahwa kewenangan administratif dijadikan alat tukar. Proyek dipercepat, izin dilunakkan, jabatan diatur. Bukan karena kebutuhan publik, tetapi karena tekanan politik yang belum lunas.
    Partai politik sering luput dari sorotan OTT. Padahal, mereka adalah aktor penting dalam mahalnya politik lokal. Proses pencalonan yang tidak sepenuhnya transparan membuat biaya politik menumpuk sejak awal.
    Ketika partai gagal menjalankan fungsi kaderisasi, mereka secara tidak langsung mendorong lahirnya pemimpin yang rapuh secara etik.
    OTT yang menjerat kepala daerah seharusnya juga menjadi cermin bagi partai: apakah mekanisme rekrutmen politik selama ini justru ikut menyiapkan lahan subur bagi korupsi?
    Setelah OTT, sering terungkap bahwa praktik korupsi melibatkan jejaring birokrasi. Ini menunjukkan bahwa
    high cost
    politik tidak berhenti di kepala daerah. Ia merembes ke struktur pemerintahan.
    Mutasi jabatan, pengisian posisi strategis, dan pengelolaan proyek menjadi bagian dari ekosistem balas jasa.
    Birokrasi yang terseret dalam pusaran ini kehilangan profesionalisme. Negara dirugikan dua kali: oleh korupsi dan oleh rusaknya sistem pelayanan publik.
    Frekuensi OTT justru memunculkan bahaya baru: normalisasi. Ketika penangkapan menjadi rutinitas, publik bisa kehilangan daya kejut. Korupsi tidak lagi dipandang sebagai kegagalan sistem, melainkan sekadar risiko jabatan.
    Normalisasi ini berbahaya. Ia membuat kita puas pada penindakan, tetapi abai pada pencegahan. Padahal, OTT adalah alarm, bukan solusi akhir.
    Data penegakan hukum menunjukkan ratusan kepala daerah dan wakilnya telah terseret kasus korupsi sejak era reformasi. OTT terbaru hanya menambah daftar panjang tersebut. Ini menegaskan bahwa persoalannya bersifat struktural dan berulang.
    Jika setiap tahun kita menyaksikan OTT, tetapi tidak mengubah desain politik lokal, maka penindakan akan selalu tertinggal satu langkah dari korupsi.
    Momentum OTT KPK seharusnya menjadi titik refleksi negara. Regulasi pendanaan kampanye, pengawasan Pilkada, dan akuntabilitas partai politik perlu dibenahi secara serius.
    Negara tidak cukup hadir sebagai penindak, tetapi harus berani menjadi perancang sistem yang adil dan realistis.
    Menekan biaya politik bukan melemahkan demokrasi. Justru sebaliknya, ia menyelamatkan demokrasi dari pembusukan yang berlangsung diam-diam.
    OTT KPK adalah peringatan keras, bukan sekadar berita kriminal. Ia memberi pesan bahwa demokrasi lokal sedang sakit. Selama politik masih terlalu mahal, kepala daerah akan terus berada dalam dilema antara sumpah jabatan dan utang politik.
    Korupsi pemimpin daerah bukan takdir. Ia bisa dicegah jika keberanian membenahi sistem lebih besar daripada kepuasan melihat penangkapan.
    Momentum OTT seharusnya mendorong kita bertanya lebih jauh: apakah kita ingin terus menangkap, atau mulai mencegah?
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • OTT Kepala Daerah: Terus Menangkap atau Mulai Mencegah?

    OTT Kepala Daerah: Terus Menangkap atau Mulai Mencegah?

    OTT Kepala Daerah: Terus Menangkap atau Mulai Mencegah?
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
    OPERASI
    tangkap tangan kembali terjadi. Kepala daerah kembali ditangkap. Publik kembali terkejut—atau justru tidak lagi benar-benar terkejut.
    Dalam beberapa bulan terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi kembali menjerat bupati dan wali kota aktif. Modusnya tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya: proyek, izin, dan relasi kuasa yang diperdagangkan.
    OTT selalu hadir sebagai klimaks. Ia dramatis, tegas, dan menegangkan. Namun, OTT juga kerap menutupi pertanyaan yang lebih mendasar: mengapa pola ini terus berulang?
    Mengapa kepala daerah—yang lahir dari pemilu langsung dan legitimasi rakyat—begitu rentan terseret korupsi?
    Setiap OTT menegaskan bahwa
    korupsi kepala daerah
    bukan anomali. Ia bukan kecelakaan tunggal, melainkan gejala dari sistem yang terus memproduksi risiko.
    Menyederhanakan persoalan ini sebagai kesalahan moral individu hanya akan membuat kita terjebak pada siklus yang sama: tangkap, vonis, lalu ulangi.
    Dalam konteks pemerintahan daerah, korupsi sering kali tidak muncul secara tiba-tiba. Ia tumbuh perlahan, sejak sebelum kepala daerah dilantik.
    Akar persoalannya bukan hanya pada kekuasaan yang disalahgunakan, tetapi pada kekuasaan yang sejak awal dibeli dengan harga mahal.
    Pilkada langsung membawa harapan demokrasi, tetapi juga membawa ongkos politik yang kian tak rasional. Biaya kampanye melonjak, kompetisi makin sengit, dan tuntutan logistik makin kompleks.
    Dalam banyak daerah, ongkos politik tidak lagi sebanding dengan gaji dan fasilitas resmi kepala daerah selama masa jabatan.
    Ketimpangan inilah yang menciptakan paradoks. Jabatan publik yang seharusnya melayani rakyat justru menuntut modal pribadi yang luar biasa. Dalam situasi seperti ini, politik berubah dari pengabdian menjadi investasi.
    OTT KPK sering terjadi tak lama setelah kepala daerah menjabat. Ini bukan kebetulan. Tekanan untuk “mengembalikan modal” datang lebih cepat daripada proses adaptasi pemerintahan. Sponsor menunggu, tim sukses menagih, jaringan politik mengingatkan janji.
    Tekanan ini tidak selalu diekspresikan secara vulgar. Ia hadir dalam bentuk permintaan halus, rekomendasi proyek, atau dorongan “memperhatikan” pihak tertentu. Di bawah tekanan semacam ini, garis antara kebijakan dan transaksi menjadi tipis.
    High cost
    politik melahirkan utang politik yang laten. Utang ini tidak diakui secara hukum, tetapi sangat nyata dalam praktik. Kepala daerah tidak berhadapan dengan bank, melainkan dengan relasi kuasa. Dan utang semacam ini tidak mengenal restrukturisasi.
    OTT KPK sering kali membongkar lapisan terakhir dari utang politik tersebut. Suap yang tertangkap tangan bukan peristiwa pertama, melainkan ujung dari rangkaian relasi yang telah berlangsung sejak masa kampanye.
    Desentralisasi memberi kepala daerah kewenangan luas. Di sinilah persoalan menjadi kompleks. Kewenangan atas anggaran, perizinan, dan birokrasi menciptakan ruang diskresi yang besar.
    Dalam kondisi ideal, diskresi adalah alat pelayanan. Dalam kondisi tertekan, diskresi berubah menjadi komoditas.
    Banyak OTT KPK menunjukkan bahwa kewenangan administratif dijadikan alat tukar. Proyek dipercepat, izin dilunakkan, jabatan diatur. Bukan karena kebutuhan publik, tetapi karena tekanan politik yang belum lunas.
    Partai politik sering luput dari sorotan OTT. Padahal, mereka adalah aktor penting dalam mahalnya politik lokal. Proses pencalonan yang tidak sepenuhnya transparan membuat biaya politik menumpuk sejak awal.
    Ketika partai gagal menjalankan fungsi kaderisasi, mereka secara tidak langsung mendorong lahirnya pemimpin yang rapuh secara etik.
    OTT yang menjerat kepala daerah seharusnya juga menjadi cermin bagi partai: apakah mekanisme rekrutmen politik selama ini justru ikut menyiapkan lahan subur bagi korupsi?
    Setelah OTT, sering terungkap bahwa praktik korupsi melibatkan jejaring birokrasi. Ini menunjukkan bahwa
    high cost
    politik tidak berhenti di kepala daerah. Ia merembes ke struktur pemerintahan.
    Mutasi jabatan, pengisian posisi strategis, dan pengelolaan proyek menjadi bagian dari ekosistem balas jasa.
    Birokrasi yang terseret dalam pusaran ini kehilangan profesionalisme. Negara dirugikan dua kali: oleh korupsi dan oleh rusaknya sistem pelayanan publik.
    Frekuensi OTT justru memunculkan bahaya baru: normalisasi. Ketika penangkapan menjadi rutinitas, publik bisa kehilangan daya kejut. Korupsi tidak lagi dipandang sebagai kegagalan sistem, melainkan sekadar risiko jabatan.
    Normalisasi ini berbahaya. Ia membuat kita puas pada penindakan, tetapi abai pada pencegahan. Padahal, OTT adalah alarm, bukan solusi akhir.
    Data penegakan hukum menunjukkan ratusan kepala daerah dan wakilnya telah terseret kasus korupsi sejak era reformasi. OTT terbaru hanya menambah daftar panjang tersebut. Ini menegaskan bahwa persoalannya bersifat struktural dan berulang.
    Jika setiap tahun kita menyaksikan OTT, tetapi tidak mengubah desain politik lokal, maka penindakan akan selalu tertinggal satu langkah dari korupsi.
    Momentum OTT KPK seharusnya menjadi titik refleksi negara. Regulasi pendanaan kampanye, pengawasan Pilkada, dan akuntabilitas partai politik perlu dibenahi secara serius.
    Negara tidak cukup hadir sebagai penindak, tetapi harus berani menjadi perancang sistem yang adil dan realistis.
    Menekan biaya politik bukan melemahkan demokrasi. Justru sebaliknya, ia menyelamatkan demokrasi dari pembusukan yang berlangsung diam-diam.
    OTT KPK adalah peringatan keras, bukan sekadar berita kriminal. Ia memberi pesan bahwa demokrasi lokal sedang sakit. Selama politik masih terlalu mahal, kepala daerah akan terus berada dalam dilema antara sumpah jabatan dan utang politik.
    Korupsi pemimpin daerah bukan takdir. Ia bisa dicegah jika keberanian membenahi sistem lebih besar daripada kepuasan melihat penangkapan.
    Momentum OTT seharusnya mendorong kita bertanya lebih jauh: apakah kita ingin terus menangkap, atau mulai mencegah?
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Rapimnas Golkar Putuskan Dorong Koalisi Partai Permanen

    Rapimnas Golkar Putuskan Dorong Koalisi Partai Permanen

    Liputan6.com, Jakarta – Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) I Tahun 2025 menghasilkan sepuluh keputusan, yang tertuang dalam bentuk rekomendasi atau pernyataan politik Rapimnas I Partai Golkar tahun 2025.

    Sepuluh pernyataan politik Rapimnas I Partai Golkar tahun 2025, di antaranya, Golkar mengusulkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat, dengan menitik beratkan pada keterlibatan dan partisipasi publik dalam proses pelaksanaannya.

    Golkar juga merekomendasikan pemilihan umum atau Pemilu terbuka lewat beberapa perbaikan.

    “Terkait dengan pelaksanaan Pemilu, Partai Golkar merekomendasikan perbaikan dan penyempurnaan sistem Proporsional Terbuka dengan memperbaiki aspek teknis penyelenggaraan, penyelenggara, dan tata kelola untuk mewujudkan Pemilu yang jujur dan adil,” ujar Ketua Umum atau Ketum Partai Golkar Bahlil Lahadalia dalam keterangannya, Minggu (21/12/2025).

    Dia melanjutkan, Partai Golkar juga mendorong transformasi pola kerja sama politik dari sekadar koalisi elektoral menjadi koalisi permanen.

    “Menuju pembentukan Koalisi Permanen yang ideologis dan strategis, berbasis pada kesamaan platform dan agenda kebijakan. Koalisi Permanen ini tidak hanya dibangun untuk memenangkan kontestasi Pemilihan Presiden, tetapi dilembagakan sebagai bentuk kerja sama politik yang mengikat di parlemen dan pemerintahan,” ungkap Bahlil.

     

    Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia merespon kabar Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya, yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK. Adapun Ardito terseret kasus suap, terjaring OTT KPK pada Rabu (10/12). “Saya belum dapat kabarnya. Yang pertama, saya belum dapat kabarnya, yang kedua, ho…

  • Rapimnas Golkar Usulkan Pilkada via DPRD

    Rapimnas Golkar Usulkan Pilkada via DPRD

    Rapimnas Golkar Usulkan Pilkada via DPRD
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golongan Karya (Golkar) menghasilkan 10 usulan, salah satunya adalah pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
    “Adapun sepuluh pernyataan politik Rapimnas I Partai
    Golkar
    tahun 2025 di antaranya adalah Partai Golkar mengusulkan pilkada melalui DPRD sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat, dengan menitik beratkan pada keterlibatan dan partisipasi publik dalam proses pelaksanaannya,” demikian bunyi siaran pers Partai Golkar, Minggu (21/12/2025).
    Rapimnas I Golkar tahun 2025 itu telah berlangsung di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta Barat, Sabtu (20/12/2025).
    Terkait pelaksanaan pemilu, Golkar merekomendasikan perbaikan dan penyempurnaan sistem proporsional terbuka melalui pembenahan aspek teknis penyelenggaraan, kelembagaan penyelenggara, dan tata kelola guna mewujudkan pemilu yang jujur dan adil.
    Di samping itu, Golkar mendorong perubahan pola kerja sama politik dari koalisi elektoral yang bersifat taktis menjadi
    Koalisi Permanen
    yang ideologis dan strategis, berbasis kesamaan platform dan agenda kebijakan.
    Koalisi Permanen ini tidak hanya ditujukan untuk memenangkan Pemilihan Presiden, tetapi juga dilembagakan sebagai bentuk kerja sama politik yang mengikat di parlemen dan pemerintahan.
    Dalam pernyataan politiknya, Golkar prihatin dan berempati kepada masyarakat yang terdampak bencana banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
    Pernyataan tersebut juga menegaskan bahwa doktrin Karya Kekaryaan Partai Golkar merupakan instrumen efektif untuk mewujudkan Asta Cita sebagai arah pembangunan nasional menuju Indonesia Emas 2045.
    Golkar mengapresiasi dan mendukung arah kebijakan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, serta kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dalam memperkuat posisi Indonesia di tengah dinamika geopolitik global.
    Secara khusus, Golkar menyatakan dukungan kepada Prabowo dalam perannya sebagai pemimpin dunia Islam untuk mendorong penyelesaian krisis kemanusiaan di Gaza demi perdamaian di Timur Tengah, khususnya antara Palestina dan Israel, dengan menegaskan dukungan terhadap Palestina sebagai negara yang merdeka, berdaulat, dan independen.
    Dalam pernyataan politiknya, Golkar juga menegaskan bahwa ketahanan energi dan hilirisasi merupakan pilar strategis transformasi ekonomi nasional guna mencapai pertumbuhan ekonomi delapan persen menuju Indonesia yang maju, mandiri, dan berdaya saing, sesuai visi Asta Cita.
    Selain itu, Rapimnas menekankan pentingnya peningkatan efektivitas pembangunan dan percepatan kesejahteraan masyarakat di Papua, terutama pascapemekaran provinsi.
    Rapimnas juga menegaskan bahwa penegakan hukum yang berwibawa merupakan fondasi utama bagi stabilitas negara, keadilan, kesejahteraan, serta penguatan demokrasi dan persatuan nasional.
    Pernyataan politik Rapimnas turut menyoroti pentingnya penguatan peran masyarakat sipil (civil society) dan masyarakat algoritma (algorithm society) sebagai pilar dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
    Rapimnas Golkar kemarin berlangsung dari pagi hingga tengah malam. 
    “Rapimnas ini dimulai sejak jam sembilan pagi dan baru berakhir setengah dua belas malam. Ini menunjukkan keseriusan Partai Golkar dalam mengelola organisasi serta menyusun program prioritas dan rekomendasi politik secara matang,” ujar Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia, dalam keterangannya.
    Bahlil menegaskan, seluruh pembahasan dalam Rapimnas bersifat internal partai dan difokuskan sepenuhnya untuk memperkuat konsolidasi organisasi Golkar di semua tingkatan.
    “Semua pembahasan dalam Rapimnas ini bersifat internal, sebagai bagian dari konsolidasi organisasi untuk memastikan Partai Golkar tetap solid dan siap menghadapi tantangan ke depan,” tegasnya.
    Agenda utama Rapimnas I Partai Golkar Tahun 2025 meliputi pembahasan organisasi, pembahasan program prioritas partai, serta pembahasan pernyataan politik.
    Seluruh agenda tersebut dibahas secara mendalam dalam suasana yang hangat, terbuka, dan akomodatif, dengan mengedepankan semangat musyawarah dan kebersamaan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Jadi Tersangka KPK, Harta Bupati Bekasi Naik Rp68 Miliar selama 6 Tahun

    Jadi Tersangka KPK, Harta Bupati Bekasi Naik Rp68 Miliar selama 6 Tahun

    GELORA.CO -Resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap setelah terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), harta kekayaan Bupati Bekasi, Ade Kuswara Kunang (ADK) naik mencapai Rp68 miliar dalam kurun waktu 6 tahun.

    Berdasarkan penelusuran RMOL, Minggu, 21 Desember 2025, Ade terakhir melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke KPK pada saat awal menjabat Bupati Bekasi pada 11 Agustus 2025.

    Pada LHKPN awal menjabat itu, Ade tercatat memiliki harta kekayaan sebesar Rp79,16 miliar.

    Harta tersebut terdiri dari 31 bidang tanah dan bangunan yang berada di Bekasi, Cianjur, dan Karawang dengan nilai sebesar Rp76,527 miliar.

    Selanjutnya, Ade juga mempunyai tiga unit kendaraan mobil senilai Rp2,45 miliar, terdiri dari mobil Mitsubishi Pajero Sport tahun 2021 seharga Rp400 juta, mobil Jeep Wrangler tahun 2011 seharga Rp650 juta, dan mobil Ford Mustang tahun 2022 seharga Rp1,4 miliar.

    Kemudian, Ade juga mempunyai harta bergerak lainnya senilai Rp43,092 juta, kas dan setara kas senilai Rp147.959.653 (Rp147,9 juta).

    Ade tercatat tidak memiliki utang. Sehingga total harta kekayaannya sebesar Rp79.168.051.653 (Rp79,16 miliar).

    Harta kekayaan Ade terbilang mengalami peningkatan cukup drastis dalam beberapa waktu terakhir. Kenaikan yang drastis terjadi ketika Ade menjadi anggota DPRD Kabupaten Bekasi dari Fraksi PDIP.

    Pada saat menjadi calon anggota DPRD per 7 Mei 2019, Ade hanya memiliki harta sebesar Rp10.976.600.000 (Rp10,97 miliar). Harta Ade sempat mengalami penurunan setelah beberapa bulan menjabat anggota DPRD. Per 31 Desember 2019, harta Ade turun menjadi Rp9.349.245.000 (Rp9,34 miliar).

    Harta Ade kemudian mengalami kenaikan setelah satu tahun berikutnya menjadi anggota DPRD. Per 31 Desember 2020, harta Ade menjadi Rp11.046.379.000 (Rp11,04 miliar).

    Namun setelah dua tahun menjabat sebagai anggota DPRD, harta Ade mengalami kenaikan yang sangat tajam, yakni per 31 Desember 2021 naik menjadi Rp79.825.340.000 (Rp79,82 miliar).

    Harta Ade kembali naik pada tahun berikutnya Per 31 Desember 2022, hartanya menjadi Rp81.840.340.000 (Rp81,84 miliar). Pada satu tahun berikutnya, yakni per akhir 2023, harta Ade juga kembali naik, menjadi Rp81.888.295.500 (Rp81,88 miliar).

    Namun pada 2024, Ade belum menyerahkan laporan terakhirnya. Mengingat, Ade mengikuti kontestasi Pilkada 2024. Setelah menang, Ade melaporkan harta kekayaannya pada awal menjabat sebagai Bupati Bekasi, yakni dengan harta sebesar Rp79.168.051.653 (Rp79,16 miliar).

    Artinya, sejak 7 Mei 2019 hingga 11 Agustus 2025 atau 6 tahun terakhir, harta kekayaan Ade mengalami kenaikan mencapai 621,24 persen atau sebesar Rp68.191.451.653 (Rp68,19 miliar).

    Ade bersama ayahnya, HM Kunang alias Haji Kunang selaku Kepala Desa Sukadami, dan Sarjan (SRJ) selaku swasta resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap ijon proyek di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi pada Sabtu, 20 Desember 2025 setelah terjaring OTT pada Kamis, 18 Desember 2025.

    Dalam perkaranya, setelah terpilih menjadi Bupati Bekasi, Ade mulai menjalin komunikasi dengan Sarjan yang merupakan penyedia paket proyek di lingkungan Pemkab Bekasi.

    Dari hasil komunikasi itu, dalam rentang 1 tahun terakhir sejak Desember 2024 sampai dengan Desember 2025, Ade rutin meminta ijon paket protek kepada Sarjan melalui perantara ayahnya, Haji Kunang dan pihak lainnya.

    Adapun total ijon yang diberikan Sarjan kepada Ade bersama-sama Haji Kunang mencapai Rp9,5 miliar. Pemberian uang dilakukan dalam empat kali penyerahan melalui para perantara.

    Selain aliran dana tersebut, sepanjang 2025, Ade juga diduga mendapatkan penerimaan lainnya yang berasal dari sejumlah pihak dengan total mencapai Rp4,7 miliar. Sehingga total yang diterima Ade mencapai Rp14,2 miliar.

    Sementara dari kegiatan OTT, KPK mengamankan barang bukti uang tunai sebesar Rp200 juta dari rumah Ade. Di mana uang tersebut merupakan sisa setoran ijon keempat dari Sarjan kepada Ade melalui para perantara. 

  • Marak OTT KPK, Bahlil Minta Kader Golkar Tak Melenceng dari Aturan

    Marak OTT KPK, Bahlil Minta Kader Golkar Tak Melenceng dari Aturan

    Marak OTT KPK, Bahlil Minta Kader Golkar Tak Melenceng dari Aturan
    Tim Redaksi

    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Umum Partai Golkar
    Bahlil Lahadalia
    mengingatkan seluruh kader partainya yang menjabat di lembaga eksekutif maupun legislatif agar bekerja sesuai aturan dan tidak menyalahgunakan kewenangan.
    Pernyataan ini disampaikan menyusul maraknya kepala daerah yang juga kader partai politik terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
    Hal tersebut disampaikan Bahlil saat merespons pertanyaan awak media mengenai sejumlah kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah dalam beberapa waktu terakhir.
    “Menyangkut dengan instruksi kepada kader partai, kami memang dari DPP Partai Golkar selalu meminta kepada semua kader, baik di eksekutif maupun legislatif, agar bekerja sesuai aturan. Taat pada aturan,” ujar Bahlil saat ditemui di Kantor DPP Golkar, Jakarta, Sabtu (20/12/2025).
    Bahlil menegaskan, peringatan tersebut telah berulang kali disampaikan kepada seluruh kader agar tidak mengambil keputusan maupun melakukan tindakan yang bertentangan dengan ketentuan hukum.
    “Jangan ada satu keputusan atau tindakan yang melenceng dari aturan,” lanjutnya.
    Ia menekankan, instruksi tersebut berlaku tanpa pengecualian bagi semua kader Golkar yang memegang jabatan publik.
    “Itu instruksi partai kepada kader partai dimanapun berada, yang telah memegang jabatan, amanah untuk rakyat, baik di eksekutif maupun legislatif,” tutup Bahlil.
    Pernyataan ini mencuat setelah salah satu kepala daerah yang menjadi kader Golkar, Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya, terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 10 November 2025. Ardito diketahui bergabung dengan Partai Golkar setelah memenangkan Pilkada Lampung Tengah.
    Ardito diduga telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara penerimaan hadiah atau janji terkait pengadaan barang dan jasa serta penerimaan lainnya berupa gratifikasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2025.
    Dalam perkara tersebut, Ardito diduga melakukan pengondisian agar sejumlah proyek pemerintah dimenangkan oleh rekanannya. Ia juga disebut mematok
    fee
    sebesar 15 hingga 20 persen dari nilai proyek yang dikerjakan di lingkungan Pemkab Lampung Tengah.
    Pengondisian proyek itu diduga dilakukan Ardito dengan meminta anggota DPRD Lampung Tengah, Riki Hendra Saputra, untuk mengatur pemenang pengadaan barang dan jasa di sejumlah satuan kerja perangkat daerah (SKPD) melalui mekanisme penunjukan langsung di E-Katalog.
    KPK menduga, Ardito Wijaya menerima
    fee
    senilai Rp 5,25 miliar dari sejumlah penyedia barang dan jasa.
    Ade ditangkap KPK pada Rabu (18/12/2025) dan ditetapkan sebagai tersangka pada Sabtu (20/12/2025) dini hari. Ia diduga terlibat dalam praktik suap terkait pengadaan proyek di Pemerintah Kabupaten Bekasi.
    KPK menduga, Ade menerima uang suap senilai Rp 14,2 miliar yang berkaitan dengan praktik ijon proyek.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Cak Imin Klaim Pilkada Langsung Tidak Produktif, PKB Desak Evaluasi Sistem Pemilu

    Cak Imin Klaim Pilkada Langsung Tidak Produktif, PKB Desak Evaluasi Sistem Pemilu

    Bisnis.com, SURABAYA – Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar menyebut, partainya bakal mendorong evaluasi terhadap sistem pemilihan umum (Pemilu), khususnya mekanisme Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung yang telah berlangsung sejak 2005. Menurut Cak Imin, sistem pemilihan itu tidak berjalan efektif.

    Ihwal itu disampaikan Cak Imin saat menghadiri pembukaan Musyawarah Wilayah (Muswil) PKB Jawa Timur di Surabaya, Jumat (19/12/2025). Agenda tersebut dihadiri segenap jajaran pengurus PKB dari seluruh kabupaten dan kota di Jawa Timur, juga sejumlah kepala daerah, serta pengurus struktural PWNU Jawa Timur, termasuk Ketua PWNU Jatim Abdul Hakim Mahfudz atau Gus Kikin.

    “Pilkada langsung tidak produktif dan banyak sistem demokrasi yang tidak efektif, kita akan evaluasi,” jelas Cak Imin.

    Dia pun menegaskan, evaluasi tersebut penting dilakukan sebagai bagian dari upaya perbaikan sistem demokrasi di Indonesia. Menurutnya, wacana tersebut bukan hanya pandangan PKB saja tapi juga menjadi kesadaran bersama di kalangan partai politik lainnya.

    “Ya Alhamdulillah semua partai menyadari banyak sistem pemilihan umum, dalam paket-paket pemilihan umum yang tidak produktif, pilkada langsung tidak produktif,” tegasnya.

    Selain menyoroti sistem pemilu yang diklaim tidak produktif, Cak Imin juga memberikan pesan kepada segenap kader PKB untuk bekerja lebih keras dalam menghadapi kontestasi politik ke depan. Ia meminta seluruh jajaran partai untuk kembali memperkuat basis dukungan dengan cara lebih dekat kepada masyarakat.

    “PKB Jatim saya minta bekerja keras merebut kembali kejayaan PKB tiap pemilu, dan tentu ini tidak bisa gampang-gampangan saja, harus kerja keras. Dekati rakyat, bantu rakyat, selesaikan masalah rakyat, bikin kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Ajak semua pihak kolaborasi, kita tidak mungkin bisa jalan sendiri tanpa kolaborasi,” ujarnya.

    Tak lupa, Menko Bidang Pemberdayaan Masyarakat ini juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas pihak dalam menyeimbangkan agenda politik dan pembangunan. Ia meminta segenap kader PKB untuk dapat fokus dalam upaya pemberantasan kemiskinan dan pelestarian lingkungan hidup.

    “Niat baik tidak cukup, niat baik harus diikuti dengan ajakan untuk bareng-bareng mengatasi masalah. Lingkungan hidup, kemiskinan, terutama kemiskinan. Saya minta Jawa Timur, PKB bergerak di fokus kemiskinan dan lingkungan hidup,” pungkasnya.

  • Muswil PKB Jatim, Gus Muhaimin: Rebut Kembali Dominasi Politik di Jatim

    Muswil PKB Jatim, Gus Muhaimin: Rebut Kembali Dominasi Politik di Jatim

    Surabaya (beritajatim.com) – Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jawa Timur menggelar Musyawarah Wilayah (Muswil) di Hotel JW Marriott, Surabaya, Jumat (19/12/2025).

    Agenda besar ini dihadiri langsung oleh Ketua Umum DPP PKB, Muhaimin Iskandar, serta Ketua DPW PKB Jatim, Abdul Halim Iskandar.

    Selain para pengurus dari kabupaten/kota se-Jatim, hadir pula sejumlah kepala daerah dan tokoh struktural PWNU Jatim, termasuk Ketua PWNU Jatim, KH Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin).

    Dalam arahannya, sosok yang akrab disapa Gus Muhaimin ini meminta seluruh kader PKB Jatim untuk bekerja keras merebut kembali dominasi politik di Jawa Timur. Ia menekankan bahwa keberhasilan tidak bisa diraih dengan cara yang instan atau sekadarnya.

    “Harus kerja keras, dekati rakyat, bantu rakyat, selesaikan masalah rakyat. Ajak semua pihak kolaborasi, kita tidak mungkin bisa jalan sendiri tanpa kolaborasi,” tegas Gus Muhaimin.

    Secara spesifik, ia memberikan mandat agar PKB Jawa Timur menjadi garda terdepan dalam menangani dua isu krusial, yakni masalah pengentasan kemiskinan yang akan menjadi prioritas utama gerakan kader di akar rumput. Kemudian, isu lingkungan hidup, dengan mendorong kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan ekologi.

    Di sisi politik nasional, Gus Muhaimin melontarkan kritik terhadap sistem pemilihan umum saat ini. Ia menilai banyak paket sistem pemilu, termasuk pilkada langsung, yang kini tidak lagi efektif dan produktif bagi kemajuan bangsa.

    “Semua partai menyadari banyak sistem pemilihan umum yang tidak produktif. Pilkada langsung tidak produktif dan banyak sistem demokrasi yang tidak efektif, itu akan kita evaluasi,” tegasnya.

    Uniknya, Muswil PKB Jatim kali ini menunjukkan komitmen nyata terhadap isu ekologis. Pihak panitia mengganti ucapan selamat dalam bentuk karangan bunga dengan pengiriman bibit pohon.

    Langkah ini diambil sebagai simbol tanggung jawab partai terhadap kelestarian alam. “Komitmen dan tanggung jawab itu dimulai dari hal kecil. Hindari plastik, hidup secara baik dan adil,” pungkas Gus Muhaimin. (tok/kun)

  • Tangan Penguasa Terlibat Copot Ijeck demi Amankan Bobby Nasution?

    Tangan Penguasa Terlibat Copot Ijeck demi Amankan Bobby Nasution?

    GELORA.CO -Penunjukan Ahmad Doli Kurnia sebagai Plt Ketua DPD Golkar Sumut menggantikan Musa Rajekshah alias Ijeck sarat dengan kepentingan penguasa.

    Ketua Dewan Pertimbangan DPD Partai Sumut, Muhyan Tambuse menduga penunjukan Doli sebagai Plt dikarenakan kepentingan penguasa di Sumut. Ditambah lagi, penunjukan ini diduga untuk menggagalkan Musda yang sudah diusulkan ke DPP beberapa kali.

    “Plt ini juga kita mengira untuk menggagalkan proses Musda Golkar Sumut,” kata Muhyan dikutip dari Kantor Berita RMOLSumut, Jumat, 19 Desember 2025. 

    Ia mengatakan, jauh-jauh hari sudah keluar pemberitahuan bahwa penunjukan Plt Ketua DPD Golkar Sumut tidak dapat terjadi jika jadwal Musda belum keluar.

    “Padahal sebelumnya sudah keluar pemberitahuan bahwa Plt tidak dapat dilakukan kalau belum keluar jadwal Musda Golkar,” katanya.

    Kejanggalan ini makin terasa karena SK penunjukan Plt Ketua Golkar Sumut hingga kini belum diterima resmi oleh sekretariat DPD Golkar Sumut.

     

    Tak pelak, beragam spekulasi bermunculan di tengah pergantian pimpinan DPD Golkar Sumut yang terkesan tiba-tiba. Gonjang-ganjing ini disebut bukan sekadar urusan internal partai.

    Direktur Eksekutif Lembaga Independen Pemerhati Pembangunan Sumatera Utara (LIPPSU), Azhari AM Sinik menyinggung kedekatan Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia dengan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo yang juga mertua Gubernur Sumut Bobby Nasution.

    Pergantian pimpinan DPD Golkar Sumut ini disinyalir untuk mengamankan tiket Bobby di Pilkada 2029. Prestasi Ijeck yang cukup moncer memimpin Golkar Sumut bisa menjadi batu ganjalan bagi Bobby kembali maju di Pilkada 2029. 

    “Ijeck didepak karena disinyalir kuat mengamankan jalur Bobby menuju Pilkada 2029. Ijeck dianggap sebagai batu sandungan bagi ambisi Bobby untuk mempertahankan kekuasaan,” pungkasnya. 

  • Daftar Wali Kota dan Bupati Bekasi yang Ditangkap KPK

    Daftar Wali Kota dan Bupati Bekasi yang Ditangkap KPK

    Mochtar Mohamad, yang menjabat Wali Kota Bekasi periode 2008–2012, juga pernah menjadi tersangka kasus korupsi dan suap.

    Pada 2010, KPK mulai menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan Mochtar. Dia diduga menggunakan anggaran daerah untuk membiayai kepentingan pribadi, termasuk pencalonan dirinya dalam ajang penghargaan Wali Kota Terbaik tingkat internasional di Amerika Serikat, serta menyuap anggota DPRD Kota Bekasi.

    Mochtar ditetapkan sebagai tersangka pada akhir 2010, dan sempat ditahan. Dia diduga menyuap anggota DPRD agar menyetujui Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun anggaran 2009 agar mendapat predikat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dari BPK. Nilai suap mencapai Rp 4,3 miliar.

    Pada November 2011, Pengadilan Tipikor Bandung menjatuhkan vonis bebas kepada Mochtar. Dia dinyatakan tidak terbukti melakukan korupsi oleh majelis hakim. Putusan itu memicu kritik keras dari publik, lembaga antikorupsi, dan aktivis hukum.

    Namun, KPK tidak tinggal diam. Mereka mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Pada 7 March 2012, Mahkamah Agung membatalkan vonis bebas dan menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 300 juta kepada Mochtar. Dia terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

    Mochtar pun harus kembali mendekam di balik jeruji. Dia menjalani masa tahanan hingga bebas pada 2015.

    Setelah keluar dari penjara, Mochtar Mohammad sempat mencoba kembali ke panggung politik. Dia mendaftar sebagai bakal calon Wali Kota Bekasi dalam Pilkada 2018, namun ditolak KPU karena aturan larangan eks koruptor mencalonkan diri.