Event: Perang Dunia II

  • Trump Mulai PHK Massal Staf Voice of America

    Trump Mulai PHK Massal Staf Voice of America

    Jakarta

    Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump memulai pemecatan massal di Voice of America (VOA) dan media-media lain yang didanai AS. Keputusan Trump ini memperjelas niatnya untuk melucuti media yang telah lama dianggap penting bagi pengaruh AS.

    Hanya sehari setelah semua karyawan diliburkan, para staf yang bekerja berdasarkan kontrak, menerima email yang memberi tahu mereka bahwa mereka diberhentikan pada akhir Maret mendatang.

    Dilansir kantor berita AFP, Senin (17/3/2025), email tersebut, yang dikonfirmasi kepada AFP oleh beberapa karyawan, memberi tahu karyawan kontrak bahwa “Anda harus segera menghentikan semua pekerjaan dan tidak diizinkan untuk mengakses gedung atau sistem agensi mana pun.”

    Para pekerja kontrak merupakan sebagian besar tenaga kerja VOA dan mendominasi staf dalam layanan bahasa non-Inggris, meskipun angka terbaru belum tersedia.

    Banyak dari pekerja kontrak tersebut bukan warga negara AS.

    Adapun para staf penuh waktu (full-time) di VOA, yang memiliki lebih banyak perlindungan hukum, tidak segera diberhentikan, tetapi tetap menjalani cuti administratif dan telah diberitahu untuk tidak bekerja.

    Voice of America, yang dibentuk selama Perang Dunia II, disiarkan ke seluruh dunia dalam 49 bahasa dengan misi menjangkau negara-negara tanpa kebebasan media.

    Sebelumnya, Trump menandatangani perintah eksekutif pada hari Jumat lalu, yang menargetkan US Agency for Global Media atau Badan Media Global AS, selaku induk VOA, dalam pemangkasan anggaran besar-besaran terbaru dalam lingkungan pemerintah federal.

    Badan tersebut memiliki 3.384 karyawan pada tahun fiskal 2023. Badan tersebut telah meminta US$950 juta untuk tahun fiskal saat ini.

    Pemotongan anggaran besar-besaran tersebut juga membekukan Radio Free Europe/Radio Liberty, yang dibentuk dalam Perang Dingin untuk menjangkau bekas blok Uni Soviet, dan Radio Free Asia, yang didirikan untuk menyediakan laporan ke China, Korea Utara, dan negara-negara Asia lainnya dengan media yang sangat dibatasi.

    “Saya sangat sedih karena untuk pertama kalinya dalam 83 tahun, Voice of America yang tersohor itu dibungkam,” kata Direktur VOA, Michael Abramowitz, dalam pernyataan yang diposting di akun Facebook pribadinya, dikutip oleh NPR, Minggu (16/3).

    Abramowitz, yang termasuk dalam 1.300 korban pemutusan hubungan kerja (PHK), mengakui bahwa VOA memang membutuhkan reformasi agar lebih baik. Namun, ujarnya, keputusan ini justru menghambat misi VOA dalam menyampaikan berita dan program budaya kepada dunia.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Jenderal Herzi Halevi: Saya Tak Punya Pilihan Selain Memuji Hamas yang Ninabobokan Israel – Halaman all

    Jenderal Herzi Halevi: Saya Tak Punya Pilihan Selain Memuji Hamas yang Ninabobokan Israel – Halaman all

    Jenderal Herzi Halevi: Saya Tak Punya Pilihan Selain Memuji Hamas yang Ninabobokan Israel

    TRIBUNNEWS.COM – Mantan kepala staf militer Israel (IDF), Jenderal Herzi Halevi memuji kelompok perlawanan Palestina Hamas karena sukses “menipu” Israel selama serangan 7 Oktober 2023, menurut media Israel pada Minggu (15/3/2025).

    “Saya tidak punya pilihan selain memuji Hamas atas penipuan yang dilakukannya terhadap kami,” kata Herzi Halevi dalam rekaman yang disiarkan oleh Radio Angkatan Darat Israel, dilansir Anews.

    “Mereka menggunakan distraksi (gangguan) dan kekhawatiran kemanusiaan untuk menidurkan kami dan mempersiapkan serangan – dan mereka berhasil,” tambahnya.

    “Dalam semua latihan militer yang telah kita lakukan dan dalam semua diskusi yang kita lakukan, kita tidak menyangka bahwa 5 persen dari apa yang terjadi (hari itu) bisa terjadi,” kata mantan panglima angkatan darat itu.

    Halevi meninggalkan jabatannya pada tanggal 6 Maret dan bertanggung jawab atas serangan Hamas, yang menyebabkan ratusan orang tewas dan lebih dari 250 lainnya ditawan.

    Tentara Israel melancarkan agresi militer brutal menyusul serangan Hamas, menewaskan lebih dari 48.500 warga Palestina, sebagian besar wanita dan anak-anak, dan melukai lebih dari 111.000 lainnya sejak Oktober 2023.

    Serangan yang meninggalkan Gaza dalam kehancuran itu terhenti berdasarkan gencatan senjata dan perjanjian pertukaran tahanan, yang berlaku pada bulan Januari.

    November lalu, Pengadilan Kriminal Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.

    Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional atas kampanye militernya.

    AGRESI – Pasukan Israel (IDF) dari divisi infanteri melakukan agresi militer darat ke Jalur Gaza. Israel terindikasi enggan melanjutkan negosiasi tahap dua gencatan senjata dengan Hamas. (khaberni/tangkap layar) (khaberni/tangkap layar)

    Pada Akhirnya, Hamas Lah yang Akan Bertahan

    Soal perkembangan terkini di Gaza, analis dan penulis Israel, Gideon Levy mengatakan kalau apa yang gagal dicapai Israel dengan kekuatan paling “barbar” dalam sejarahnya tidak akan tercapai dengan kekuatan yang lebih brutal di Gaza.

    Tulisan Gideon Levy ini merujuk pada rencana Israel untuk melanjutkan perang Gaza dengan menekan Hamas secara bertahap, dengan blokade bantuan dan pemutusan pasokan listrik, sebelum mengerahkan pasukan lebih besar dari agresi sebelumnya ke Gaza.

    Dia menulis dalam sebuah artikel di media Israel, Haaretz kalau Gerakan Perlawanan Palestina, Hamas pada akhirnya akan bertahan dari perang berdarah di mana ratusan tentara Israel dan puluhan ribu warga Gaza terbunuh.

    Perang berdarah di Gaza ini memiliki daya dan tingkat kerusakan yang sama besarnya dengan yang dialami di Dresden, ibu kota negara bagian Saxony di Jerman, selama Perang Dunia II.

    Levy menambahkan kalau Israel harus mengakui bahwa hanya Hamas yang akan tetap berada di Jalur Gaza, dan Israel harus belajar dari kenyataan ini.

    “Patut dicatat, Gideon Levy menyebutkan Hamas sebanyak 24 kali dalam artikelnya, yang menegaskan klaimnya bahwa Gerakan Perlawanan Palestina tersebut, meskipun telah menderita kerusakan militer yang signifikan, akan pulih,” tulis laporan Khaberni, Kamis (13/3/2025) mengutip ulasan Levy.

    BRIGADE AL-QASSAM – Foto ini diambil dari publikasi Telegram Brigade Al-Qassam (sayap militer gerakan Hamas) pada Minggu (23/2/2025), memperlihatkan anggota Brigade Al-Qassam berdiskusi di atas panggung dalam pertukaran tahanan gelombang ke-7 di Jalur Gaza pada Sabtu (22/2/2025) yang membebaskan 6 sandera Israel, dengan imbalan 602 tahanan Palestina. (Telegram/Brigade Al-Qassam)

    Ideologi Perlawanan Hamas Tumbuh Kuat Selama Perang 

    Secara politis dan ideologis, Levy mengakui kalau Hamas tumbuh lebih kuat selama perang Gaza dalam 15 bulan agresi pasukan Israel (IDF).

    “Hamas menghidupkan kembali ideologi (mental dan cara pandang) perjuangan Palestina, yang diyakini Israel dan dunia, telah dilupakan,” kata Gideon Levy.

    Intinya dalam konteks ideologis dan politis, menurut Levy, Israel tidak dapat mengubah fakta kalau Hamas akan tetap eksis dan ada. 

    “Israel tidak memiliki kemampuan untuk menunjuk badan pemerintahan lain di Gaza, bukan hanya karena keberadaan badan tersebut dipertanyakan, tetapi juga, dan terutama, karena ada batasan terhadap kewenangannya, yaitu kewenangan negara pendudukan (agresor yang tidak memiliki legitimasi),” papar Gideon Levy.

    SAYAP MILITER – Foto file Khaberni yang diambil, Kamis (13/3/2025) yang menunjukkan personel Brigade Al Qassam, sayap militer Gerakan Perlawanan Palestina, Hamas saat berkumpul dalam parade militer. Seorang analis dan penulis Israel, Gideon Levy meyakini kalau Hamas akan tetap eksis terlepas dari niat Israel melancarkan perang lagi di Gaza dengan kekuatan yang lebih besar dari agresi sebelumnya.

    Oleh karena itu, Levi percaya bahwa pembicaraan tentang “The Day After Hamas” atau “Hari Setelah Hamas” adalah menyesatkan.

    Sebagai konteks, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, kerap melontarkan rencana ‘The After’ dengan membayangkan Gaza akan dikelola bukan oleh Hamas yang diskenariokan sudah dibasmi IDF.

    Pada faktanya, sirat Gideon Levy, wacana ini bahkan masih jauh dari kenyataan di lapangan. 

     “Tidak ada hari setelah Hamas, dan kemungkinan besar tidak akan ada hari setelah Hamas dalam waktu dekat,” kata Levy.

    Ia mengaitkan hal ini dengan fakta kalau Hamas adalah satu-satunya badan pemerintahan di Jalur Gaza, setidaknya dalam situasi saat ini yang hampir tidak dapat diubah. 

    “Oleh karena itu, (rencana) “hari berikutnya” harus menyertakan eksistensi Gerakan Perlawanan Hamas, dan Israel harus terbiasa dengan hal itu,” saran Levy.

    PASUKAN PERTAHANAN ISRAEL – Foto yang diambil dari laman resmi IDF tanggal 12 Maret 2025 memperlihatkan beberapa tentara Israel saat beroperasi. IDF dilaporkan kekurangan tentara. (IDF)

    Langkah Sia-sia Jika Israel Kembali Memulai Perang

    Kesimpulan pertama tulisan Gideon Levy ini adalah kalau memulai kembali perang di Gaza adalah langkah yang sia-sia, bagi Israel khususnya. 

    “Tindakan itu akan membunuh tahanan Israel yang tersisa dan puluhan ribu warga Gaza, dan pada akhirnya, Hamas akan bertahan hidup,” kata dia.

    Alih-alih melancarkan perang lagi “untuk mencabut Hamas dari kekuasaan dan omong kosong lainnya,” kata Levy, “kita harus membiasakan diri dengan keberadaannya.”

    Ia menambahkan kalau situasi ini mengharuskan Israel untuk bernegosiasi dengan gerakan tersebut.

    Ia juga mengatakan: “Jika Israel menepati janjinya seperti yang dilakukan Hamas, kita sekarang akan berada di tahap kedua dan ketiga perjanjian gencatan senjata.”

    Ia melanjutkan bahwa jika Israel memiliki seorang negarawan dengan visi dan keberanian—sebuah ide yang mungkin tidak ada harapan, katanya—dia akan mencoba berbicara dengan Hamas secara langsung, di depan umum, dan di hadapan semua orang di Gaza atau Yerusalem.

    Meskipun Gideon Levy percaya bahwa akan lebih baik jika Gaza memiliki pemerintahan yang berbeda, ia mengakui bahwa pilihan ini tidak dapat dicapai dalam waktu dekat.

    Menurutnya, mustahil menunjuk seorang pemimpin di Jalur Gaza, bahkan Mohammed Dahlan, tanpa persetujuan Hamas.

    Mohammed Dahlan adalah mantan kepala Keamanan Preventif Otoritas Palestina di Gaza dan anggota senior Fatah yang menentang presiden Mahmoud Abbas.

    Levy yakin kalau “Otoritas Palestina, yang katanya perlahan-lahan ‘sekarat’ kehilangan pengaruh dan legitimasi di Tepi Barat, tidak akan tiba-tiba hidup kembali di Gaza.”

     

    (oln/Anews/khbrn/*)

     

  • Kesaksian Warga RI Jadi Penyintas Bom Nuklir: Kulit Serasa Terbakar

    Kesaksian Warga RI Jadi Penyintas Bom Nuklir: Kulit Serasa Terbakar

    Jakarta, CNBC Indonesia – Hari itu, 6 Agustus 1945, di Hirsohima Jepang berjalan sebagaimana mestinya. Langit cerah dan burung berkicau di atap rumah. 

    Para ibu terlihat sibuk mengurusi urusan rumah tangga di dapur-dapur kecil mereka. Lalu anak-anak antusias berlarian tanpa arah. 

    Rasa syahdu ini dialami juga oleh mahasiswa Indonesia, Sjarif Adil Sagala. Pukul 8 pagi, Sagala memulai aktivitas seperti biasa. Bangun tidur, beres-beres kamar, dan pergi ke kampus. Tak lupa, dia juga menyantap sarapan terlebih dahulu.

    Hari itu memang ada kabar kalau negara yang memberinya beasiswa berada di titik nadir kekalahan dalam teater Perang Dunia II di Asia. Namun, sebagai mahasiswa asing, Sagala tak ambil pusing soal itu. Terpenting adalah kuliah dulu.

    Hanya saja, kabar tersebut dibarengi oleh suara gemuruh yang datang tak lama setelah Sagala menutup tempat makan. Dia langsung melihat langit dan berpikir itu adalah pesawat tempur AS. Ternyata benar.

    “Ahh.. itu hal biasa,” pikirnya.

    Memang, selama perang pesawat tempur sering mondar-mandir. Bahkan, menjadi tontonan setiap hari. Namun, saat melihat langit kedua kali, tragedi pun muncul.

    “Tiba-tiba terdengar suara aneh dan…. sraatt, sinar berkilau, dengan dahsyat dan mengejutkan!,” tutur Sagala dalam memoar Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang, Sekitar Perang Pasifik 1942-1945 (1990).

    Sagala langsung menutup mata dengan lengan. Bersamaan itu muncul asap raksasa membumbung tinggi ke awan. Angin besar langsung berhembus kencang. Saat hendak menutup jendela dan bergegas kabur, sayang Sagala tak kesampaian.

    Baru 1-2 langkah, dia terhempas tertimpa bangunan ambruk. Waktu seakan-akan berhenti. Sagala tak sadar beberapa menit. Bangun-bangun dia hanya merasakan kulit terbakar imbas angin besar super panas. Lalu muka penuh darah. Badan tertimpa reruntuhan.

    Teriakan minta tolong tak digubris satupun orang. Yang ada dia malah mendengar rintihan suara orang lain yang sekarat. Pada titik ini, Sagala berpikir ajal sudah merayap di udara, menanti giliran malaikat maut mencabut nyawanya. Apalagi, api juga mulai berkobar.

    Untungya, setelah berulangkali teriak, teman sesama mahasiswa Indonesia menolong Sagala. Mahasiswa itu bernama Hasan Rahaya. Hasan mengeluarkan Sagala dari reruntuhan dan membawanya ke lokasi aman.

    Namun, maut tak berhenti sampai di situ. Hasan dan Sagala memang selamat, tetapi kondisi tubuh bagian dalam ‘hancur’. Di tempat pengungsian di Tokyo, dokter mengatakan tubuh mereka terkena radiasi super tinggi. Sel darah putih di tubuh menurun drastis.

    Normalnya, manusia punya 4.000–11.000 sel darah putih per mikroliter darah. Sementara, keduanya hanya punya kurang dari 4.000. Mereka pun kritis. Dokter tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, Sagala sempat disebut “tipis kemungkinan untuk hidup.”

    Beruntung, kedua mahasiswa Indonesia itu berhasil melewati masa kritis satu minggu. Selama lima tahun, keduanya harus berada di bawah pemantauan dokter. Barulah setelah itu pulang ke Indonesia.

    Saat tiba di Indonesia, Syarif Adil Sagala memulai hidup sebagai pengusaha. Pengalaman tinggal di Jepang membuat Sagala mendirikan perusahaan mie instan pertama di Indonesia, yakni Supermie, pada 1969. Sementara Hasan membangun usaha pelayaran dan kargo.

    Keduanya tercatat sejarah sebagai hibakusha (被爆者). Ini merupakan istilah kepada penyintas ledakan nuklir dahsyat di Hiroshima yang memanggang hidup-hidup 120 ribu orang.

    (mkh/mkh)

  • Putin Sesumbar Jamin Nyawa Pasukan Ukraina, tapi Harus Letakkan Senjata dan Menyerah di Kursk – Halaman all

    Putin Sesumbar Jamin Nyawa Pasukan Ukraina, tapi Harus Letakkan Senjata dan Menyerah di Kursk – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Presiden Rusia Vladimir Putin mendesak pasukan Ukraina di wilayah barat daya Kursk untuk menyerah, Jumat (14/3/2025).

    Desakan Vladimir Putin disampaikan setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memintanya untuk menyelamatkan nyawa “ribuan tentara Ukraina.”

    “Kami telah meninjau pernyataan Presiden AS Trump hari ini, kami menekankan bahwa militan Ukraina telah melakukan banyak kejahatan terhadap warga sipil di zona penyerbuan,” kata Putin dalam pidato yang disiarkan televisi, dilansir The Moscow Times.

    Putin menambahkan bahwa Kantor Kejaksaan Agung Rusia mengklasifikasikan “tindakan ini” sebagai terorisme.

    “Saya ingin menekankan bahwa jika mereka meletakkan senjata dan menyerah, nyawa mereka akan terjamin, dan mereka akan diperlakukan dengan bermartabat sesuai dengan hukum internasional dan hukum Federasi Rusia,” klaim Putin.

    “Dalam konteks ini, agar seruan Presiden Trump dapat dilaksanakan secara efektif, pimpinan militer-politik Ukraina harus mengeluarkan perintah yang tepat kepada unit militer mereka untuk meletakkan senjata dan menyerah,” jelasnya.

    Pernyataan Trump muncul setelah Kyiv menyetujui gencatan senjata selama 30 hari yang ditengahi AS selama negosiasi di Arab Saudi.

    Kremlin belum secara resmi menerima kesepakatan untuk menghentikan pertempuran.

    Namun, Putin menyuarakan dukungannya terhadap usulan tersebut secara prinsip sambil menyuarakan kekhawatiran atas pasukan Ukraina di wilayah Kursk yang diduduki sebagian Rusia.

    Sementara itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengakui pada hari Jumat bahwa pasukan negaranya mendapat tekanan yang meningkat dari tentara Kremlin di Kursk.

    Sejak Kyiv melancarkan serangan lintas perbatasan ke Kursk Agustus lalu — yang merupakan serangan terbesar oleh tentara asing ke Rusia sejak Perang Dunia II — Moskow telah melakukan perlawanan.

    Serangan balik Rusia di Kursk telah merebut sebagian besar wilayah yang awalnya direbut Ukraina, sehingga Kyiv tidak memiliki titik pengaruh penting atas Moskow dalam setiap perundingan damai potensial.

    Rusia Rilis Video Tentaranya usai Rebut Sudzha

    Pada Kamis (13/3/2025), Kementerian Pertahanan Rusia menerbitkan rekaman video tentaranya di Sudzha setelah mereka merebut kembali kota tersebut.

    Video tersebut memperlihatkan bangunan dan reruntuhan yang rusak parah.

    Kemudian, terlihat mobil-mobil yang terbakar dan puing-puing yang berserakan di seluruh kota.

    Sementara itu, lebih dari 100 orang yang sebelumnya dilaporkan hilang di Sudzha dan sekitarnya, dievakuasi ke lokasi yang aman.

    “Sejak kemarin hingga pagi hari tanggal 13 Maret, 120 warga sipil yang berada di bawah pendudukan telah dibawa keluar dari Sudzha,” ungkap Penjabat Gubernur wilayah Kursk, Alexander Khinshtein di Telegram pada Kamis dini hari, seperti diberitakan The Moscow Times.

    Sekitar 90 persen dari mereka yang dievakuasi tercatat hilang setelah serangan Ukraina, menurut Yury Mezinov, seorang pembantu menteri situasi darurat Rusia.

    Pihak berwenang sebelumnya melaporkan bahwa sekitar 2.000 orang hilang.

    Kementerian Situasi Darurat Rusia merilis rekaman yang memperlihatkan tim penyelamat mengevakuasi warga — banyak di antaranya lansia — dengan bus.

    Kementerian tersebut mengatakan lebih dari 90 warga yang dievakuasi telah ditempatkan di tempat penampungan sementara.

    Gubernur Khinshtein mengatakan, para pengungsi menerima bantuan medis dan kesehatan mental, serta bantuan untuk memulihkan dokumen yang hilang atau rusak.

    “Pekerjaan terus berlanjut tanpa henti,” jelasnya.

    TENTARA RUSIA – Foto ini diambil pada Sabtu (15/3/2025) dari Kementerian Pertahanan Rusia memperlihatkan tentara Rusia berjalan di Kursk, Rusia barat, setelah mereka memukul mundur pasukan Ukraina yang menduduki wilayah tersebut sejak Agustus tahun 2024. (Telegram Kementerian Pertahanan Rusia/Ruslan Sergeev)

    Usulan Gencatan Senjata Tuai Kritik

    Amerika Serikat (AS) mengusulkan gencatan senjata selama 30 hari antara Rusia dengan Ukraina.

    Namun, usulan AS itu telah memicu kemarahan di kalangan blogger pro-perang Rusia dan koresponden militer.

    Mereka menyebutnya sebagai ‘jebakan’ dan upaya memberi Ukraina waktu untuk memperkuat pasukan militernya.

    Tokoh-tokoh pro-perang menyuarakan ekspektasi mereka bahwa Rusia akan menolak kesepakatan tersebut, karena Moskow terus maju di garis depan.

    “Poin pertama: 30 hari adalah periode yang sama sekali tidak penting, yang dibutuhkan oleh Ukraina, bukan Rusia, untuk mengganti kerugian dan mempersiapkan garis pertahanan baru. Poin kedua mengikuti poin pertama.”

    “Amerika akan melanjutkan bantuan militer ke Ukraina, yang akan digunakan secara aktif oleh Angkatan Bersenjata Ukraina selama gencatan senjata untuk memperkuat dan mempersiapkan serangan baru,” ungkap saluran Telegram pro-perang Archangel of Special Forces kepada audiensnya yang berjumlah lebih dari 1,1 juta pelanggan, masih dari The Moscow Times.

    “Dan pertanyaannya: apakah ini sesuatu yang kita perlukan dengan latar belakang runtuhnya front Ukraina? Kami rasa tidak,” imbuhnya.

    Kemudian, Boris Rozhin, seorang blogger pro-perang yang memiliki 866.000 pelanggan di Telegram, menyarankan bahwa selama gencatan senjata, Ukraina akan memalsukan proses negosiasi untuk memperkuat tentaranya dan menunggu pengiriman senjata AS.

    “Jebakan klasik. Kalau begitu kita akan bilang kita tertipu lagi,” kata Rozhin.

    (Tribunnews.com/Nuryanti)

    Berita lain terkait Konflik Rusia Vs Ukraina

  • Dibujuk Trump, Putin Akan Ampuni Tentara Ukraina Jika Serahkan Diri

    Dibujuk Trump, Putin Akan Ampuni Tentara Ukraina Jika Serahkan Diri

    Moskow

    Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan akan memberikan pengampunan jika tentara Ukraina, yang terkepung di wilayah Kursk, bersedia “menyerahkan diri”. Hal ini disampaikan setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump membujuk Putin untuk mengampuni nyawa tentara-tentara Ukraina di wilayah Rusia.

    Militer Rusia telah melancarkan serangan balasan secara cepat di wilayah perbatasan barat Kursk selama sepekan terakhir, dalam upaya merebut kembali sebagian besar wilayah yang dikuasai pasukan Ukraina yang melancarkan serangan mendadak pada Agustus tahun lalu.

    Kekalahan di Kursk akan menjadi pukulan telak bagi rencana Kyiv untuk menggunakan cengkeramannya atas wilayah itu sebagai alat tawar-menawar, dalam perundingan damai untuk mengakhiri perang melawan Moskow yang telah berlangsung selama tiga tahun terakhir.

    “Kami bersimpati terhadap seruan Presiden Trump,” kata Putin dalam pernyataan yang disiarkan televisi Rusia, seperti dilansir AFP, Sabtu (15/3/2025).

    “Jika mereka (tentara Ukraina-red) meletakkan senjata dan menyerah, maka mereka akan dijamin nyawanya dan diperlakukan dengan bermartabat,” tegasnya.

    Trump, pada Jumat (14/3), mendesak Putin untuk menyelamatkan nyawa tentara-tentara Ukraina. Dia menyebut “ribuan” tentara Ukraina “sepenuhnya dikepung oleh militer Rusia, dan berada dalam posisi yang sangat buruk dan rentan”.

    Trump juga mengatakan bahwa utusannya, Steve Witkoff, telah melakukan pembicaraan yang “sangat baik dan produktif” dengan Putin membahas usulan gencatan senjata selama 30 hari.

    “Saya telah dengan sungguh-sungguh meminta kepada Presiden Putin agar nyawa mereka diampuni. Ini akan menjadi pembantaian yang mengerikan, yang tidak pernah terlihat sejak Perang Dunia II,” ujarnya.

    Simak berita selengkapnya di halaman selanjutnya.

    Kepemimpinan militer Ukraina membantah klaim Putin dan Trump soal pengepungan pasukan mereka di Kursk. “Tidak ada ancaman terhadap unit kami dikepung,” tegas Staf Jenderal Ukraina.

    AS, di bawah kepemimpinan Trump, berupaya menengahi gencatan senjata antara Rusia dan Ukraina. Ketegangan sempat terjadi bulan lalu antara Trump dan Presiden Volodymyr Zelensky dalam pertemuan di Ruang Oval Gedung Putih.

    Namun beberapa pekan kemudian, para pejabat AS dan Ukraina bertemu di Arab Saudi yang berujung dengan menyetujui usulan gencatan senjata. Trump kemudian mengutus Witkoff ke Moskow untuk membahas usulan itu dengan Putin dan para pejabat senior lainnya.

    Pekan lalu, Trump mengancam akan memberikan “sanksi perbankan skala besar” dan memberlakukan tarif terhadap Rusia jika mereka tidak mau bekerja sama dalam upaya mencapai gencatan senjata.

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Trump Kepada Putin: Jangan Habisi Tentara Ukraina yang Dikepung di Kursk, Selamatkan Mereka – Halaman all

    Trump Kepada Putin: Jangan Habisi Tentara Ukraina yang Dikepung di Kursk, Selamatkan Mereka – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengungkapkan permintaan kepada Presiden Rusia, Vladimir Putin, untuk menyelamatkan nyawa pasukan Ukraina yang terkepung di Kursk, Rusia barat.

    Permintaan ini disampaikan Trump setelah pasukan Rusia melancarkan serangan balasan untuk merebut kembali wilayah yang diduduki Ukraina sejak Agustus tahun lalu.

    Menurut Institut Studi Perang (ISW), Rusia telah berhasil merebut kembali 655 km persegi wilayah Kursk, lebih dari separuh area yang sebelumnya diduduki oleh Ukraina.

    Trump menyatakan bahwa ribuan tentara Ukraina kini berada dalam posisi yang sangat buruk dan rentan di Kursk.

    “Saya mendesak Presiden Putin untuk menyelamatkan nyawa mereka. Jika tidak, ini akan menjadi pembantaian yang belum pernah disaksikan dunia sejak Perang Dunia II,” ungkap Trump, Jumat (14/3/2025).

    Pertemuan dan Usulan Gencatan Senjata

    Trump sebelumnya mengunggah di media sosial mengenai pertemuan utusannya, Steve Witkoff, dengan Putin di Moskow pada Kamis, 13 Maret 2025.

    Trump menggambarkan pertemuan tersebut sebagai “sangat bagus dan produktif” serta menyatakan harapan bahwa perang yang mengerikan ini dapat segera berakhir.

    Ia juga mengisyaratkan bahwa usulan gencatan senjata dari AS yang diterima Ukraina sedang dipertimbangkan oleh Rusia.

    Tanggapan Putin

    Menanggapi permintaan Trump, Putin menyatakan bahwa pasukan Ukraina yang terkepung di Kursk akan dijamin keamanannya jika mereka menyerahkan diri.

    “Jika mereka meletakkan senjata dan menyerah, pasukan Ukraina di wilayah Kursk akan dijamin kehidupan dan perlakuan yang layak,” kata Putin dalam pidatonya, Jumat.

    Sementara itu, militer Ukraina membantah adanya ancaman pengepungan dan menyatakan bahwa mereka telah mundur ke posisi yang lebih baik.

    Sehari sebelumnya, Putin mempertanyakan usulan AS mengenai gencatan senjata selama 30 hari antara Rusia dan Ukraina, serta menyoroti pelaksanaan teknis dari usulan tersebut.

    Putin menegaskan, “Haruskah kita membebaskan mereka setelah mereka melakukan kejahatan serius terhadap warga sipil?”

    Ia juga menolak upaya untuk menempatkan pasukan penjaga perdamaian dari Eropa di Ukraina.

     

    Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).

  • Trump: Saya Minta Putin Selamatkan Nyawa Tentara Ukraina yang Terkepung di Kursk – Halaman all

    Trump: Saya Minta Putin Selamatkan Nyawa Tentara Ukraina yang Terkepung di Kursk – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan ia meminta Presiden Rusia Vladimir Putin untuk menyelamatkan nyawa pasukan Ukraina yang terkepung di Kursk, Rusia barat.

    Mereka terkepung setelah pasukan Rusia melancarkan serangan balasan untuk merebut kembali wilayahnya yang diduduki Ukraina sejak mereka memasuki Rusia pada Agustus tahun lalu.

    Menurut Institut Studi Perang (ISW), Rusia telah merebut kembali 655 km persegi wilayah Kursk, lebih dari separuh wilayah yang diduduki Ukraina.

    Trump, yang sebelumnya bertekad menengahi perdamaian Rusia-Ukraina, mengatakan ia meminta Putin untuk melindungi pasukan Ukraina yang terkepung di Kursk.

    Presiden AS mengatakan militer Rusia telah mengepung sepenuhnya ribuan tentara Ukraina di Kursk yang berada dalam posisi yang sangat buruk dan rentan.

    “Saya mendesak Presiden Putin untuk menyelamatkan nyawa mereka,” kata Trump pada Jumat (14/3/2025).

    “Jika tidak, ini akan menjadi pembantaian yang belum pernah disaksikan dunia sejak Perang Dunia II. Tuhan memberkati mereka semua!” lanjutnya.

    Sebelumnya, Trump mengunggah unggahan di media sosial setelah utusannya, Steve Witkoff, yang bertemu dengan Putin di Moskow pada hari Kamis (13/3/2025) malam.

    Trump menggambarkan pertemuan itu sebagai pertemuan yang sangat bagus dan produktif.

    “Ada kemungkinan besar bahwa perang yang mengerikan dan berdarah ini akhirnya akan berakhir,” kata Trump, seperti diberitakan Reuters.

    Presiden AS juga mengisyaratkan usulan gencatan senjata AS yang diterima Ukraina minggu ini sedang dipertimbangkan oleh Rusia.

    Putin: Pasukan Ukraina Sebaiknya Menyerah

    Untuk menanggapi permintaan Trump, Putin mengatakan pasukan Ukraina yang terkepung di Kursk akan dijamin keamanannya jika mereka menyerahkan diri.

    “Pada saat yang sama, kami memahami seruan Presiden Trump untuk berpedoman pada pertimbangan kemanusiaan terkait para prajurit ini,” kata Putin dalam pidatonya, Jumat.

    “Jika mereka meletakkan senjata dan menyerah, pasukan Ukraina di wilayah Kursk akan dijamin kehidupan dan perlakuan yang layak,” tambahnya.

    Wakil ketua dewan keamanan Rusia, Dmitry Medvedev, mengunggah di media sosial dan mengatakan jika pasukan Ukraina menolak meletakkan senjata, mereka semua akan dihancurkan secara sistematis dan tanpa ampun.

    Namun, militer Ukraina mengatakan tidak ada ancaman pengepungan, dan pasukannya mundur ke posisi yang lebih baik.

    Sehari sebelumnya pada Kamis (13/3/2025), Putin mempertanyakan usulan AS yang menyarankan Rusia dan Ukraina melakukan gencatan senjata selama 30 hari.

    Putin menyoroti pelaksanaan teknis usulan tersebut, termasuk apakah pasukan Ukraina yang berada di Kursk harus dibebaskan setelah mereka melakukan kejahatan terhadap warga sipil.

    “Haruskah kita membebaskan mereka setelah mereka melakukan kejahatan serius terhadap warga sipil?” kata Putin setelah sebelumnya mengatakan tentara musuh yang ditangkap di Kursk akan dianggap teroris, seperti diberitakan RBC.

    Selain itu, Putin juga menolak upaya apapun untuk menempatkan pasukan perjaga perdamaian dari Eropa di Ukraina.

    (Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

    Berita lain terkait Konflik Rusia VS Ukraina

  • Donald Trump Ancang-ancang Deportasi Massal Warga Asing Pakai UU Musuh Asing – Halaman all

    Donald Trump Ancang-ancang Deportasi Massal Warga Asing Pakai UU Musuh Asing – Halaman all

     

    TRIBUNNEWS.COM, AS – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump diperkirakan akan menerapkan Undang-Undang (UU) Musuh Asing untuk memberlakukan deportasi massal warga asing.

    Ini adalah UU masa perang yang memberikan wewenang kepada presiden untuk menahan atau mendeportasi warga negara musuh.

    Demikian penjelasan  dua pejabat AS yang mengetahui masalah tersebut  kepada ABC News dikutip pada Jumat (14/3/2025).

    Trump diperkirakan akhir minggu ini akan kembali melaksanakan deportasi massal.

    Mengapa Hal Ini Penting

    Undang-Undang Musuh Asing adalah undang-undang masa perang yang disahkan pada tahun 1798 sebagai bagian dari Undang-Undang Alien dan Penghasutan di bawah Presiden John Adams.

    Undang-undang ini memberikan wewenang kepada presiden AS untuk menahan, membatasi, atau mendeportasi warga negara asing dari negara yang sedang berperang dengan Amerika Serikat.

    Tidak seperti ketentuan lain dalam Undang-Undang Alien dan Penghasutan, yang telah kedaluwarsa atau dicabut, Undang-Undang Musuh Asing masih berlaku hingga saat ini.

    Hal yang Perlu Diketahui

    Undang-Undang Musuh Asing dapat memungkinkan Trump untuk segera mendeportasi migran yang dianggap sebagai bagian dari “invasi atau serangan predator”.

    Partai Republik sering menggambarkan imigrasi ilegal sebagai invasi dan menggambarkan migran sebagai penjahat berbahaya.

    Menurut ABC News, Departemen Pertahanan diperkirakan tidak akan terlibat, meskipun undang-undang tersebut dapat memungkinkan deportasi beberapa migran tanpa sidang.

    Beberapa sumber mengatakan kepada ABC News bahwa diskusi dalam pemerintahan telah berlangsung mengenai penerapan undang-undang tersebut.

    Trump sebelumnya menyatakan selama kampanye bahwa ia bermaksud menerapkan undang-undang tersebut sebagai bagian dari strategi penegakan hukum imigrasinya.

    “Saya akan menerapkan Undang-Undang Musuh Asing tahun 1798 untuk menargetkan dan membubarkan setiap jaringan kriminal migran yang beroperasi di tanah Amerika,” kata Trump pada rapat umum tanggal 4 November .

    Para kritikus berpendapat bahwa interpretasi Trump terhadap undang-undang tersebut merupakan tindakan yang sangat berlebihan.

    Alasannya karena undang-undang tersebut dirancang untuk digunakan terhadap warga negara dari negara yang bermusuhan, bukan terhadap individu yang diduga melakukan aktivitas kriminal di AS.

    Apa itu Undang-Undang Musuh Asing?

    Undang-Undang Musuh Asing tahun 1798 “dirancang untuk memungkinkan presiden mengesahkan relokasi, penangkapan, atau deportasi pria mana pun yang berusia lebih dari 14 tahun yang berasal dari negara yang berperang dengan Amerika Serikat.”

    Undang-Undang Musuh Asing terakhir kali digunakan selama Perang Dunia II untuk menahan puluhan ribu warga negara non-AS keturunan Jepang, Jerman, dan Italia di fasilitas militer.

    Penahanan warga Amerika keturunan Jepang disahkan secara terpisah dan kemudian ditegakkan oleh Mahkamah Agung. 

    Puluhan tahun kemudian, Kongres mengeluarkan permintaan maaf resmi dan memberikan ganti rugi, mengakui ketidakadilan yang dihadapi oleh mereka yang terdampak.

    Apa yang terjadi selanjutnya

    Jika diterapkan, kebijakan ini dapat menyebabkan deportasi cepat ribuan orang, yang berpotensi menyapu bersih orang-orang yang belum dihukum atau bahkan dituduh melakukan kejahatan.

    Sumber: ABC/Newsweek

     

  • Komitmen Prabowo ke Putin: RI Bakal Kirim Kapal Perang ke Rusia

    Komitmen Prabowo ke Putin: RI Bakal Kirim Kapal Perang ke Rusia

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden RI Prabowo Subianto dilaporkan telah berkomitmen kepada Presiden Rusia Vladimir Putin untuk mengirimkan kapal perang ke negara itu. Hal ini disampaikan langsung oleh Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Sergey Tolchenov, Kamis (13/3/2025).

    Kepada sejumlah media di Indonesia, Tolchenov menyebut pengiriman kapal ini adalah untuk mengikuti parade angkatan laut Rusia pada Juli 2025 mendatang di St Petersburg. Diketahui, Rusia akan merayakan Hari Angkatan Laut pada 27 Juli mendatang.

    “Presiden Prabowo telah berkomitmen kepada presiden kami Vladimir Putin untuk mengirim kapal perang untuk ikut serta dalam parade ini. Parade ini sendiri juga diikuti oleh sejumlah kapal perang negara sahabat Rusia,” tuturnya.

    “Kami belum mengetahui apakah Indonesia akan mengirimkan satu kapal atau satu armada perang. Namun pemerintah (Indonesia) sudah berjanji untuk ikut serta.”

    Tolchenov sendiri juga telah menyebutkan bahwa Rusia telah mengundang delegasi Indonesia untuk ikut dalam parade Hari Kemenangan pada 9 Mei mendatang. Hari Kemenangan sendiri merupakan hari yang menandai kemenangan Rusia dalam Perang Dunia II, dan pada 2025 ini, hari itu akan memperingati 80 tahun berakhirnya perang.

    “Akan ada beberapa pemimpin negara yang hadir seperti Presiden China Xi Jinping dan sejumlah pemimpin negara bekas Uni Soviet di Asia Tengah seperti Kazakhstan, Uzbekistan, dan juga Belarus,” tambahnya.

    “Kami berharap delegasi Indonesia dapat hadir dalam acara tersebut.”

    (haa/haa)

  • Presiden Putin Perintahkan Pasukan Rusia Mengusir Tentara Ukraina dari Kursk Secepatnya

    Presiden Putin Perintahkan Pasukan Rusia Mengusir Tentara Ukraina dari Kursk Secepatnya

    JAKARTA – Presiden Vladimir Putin memerintahkan pasukan Rusia untuk sesegera mungkin mengusir tentara Ukraina dari wilayah Kursk.

    “Memang, tujuan kami dalam waktu dekat adalah mengalahkan musuh yang bercokol di Wilayah Kursk dan terlibat dalam operasi militer di sini, dan melakukannya sesegera mungkin,” kata presiden pada pertemuan yang diadakan di pos komando di wilayah perbatasan, seperti melansir TASS 13 Maret.

    Kemarin, Presiden Putin untuk pertama kalinya mengunjungi wilayah Kursk sejak tentara Ukraina mengusai beberapa wilayah di sana. Saat menggelar pertemuan di pos komando pasukannya, Presiden Putin seragam militer.

    Presiden Putin melakukan kunjungannya setelah Washington memintanya untuk mempertimbangkan usulan gencatan senjata selama 30 hari yang didukung oleh Ukraina, dan setelah pasukan Rusia merebut kembali sebagian wilayah di Kursk, yang memaksa pasukan Ukraina mundur dan menyerahkan kendali atas Kota Sudzha, seperti dikutip dari Reuters.

    Angkatan Bersenjata Rusia melanjutkan operasi mereka untuk menyapu bersih pasukan Ukraina di Wilayah Kursk. Lima permukiman dibebaskan dalam 24 jam terakhir. Secara khusus, pasukan Rusia menguasai bagian tengah Kota Sudzha.

    Tentara Ukraina berhasil menerobos wilayah Kursk Rusia. (Wikimedia Commons/Mil.gov.ua)

    Presiden Putin menegaskan, Ia tengah mempertimbangkan untuk mendirikan zona penyangga baru di dalam wilayah Sumy, Ukraina, yang berbatasan dengan Kursk, untuk melindungi dari potensi serangan Ukraina di masa mendatang.

    Ia juga mengatakan warga negara asing yang bertempur bersama pasukan Ukraina yang ditangkap di Kursk, tidak berhak menikmati perlindungan Konvensi Jenewa, dan bahwa tentara Ukraina yang ditangkap di Kursk harus diperlakukan sebagai “teroris.”

    Menurut Kementerian Pertahanan Rusia, Kyiv telah kehilangan lebih dari 66.800 tentara sejak pertempuran dimulai di wilayah Kursk.

    Diketahui, Ukraina menimbulkan salah satu kejutan terbesar dalam perang tersebut pada tanggal 6 Agustus tahun lalu dengan menyerbu perbatasan dan merebut sebidang tanah di dalam Rusia, meningkatkan moral warga dan memperoleh potensi sebagai alat tawar-menawar. Itu adalah serang lintas batas pertama terhadap Rusia sejak Perang Dunia II.

    Namun, setelah bertahan selama lebih dari tujuh bulan di wilayah yang secara bertahap menyusut, Ukraina telah melihat posisinya memburuk tajam di Kursk dalam seminggu terakhir setelah jalur pasokan utamanya terputus.

    Sementara itu, Kepala Staf Umum militer Rusia Jenderal Valery Gerasimov terlihat memberi tahu Presiden Putin, pasukan Rusia telah mengusir pasukan Ukraina dari lebih dari 86 persen wilayah yang pernah mereka kuasai di Kursk, yang setara dengan 1.100 kilometer persegi (425 mil persegi) daratan.

    Rencana Ukraina untuk menggunakan Kursk sebagai alat tawar-menawar dalam kemungkinan negosiasi di masa mendatang dengan Rusia telah gagal, imbuh Jenderal Gerasimov.

    Langkah Kyiv bahwa operasi Kursk akan memaksa Rusia untuk mengalihkan pasukan dari kemajuannya di Ukraina timur juga tidak berhasil, lanjutnya.

    Jenderal Gerasimov menambahkan, pasukan Rusia telah merebut kembali 24 permukiman dan 259 kilometer persegi tanah dari pasukan Ukraina dalam lima hari terakhir bersama dengan lebih dari 400 tahanan.

    Unit-unit Rusia juga telah menyeberang ke wilayah Sumy di Ukraina, tempat ia mengatakan mereka memperluas “zona keamanan.”