Event: Pemilu 2019

  • Semburat Keberpihakan MK dalam Putusan Presidential Threshold

    Semburat Keberpihakan MK dalam Putusan Presidential Threshold

    Jakarta

    Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang dibacakan Kamis (2/1) menunjukkan “semburat keberpihakan” terhadap pemilu yang adil dan demokratis. Meskipun pengabulan suatu uji materiil oleh MK adalah hal yang lumrah, namun kali ini terasa berbeda dan perlu disambut dengan suka cita. Lantaran MK dalam putusan tersebut menyatakan Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) bertentangan dengan UUD NRI 1945.

    Putusan ini tidak hanya monumental, tetapi turut menjadi kulminasi atas berbagai upaya yang menghendaki hapusnya monopoli kandidasi presiden oleh segelintir (baca: koalisi) partai di parlemen. Sebab, sebelumnya pencalonan presiden wajib mendapat dukungan minimal 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR periode sebelumnya. Politik hukum semacam ini hanya meminimalkan opsi calon presiden bagi rakyat. Pun lebih mengarah pada dekonsolidasi demokrasi (Foa dan Mounk, 2016), di mana rakyat tidak hanya pesimis terhadap partai politik, tetapi juga terhadap demokrasi.

    Runtuhnya Pendirian MK

    Pembacaan terhadap Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 membawa kita pada hal menarik dalam dalil permohonan. Empat mahasiswa—Enika, Rizki, Faisal, dan Tsalis—sebagai pemohon berhasil memandu Hakim MK untuk mempertimbangkan norma-norma yang bersifat meta-yuridis.

    Setidaknya terdapat tiga norma meta-yuridis yang didalilkan. Pertama, adanya presidential threshold hanya menggerus ‘moralitas’ demokrasi. Alih-alih menguatkan fungsi partai sebagai agregator aspirasi rakyat atas calon presiden potensial, pembatasan ini justru membuat Pemilu dikooptasi oleh partai besar dan koalisi gemuk.

    Kedua, ‘rasionalitas’ keterkaitan antara pengaturan ambang batas dengan penguatan sistem presidensial. Nyatanya dengan mengambil fakta Pemilu 2019, pemohon dapat membuktikan keduanya tidak memiliki korelasi yang kuat. Bahkan hal ini telah diamini lebih dahulu oleh Abdul Ghoffar (2018: 498). Menurutnya, meski tidak ada ambang batas pencalonan, sistem pemerintahan presidensial tetap dapat stabil dan efektif. Simpulan ini ia peroleh dari kajian komparatif terhadap best practice di negara lain, di antaranya Amerika Serikat, Brazil, dan Kyrgyzstan.

    Ketiga, menyebabkan ‘ketidakadilan yang intolerable’. Ambang batas calon presiden didalilkan pemohon hanya menguatkan ketidakadilan struktural. Oleh karena menutup kesempatan bagi partai kecil untuk mencalonkan kandidat terbaik yang dimiliki tanpa harus berkoalisi. Pada saat yang sama, rakyat ‘dipaksa’ memilih kandidat yang ditentukan partai yang memenuhi ambang batas pencalonan sekalipun bukan preferensi yang dikehendaki rakyat.

    Tidak sulit melacak perpaduan kedua paradigma ini dalam putusan a quo. Pada bagian ratio decidendi contohnya, hakim MK berpendirian yang sama dengan argumen para pemohon. Tegasnya, MK berpandangan presidential threshold tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, namun juga melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable (Putusan 62/PUU-XXII/2024).

    Walau tidak mudah mengatakan putusan ini bernuansa hukum alam. Nyatanya pandangan MK sejurus dengan tesis mendasar mengenai hukum alam yakni adanya hubungan yang esensial antara hukum dan moral (Murphy dan Coleman, 1990). Kendatipun pendapat MK lebih bersesuaian dengan rangkaian ‘moralitas kedua’ dalam pandangan Fuller (1969) yang menawarkan modernisasi atas paham hukum alam.

    Terlepas nuansa yang terkandung dalam putusan tersebut, putusan kali ini membuka prospek lebih jauh atas dalil-dalil uji materiil yang menyandarkan pada constitutional morality. Artinya, ukuran konstitusionalitas tidak hanya dinilai dari kesesuaian antara norma yang diuji dengan norma batang tubuh UUD, tapi juga persesuaiannya dengan moralitas hukum. Toh, runtuhnya pendirian soal konstitusionalitas presidential threshold turut menasbihkan prospek tersebut.

    Menyemai Responsivitas

    Putusan kali ini juga menggambarkan bahwa MK sekalipun dapat berubah pendirian. Dari yang semula kaku dan menahan diri bergerak menuju responsif. MK tampil lebih berani untuk keluar dari ‘jeratan’ kebijakan hukum terbuka, yang selama ini menjadi tembok penghalang bagi permohonan-pemohonan sejenis lainnya. Perubahan pendirian ini merupakan praktik yang lumrah bagi MK.

    Edgar Bodenheimer (1981) menyebut praktik ini sebagai overruling yakni mengesampingkan putusan pengadilan terdahulu untuk mengarahkan hukum umum agar lebih sesuai dengan kebutuhan keadilan. Lebih lanjut menurut Bodenheimer, praktik mengubah pendirian dalam putusan hanya mungkin terjadi apabila terdapat distinguishing factor. Singkatnya, hakim menemukan faktor yang berbeda sehingga apabila diputuskan dengan cara yang sama, justru menghasilkan ketidakadilan. Bahkan pada kondisi tertentu mengakibatkan kekerasan yang jauh melampaui apa yang dipikirkan hakim dalam pendirian sebelumnya.

    Menyitir pendapat Fallon (2005), setidaknya terdapat tiga parameter untuk menjustifikasi praktik ini. Pertama, legitimasi hukum yang dapat terpancar dari upaya Hakim MK untuk membenahi dan meluruskan cara melakukan interpretasi. MK meski tampak terlambat, tetapi akhirnya menyadari bahwa original intent dari Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 tidak mengarah pada perbincangan mengenai presidential threshold. Satu-satunya pembatasan yang disepakati hanya berkaitan syarat minimal keterpilihan.

    Hal ini kemudian secara eksplisit tertuang pada ayat (3) pasal a quo, yaitu mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam Pemilu dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

    Kedua, legitimasi sociological di mana hakim tidak boleh menafikan fakta dan tuntutan masyarakat yang cenderung tidak statis. Permohonan terhadap Pasal 222 UU Pemilu yang dilakukan sebanyak 33 kali setidaknya telah memberikan alarm bagi MK bahwa ketentuan presidential threshold tidak lagi relevan dengan kebutuhan hukum masyarakat. Pengujian secara terus-menerus atas pasal yang sama menunjukkan rakyat teramat jengah dengan model pencalonan presiden yang berlangsung selama ini. Di satu sisi, tidak bermanfaat signifikan bagi alam demokrasi kita, dan di sisi lain hanya menangguk keuntungan bagi partai besar dan koalisi dominan.

    Ketiga, legitimasi moral. Pada titik ini, hakim berkewajiban to declare the law truly. MK dalam perkara ini sesungguhnya telah menunjukkan perannya sebagai the sole interpreter of constitution. Basis legitimasi moral telah mendorong Hakim MK mewujud sebagai judicial heroes. Bagi Schepple (2006), hal ini hanya dimungkinkan tatkala mereka tidak segan-segan untuk menentang pembentuk hukum karena kegagalannya dalam mengikuti prinsip-prinsip konstitusional.

    Hanya dengan begitu, penyemaian responsive judicial review akan terus terjadi. Meski tidak dimungkiri komposisi hakim yang bergerak dalam koridor akitivisme harus terus dirawat. Inilah prakondisi lain yang menjadi syarat terwujudnya hakim-hakim MK yang responsif. Paling tidak itu tergambar dari pendapat Yance Arizona dalam keterangan ahlinya.

    Konsekuensi Putusan MK

    Secara ketatanegaraan, konsekuensi dari putusan ini adalah sistem presidensial Indonesia berjalan sesuai DNA awalnya yaitu berbalut sistem kepartaian yang majemuk. Pelacakan historis juga menunjukkan bahwa presidensialisme Indonesia memang sejak awal dibangun dengan pondasi multipartai. Boleh jadi inilah yang disebut Bung Hatta sebagai esensi dari demokrasi kerakyatan yang dijiwai kolektivitet.

    Presidensialisme multipartai memang sepatutnya memberikan kesempatan bagi setiap partai peserta Pemilu untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden secara mandiri. Dengan begitu, rakyat akan berpotensi memiliki preferensi calon presiden dan wakil presiden dalam jumlah yang lebih banyak.

    Dapat dikatakan pula, putusan tersebut merupakan antitesis dari praktik pemilu saat ini yang cenderung ‘memaksakan’ hanya dua pasangan calon. Setidaknya itulah yang tampak dari Pemilu 2014, 2019, dan 2024. Namun membuka keran pencalonan seluas-luasnya bukan pula tanpa persoalan. Presidensialisme multipartai semacam itu akan berdampak pada terbukanya peluang pemilu dua putaran. Pembengkakan biaya adalah perihal yang mungkin terjadi. Sebab dengan banyaknya kandidat, potensi untuk menang satu putaran bukan perkara mudah, meski bukan pula hal yang mustahil. Presidensialime multipartai memang tidak didesain hanya untuk memunculkan dua kandidat.

    Kandidasi yang membuka peluang banyaknya opsi pilihan rakyat akan terhindar dari apa yang disebut Pitkin (1963) sebagai respresentasi simbolik. Respresentasi semacam ini secara formal dan imajiner memang menyediakan sarana untuk rakyat menyalurkan suaranya dalam perhelatan Pemilu. Tetapi, ke mana suara itu diberikan telah dibatasi oleh segelintir partai melalui kandidat yang terbatas.

    Pada akhirnya, melalui putusan ini MK tampak berusaha menyulam kembali palu yang telah patah. Ada semburat keberpihakan yang mulai terpancar untuk menguatkan demokrasi di Indonesia. Hal inilah yang sepatutnya terus disemai oleh MK agar demokrasi kita tidak senantiasa tergerus dan berjalan mundur.

    Rilo Pambudi. S pengajar Hukum Tata Negara Universitas Maritim Raja Ali Haji

    (mmu/mmu)

  • Pendukung Jokowi Wajib Baca! YLBHI Paparkan 10 Alasan Jokowi Layak Masuk Nominasi Tokoh Terkorup Dunia

    Pendukung Jokowi Wajib Baca! YLBHI Paparkan 10 Alasan Jokowi Layak Masuk Nominasi Tokoh Terkorup Dunia

    “Omnibus Law berakhir disahkan, namun dibatalkan oleh MK dengan syarat perlu melakukan revisi dengan prinsip partisipasi bermakna. Jokowi tidak mendengarkan putusan tersebut, namun malah membangkan dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) dengan substansi yang sama tanpa menyerap aspirasi rakyat,” cetus Arif.

    Keempat, Rezim Nihil Meritokrasi. YLBHI menyebut, merupakan rahasia umum bahwa selama Jokowi menjabat, ia mengangkat beberapa individu yang mendukungnya dalam Pilpres masuk ke jabatan-jabatan spesial. 

    Setidaknya, terdapat 13 relawan Jokowi dalam Pemilu 2019 telah menjadi komisaris BUMN. Mereka adalah Rizal Mallarangeng, Lukman Edy, Zulnahar Usman, Arya Sinulingga, Arief Budimanta, Irma Suryani Chaniago, Dudy Purwagandhi, Fadjroel Rachman, Andi Gani Nena Wea, Ukin Ni’am Yusron, Eko Sulistyo, Dyah Kartika Rini, Kristia Budiyarto. 

    “Ditempatkannya orang-orang dekat Jokowi menunjukan praktik reformasi birokrasi dengan skema meritokrasi hanya jargon belaka,” ujar Arif.

    Kelima, menghidupkan kembali dwifungsi militer. YLBHI menuturkan, dwifungsi ABRI di Indonesia adalah sejarah lambang kekuasaan yang korup. Di masa kekuasaannya, Jokowi mencoba kembali menghidupkan praktek tersebut.

    Berdasarkan catatan Mahkamah Rakyat beberapa poin penting yang dapat menunjukkan kembalinya praktek ini, melalui pengesahan Undang-undang No. 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara. Ia mengungkapkan, di undang-undang ini jabatan sipil yang dapat diisi oleh militer aktif diperluas. 

  • Kasus Harun Masiku-Hasto Kristiyanto, Wahyu Setiawan Klaim Tak Ditekan PDIP saat Pemilu 2019

    Kasus Harun Masiku-Hasto Kristiyanto, Wahyu Setiawan Klaim Tak Ditekan PDIP saat Pemilu 2019

    Jakarta, Beritasatu.com – Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan (WS) mengeklaim tak ada tekanan dari PDI Perjuangan (PDIP) terkait dengan proses politik saat Pemilu 2019, khususnya terkait pergantian antarwaktu (PAW) DPR periode 2019-2024 Harun Masiku, yang belakangan menjadikan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka.

    Hal itu disampaikan Wahyu seusai menjalani pemeriksaan tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (6/1/2025). Wahyu diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap penetapan anggota DPR periode 2019-2024 serta dugaan perintangan penyidikannya.

    Kasus dugaan suap tersebut menyeret mantan caleg PDI Perjuangan (PDIP) Harun Masiku yang kini masih buron. KPK di lain sisi melakukan pengembangan hingga kemudian menetapkan tersangka baru dalam kasus tersebut, yakni Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto (HK) dan orang kepercayaannya, Donny Tri Istiqomah (DTI).

    “Saya perlu jelaskan tak ada tekanan apa pun dari PDI Perjuangan terkait dengan proses-proses politik sepanjang Pemilu 2019. Saya menyampaikan persoalan yang terjadi pada diri saya, sejak awal itu adalah persoalan saya pribadi. Tidak ada kaitannya dengan lembaga KPU. Jadi saya bertanggung jawab penuh atas yang saya lakukan dan saya sudah menjalani proses hukum. Jadi sudah jelas sebenarnya posisi saya,” tuturnya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (6/1/2025).

    Wahyu diketahui telah diproses hukum karena turut tersandung kasus tersebut. Dia pun mengaku sudah bersikap kooperatif saat pemeriksaan kali ini.

    “Namun, prinsipnya tentu kasus terdahulu yang menyangkut saya. Saya sudah sampaikan segala sesuatunya yang saya tahu, saya dengar, saya lihat, dan saya bersikap kooperatif,” ujarnya terkait pemeriskaan Harun Masiku dan Hasto Kristiyanto.

    Wahyu irit bicara soal detail materi pemeriksaannya. Dia bahkan mengaku tak memberikan info terbaru kepada tim penyidik KPK terkait kasus tersebut.

    “Saya ditanya pertanyaan yang mengulang dari pertanyaan sebelumnya. Jadi tidak ada informasi baru yang saya berikan. Namun, saya meneliti kembali jawaban saya yang dahulu sehingga pada dasarnya pemeriksaan saya sudah rampung dan tidak ada hal baru yang saya sampaikan, karena sudah saya sampaikan semua sebelumnya,” ungkapnya.

    Wahyu diketahui memiliki keterkaitan dengan kasus tersebut. KPK sempat menyebut Hasto bersama dengan Harun Masiku dan kawan-kawan diduga menyuap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022, Wahyu Setiawan serta Agustiani Tio pada Desember 2019.

    Suap diberikan agar Harun Masiku dapat ditetapkan sebagai anggota DPR periode 2019-2024. Wahyu dan Agustiani diketahui telah menjalani proses hukum atas penerimaan suap tersebut.

    Diketahui, Hasto Kristiyanto ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Harun Masiku. Hasto diduga berupaya keras agar Harun Masiku menjadi anggota DPR periode 2019-2024 lewat mekanisme pergantian antarwaktu (PAW).

    Hasto Kristiyanto juga menjadi tersangka dalam kasus perintangan penyidikan atau menghalangi upaya KPK dalam menyidik Harun Masiku dalam perkara suap proses PAW anggota DPR.

  • Diperiksa Kasus Hasto, Wahyu Setiawan Klaim Tak Tahu Sumber Uang Suap

    Diperiksa Kasus Hasto, Wahyu Setiawan Klaim Tak Tahu Sumber Uang Suap

    Jakarta, CNN Indonesia

    Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI periode 2017-2022 Wahyu Setiawan mengklaim tidak tahu-menahu mengenai sumber uang suap untuk memuluskan jalan mantan calon legislatif PDI Perjuangan (PDIP) Harun Masiku ke Senayan pada 2019 silam.

    Hal itu disampaikan Wahyu setelah diperiksa selama sekitar enam jam oleh penyidik KPK, Gedung Merah Putih, Senin (6/1) petang.

    “Saya kan tidak tahu sumbernya dari mana,” jawab Wahyu saat ditanya keterlibatan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto dalam memberi suap.

    Wahyu yang saat itu menjadi kader PDIP mengaku mengenal baik Hasto. Namun, ia mengklaim tidak melakukan komunikasi langsung dengan Hasto mengenai suap untuk meloloskan Harun ke Senayan.

    Kasus suap ini melibatkan mantan Anggota Bawaslu sekaligus kader PDIP Agustiani Tio Fridelina (mantan terpidana) yang juga mempunyai hubungan kekerabatan dengan Wahyu.

    “Tidak ada (komunikasi langsung),” ucap Wahyu.

    Dalam kesempatan itu, ia memastikan tak ada tekanan dari PDIP mengenai proses politik lima tahun silam. Ia menekankan kasus suap yang diproses KPK murni masalah personal.

    “Saya perlu jelaskan bahwa tidak ada tekanan apa pun dari PDI Perjuangan terkait proses-proses politik sepanjang pemilu 2019, dan itu jelas saya menyampaikan persoalan yang terjadi pada diri saya sejak awal, itu persoalan saya pribadi, tidak ada kaitannya dengan lembaga KPU,” tutur dia.

    “Jadi, saya bertanggungjawab penuh yang saya lakukan dan saya sudah menjalani proses hukum. Sudah jelas posisi saya,” kata dia.

    Mengenai materi pemeriksaan, Wahyu mengaku tidak ada hal baru yang ditanyakan oleh penyidik KPK. Ia mengatakan hanya meneliti kembali jawaban-jawaban yang sebelumnya sudah diberikan (pada saat diperiksa untuk tersangka lain).

    “Saya dipanggil KPK itu kan dalam kapasitas saya sebagai saksi terhadap tersangka pak Hasto Kristiyanto. Jadi, posisi saya jelas seperti itu dan tidak ada hal baru yang saya sampaikan karena sudah saya sampaikan pada saat itu,” ungkap dia.

    Sementara itu, Agustiani Tio Fridelina juga menyatakan pemeriksaannya hari ini hanya mengulang apa yang sebelumnya sudah ditanyakan. Namun, ia mengaku tidak bisa menyelesaikan proses pemeriksaan karena sedang menderita sakit.

    Tio menjalani pemeriksaan selama hampir empat jam.

    “Kita membahas BAP [Berita Acara Pemeriksaan] yang lama. Saya kebetulan kondisi lagi enggak sehat, jadi saya minta di-reschedule, diperiksa tambahan saja,” kata Tio.

    Respons KPK

    Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto belum bisa memberi informasi mengenai hasil pemeriksaan terhadap Wahyu dan Tio. Hanya saja, ia menjelaskan pemeriksaan tersebut untuk melengkapi berkas perkara tiga orang tersangka.

    “(Diperiksa) untuk perkara pak HM [Harun Masiku], tersangka HK [Hasto Kristiyanto] dan tersangka DTI [Dadan Tri Istiqomah],” kata Tessa di Kantornya, Senin.

    “Jadi, ada empat Sprindik [Surat Perintah Penyidikan],” lanjut dia.

    KPK mengumumkan Hasto dan Donny sebagai tersangka pada pekan terakhir tahun kemarin. Keduanya diduga terlibat dalam tindak pidana suap kepada Wahyu untuk kepentingan penetapan pergantian antarwaktu anggota DPR RI periode 2019-2024 Harun Masiku (buron).

    Padahal, Harun hanya memperoleh suara sebanyak 5.878. Sedangkan calon legislatif PDIP atas nama Riezky Aprillia mendapatkan 44.402 suara dan berhak menggantikan Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia.

    Hasto disebut berupaya menempatkan Harun sebagai pengganti Nazarudin Kiemas dengan mengajukan uji materi atau judicial review kepada Mahkamah Agung (MA) tanggal 24 Juni 2019 dan menandatangani sebuah surat tanggal 5 Agustus 2019 perihal permohonan pelaksanaan putusan uji materi.

    Setelah ada putusan MA, KPU tidak melaksanakannya. Hasto pun meminta fatwa ke MA.

    Selain upaya tersebut, Hasto diduga juga secara paralel mengupayakan agar Riezky mengundurkan diri. Namun, permintaan tersebut ditolak.

    Hasto disebut juga pernah meminta kader PDIP Saeful Bahri menemui Riezky di Singapura dan meminta mundur. Permintaan itu lagi-lagi ditolak Riezky. Bahkan, surat undangan pelantikan Riezky sebagai anggota DPR ditahan Hasto. Ia kukuh meminta Riezky mundur.

    “Oleh karena upaya-upaya tersebut belum berhasil, maka saudara HK bekerja sama dengan saudara Harun Masiku, saudara Saeful Bahri dan saudara DTI (Donny Tri Istiqomah, Advokat PDIP) melakukan penyuapan kepada saudara Wahyu Setiawan dan saudara Agustiani Tio Fridelina, di mana diketahui saudara Wahyu Setiawan merupakan kader PDIP yang menjadi Komisioner di KPU,” ungkap Ketua KPK Setyo Budiyanto dalam jumpa pers di Kantornya beberapa waktu lalu.

    Teruntuk Hasto, ia juga dikenakan Pasal perintangan penyidikan atau obstruction of justice. Hasto disebut membocorkan Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada awal 2020 lalu yang menyasar Harun.

    Ia diduga meminta Harun merendam handphone dan segera melarikan diri.

    Hasto diduga juga memerintahkan anak buahnya yakni Kusnadi (Staf PDIP) untuk menenggelamkan handphone agar tidak ditemukan oleh KPK.

    Tak hanya itu, Hasto disebut mengumpulkan beberapa orang saksi terkait perkara agar tidak memberikan keterangan yang sebenarnya.

    (ryn/wis)

    [Gambas:Video CNN]

  • Lemahnya Literasi Media dan Kasus OCCRP

    Lemahnya Literasi Media dan Kasus OCCRP

    loading…

    Eko Ernada, Dosen FISIP Universitas Jember. Foto/Istimewa

    Eko Ernada
    Dosen FISIP Universitas Jember

    PEMBERITAAN mengenai nominasi Presiden ke-7 RI Joko Widodo sebagai salah satu pemimpin terkorup di dunia oleh Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) baru-baru ini memicu diskursus luas di Indonesia. Meski OCCRP kemudian membantah memiliki bukti yang menunjukkan keterlibatan Jokowi dalam korupsi, narasi yang telah menyebar di ruang publik terbukti efektif membentuk opini masyarakat.

    Fenomena ini membuka ruang diskusi ilmiah terkait rendahnya literasi media, lemahnya penerapan prinsip jurnalistik, serta efek echo chamber dalam pembentukan persepsi publik. Kasus seperti ini sebenarnya bukanlah yang pertama terjadi, baik di Indonesia maupun di dunia.

    Pada 2016, misalnya, isu terkait Pizzagate di Amerika Serikat menjadi salah satu contoh paling menonjol. Dalam kasus tersebut, sebuah teori konspirasi menyebar secara masif melalui media sosial yang mengklaim bahwa petinggi Partai Demokrat terlibat dalam jaringan perdagangan manusia dan eksploitasi anak yang berpusat di sebuah restoran piza.

    Meski teori ini didasarkan pada informasi yang tidak terverifikasi dan telah dibantah secara resmi, penyebarannya memicu kegaduhan besar di publik, termasuk serangan bersenjata ke restoran tersebut oleh individu yang percaya pada narasi tersebut.

    Di Indonesia, kasus serupa pernah terjadi pada 2019 ketika sebuah video viral di media sosial mengklaim bahwa surat suara untuk Pemilu 2019 telah dicetak dan dicoblos secara ilegal di sebuah gudang di Malaysia. Informasi ini langsung menyebar luas, terutama di kalangan kelompok tertentu yang skeptis terhadap pemerintah.

    Setelah dilakukan investigasi oleh pihak berwenang, klaim tersebut terbukti tidak benar, tetapi narasi awal telah merusak kepercayaan sebagian masyarakat terhadap proses pemilu. Kedua kasus ini, seperti halnya kasus OCCRP, menunjukkan bagaimana narasi yang tidak diverifikasi dapat menciptakan kegaduhan dan memperkuat polarisasi di masyarakat.

    Dalam teori komunikasi Two-Step Flow yang dikemukakan oleh Elihu Katz dan Paul Lazarsfeld, informasi sering kali tidak diterima langsung oleh publik, tetapi melalui perantara seperti media massa atau tokoh berpengaruh (opinion leaders). Dalam ketiga kasus ini, media sosial berperan besar sebagai penyebar utama informasi yang belum terverifikasi.

    Tokoh publik atau kelompok tertentu yang menyebarluaskan narasi awal tanpa melakukan pemeriksaan fakta lebih lanjut memperburuk situasi, sehingga informasi yang salah dianggap kebenaran oleh banyak pihak. Fenomena ini juga diperburuk oleh algoritma media sosial yang menciptakan ruang informasi tertutup (echo chamber).

    Algoritma platform seperti Facebook dan Twitter dirancang untuk menampilkan konten yang relevan dengan preferensi pengguna, yang sering kali memperkuat bias yang ada. Hal ini membuat individu cenderung hanya terpapar informasi yang mendukung keyakinan mereka, sekaligus mengabaikan informasi yang berlawanan.

  • Putusan MK Hapus Presidential Threshold Berpotensi Memperparah Polarisasi – Halaman all

    Putusan MK Hapus Presidential Threshold Berpotensi Memperparah Polarisasi – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan progresif dengan membatalkan ketentuan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. 

    Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, menyambut baik langkah ini, namun menekankan pentingnya kewaspadaan terhadap implikasi dari keputusan tersebut.

    Karyono mengatakan, putusan MK memberikan hak yang sama bagi seluruh partai politik peserta Pemilu untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. 

    “Sehingga masyarakat memiliki banyak pilihan untuk memilih figur capres dan cawapres,” kata Karyono, saat dihubungi, Sabtu (4/1/2025).

    Namun, dia meminta agar putusan tersebut dicermati terutama implikasi pengaturan pelaksanaan dan kontestasi Pilpres ke depan.

    Karyono mengingatkan, dihapusnya ambang batas pencalonan presiden dapat membuka peluang munculnya banyak kandidat, sebanding dengan jumlah partai politik peserta Pemilu. 

    Menurutnya, hal ini berpotensi menimbulkan kompetisi tidak sehat dan memperparah polarisasi di masyarakat.

    Karyono menjelaskan, MK sendiri dalam amar putusannya sudah mengantisipasi potensi munculnya banyak calon. 

    “MK meminta lembaga pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusi (constitution engineering) termasuk di dalamnya harus memperhitungkan agar calon presiden dan wakil presiden tidak terlalu banyak, supaya tidak mengganggu hakikat pemilihan langsung oleh rakyat untuk menghasilkan Pemilu yang demokratis dan berintegritas,” tegasnya.

    Selain itu, Karyono menyoroti tantangan berat dalam pelaksanaan Pemilu jika banyak kandidat bersaing. 

    Beban kerja penyelenggara Pemilu dapat meningkat signifikan, mengulang tragedi Pemilu 2019 ketika banyak petugas Pemilu meninggal dunia akibat kelelahan.

    Karyono juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap budaya politik transaksional yang kerap terjadi dalam Pemilu. 

    Dia menyebut praktik seperti politik uang, intimidasi, kampanye hitam, dan manipulasi suara sebagai ancaman serius bagi kualitas Pemilu dan integritas calon terpilih.

    “Oleh karena itu, jika kondisi tersebut masih belum diperbaiki, maka banyaknya calon presiden alternatif belum tentu menghasilkan Pemilu dan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas,” jelas Karyono.

    Dengan banyaknya calon presiden, Karyono memperkirakan peluang terjadinya Pilpres dua putaran semakin besar. 

    Hal ini, menurutnya, akan berdampak pada meningkatnya biaya Pemilu dan memperkuat budaya politik transaksional saat proses koalisi berlangsung.

    “Terbukanya partai politik peserta Pemilu dalam mengajukan pasangan calon tetap masih terbuka peluang koalisi. Tetapi hasrat koalisi di awal awal berpotensi berkurang karena parpol merasa bisa mengusung paslon sendiri. Kemungkinan hasrat koalisi akan meningkat jika terjadi dua putaran,” ucap Karyono.

    Karyono menambahkan, pendidikan politik bagi masyarakat juga perlu ditingkatkan untuk mengatasi rendahnya pemahaman politik di akar rumput. 

    Hal ini penting agar masyarakat mampu berpartisipasi dalam pemilu secara sadar dan bertanggung jawab.

  • Keran Dibuka MK, Partai Besar Tak Lagi Monopoli Pencapresan!

    Keran Dibuka MK, Partai Besar Tak Lagi Monopoli Pencapresan!

    Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas presiden atau presidential threshold 20%. Keputusan itu membuka keran di tengah paceklik calon alternatif dan terbatasnya pilihan dalam setiap kontestasi pemimpin tingkat nasional atau pemilihan presiden (Pilpres).

    Adapun amar putusan MK yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Suhartoyo, menyatakan bahwa norma Pasal 222 UU No. 7/2017 yang mengatur ambang batas presiden Inkonstitusional. “Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua MK Suhartoyo.

    Putusan MK menjadi kejutan pada awal tahun. Pasalnya, dengan dihapusnya ambang batas presiden, keran kompetisi politik dibuka lebar. Selain itu, putusan itu menjamin proses pencalonan presiden tidak melulu dimonopoli koalisi atau partai besar yang mencukupi threshold 20%. Semua partai politik bisa mengusung calon presidennya masing-masing.

    Presidential threshold sejatinya telah ada sejak Pilpres secara langsung pertama kali diterapkan, yakni tahun 2004. Hanya saja, besarannya kerap berubah-udah. Pada Pilpres 2004 misalnya, Undang-undang No.23/2003 tetang Pemilihan Umum alias Pemilu mengatur secara eksplisit bahwa partai atau gabungan partai politik yang mengusung calon presiden dan wakil presiden harus merepresentasikan 15% kursi parlemen atau 20% suara sah nasional. 

    Besaran ambang batas presiden kemudian dinaikan pada tahun 2009. Saat itu pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang didukung mayoritas kursi di parlemen, menaikan ambang batas pencalonan presiden menjadi 25% kursi di parlemen dan 20% suara sah pemilihan legislatif alias Pileg. 

    Pada Pemilu 2014 besaran presidential threshold tidak berubah. Namun pada Pemilu 2019 terjadi perubahan. Undang-undang No.7/2017, mengamanatkan tentang perubahan ambang batas yakni 20% kursi parlemen dan 25% suara sah nasional. 

    Pada Pemilu 2024 ketentuannya masih sama. Meski demikian, banyak pihak berupaya untuk menggugat penerapan aturan mengenai presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, mayoritas gugatan ditolak MK.

    Dalam catatan Bisnis, pasal tentang Presidential Threshold yang tercantum dalam Undang-undang Pemilu adalah salah satu masalah yang sering digugat ke Mahkamah Konstitusi. Pasal itu akhirnya dihapus pada Kamis (2/1/2025) kemarin setelah 36 kali gugatan ke MK.

    Alasan Hakim MK 

    Ada sejumlah pertimbangan hakim konstitusi menghapus pasal mengenai presidential threshold. Pandangan mayoritas hakim konstitusi itu tercermin dalam pertimbangan mahkamah, kecuali satu hakim yang menyatakan disenting opinion atau berbeda pendapat yakni Anwar Usman.

    Anwar Usman adalah adik ipar Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang juga paman dari Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Anwar semula adalah Ketua Mahkamah Konstitusi. Namun jabatan itu dicopot setelah Mahkamah Kehormatan (MKMK) menyatakan Anwar melanggar etik pelanggaran etik saat memutus perkara No.90/PUU.XXI/2023.

    Adapun mayoritas hakim berpandangan bahwa presidential threshold telah membatasi hak konstitusional pemilu karena calon hanya didominasi bahkan dimonopoli oleh partai-partai besar. Terbatasnya jumlah calon, yang dalam dua pilpres terakhir hanya 2, berpotensi memunculkan polarisasi di tengah masyarakat. 

    Selain itu, keberadaan threshold pencalonan presiden juga bisa memunculkan calon tunggal. Hal itu setidaknya tercermin dalam Pilkada 2024 yang baru saja selesai. Pada Pilkada 2024, besarnya threshold nyaris membuat kontestasi politik di sejumlah daerah menghadapkan calon dengan kotak kosong.

    “Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi.”

    Komentar Politisi

    Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menghormati dan menghargai putusan MK yang menghapus persentase presidential threshold.

    Menurutnya, pemerintah dan DPR akan menindaklanjutinya dalam pembentukan norma baru di UU terkait dengan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden (wapres).

    “Saya kira ini babak baru bagi demokrasi konstitusional kita, di mana peluang mencalonkan presiden dan wapres bisa lebih terbuka diikuti oleh lebih banyak pasangan calon dengan ketentuan yang lebih terbuka,” ujarnya.

    Hal senada juga diungkapkan Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Said Abdullah. Said menyampaikan PDIP menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) minimal 20%.

    Menurutnya, PDIP sebagai bagian dari partai politik sudah sepatutnya patuh pada putusan MK lantaran bersifat final dan mengikat. “Atas putusan ini, maka kami sebagai bagian dari partai politik sepenuhnya tunduk dan patuh, sebab putusan MK bersifat final dan mengikat,” ujarnya.

    Sementara itu, Sekjen Partai Golkar Sarmuji mengaku dirinya terkejut dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi terhadap pasal 222 UU No.7/2017.Pasalnya, Sarmuji terkejut lantaran dia mengungkapkan bahwa sebelumnya MK selalu menolak dalam 27 kesempatan sebelumnya.

    “Keputusan MK sangat mengejutkan mengingat putusan MK terhadap 27 gugatan [soal UU yang sama] sebelumnya selalu menolak,” kata Sarmuji saat dikonfirmasi, di Jakarta, pada Kamis (2/1/2025).

    Lebih lanjut, dia turut mengungkit bawa MK dan pembuat Undang-Undang (UU) selalu memiliki cara pandang yang sama. “Dalam 27 kali putusannya cara pandang MK dan pembuat UU selalu sama, yaitu maksud diterapkannya presidensial treshold itu untuk mendukung sistem presidensial bisa berjalan secara efektif,” pungkasnya.  

  • Memori Hari Ini, 1 Januari 2019: Prabowo

    Memori Hari Ini, 1 Januari 2019: Prabowo

    JAKARTA – Memori hari ini, enam tahun yang lalu, 1 Januari 2019, pasangan Capres dan Cawapres, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno mengungkap tahun baru adalah ajang kebangkitan kembali. Penyataan itu diungkap keduanya karena April mendatang Pilpres 2019 digelar.

    Sebelumnya, Prabowo kembali menantang Joko Widodo (Jokowi) dalam kontestasi Pilpres. Prabowo percaya diri hokinya berjalan pada 2019. Ia kemudian memilih pasangan yang tepat. Beberapa nama sempat hadir. Namun, pilihan jatuh kepada Sandi.

    Prabowo tak mau gegabah soal pilih pasangan untuk Pilpres 2019. Persoalan memilih Cawapres adalah urusan besar. Ia meyakini calon wakilnya paling tidak punya daya jual tinggi bagi rakyat Indonesia. Bekal itu dianggap bisa membawa banyak suara.

    Prabowo dan Partai Gerindra mulai bergerilya mencari calon potensial. Nama-nama tokoh nasional disiapkan, dari politikus hingga alim ulama. Prabowo mulanya ingin dipasangkan dengan Ustaz Abdul Somad (UAS). Namun, UAS menolak karena ingin fokus lewat jalan dakwah.

    Pilihan pun akhirnya mengarah kepada Anies Baswedan. Prabowo menganggap Gubernur DKI Jakarta pun punya potensi besar dalam menjaring suara rakyat Indonesia. Urusan kedekatan tak perlu diragukan. Prabowo pernah mengorbitkan Anies dalam kontestasi Pilgub DKI Jakarta 2017 dan menang.

    Capres serta Cawapres dalam Pemilu 2019, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. (ANTARA)

    Prabowo mencoba melobi Anies. Lobi yang dilakukan bukan saja sekali, tetapi tiga kali. Masing-masing pinangan itu dilakukan pada bulan puasa, beberapa hari setelah lebaran, hingga Anies dipanggil ke kediaman Prabowo pada Juli 2018. Hasilnya nihil.

    Anies menolak ketiga pinangan Prabowo. Anies beralasan bahwa ia tak ingin mengecewakan warga Jakarta. Janji-janjinya semasa kampanye coba diwujudkan termasuk bertahan hingga masa jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta habis. Prabowo Lalu mengambil opsi menjadikan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno sebagai pasangannya.

    “Anies mengatakan dia menolak tawaran Prabowo karena ingin berkonsentrasi membenahi DKI Jakarta. Menurut Anies, banyak janji kepada pemilihnya, warga Jakarta, yang belum ditunaikan. Undangan menjadi calon wakil presiden adalah kehormatan. Pak Prabowo menghargai sikap untuk memegang komitmen.”

    “Penolakan Anies mendampingi Prabowo rupanya masuk radar sejumlah partai yang ingin membangun poros baru. Pendaftaran pemilihan presiden makin dekat. Mereka tak mau hanya terpaku pada blok Prabowo dan Joko Widodo dan tak mengusung calon sendiri,” ungkap Hussein Abri Dongoran dalam tulisannya di majalah Tempo berjudul Bubar Jalan Poros Ketiga (2018).

    Prabowo pun kian mantap dengan Sandi. Keduanya pun mulai merumuskan segala macam agenda ke depan termasuk janji kampanye. Kondisi itu membuat keduanya kian memantapkan langkah untuk memenangi Pilpres 2019.

    Kepercayaan diri itu ditunjukkan Prabowo-Sandi pada awal tahun baru pada 1 Januari 2019. Prabowo-Sandi mengucapkan selamat tahun baru kepada seluruh rakyat Indonesia. Prabowo-Sandi secara khusus menyebut momentum tahun baru sebagai penanda kebangkitan kembali.

    Prabowo-Sandi juga menyebut tahun 2019 sebagai tahun penentuan. Tahun penuh kebaikan buat seluruh bangsa Indonesia. Ucapan itu merujuk kepada kontestasi Pilpres yang akan digelar pada April mendatang.

    “Kepada sahabat-sahabat di mana pun berada, selamat tahun baru, semoga tahun yang akan datang tahun kebaikan untuk kita semua, untuk seluruh bangsa Indonesia. Tahun penentuan, dan tahun kebangkitan kembali. Happy new year, selamat tahun baru dan semoga Tuhan selalu beserta kita,” kata Prabowo bersama Sandi lewat video lewat Akun Twitter/X @sandiuno, 1 Januari 2019.

  • Profil Satori, Anggota DPR yang diperiksa di Kasus Korupsi CSR BI

    Profil Satori, Anggota DPR yang diperiksa di Kasus Korupsi CSR BI

    Bisnis.com, CIREBON- Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memeriksa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai saksi kasus dugaan penyalahgunaan dana corporate social responsibility (CSR) dari Bank Indonesia. 

    Dalam hasil pemeriksaan oleh KPK, legislator dari Partai NasDem itu mengaku, seluruh anggota komisinya mendapatkan dana CSR untuk disalurkan melalui program-program di daerah pemilihan masing-masing. 

    “Memang kalau program itu semua anggota Komisi XI. [Dana CSR saya disalurkan] semua kepada Yayasan,” ujar Satori.

    Profil Satori

    Satori adalah anggota DPR dari daerah pemilihan (Dapil) Jabar VIII yang mencakup Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon, dan Kabupaten Indramayu. 

    Dia lahir di Palimanan, Cirebon, pada 25 Februari 1970. Karier politik Satori dimulai dari tingkat daerah. Ia menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Cirebon untuk periode 2009–2014 dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). 

    Keberhasilannya di tingkat kabupaten membawanya terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi Jawa Barat periode 2014–2019.

    Pada Pemilu 2019, Satori bergabung dengan Partai NasDem dan mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI. Ia berhasil mendapatkan kepercayaan dari masyarakat di Dapil Jabar VIII, yang kemudian mengantarkannya ke Senayan.

    Sebagai anggota DPR RI, Satori ditempatkan di Komisi XI yang membidangi keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Komisi ini memiliki peran strategis dalam mengawasi dan membahas kebijakan fiskal negara, termasuk pengelolaan anggaran, perpajakan, serta program pembangunan ekonomi.

    Selain tugasnya di DPR RI, Satori juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kabupaten Cirebon periode 2020–2025. Dalam perannya ini, ia terlibat dalam berbagai kegiatan pembinaan umat dan pengembangan program keagamaan di tingkat lokal.

  • Catatan Politik Akhir Tahun: 2024 Penuh Kontroversi dan Ujian bagi Demokrasi

    Catatan Politik Akhir Tahun: 2024 Penuh Kontroversi dan Ujian bagi Demokrasi

    Bisnis.com, JAKARTA — Sejarah tercipta pada tahun 2024. Indonesia untuk pertama kalinya melaksanakan pemilihan umum baik untuk pemilihan presiden, pemilihan legislatif, hingga pemilihan kepala daerah alias Pilkada secara serentak dalam tahun yang sama.

    Tidak ada gejolak berarti. Pemilu relatif aman. Kalaupun ada gesekan, sifatnya minor dan terjadi di wilayah yang betul-betul rawan. Kondisi itu nyaris berbeda 180 derajat dengan tahun 2019. Saat itu, terjadi protes dan bentrokan antara massa dengan aparat. Banyak korban luka dan terdapat korban jiwa. 

    Kendati relatif aman, sejumlah kalangan mengkritisi pelaksanaan pesta demokrasi yang berlangsung serentak pada tahun 2024. Kualitas demokrasi konon berada di titik nadir.

    Pelanggaran konstitusi dan dugaan kecurangan yang melibatkan aparatur negara terjadi di secara massif. Indikatornya sangat sederhana, yakni adanya gugatan di Mahkamah Konsitusi (MK), yang mendalilkan cawe-cawe aparatur negara dalam berkas gugatannya.

    Dalam catatan Bisnis, MK telah menerima 313 perselisihan hasil pemilihan kepala daerah alias Pilkada 2024. Jumlah itu terdiri 23 sengketa pemilihan gubernur (Pilgub), 24 pemilihan bupati, dan 49 pemilihan wali kota. 

    Isu keterlibatan aparatur negara sejatinya bukan hal yang baru. Pernah muncul dalam pemilu 2019. Namun demikian kualitas pelaksanaan Pemilu hingga Pilkada 2024, menjadi perbincangan banyak pihak. Tidak hanya politisi, pemerhati politik juga menganggap bahwa kualitas demokrasi di Indonesia berada di titik terendah. 

    Peneliti Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro, misalnya, menilai bahwa hal itu terjadi karena keseriusan dan komitmen para elite maupun stakeholders partai politik alias parpol dalam menyukseskan pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang berkualitas masih rendah.

    “Pokoke [pokoknya] menang dengan perilaku menghalalkan semua cara, dan politik transaksional [vote buying] membuat pilkada tidak lagi dilandasi kualitas dan penegakan hukum yang baik, menafikan etika politik sehingga membuat pilkada penuh distorsi, menyimpang dan melanggar peraturan,” katanya Minggu (22/12/2024).

    Tren Pemusatan Kekuatan 

    Indikasi penurunan demokrasi itu sebenarnya terkonfirmasi dari data-data yang dirilis oleh lembaga global. The Economist Intelligence Unit telah berulangkali mengkategorikan Indonesia masuk dalam katengori negara demokrasi cacat (flawed democracy).

    Demokrasi cacat sekilas memiliki kesamaan dengan demokrasi prosedural. Artinya, secara prosedur telah menerapkan demokrasi, hak sipil dijamin, namun secara substansi masih terjadi masalah khususnya terkait penindasan masyakarat sipil atau kelompok oposisi.

    Di Indonesia, sejak periode kedua pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), terjadi sebuah pembalikan dalam demokrasi di Indonesia. Terjadi konsolidasi kekuatan di level elite. Semua kalangan diakomodasi, termasuk oposisi akhirnya masuk dalam pemerintahan, kondisi yang memicu ketidakseimbangan kekuasaan di level eksekutif maupun legislatif.

    Tren ini berlanjut pada era Prabowo Subianto. Pemusatan kekuatan di era Prabowo terjadi melalui keberadaan Koalisi Indonesia Maju alias KIM Plus. KIM Plus terdiri dari 7 partai politik parlemen, termasuk 9 partai non-parlemen. Koalisi ini menguasai sebanyak 81% dari total kursi di DPR sebanyak 580.

    Fenomana koalisi besar ini nyaris menghadirkan bayak calon tunggal di Pilkada 2024. Namun demikian, rencana itu buyar setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang memberikan peluang partai non KIM Plus untuk mengajukan calon dalam Pilkada 2024. Alhasil, jumlah calon tunggal yang melawan kotak kosong berhasil diperkecil menjadi tersisa 37 daerah.

    Wacana Pilkada via DPRD

    Di tengah hiruk pikuk proses pemilu yang penuh kontroversi, Presiden Prabowo Subianto berencana mengevaluasi sistem pelaksanaan pemilihan kepala daerah atau Pilkada. Dia menganggap sistem yang berlaku saat ini berbiaya tinggi alias boros. Prabowo ingin sistem pilkada bisa lebih efektif dan efisien.

    Ketua Umum Partai Gerindra itu kemudian melontarkan wacana mengembalikan sistem Pilkada langsung ke sistem Pilkada berdasarkan representasi di lembaga legislatif. “Mari kita berfikir. Mari kita bertanya. Apa sistem ini berapa puluh triliun habis dalam waktu sehari dua hari?,” ujar Prabowo saat memberikan sambutan dalam ulang tahun ke 60 Golkar, Kamis (12/12/2024).

    Gagasan Prabowo langsung memperoleh dukungan dari jajaran menterinya maupun partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju alias KIM Plus. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Kanavian, misalnya, mengemukakan bahwa, evaluasi sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak memang dapat memberikan penghematan signifikan bagi anggaran negara.

    “Ya, saya sependapat tentunya, kami melihat bagaimana besarnya biaya untuk pilkada. Belum lagi ada beberapa daerah yang kami lihat terjadi kekerasan, dari dulu saya mengatakan pilkada asimetris salah satunya melalui DPRD kan,” ujarnya kepada wartawan di Kantor Presiden, Senin (16/12/2024).

    Tito bahkan sesumbar bahwa evaluasi pilkada, termasuk wacana pilkada via DPRD tidak menyimpang dan mencederai mencederai demokrasi karena justru memfasilitasi pemilihan melalui perwakilan. Oleh sebab itu, Tito mengaku akan dengan serius membahas mengenai wacana tersebut ke depannya.

    “Mesti, pasti kita akan bahas. Kan salah satunya sudah ada di prolegnas. Di prolegnas kalau saya tidak salah, termasuk UU pemilu dan UU Pilkada. Nanti gongnya akan dicari tetapi sebelum itu kita akan adakan rapat,” pungkas Tito.

    Bukan Solusi

    Kendati demikian, wacana itu tetap memicu polemik. Ada yang bilang Indonesia kembali mundur karena pilkada melalui DPRD hanya akan menguntungkan elite. Selain itu, sistem Pilkada tidak langsung belum tentu menghapus money politics dalam pelaksanaan pesta demokrasi.

    “Biaya pilkada mahal itu akibat salah desain atau salah alokasi anggaran,” ujar Peneliti Perhimpunan Indonesia untuk Pembinaan Pengetahuan Ekonomi dan Sosial (BINEKSOS) Titi Anggraini.

    Titi melanjutkan bahwa sejatinya pemerintah harus memiliki rancangan yang tepat dalam meracik aturan yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pilkada yang demokratis. Sayangnya, dia melanjutkan sejauh ini pejabat lebih memilih mengkambing hitamkan pilkada dengan sebutan ‘mahal’ karena salah alokasi penganggaran yang mereka rancang.

    “Biaya [Pilkada] Rp37 Triliun itu sudah dievaluasi belum? Apakah dialokasikan dengan benar? Sudah efektif? Mengingat ada penyelenggara pemilu yang suka naik private jet. Lalu, kalau kunjungan dinas ke daerah, mobil dinasnya tidak cukup hanya satu sampai tiga,” tuturnya.

    Selain itu, pemborosan-pemborosan itu juga tampak misalnya dari pelaksanaanRapat Kerja Nasional (Rakernas), konsolidasi, hingga musyawarah besar juga seringkali dilakukan dengan cara-cara yang inefisien. Titi menilai bahwa mahalnya biaya kontestasi politik lebih bergerak di ruang gelap. Padahal, menurutnya laporan dana kampanye selama ini tidak mencerminkan politik yang mahal.

    Kalau mengacu data Komisi Pemilihan Umum atau KPU, PDIP tercatat sebagai partai politik dengan total penerimaan paling tinggi. Angka total penerimaannya adalah Rp183.861.799.000 (Rp183 miliar) dan total pengeluaran tertinggi pada Rp115.046.105.000 (Rp115 miliar). Di sisi lain, Partai Kebangkitan Nasional (PKN) tercatat sebagai partai politik dengan total pengeluaran paling rendah. PKN memiliki total penerimaan senilai Rp453 juta dan total pengeluaran Rp42 juta

    Sementara itu, berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat dari 103 paslon pilgub di Pilkada serentak 2024 rata-rata menerima dana sumbangan untuk kampanye sebesar Rp3,8 miliar yang berasal dari berbagai sumber. “Mahalnya karena jual-beli suara, mahal politik untuk jual-beli perahu, atau yang mana? Atau mahal karena jagoan atau titipan elite nasional tidak bisa menang pilkada atau seperti apa?” imbuh Titi.