Event: Perang Dunia II

  • Rusia dan China yang Kian Mesra

    Rusia dan China yang Kian Mesra

    Jakarta

    Hubungan Rusia dan China semakin mesra. Patroli gabungan yang digelar oleh kapal-kapal perang dari Angkatan Laut Rusia dan China di perairan kawasan Asia-Pasifik menjadi sinyal kuat atas kedekatan mereka.

    Relasi kedua negara semakin akrab kala Presiden China Xi Jinping melakukan kunjungan ke Moskow dan melakukan pertemuan secara langsung dengan Presiden Vladimir Putin di Kremlin. Saat itu, Xi mengatakan kepada Putin bahwa kedua negara harus menjadi ;sahabat baja’ dalam melawan pengaruh Amerika Serikat (AS). Kedua pemimpin berjanji untuk meningkatkan kerja sama ke level yang baru dan ‘secara tegas’ melawan pengaruh AS.

    Dalam pernyataan bersama yang dirilis usai pertemuan di Kremlin, kedua pemimpin negara mengatakan akan memperdalam hubungan di semua bidang, termasuk hubungan militer, dan “memperkuat koordinasi untuk secara tegas melawan tindakan Washington yang melakukan ‘dual containment’ terhadap Rusia dan China”.

    Kini kapal-kapal perang dari Rusia dan China akan melakukan patroli bersama. Patroli gabungan itu akan dilakukan setelah Angkatan Laut kedua negara menggelar latihan militer bersama di Laut Jepang pada 1-5 Agustus lalu.

    “Para awak Angkatan Laut Rusia dan Angkatan Laut PLA (Tentara Pembebasan Rakyat) China akan membentuk satuan tugas baru untuk melaksanakan misi patroli gabungan di kawasan Asia-Pasifik,” demikian pernyataan layanan pers Armada Pasifik Rusia, seperti dikutip Interfax dan dilansir Reuters, Rabu (6/8/2025).

    Latihan bersama itu mencakup latihan penembakan artileri, latihan misi anti-kapal selam dan pertahanan udara, serta peningkatan operasi pencarian dan penyelamat di laut.

    Selama fase akhir latihan bersama itu, kapal anti-kapal selam milik Rusia, Laksamana Tributs, dan kapal korvet Gromky, bersama dengan kapal-kapal penghancur China, Shaoxing dan Urumqi, melakukan latihan tembak langsung dan para awak berlatih mencari dan melumpuhkan kapal selam tiruan musuh.

    Armada Pasifik Rusia sebelumnya mengatakan bahwa latihan bersama itu bersifat defensif dan tidak menargetkan negara-negara manapun.

    Rusia dan China selama ini menggelar latihan rutin untuk melatih koordinasi antara angkatan bersenjata mereka dan mengirimkan sinyal pencegahan kepada musuh-musuh.

    Kedua negara telah menandatangani kemitraan strategis “tanpa batas” sesaat sebelum Rusia melancarkan invasi militer besar-besaran terhadap Ukraina, negara tetangganya, pada tahun 2022 lalu.

    Menlu Rusia Bertemu Xi Jinping

    Pada 15 Juli lalu, Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia Sergei Lavrov juga bertemu dengan Presiden China Xi Jinping di Beijing. Pertemuan digelar di sela-sela kunjungan diplomat tertinggi Rusia tersebut untuk menghadiri pertemuan Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO).

    Xi menerima Lavrov di Beijing “sebagai bagian dari partisipasinya dalam pertemuan Dewan Menteri Luar Negeri Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO)”, demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Rusia, dilansir dari kantor berita AFP, Selasa (15/7/2025).

    Kementerian mengatakan bahwa sejumlah isu kontak politik bilateral di tingkat tertinggi dan tingkat tinggi dibahas, termasuk persiapan kunjungan pemimpin Rusia Vladimir Putin ke China untuk menghadiri KTT SCO dan perayaan peringatan Perang Dunia II.

    Kantor berita Rusia, TASS melaporkan bahwa Xi bertemu Lavrov setelah presiden China tersebut mengadakan “pertemuan umum” dengan para menteri luar negeri SCO.

    Menurut kantor berita pemerintah China, Xinhua, dalam pertemuan dengan Lavrov pada Selasa (15/7), Xi mengatakan bahwa negara mereka harus “memperkuat dukungan timbal balik di forum-forum multilateral”.

    Beijing dan Moskow harus bekerja sama untuk “menyatukan negara-negara di belahan bumi selatan dan mendorong perkembangan tatanan internasional ke arah yang lebih adil dan masuk akal”, kata Xi, menurut Xinhua.

    Diketahui bahwa Beijing, sekutu diplomatik dan ekonomi Moskow, mengklaim netral dalam konflik antara Rusia dan Ukraina.

    Namun, China tidak pernah mengecam kampanye militer Rusia di Ukraina yang telah berlangsung lebih dari tiga tahun atau menyerukan penarikan pasukannya.

    Halaman 2 dari 3

    (knv/knv)

  • Bom Perang Dunia II Ditemukan di Jerman, 17 Ribu Orang Dievakuasi

    Bom Perang Dunia II Ditemukan di Jerman, 17 Ribu Orang Dievakuasi

    Jakarta

    Sebuah bom peninggalan era Perang Dunia II ditemukan di kota tua Dresden, Jerman. Buntutnya, penduduk di sebagian besar kota tersebut dievakuasi pada hari Rabu (6/8), seiring para ahli bom berusaha menjinakkan bom yang belum meledak tersebut.

    Dilansir kantor berita AFP, Rabu (6/8/2025), otoritas kota Dresden mengatakan bahwa sekitar 17.000 orang diminta meninggalkan rumah mereka di kota Jerman timur itu. Bom tersebut ditemukan saat pekerjaan pembersihan sebuah jembatan yang runtuh.

    Menurut otoritas kota Dresden, bom era Perang Dunia II tersebut adalah buatan Inggris dan beratnya 250 kilogram.

    Jembatan Carola tersebut, salah satu penyeberangan utama Sungai Elbe di Dresden, sebagian runtuh pada tengah malam di bulan September 2024 silam.

    Seluruh struktur jembatan dijadwalkan akan dihancurkan pada bulan Oktober mendatang.

    Sekitar 80 tahun setelah perang, Jerman hingga kini masih dipenuhi dengan bom-bom yang belum meledak, yang seringkali ditemukan selama pekerjaan konstruksi.

    Pusat kota tersebut saat itu kosong melompong, dengan sebuah rumah sakit, dua panti jompo, sembilan sekolah, dan sebuah studio TV dikosongkan.

    Tonton juga video “Penemuan Bom Perang Dunia II Bikin Heboh Pengguna Kereta di Paris” di sini:

    (ita/ita)

  • Mewariskan Luka Hiroshima dan Nagasaki

    Mewariskan Luka Hiroshima dan Nagasaki

    Jakarta

    Pada Rabu (06/08), Jepang memperingati 80 tahun sejak Amerika Serikat (AS) menjatuhkan bom atom di Kota Hiroshima pada akhir Perang Dunia II, menewaskan hampir 80.000 orang dalam ledakan awal.

    Upacara peringatan yang berlangsung di Hiroshima pada 6 Agustus dan di Nagasaki tiga hari kemudian akan menarik ribuan pengunjung dari seluruh dunia. Namun, jumlah penyintas, yang dikenal sebagai hibakusha, akan lebih sedikit dibandingkan tahun lalu.

    Laporan pemerintah yang dirilis bulan Maret mencatat, kini hanya tersisa 99.130 hibakusha yang masih hidup, berkurang 7.695 orang dibanding tahun lalu, seiring dengan usia mereka yang terus bertambah. Rata-rata, para penyintas kini berusia 86 tahun.

    Karena kesaksian langsung tentang satu-satunya penggunaan senjata nuklir dalam perang mulai hilang, museum, organisasi, dan individu mulai mengambil peran untuk menjaga kisah penyintas tetap hidup.

    Menyebarkan kesadaran

    Salah satu “penerus” dari Hiroshima adalah Shun Sasaki, anak berusia 12 tahun yang membantu menyampaikan kisah mengerikan tentang serangan bom dan dampaknya. Sejak Agustus 2021, ia rutin berbicara dengan turis asing tentang berbagai situs bersejarah di Taman Perdamaian Hiroshima.

    “Saat saya kelas satu SD, saya berjalan melewati Kubah Bom Atom dan bertanya-tanya, kenapa bangunan itu masih ada padahal kondisinya rusak parah,” kata Sasaki kepada DW, merujuk pada salah satu bangunan yang masih tersisa setelah bom meledak pada 1945.

    “Saya mencari informasi di internet, lalu saya pergi ke Museum Perdamaian dan belajar soal bom yang dijatuhkan di sini.”

    Tragedi kampung halaman

    “Dia berusia 12 tahun saat bom dijatuhkan dan berada di dalam rumah, sekitar 1,5 kilometer dari pusat ledakan,” katanya. “Dia tidak terbakar karena berada di dalam rumah, tapi terpapar radiasi. Saat dievakuasi, ‘hujan hitam’ jatuh menimpanya.”

    “Hujan hitam” adalah campuran debu, jelaga dari kebakaran akibat bom, dan zat radioaktif yang turun bersama hujan selama beberapa jam setelah ledakan.

    Nenek buyut Sasaki, Yuriko, didiagnosis kanker payudara pada usia 38 dan kanker usus besar pada usia 60, sebelum akhirnya meninggal di usia 69 tahun.

    Sejak kecil, Sasaki sudah terbiasa dengan mainan berbahasa Inggris, dan sudah mampu berkomunikasi dalam bahasa itu sejak usia empat tahun. Kini, ia bahkan lebih suka berbicara dalam bahasa Inggris daripada bahasa Jepang. Hal ini memungkinkannya berbicara dengan para turis asing yang datang ke Hiroshima dengan berbagai prasangka soal apa yang terjadi di kota ini tahun 1945.

    Sasaki menceritakan, bom uranium yang dijuluki “Little Boy” itu meledak hampir tepat di atas Kubah Genbaku, bangunan batu yang kini dikenal sebagai Kubah Bom Atom, dengan kekuatan setara 15 kiloton TNT.

    Hampir semua bangunan hancur dan semua orang tewas dalam radius 1,3 kilometer dari area itu. Jumlah korban jiwa juga meningkat menjadi sekitar 140.000 orang hingga akhir tahun 1945 akibat luka bakar parah hingga penyakit akibat radiasi.

    “Banyak orang mengatakan, mereka datang ke Hiroshima merasa sudah tahu ceritanya dan mengira kotanya hanya rusak parah,” kata Sasaki. “Namun, kemudian mereka mengatakan ternyata belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

    Air mata dan kebenaran

    “Ada juga yang menangis,” kata Sasaki. “Kebanyakan dari mereka sangat terkejut dan semuanya setuju kalau hal ini tidak boleh terulang lagi. Menurut saya, perang terjadi karena banyak orang tidak benar-benar tahu apa yang sesungguhnya terjadi.”

    “Saya pernah memandu seorang pria asal AS, dan dia mengatakan sekarang dia setuju kalau semua senjata nuklir itu harus dilarang,” kenang Sasaki. “Itu membuat saya senang, karena kalau dia pulang dan menceritakan kebenaran tentang Hiroshima ke orang lain, lalu mereka menceritakannya lagi, maka pesan perdamaian akan menyebar luas.”

    “Kita tidak bisa mengubah fakta tentang apa yang terjadi di sini, tapi kita bisa menggunakan kebenaran tentang bom ini untuk mengubah masa depan,” tambah Sasaki.

    Upaya serupa untuk mewariskan pengalaman para hibakusha juga dilakukan di Nagasaki, yang menjadi target bom plutonium “Fat Man” pada 9 Agustus 1945, dan menewaskan hingga 80.000 orang, baik dalam ledakan awal maupun efek jangka panjang seperti leukemia dan penyakit akibat radiasi lainnya.

    “Kita sedang memasuki era di mana para hibakusha tidak lagi bersama kita,” ujar Takuji Inoue, Direktur Museum Bom Atom Nagasaki. “Namun, sebagai kota yang pernah dibom nuklir, kami sangat prihatin dengan meningkatnya risiko penggunaan senjata nuklir, yang diperparah oleh konflik di Ukraina, Timur Tengah, dan berbagai peristiwa mengkhawatirkan lainnya.”

    Kampanye internasional

    Museum Nagasika telah meluncurkan kampanye internasional terbarunya untuk “menyampaikan realitas” dari serangan bom atom dan menyebarkan pemahaman “lintas generasi” mengenai dampaknya.

    “Hiroshima akan selamanya tercatat dalam sejarah sebagai lokasi pertama bom atom,” katanya. “Namun, apakah Nagasaki akan tetap menjadi yang terakhir? Itu tergantung pada masa depan yang kita ciptakan.”

    Pada 6 Agustus 2025 pukul 08.15 pagi, waktu bom pertama meledak di atas Hiroshima, kota itu hening sejenak untuk memberi penghormatan dan mengenang para korban. Di antara pidato yang disampaikan di Taman Perdamaian, ada “Komitmen Anak-anak untuk Perdamaian,” yang dibacakan oleh Shun Sasaki.

    “Saya memang sudah lama ingin berbicara di depan banyak orang, jadi saya senang sekali bisa terpilih,” katanya. “Harapan saya adalah, siapa pun yang tertarik bisa datang ke Hiroshima dan merenungkan arti perdamaian bersama.”

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Khoirul Pertiwi

    Editor: Hani Anggraini

    Tonton juga video “Warga Hiroshima Bersiap Peringati 80 Tahun Tragedi Bom Atom” di sini:

    (ita/ita)

  • Kesaksian Pilu Penyintas Bom Hiroshima: Tubuh Cacat-Malu-Dilupakan

    Kesaksian Pilu Penyintas Bom Hiroshima: Tubuh Cacat-Malu-Dilupakan

    Jakarta

    Pada 6 Agustus 1945, pukul 08.15, sebuah bom atom jatuh di langit Hiroshima, Jepang. Saat itu, Lee Jung-soon sedang dalam perjalanan menuju sekolah dasar.

    Nenek berusia 88 tahun itu melambaikan tangannya seolah-olah berusaha mengusir kenangan pahit tersebut.

    “Ayah saya sudah mau berangkat kerja, tapi tiba-tiba dia lari kembali dan menyuruh kami segera mengungsi,” kenangnya.

    “Katanya, jalanan penuh dengan mayat, tapi saya sangat terkejut sampai yang saya ingat hanyalah menangis. Saya terus menangis.”

    Ledakan setara dengan 15.000 ton TNT melanda kota berpenduduk 420.000 orang itu.

    Lee mengatakan tubuh para korban “meleleh hingga hanya mata mereka yang terlihat.”

    Pascaledakan, banyak mayat tidak dapat dikenali karena kondisinya yang sudah rusak.

    Sudah 80 tahun sejak Amerika Serikat meledakkan ‘Little Boy’, bom atom pertama di dunia, di pusat kota Hiroshima.

    Ledakan itu menewaskan sekitar 70.000 orang dalam seketika, sementara puluhan ribu lainnya meninggal dalam beberapa bulan berikutnya akibat radiasi, luka bakar, dan dehidrasi.

    Dampak buruk dari pengeboman Hiroshima dan Nagasaki yang mengakhiri Perang Dunia II dan kekuasaan Jepang di sebagian besar wilayah Asia telah didokumentasikan selama delapan dekade terakhir.

    Namun, satu fakta yang kurang diketahui adalah bahwa sekitar 20% dari korban langsung pengeboman tersebut adalah orang Korea.

    Saat bom dijatuhkan, Korea sudah menjadi koloni Jepang selama 35 tahun.

    Diperkirakan 140.000 orang Korea tinggal di Hiroshima kala itu. Banyak dari mereka berada di sana karena mobilisasi kerja paksa atau untuk bertahan hidup di bawah eksploitasi kolonial.

    Mereka yang selamat dari bom atom dan keturunannya terus hidup dalam bayang-bayang peristiwa mengerikan itu.

    Mereka harus berjuang menghadapi cacat fisik, rasa sakit, dan perjuangan panjang selama puluhan tahun untuk mendapatkan keadilan yang belum terselesaikan.

    Hapcheon dijuluki “Hiroshima-nya Korea” karena banyaknya penyintas bom nuklir yang tinggal di sana setelah perang. (Getty Images)

    “Tidak ada yang mau bertanggung jawab,” kata Shim Jin-tae, penyintas berusia 83 tahun.

    “Baik negara yang menjatuhkan bom, maupun negara yang gagal melindungi kami. Amerika tidak pernah meminta maaf. Jepang pura-pura tidak tahu. Korea pun sama saja. Mereka hanya saling menyalahkan, dan kami dibiarkan sendirian.”

    Shim kini tinggal di Hapcheon, Korea Selatan, sebuah daerah kecil yang dijuluki “Hiroshima-nya Korea” karena telah menjadi rumah bagi puluhan penyintas bom Hiroshima, termasuk dia dan Lee.

    Bagi Lee, keterkejutan pada hari itu tidak memudar. Ledakan itu terukir di tubuhnya sebagai penyakit.

    Ia kini hidup dengan kanker kulit, penyakit Parkinson, dan angina (kondisi akibat aliran darah yang buruk ke jantung yang biasanya menimbulkan nyeri dada).

    Namun, yang lebih berat adalah rasa sakit itu tidak berhenti padanya. Putranya, Ho-chang, yang merawatnya, didiagnosis menderita gagal ginjal dan sedang menjalani cuci darah sambil menunggu transplantasi.

    “Saya yakin ini karena paparan radiasi, tapi siapa yang bisa membuktikannya?” kata Ho-chang Lee.

    “Sulit untuk memverifikasinya secara ilmiah. Anda memerlukan tes genetik yang melelahkan dan mahal.”

    Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Korea mengatakan kepada BBC, mereka telah mengumpulkan data genetik antara tahun 2020 hingga 2024 dan akan melanjutkan penelitian itu hingga 2029.

    Kementerian akan “mempertimbangkan untuk memperluas definisi korban” ke penyintas generasi kedua dan ketiga hanya “jika hasilnya signifikan secara statistik.”

    Korban tewas dari Korea

    Dari 140.000 orang Korea yang ada di Hiroshima saat pengeboman, banyak di antaranya berasal dari Hapcheon.

    Daerah ini dikelilingi oleh pegunungan dengan sedikit lahan pertanian sehingga sulit untuk bertahan hidup.

    Tanaman disita oleh penjajah Jepang, kekeringan melanda, dan ribuan orang meninggalkan daerah pedesaan itu menuju Jepang selama perang.

    Sebagian dari mereka direkrut secara paksa, sementara yang lain tergiur janji bahwa “Anda bisa makan tiga kali sehari dan menyekolahkan anak-anak Anda.”

    Namun, di Jepang, orang Korea dianggap warga kelas dua. Mereka sering kali diberi pekerjaan yang paling berat, kotor, dan berbahaya.

    Shim mengatakan ayahnya bekerja sebagai buruh paksa di pabrik amunisi, sementara ibunya memalu paku pada peti amunisi kayu.

    Setelah bom atom dijatuhkan, pembagian kerja ini menjadi pekerjaan yang berbahaya dan sering kali berakibat fatal bagi warga Korea di Hiroshima.

    “Pekerja Korea harus membersihkan mayat-mayat itu,” kata Shim, direktur cabang Asosiasi Korban Bom Atom Korea di Hapcheon, kepada BBC Korean.

    “Awalnya mereka menggunakan tandu, tapi jumlah mayat terlalu banyak. Akhirnya, mereka menggunakan pengki untuk mengumpulkan mayat dan membakarnya di halaman sekolah.”

    “Sebagian besar pekerjaan ini dilakukan oleh orang Korea. Sebagian besar pembersihan pasca-perang dan pekerjaan amunisi dilakukan oleh kami.”

    Menurut penelitian dari Gyeonggi Welfare Foundation, beberapa penyintas bom atom dipaksa untuk membersihkan puing-puing dan mengevakuasi jenazah.

    Saat itu, pengungsi Jepang melarikan diri ke tempat sanak saudara mereka, sementara warga Korea yang tidak memiliki ikatan keluarga di sana tetap berada di kota.

    Akibatnya, mereka terpapar radioaktif dan memiliki akses terbatas ke layanan medis.

    Kondisi tersebut, perlakuan buruk, pekerjaan berbahaya, dan diskriminasi struktural berkontribusi pada tingginya angka kematian di kalangan warga Korea.

    Menurut Asosiasi Korban Bom Atom Korea, tingkat kematian di kalangan warga Korea mencapai 57,1%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kematian keseluruhan yang mencapai sekitar 33,7%.

    Sekitar 70.000 warga Korea terpapar bom tersebut. Pada akhir tahun, sekitar 40.000 di antaranya telah meninggal dunia.

    Diabaikan di kampung halaman

    Setelah pengeboman yang mengakhiri Perang Dunia II dan membebaskan Korea dari penjajahan Jepang, sekitar 23.000 penyintas Korea kembali ke kampung halaman. Namun, kepulangan mereka tidak disambut baik.

    Mereka dicap sebagai orang yang cacat atau terkutuk, dan menghadapi prasangka buruk di negara sendiri.

    “Hapcheon sudah memiliki koloni penderita kusta,” jelas Shim.

    “Karena citra itu, orang-orang mengira para penyintas bom juga memiliki penyakit kulit.”

    Shim menambahkan, stigma tersebut membuat para penyintas bungkam tentang penderitaan mereka.

    Ia menyiratkan, “bertahan hidup lebih penting daripada harga diri.”

    Lee mengatakan dia menyaksikan penderitaan itu “dengan mata kepalanya sendiri”.

    “Orang-orang yang luka bakar parah atau sangat miskin diperlakukan dengan sangat buruk,” kenangnya.

    “Di desa kami, beberapa orang memiliki punggung dan wajah yang sangat terluka hingga hanya mata mereka yang terlihat. Mereka ditolak untuk menikah dan dijauhi.”

    Stigma ini membawa kemiskinan dan kesulitan hidup. Setelahnya, muncul penyakit tanpa penyebab yang jelas: penyakit kulit, kondisi jantung, gagal ginjal, kanker.

    Gejalanya ada di mana-mana, tetapi tidak ada yang bisa menjelaskannya.

    Seiring waktu, fokus bergeser ke generasi kedua dan ketiga.

    Han Jeong-sun, generasi kedua penyintas bom Hiroshima, menderita nekrosis avaskular di pinggulnya, sehingga tidak bisa berjalan tanpa menyeret dirinya. Putra pertamanya lahir dengan cerebral palsy.

    “Anak saya tidak pernah berjalan selangkah pun seumur hidupnya,” katanya.

    “Dan mertua saya memperlakukan saya dengan sangat buruk. Mereka berkata, ‘Kamu melahirkan anak cacat dan kamu juga cacat, apakah kamu di sini untuk menghancurkan keluarga kami?’”

    “Masa itu benar-benar seperti di neraka.”

    Selama beberapa dekade, bahkan pemerintah Korea tidak memperhatikan para korban bom Hirashima di negara mereka. Penyebabnya adalah perang dengan Korea Utara dan masalah ekonomi dianggap sebagai prioritas yang lebih utama.

    Baru pada tahun 2019lebih dari 70 tahun setelah pengeboman, Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Korea merilis laporan pencarian fakta pertamanya. Survei itu sebagian besar didasarkan pada kuesioner.

    Menanggapi pertanyaan BBC, kementerian menjelaskan bahwa sebelum tahun 2019, “Tidak ada dasar hukum untuk pendanaan atau investigasi resmi.”

    Namun, dua penelitian terpisah menemukan bahwa korban generasi kedua lebih rentan terhadap penyakit.

    Salah satunya, penelitian pada 2005 yang menunjukkan bahwa korban generasi kedua jauh lebih mungkin menderita depresi, penyakit jantung, dan anemia daripada populasi umum.

    Sementara penelitian lain dari tahun 2013 menemukan bahwa tingkat disabilitas mereka hampir dua kali lipat rata-rata nasional.

    Dalam situasi ini, Han tidak percaya bahwa pihak berwenang terus meminta bukti untuk mengakui dia dan putranya sebagai korban Hiroshima.

    “Penyakit saya adalah buktinya. Cacat anak saya adalah buktinya. Rasa sakit ini diturunkan dari generasi ke generasi, dan itu terlihat,” katanya.

    “Tapi mereka tidak mau mengakuinya. Jadi, apa yang harus kami lakukan, mati begitu saja tanpa pernah diakui?”

    Perdamaian tanpa permintaan maaf

    Baru bulan lalu, pada 12 Juli, para pejabat Hiroshima mengunjungi Hapcheon untuk pertama kalinya dan meletakkan bunga di sebuah monumen peringatan.

    Meskipun mantan Perdana Menteri Jepang, Yukio Hatoyama, dan tokoh-tokoh swasta lainnya pernah datang ke kota itu, ini adalah kunjungan resmi pertama oleh pejabat Jepang yang sedang menjabat.

    “Sekarang pada 2025, Jepang berbicara tentang perdamaian. Tapi perdamaian tanpa permintaan maaf tidak ada artinya,” kata Junko Ichiba, aktivis perdamaian Jepang yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya mengadvokasi korban Hiroshima asal Korea.

    Dia menunjukkan bahwa para pejabat yang berkunjung tidak menyebutkan atau meminta maaf atas bagaimana Jepang memperlakukan orang Korea sebelum dan selama Perang Dunia Kedua.

    Meskipun beberapa mantan pemimpin Jepang telah menyampaikan permintaan maaf dan penyesalan mereka, banyak warga Korea Selatan menganggap sentimen ini tidak tulus atau tidak cukup tanpa pengakuan formal.

    Ichiba mencatat bahwa buku-buku pelajaran di Jepang masih menghilangkan sejarah masa lalu kolonial Korea serta korban bom atomnya.

    Ia mengatakan bahwa “ketidakjelasan ini hanya memperdalam ketidakadilan.”

    Ini menambah apa yang banyak orang pandang sebagai kurangnya akuntabilitas yang lebih luas atas warisan kolonial Jepang.

    Heo Jeong-gu, direktur divisi dukungan Palang Merah, mengatakan, “Masalah-masalah ini harus ditangani selagi para penyintas masih hidup. Untuk generasi kedua dan ketiga, kita harus mengumpulkan bukti dan kesaksian sebelum terlambat.”

    Bagi para penyintas seperti Shim, ini bukan hanya soal kompensasi tapi tentang pengakuan.

    “Ingatan lebih penting daripada kompensasi,” katanya. “Tubuh kami mengingat apa yang kami alami. Jika kami lupa, itu akan terjadi lagi. Dan suatu hari, tidak akan ada orang yang tersisa untuk menceritakan kisah ini.”

    Tonton juga video “Hiroshima-Nagasaki Setelah Serangan Bom Atom AS pada 1945” di sini:

    (ita/ita)

  • Biografi Jenderal Soedirman: Panglima Besar, Ahli Gerilya, Kalahkan Inggris di Ambarawa

    Biografi Jenderal Soedirman: Panglima Besar, Ahli Gerilya, Kalahkan Inggris di Ambarawa

    Bisnis.com, JAKARTA – Jenderal Soedirman adalah Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia yang dikenal karena memimpin perang gerilya saat masa revolusi kemerdekaan Indonesia melawan Belanda.

    Ia lahir pada 24 Januari 1916 di Purbalingga, Jawa Tengah, dan sejak muda dikenal sebagai sosok religius, disiplin, dan berjiwa pemimpin.

    Soedirman memainkan peran penting dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia melalui strategi gerilya yang cukup merepotkan penjajah mulai dari Palagan Ambarawa hingga Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta.

    Melalui artikel ini, anda akan memahami perjalanan hidup Soedirman, simak penjelasan lengkapnya di bawah ini.

    Biografi Jenderal Soedirman

    Jenderal Soedirman adalah tokoh militer dan pahlawan nasional Indonesia yang sangat dihormati karena pengabdian dan kepemimpinannya dalam masa-masa sulit pasca kemerdekaan.

    Dia lahir dengan nama Soedirman pada tanggal 24 Januari 1916 di desa Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga, Jawa Tengah. Sejak muda, ia dikenal sebagai sosok yang disiplin, religius, dan memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat.

    Kepemimpinannya dalam berbagai pertempuran, terutama saat memimpin perang gerilya, menunjukkan dedikasi luar biasa bahkan ketika menghadapi kondisi kesehatan yang sangat buruk.

    Gelar “Panglima Besar” yang disematkan kepadanya bukan hanya simbol kehormatan militer, tetapi juga pengakuan atas perjuangan luar biasa yang menginspirasi banyak generasi.

    Jenderal Soedirman wafat pada 29 Januari 1950 dalam usia yang relatif muda, yaitu 34 tahun. Namun warisannya sangat besar bagi bangsa ini. Ia menjadi salah satu ikon nasional yang namanya diabadikan di berbagai tempat seperti jalan, sekolah, universitas, dan rumah sakit.

    Profil Singkat Jendral Soedirman

    Tanggal Lahir: 24 Januari 1916
    Tanggal Wafat: 29 Januari 1950
    Asal: Purbalingga, Jawa Tengah
    Pangkat: Jenderal Besar (Panglima Besar)
    Gelar: Pahlawan Nasional Indonesia

    Masa Kecil dan Pendidikan Soedirman

    Soedirman kecil tumbuh dalam lingkungan yang penuh kesederhanaan dan nilai religius di Cilacap, Jawa Tengah. Meskipun lahir dari keluarga sederhana, ia menunjukkan kecerdasan dan semangat belajar tinggi sejak dini. Ia sempat diasuh oleh pamannya yang merupakan seorang tokoh agama, yang kemudian banyak memengaruhi pandangan hidupnya.

    Pendidikan formal Soedirman dimulai di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sebuah sekolah dasar Belanda untuk pribumi. 

    Sempat mengenyam pendidikan menengah, dia kemudian masuk ke sekolah guru Muhammadiyah di Solo, di mana ia aktif dalam kegiatan organisasi keislaman dan kepemudaan.

    Di sanalah Soedirman belajar nilai-nilai kepemimpinan, kedisiplinan, dan pengabdian terhadap masyarakat. Ia juga menjadi guru dan kepala sekolah Muhammadiyah.

    Karier Militer Soedirman

    Ketika Jepang menduduki Indonesia pada masa Perang Dunia II, mereka membentuk organisasi militer lokal bernama PETA (Pembela Tanah Air). Soedirman bergabung dalam PETA. Ia mendapatkan pelatihan militer dasar dan menunjukkan bakat strategi serta kepemimpinan.

    Sebagai komandan batalyon PETA di Banyumas, Soedirman memimpin pasukan. Ia berhasil mendapatkan kepercayaan tidak hanya dari pasukannya, tetapi juga dari para tokoh nasional. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, perannya semakin penting dalam membentuk kekuatan militer nasional.

    Pada usia 29 tahun, Soedirman terpilih sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) melalui sidang di Yogyakarta. Ia mengalahkan perwira-perwira yang lebih senior karena dinilai lebih mumpuni secara kepemimpinan dan loyalitas terhadap negara. Dari sinilah dimulai kiprahnya sebagai pemimpin tertinggi militer Indonesia.

    Perang Gerilya dan Perlawanan terhadap Belanda

    Saat Agresi Militer Belanda II meletus pada Desember 1948, ibu kota Indonesia di Yogyakarta diduduki oleh Belanda dan para pemimpin pemerintahan ditawan. Namun Jenderal Soedirman yang sedang sakit berat memilih untuk tidak menyerah. Ia meninggalkan Yogyakarta dan memimpin perang gerilya dari pedalaman Jawa.

    Dalam kondisi fisik yang sangat lemah dan paru-paru hanya berfungsi sebagian, Soedirman tetap melakukan perjalanan berbulan-bulan menembus hutan, gunung, dan desa. Dengan ditandu, ia menyemangati pasukannya dan rakyat yang ditemuinya di sepanjang jalan. Strategi gerilyanya membuat Belanda tidak bisa mengklaim kemenangan secara penuh.

    Aksi heroik ini tidak hanya berdampak militer tetapi juga psikologis, memperlihatkan bahwa semangat kemerdekaan Indonesia belum padam. Perjuangan Soedirman selama gerilya menjadi simbol perlawanan rakyat dan menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang sah dan tidak dapat dikalahkan dengan senjata saja.

    Wafat dan Pengaruh Sejarah

    Setelah perjuangan gerilya berakhir dan pengakuan kedaulatan diberikan oleh Belanda pada Desember 1949, kesehatan Jenderal Soedirman semakin menurun. Ia dirawat di Magelang, namun kondisinya yang sudah sangat kritis tidak kunjung membaik. Pada 29 Januari 1950, Soedirman menghembuskan napas terakhir dalam usia 34 tahun.

    Kabar wafatnya Panglima Besar disambut duka mendalam oleh seluruh rakyat Indonesia. Upacara pemakamannya dihadiri ribuan orang dan digelar secara militer penuh penghormatan. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Yogyakarta, dan hingga kini makamnya menjadi tempat ziarah nasional.

    Kepergian Soedirman menandai akhir dari era perjuangan bersenjata, namun semangatnya tetap hidup dalam sanubari bangsa. Ia menjadi simbol keteguhan hati, kepemimpinan sejati, dan pengorbanan yang tulus demi kemerdekaan dan keutuhan negara Indonesia.

    Jasa-Jasa dan Penghormatan Negara

    Jenderal Soedirman adalah Panglima pertama dan satu-satunya dalam sejarah Indonesia yang memimpin langsung perang gerilya dalam kondisi kesehatan yang sangat berat. Sebagai bentuk penghargaan tertinggi, ia dianugerahi pangkat Jenderal Besar, yang hingga kini hanya diberikan kepada tiga tokoh militer.

    Pada tahun 1964, pemerintah Indonesia secara resmi menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional. Namanya diabadikan di berbagai institusi seperti Universitas Jenderal Soedirman, Rumah Sakit Tentara, serta jalan protokol di berbagai kota. Monumen dan patungnya juga dibangun sebagai pengingat perjuangannya.

    Selain itu, banyak kisah hidupnya yang dijadikan inspirasi dalam dunia pendidikan dan militer. Buku-buku biografi, dokumenter, hingga film mengangkat nilai perjuangannya sebagai teladan moral dan patriotisme. Ia bukan hanya tokoh militer, tetapi juga pahlawan karakter dan semangat nasional.

    Fakta Menarik Tentang Soedirman

    Jenderal Soedirman menolak perawatan rumah sakit meskipun dokter menyarankan istirahat total, karena ia merasa tanggung jawab terhadap bangsa lebih penting dari kesehatannya sendiri.
    Dalam kondisi kritis, ia tetap berpidato membakar semangat pasukan dan rakyat. Salah satu pidatonya bahkan dilakukan saat tubuhnya hanya ditopang tandu kayu.
    Rumah yang ia tempati selama gerilya kini menjadi situs sejarah nasional dan museum yang ramai dikunjungi pelajar serta peneliti sejarah perjuangan Indonesia.

    Kata-Kata Mutiara Jenderal Soedirman

    “Tempat saya yang terbaik adalah di tengah-tengah anak buah saya yang sedang berjuang.”
    “Kita tentara Republik akan timbul dan tenggelam bersama negara.”

    FAQ Seputar Jenderal Soedirman

    Kenapa disebut Panglima Besar? Karena beliau adalah Panglima pertama TNI yang memimpin langsung perang kemerdekaan dengan strategi gerilya luar biasa.
    Apakah dia wafat di medan perang? Tidak, beliau wafat di Magelang akibat penyakit paru-paru yang dideritanya sejak lama.

    Referensi Resmi:

    Disclaimer: Artikel ini dihasilkan dengan bantuan kecerdasan buatan (AI) dan telah melalui proses penyuntingan oleh tim redaksi Bisnis.com untuk memastikan akurasi dan keterbacaan informasi.

  • Jepang Peringatkan Aktivitas Militer China yang Meningkat

    Jepang Peringatkan Aktivitas Militer China yang Meningkat

    Jakarta

    Jepang menyebut Cina sebagai ‘tantangan strategis terbesar’ dalam laporan tahunan pertahanan terbarunya. Jepang menyoroti agresivitas Beijing yang kian meluas serta fokus pada ancaman regional.

    Pejabat Jepang memperingatkan bahwa dunia memasuki era krisis baru, menghadapi tantangan terbesar sejak Perang Dunia II. Mereka mengkhawatirkan intensitas militer Cina yang terus meningkat sebagai ancaman serius bagi keamanan Jepang.

    Pengaruh Rusia di Asia semakin menguat

    Dokumen tersebut memperingatkan peningkatan kemampuan ofensif Korea Utara dan semakin eratnya hubungan strategis dengan Rusia.

    Menteri Pertahanan Jenderal Nakatani mencatat keterlibatan Rusia dalam operasi militer gabungan dengan Cina, termasuk patroli udara dan laut. Sementara analis menilai bahasa dalam laporan tahunan pertahanan ini mencerminkan meningkatnya ketegangan militer selama setahun terakhir.

    Menurut Ryo Hinata-Yamaguchi, dosen di Institut Strategi Internasional Universitas Internasional Tokyo, meningkatnya aktivitas Cina, Korea Utara, dan Rusia tahun lalu membuat kekhawatiran Jepang yang lebih eksplisit menjadi hal yang wajar. Ia juga mengatakan bahwa situasi keamanan terus mengalami perubahan.

    Asia Timur memanas dalam interaksi militer Cina-Jepang

    Ketegangan antara pasukan Cina dan Jepang terlihat dari insiden pada 7 Juli ketika pesawat pengintai Jepang YS-11EB dicegat oleh jet tempur-pengebom JH-7 Cina di Laut Cina Timur, dengan jarak 30 meter. Insiden serupa juga terjadi keesokan harinya.

    Tokyo menyampaikan ‘kekhawatiran serius’ atas manuver yang disebut sebagai ‘pendekatan abnormal’, namun Beijing menolak protes tersebut dan menuduh Jepang hampir memata-matai aktivitas militernya.

    Dalam setahun terakhir, kapal dan pesawat penjaga pantai Cina tercatat ratusan kali memasuki perairan sekitar Kepulauan Senkaku, wilayah tak berpenghuni yang dikuasai Jepang, tetapi diklaim Beijing sebagai Kepulauan Diaoyu. Sebuah pelampung besar milik Cina juga ditemukan di perairan sekitar kepulauan tersebut di Laut Cina Timur.

    Jepang hadang jet tempur Cina

    Pada Agustus 2024, pesawat pengintai militer Cina melanggar wilayah udara Jepang di atas Kepulauan Danjo, Prefektur Nagasaki, memicu respons cepat dari jet tempur Jepang. Tokyo menanggapi insiden ini dengan memanggil kuasa usaha Kedutaan Besar China ke Kementerian Luar Negeri.

    Lalu apa kata Cina?

    Beijing segera menanggapi laporan pertahanan Jepang dengan kecaman, menyebutnya sebagai cerminan ‘persepsi keliru’ yang mencampuri urusan dalam negeri dan menyebarkan narasi ancaman Cina, menurut Global Times.

    Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Lin Jian, juga mengingatkan bahwa 2025 menandai 80 tahun kemenangan atas Jepang dalam Perang Perlawanan Rakyat. Ia mendesak Tokyo untuk ‘merenungkan kejahatan sejarahnya’ dan berhenti menggunakan ketegangan regional sebagai dalih memperkuat militernya.

    Jepang perkuat komunikasi strategis dengan AS

    Laporan tahunan Jepang menyatakan bahwa Tokyo berada di situasi yang tepat untuk mencapai target peningkatan anggaran pertahanan menjadi 2% dari PDB pada 2027, naik dari 1,8% saat ini. Meski masih di bawah ambang 5% yang diharapkan AS dari sekutunya.

    Analis Ryo Hinata-Yamaguchi menilai dokumen ini juga menyampaikan pesan tersirat kepada Washington, bahwa Jepang tengah mengambil peran lebih besar dalam pertahanannya dan ingin meyakinkan AS akan komitmennya sebagai sekutu yang dapat diandalkan.

    Rusia – Cina pamer kekuatan di tengah ketegangan regional

    Profesor Yakov Zinberg menyebut laporan pertahanan tahunan Jepang menggambarkan kekhawatiran atas potensi aliansi militer Cina, Korea Utara, dan Rusia.

    Ia menilai latihan gabungan antara Cina-Rusia yang kian intens bertujuan menunjukkan kekuatan untuk menekan Jepang. Bahkan salah satu manuvernya adalah mengelilingi kepulauan Jepang.

    Zinberg juga menyoroti kekhawatiran Tokyo terhadap komitmen keamanan AS di bawah Presiden Trump yang dinilai tidak dapat diprediksi.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Levie Wardana

    Editor: Prita Kusumaputri

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Ketua Banggar minta pemerintah negosiasi ulang usai tarif Trump turun

    Ketua Banggar minta pemerintah negosiasi ulang usai tarif Trump turun

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah meminta pemerintah melakukan negosiasi ulang usai tarif impor Amerika Serikat yang diberlakukan Presiden Donald Trump terhadap Indonesia diturunkan dari 32 persen menjadi 19 persen.

    Said mengatakan bahwa Indonesia pun berkepentingan terhadap aktivitas ekspor karena pemberlakuan tarif itu diberlakukan secara sepihak.

    “Kita akan terus mendorong pemerintah agar pemerintah memperluas pangsa ekspor ke negara-negara nontradisional, bahasa sehari-hari yang kita sampaikan kepada pemerintah,” kata Said di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu.

    Walaupun begitu, ia juga tetap mengapresiasi upaya yang dilakukan tim negosiasi dan lobi dari Presiden Prabowo Subianto.

    Said ingin agar pemerintah benar-benar mengukur kondisi pemberlakuan tarif 19 persen tersebut.

    “Tarif ini diberlakukan oleh Trump untuk menambal defisit yang dia bikin sendiri dan ujung-ujungnya sebenarnya juga rakyat Amerika dirugikan. Dan dengan kenaikan tarif itu, harga jual naik juga di AS,” katanya.

    Menurut ia, Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dan pemerintah juga sudah sepakat untuk membuat mitigasi kebijakan atas diberlakukannya tarif Trump. Karena ia ingin agar kebijakan perdagangan itu diterapkan secara setara, adil, dan inklusif.

    “Jadi, nyaman. Kesetaraan terbangun antarnegara pasca-Perang Dunia II, kan itu yang terjadi. Tapi, sekarang, kembali lagi ke suasana Perang Dunia II Itu yang sangat disesalkan,” katanya.

    Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengklaim telah mencapai kesepakatan dagang penting dengan Indonesia. Dalam perjanjian tersebut, ekspor Indonesia ke AS dikenai tarif tetap sebesar 19 persen, sementara produk-produk asal AS bisa masuk ke pasar Indonesia tanpa hambatan tarif maupun nontarif.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Australia serahkan wilayah Indonesia Timur ke Belanda

    Australia serahkan wilayah Indonesia Timur ke Belanda

    Barisan pasukan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) bersiap mengambil alih wilayah Indonesia Timur dari Australia pada 15 Juli 1946. Pengalihan ini menjadi bagian dari upaya Belanda untuk mengembalikan kekuasaan kolonial pasca-Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. (voi.id)

    15 Juli 1946: Australia serahkan wilayah Indonesia Timur ke Belanda
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Selasa, 15 Juli 2025 – 06:00 WIB

    Elshinta.com – Pada 15 Juli 1946, Australia secara resmi menyerahkan kembali wilayah Indonesia Timur kepada pihak Belanda. Langkah ini dilakukan setelah pasukan Australia, yang sebelumnya mengambil alih dari Jepang pasca-Perang Dunia II, menyelesaikan masa pendudukan militernya di wilayah tersebut, termasuk Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua.

    Penyerahan wilayah ini memperkuat kembali kontrol administratif Belanda melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA), yang berambisi memulihkan kekuasaan kolonial di seluruh Hindia Belanda. Keputusan Australia menjadi pukulan bagi Republik Indonesia yang baru memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 dan tengah berupaya meyakinkan dunia internasional tentang eksistensinya sebagai negara merdeka.

    Australia sendiri, meskipun secara umum bersimpati terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, masih terikat pada kesepakatan Sekutu yang menempatkannya sebagai penjaga stabilitas di kawasan pasca-kekalahan Jepang. Dalam posisi itu, Australia menerima mandat untuk memulihkan wilayah kepada administrasi sebelumnya, yang dalam hal ini berarti Belanda.

    Peristiwa ini menimbulkan ketegangan antara Republik Indonesia dengan Belanda, serta memperbesar tantangan diplomasi internasional yang harus dihadapi oleh para pemimpin Republik. Wilayah Indonesia Timur menjadi bagian dari strategi Belanda untuk membentuk negara-negara federal di luar Jawa dan Sumatra guna melemahkan kedudukan Republik.

    Meski demikian, penyerahan wilayah ini tidak berlangsung tanpa perlawanan. Di berbagai daerah Indonesia Timur, gerakan rakyat terus menolak kembalinya kekuasaan kolonial, baik melalui perlawanan bersenjata maupun aksi politik. Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya berlangsung di pusat, tetapi juga di wilayah pinggiran yang strategis secara geopolitik.

    Sumber : Sumber Lain

  • Waktu Kiamat Maju 1 Detik, Pakar Teriak Bumi di Ambang Kehancuran

    Waktu Kiamat Maju 1 Detik, Pakar Teriak Bumi di Ambang Kehancuran

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Jam Kiamat atau ‘Doomsday Clock’ menunjukkan waktu lebih dekat ke tengah malam. Pada awal 2025, para ilmuwan internasional yang tergabung dalam ‘Bulletin of the Atomic Scientist’ memberikan peringatan petaka di dunia. 

    Waktu kiamat diatur satu detik lebih maju dibandingkan tahun lalu, tepatnya 89 detik menuju tengah malam. Sebagai informasi, Doomsday Clock merupakan simbol yang dibuat oleh ‘Bulletin of the Atomic Scientist’ yang menunjukkan seberapa dekat manusia menuju kehancuran karena ulah manusia sendiri. 

    Adapun ancaman petaka dikaitkan dengan krisis iklim yang belum cukup ditanggulangi oleh negara-negara dunia, begitu juga perang berkepanjangan di berbagai negara, hingga penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang berpotensi membawa bencana. 

    Menurut Daniel Holz, ketua dewan sains dan keamanan Bulletin of the Atomic Scientists, ancaman nuklir tetap menjadi faktor utama dalam keputusan tahun ini.

    “Faktor-faktor yang memengaruhi keputusan tahun ini-risiko nuklir, perubahan iklim, penyalahgunaan teknologi biologi, dan berbagai kemajuan teknologi lainnya seperti kecerdasan buatan-sebenarnya bukan hal baru. Namun, kita telah melihat bahwa upaya untuk mengatasinya masih belum cukup, bahkan dalam banyak kasus justru semakin memburuk,” kata Holz, dilansir Reuters.

    Rusia masih menjadi perhatian utama setelah invasi ke Ukraina yang dimulai pada 2022. Perang tersebut menjadi konflik paling mematikan di Eropa sejak Perang Dunia II dan menimbulkan risiko penggunaan senjata nuklir.

    “Perang di Ukraina tetap menjadi sumber risiko nuklir yang besar. Konflik ini bisa meningkat menjadi perang nuklir kapan saja, baik karena keputusan yang gegabah maupun karena kesalahan perhitungan,” tambah Holz.

    Kekhawatiran ini makin meningkat setelah Presiden Rusia Vladimir Putin pada November 2023 mengumumkan kebijakan baru yang menurunkan ambang batas penggunaan senjata nuklir. Doktrin baru ini memberi Putin lebih banyak alasan untuk menggunakan arsenal nuklir terbesar di dunia sebagai tanggapan terhadap serangan konvensional dari Barat.

    Selain itu, Rusia juga menolak negosiasi perjanjian baru dengan Amerika Serikat untuk menggantikan New Strategic Arms Reduction Treaty (New START) yang akan berakhir pada 2026. Moskow menuntut agar perjanjian semacam itu diperluas untuk mencakup negara-negara lain.

    Perang di Timur Tengah dan Ketegangan Asia Timur

    Perang di Timur Tengah juga makin mengkhawatirkan. Perang antara Israel dan Hamas di Gaza, sudah meluas ke wilayah-wilayah lain. Konflik berdarah telah melibatkan Iran dan negara-negara lain di kawasan itu, berpotensi memicu eskalasi lebih lanjut.

    Di Asia, China makin meningkatkan tekanan militer terhadap Taiwan dengan mengerahkan kapal perang dan pesawat tempur di sekitar pulau yang diklaimnya sebagai bagian dari wilayahnya. Sementara itu, Korea Utara terus melakukan uji coba rudal balistik yang dapat membawa hulu ledak nuklir, yang semakin meningkatkan ketegangan di kawasan.

    Krisis Iklim Makin Parah

    Krisis iklim juga menjadi faktor utama yang mendorong makin dekatnya Doomsday Clock ke tengah malam. Menurut data dari Organisasi Meteorologi Dunia PBB, 2024 mencatatkan rekor sebagai tahun terpanas dalam sejarah.

    Para ilmuwan memperingatkan bahwa jika dunia gagal mengendalikan pemanasan global, bencana seperti gelombang panas ekstrem, kekeringan, banjir, kebakaran hutan, dan naiknya permukaan air laut akan semakin sering terjadi dan memperparah ketidakstabilan global.

    Panel ilmuwan juga menyoroti risiko dari kecerdasan buatan (AI) dalam dunia militer, yang makin berkembang pesat tanpa regulasi yang jelas. Kemajuan AI dalam sistem persenjataan dapat meningkatkan potensi perang otomatis, di mana keputusan untuk menyerang atau bertahan bisa diambil tanpa intervensi manusia, menimbulkan risiko eskalasi yang tidak terkendali.

    Peringatan Keras Buat Pemimpin Dunia

    Dengan hanya 89 detik tersisa sebelum tengah malam, para ilmuwan meminta para pemimpin dunia untuk bertindak lebih tegas dalam menangani ancaman-ancaman global ini.

    “Mengatur Jam Kiamat pada 89 detik sebelum tengah malam adalah peringatan bagi seluruh pemimpin dunia,” tegas Holz.

    Meskipun peringatan ini telah disampaikan setiap tahun, dunia masih belum menunjukkan kemajuan signifikan dalam mengurangi risiko bencana nuklir, krisis iklim, maupun tantangan teknologi baru seperti AI. Jika langkah nyata tidak segera diambil, dunia bisa makin mendekati titik kehancuran yang tidak dapat dibalikkan.

    Peringatan ini bisa dijadikan instropeksi bagi semua pihak untuk sebisa mungkin memainkan peran dalam menjaga keamanan dunia. Untuk krisis iklim, kita semua bisa mengambil langkah terkecil di kehidupan sehari-hari. Semoga informasi ini bermanfaat!

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Apa Itu Thorium, ‘Sumber Energi Abadi’ China yang Hebohkan Dunia

    Apa Itu Thorium, ‘Sumber Energi Abadi’ China yang Hebohkan Dunia

    Jakarta

    China mengumumkan temuan ‘sumber energi abadi’ yang diklaim para ahli geologi di Beijing dapat menyediakan cukup bahan bakar bagi China hingga 60 ribu tahun.

    Menurut survei nasional China, kompleks pertambangan Bayan Obo di Mongolia Dalam, daerah otonom di China utara, mungkin mengandung cukup thorium untuk memenuhi kebutuhan energi rumah tangga China ‘hampir selamanya’. Klaim ini tentu menghebohkan, dan bisa membuat negara lain iri bahkan tersaingi. Sebenarnya apa itu thorium?

    Apa Itu Thorium?

    Thorium adalah logam yang sedikit bersifat radioaktif dan relatif melimpah. Dikutip dari How Stuff Works, jumlahnya hampir sama dengan timah dan lebih banyak daripada uranium. Unsur ini juga tersebar luas, dengan konsentrasi tertentu di India, Turki, Brasil, Amerika Serikat, dan Mesir.

    Beberapa ilmuwan menganggap unsur thorium adalah jawaban atas masalah tenaga nuklir. Namun penting untuk dicatat bahwa thorium bukanlah bahan bakar seperti uranium.

    Perbedaannya adalah uranium bersifat ‘fisil’, yang berarti bahwa ia menghasilkan reaksi berantai yang berkelanjutan jika kita bisa mendapatkan cukup uranium di satu tempat pada satu waktu.

    Di sisi lain, thorium tidak bersifat fisil, atau para ilmuwan menyebutnya ‘fertil’, yang berarti bahwa jika kita membombardir thorium dengan neutron (pada dasarnya menyalakannya dalam reaktor yang berbahan bakar seperti uranium) ia dapat berubah menjadi isotop uranium-233 yang bersifat fisil dan cocok untuk menghasilkan tenaga.

    Kelebihan dan Kekurangan Thorium

    Thorium digunakan dalam beberapa eksperimen fisika nuklir paling awal, Marie Curie dan Ernest Rutherford yang mengerjakannya. Uranium dan plutonium menjadi lebih erat kaitannya dengan proses nuklir selama Perang Dunia II, karena keduanya menyediakan jalur paling jelas untuk membuat bom.

    Untuk pembangkit listrik, thorium memiliki beberapa manfaat nyata. Uranium-233 yang terbentuk dari thorium merupakan bahan bakar yang lebih efisien daripada uranium-235 atau plutonium, dan reaktornya mungkin tidak mudah meleleh karena dapat beroperasi hingga suhu yang lebih tinggi.

    Selain itu, lebih sedikit plutonium yang diproduksi selama pengoperasian reaktor, dan beberapa ilmuwan berpendapat reaktor thorium dapat menghancurkan berton-ton plutonium berbahaya yang telah dibuat dan ditimbun sejak tahun 1950-an.

    Tidak hanya itu, armada reaktor yang beroperasi dengan thorium dan uranium-233 dianggap oleh beberapa ilmuwan lebih tahan terhadap proliferasi, karena teknologi yang lebih canggih diperlukan untuk memisahkan uranium-233 dari produk limbah dan menggunakannya untuk membuat bom.

    Namun, ada beberapa kelemahan thorium. Salah satunya adalah thorium dan uranium-233 bersifat radioaktif yang lebih berbahaya untuk diproses secara kimia. Karena alasan tersebut, keduanya lebih sulit diolah. Batang bahan bakar uranium-233 juga lebih sulit diproduksi. Selain itu, seperti yang disebutkan sebelumnya, thorium bukanlah bahan bakar.

    “Jika kita akan memberi daya pada planet kita menggunakan siklus bahan bakar yang menggunakan thorium dan uranium-233, uranium-233 yang cukup harus diproduksi dalam jenis reaktor lain untuk mengisi bahan bakar reaktor uranium-233 awal,” kata Steve Krahn, profesor di departemen teknik sipil dan lingkungan di Vanderbilt University.

    “Jika itu dapat dicapai, metode untuk memproses thorium-232 dan uranium-233 secara kimia dan memproduksi bahan bakar dari keduanya sudah cukup mapan. Namun, fasilitas untuk melaksanakan proses ini perlu dibangun,” jelasnya.

    Thorium untuk Energi

    Ada beberapa cara thorium dapat diterapkan pada produksi energi. Salah satu cara yang sedang diselidiki sekarang adalah menggunakan bahan bakar thorium/uranium-232 padat dalam reaktor berpendingin air konvensional, mirip dengan pembangkit listrik berbasis uranium modern.

    Faktanya, lebih dari 20 reaktor di seluruh dunia telah dioperasikan dengan bahan bakar yang terbuat dari thorium dan uranium-233.

    Prospek lain yang menarik bagi para ilmuwan dan pendukung tenaga nuklir adalah reaktor garam cair. Pada pembangkit ini, bahan bakar dilarutkan dalam garam cair yang juga berfungsi sebagai pendingin reaktor.

    Garam memiliki titik didih yang tinggi, sehingga dapat lebih efisien dalam pembangkitan listrik dan bahkan lonjakan suhu yang besar tidak akan menyebabkan kecelakaan reaktor besar-besaran seperti yang terjadi di Fukushima, Jepang.

    Reaktor semacam ini mungkin kedengaran seperti cerita fiksi ilmiah. Nyatanya, reaktor seperti itu pernah dioperasikan di Amerika Serikat pada 1960-an dan saat ini sedang dibangun di Gurun Gobi di China.

    (rns/fay)