Event: Pemilu 2019

  • PUSaKO Unand paparkan dampak positif pemisahan jadwal pemilu

    PUSaKO Unand paparkan dampak positif pemisahan jadwal pemilu

    Padang (ANTARA) – Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand), Sumatera Barat (Sumbar) memaparkan dampak positif pemisahan jadwal pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.

    “Secara garis besar putusan ini membawa angin segar bagi demokrasi di Indonesia,” kata pakar hukum sekaligus peneliti PUSaKO Unand Muhammad Ichsan Kabullah di Padang, Senin.

    Menurut Ichsan, Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah akan memperkuat peran serta masyarakat terhadap iklim demokrasi, termasuk juga penguatan sosialisasi oleh penyelenggara pemilu terutama KPU dan Bawaslu.

    Selain itu, PUSaKO melihat jeda waktu pemilu nasional dengan pemilu daerah yakni dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan bisa menjadi pertimbangan tersendiri bagi masyarakat untuk menentukan sosok yang tepat untuk memimpin daerah selama lima tahun ke depan.

    Tidak hanya itu, dengan adanya pemisahan waktu antara pemilu di tingkat nasional dan daerah secara tidak langsung juga menyadarkan konstituen bahwa pemilu bukan hanya tentang memilih presiden dan wakil presiden, tetapi juga memilih gubernur, bupati dan walikota hingga anggota DPRD.

    “Tidak bisa kita pungkiri ketika pemilu dilakukan serentak, maka atensi orang lebih banyak tertuju ke pemilihan presiden dan wakil presiden,” ujarnya.

    Putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal juga dinilai tepat dari sisi kesehatan mental dan fisik penyelenggara. Apalagi, pada 2019 KPU mencatat terdapat ratusan petugas meninggal dunia yang diduga karena kelelahan.

    “Kajian kami di PUSaKO Unand, pemilu serentak yang dilakukan lebih banyak berimplikasi negatif, salah satunya Pemilu 2019 yang menyebabkan ratusan petugas meninggal dunia,” sebut dia.

    Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 167 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:

    “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.”

    Pewarta: Muhammad Zulfikar
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pemilu Pusat dan Daerah Tak Lagi Serentak: Mengurai Beban, Mencari Napas

    Pemilu Pusat dan Daerah Tak Lagi Serentak: Mengurai Beban, Mencari Napas

    Pemilu Pusat dan Daerah Tak Lagi Serentak: Mengurai Beban, Mencari Napas
    Dikdik Sadikin adalah seorang auditor berpengalaman yang saat ini bertugas di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), berperan sebagai quality assurer dalam pengawasan kualitas dan aksesibilitas pendidikan di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Memiliki minat mendalam terhadap kebijakan publik, Dikdik fokus pada isu-isu transparansi, integritas, serta reformasi pendidikan dan tata kelola pemerintahan. Dikdik telah menulis sejak masa SMP (1977), dengan karya pertama yang dimuat di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan opini karyanya telah dipublikasikan di media massa, termasuk di tabloid Kontan dan Kompas. Dua artikel yang mencolok antara lain “Soekarno, Mahathir dan Megawati” (3 November 2003) serta “Jumlah Kursi Menteri dan Politik Imbalan” (9 Oktober 2024). Ia juga pernah menjabat sebagai pemimpin redaksi dan pemimpin umum majalah Warta Pengawasan selama periode 1999 hingga 2002, serta merupakan anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik dari Universitas Gadjah Mada (lulus 2006).

    Terlalu banyak pilihan membunuh pilihan.
    ” — Alvin Toffler
    MAHKAMAH
    Konstitusi (MK) mengetuk palu dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024: mulai Pemilu 2029, pemilu nasional dan daerah dipisah.
    Putusan itu bukan sekadar urusan teknis atau penghematan logistik, melainkan tanda bahwa kita tengah meninjau ulang cara kita berdemokrasi.
    Apakah ia cukup manusiawi? Apakah ia sungguh-sungguh mewakili kehendak rakyat?
    Padahal, ketika sistem pemilu serentak diberlakukan, ia dilandasi oleh gagasan mulia: sinkronisasi.
    Dalam sistem otonomi daerah, dibayangkan bahwa jika kepala daerah dan pemimpin nasional dipilih bersamaan, maka awal masa jabatan mereka akan serempak, sehingga perencanaan pembangunan pusat dan daerah dapat diharmoniskan sejak awal.
    Presiden dan kepala daerah, ibarat dirigen dan para pemusik, memulai partitur pembangunan pada waktu yang sama, menyanyikan lagu yang sama dalam irama yang utuh.
    Namun, sejarah demokrasi seringkali bergerak zig-zag. Realitas di lapangan tak seindah rancangan kebijakan di atas kertas.
    Alih-alih tercipta sinergi, justru muncul kelelahan, kekacauan teknis, dan penurunan kualitas pemilu. Apa yang semula terlihat rasional, perlahan-lahan berubah menjadi beban kolektif.
    Sejak 2019, rakyat Indonesia diminta memilih presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dalam satu hari yang padat.
    Demokrasi menjadi ujian nasional lima mata pelajaran, dengan soal-soal panjang dan waktu terbatas. Kertas suara membentang seperti kalender dinding, nama-nama calon membingungkan, logo partai mirip-mirip, dan waktu mencoblos terlalu cepat.
    Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menyebut gejala kejenuhan pemilih sebagai ancaman serius. Fokus pemilih terpecah pada calon yang terlalu banyak, sementara waktu mencoblos sangat terbatas.
    Suara rakyat kehilangan ketajaman. Pilihan politik tak lagi ditentukan oleh ide dan gagasan, melainkan oleh kelelahan dan ketidaktahuan.
    Tragedi pun hadir. Data Pemilu 2019 mencatat lebih dari 894 petugas KPPS meninggal karena kelelahan, dengan lebih dari 5.000 lainnya jatuh sakit. Demokrasi tak seharusnya menuntut harga semahal itu.
    Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyebut masa kerja KPU menjadi tidak efisien. Dalam lima tahun masa jabatan, KPU hanya bekerja maksimal selama dua tahun. Selebihnya tenggelam dalam rutinitas administratif.
     
    Negara menyusun pesta politik yang terlalu besar untuk ditelan dalam satu hari. Sistem yang awalnya dianggap efisien ternyata tidak efektif.
    Namun, keputusan memisahkan pemilu nasional dan daerah juga bukan tanpa residu masalah. Pertanyaan mendasar kembali menggema: bagaimana kelak pemerintah pusat mengorkestrasi pembangunan daerah jika kepala daerah tidak lagi dilantik bersamaan dengan presiden?
    Risiko fragmentasi agenda pembangunan menjadi nyata. Pemerintah pusat bisa saja meluncurkan prioritas nasional saat sebagian kepala daerah baru menjabat, sementara sebagian lainnya mendekati akhir masa tugas.
    Sinkronisasi perencanaan bisa menjadi rumit—seperti memainkan lagu yang sama dengan para pemain musik yang masuk ke panggung pada waktu berbeda.
    Namun, di sinilah tantangan baru itu seharusnya dijawab dengan inovasi tata kelola. Harmonisasi tak harus diseragamkan waktunya, tetapi disamakan arah dan visi strategisnya.
    Lewat perencanaan jangka menengah, pembagian peran yang lebih presisi, dan sistem insentif-fiskal yang terukur, pusat dan daerah tetap dapat menyatu dalam satu irama, meski berbeda tempo.
    Negara-negara federal seperti Jerman dan Kanada telah membuktikan bahwa sinkronisasi tak bergantung pada jadwal Pilkada. Yang lebih penting adalah forum dialog antar-pemerintah yang rutin, data bersama yang dapat diakses lintas sektor, dan akuntabilitas program lintas level.
    Dalam konteks Indonesia, penguatan RPJMN dan RPJMD yang terintegrasi dan disupervisi dapat menjadi solusi.
    Menurut International IDEA (2023), hanya 16 dari 200 negara yang melaksanakan pemilu nasional dan lokal secara serentak penuh.
     
    Di Amerika Serikat, pemilu presiden dan
    midterm elections
    dipisah agar rakyat bisa fokus pada isu berbeda.
    Di Jerman, pemilu Bundestag dan Landtag dilakukan terpisah demi efektivitas partisipasi. Di sana, kualitas lebih penting daripada kecepatan.
    Kita bukan satu-satunya yang merasakan beban serentak. Kita hanya perlu lebih jujur membaca napas demokrasi kita sendiri.
    Putusan MK ini adalah bentuk jeda dalam demokrasi kita yang terengah-engah. Dengan memisahkan pemilu nasional dan daerah, kita memberi kesempatan kepada rakyat untuk kembali memaknai suara mereka.
    Bukan hanya mencoblos, tapi memahami, menimbang, dan mempercayai.
    Tentu, tantangan anggaran akan muncul. Namun, demokrasi yang sehat memang tak pernah murah. Yang murah biasanya adalah populisme murahan, atau otoritarianisme yang menyamar sebagai efisiensi.
    Mungkin dari lima kotak suara yang membingungkan itu, kita sedang membuka jalan menuju satu hal yang lebih penting: kesadaran rakyat yang tidak kelelahan, tapi tercerahkan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 10
                    
                        MK ala Chef: Bongkar Pasang Pemilu
                        Nasional

    10 MK ala Chef: Bongkar Pasang Pemilu Nasional

    MK ala Chef: Bongkar Pasang Pemilu
    Sejak 2006 berkecimpung di dunia broadcast journalism, dari Liputan6 SCTV, ANTV dan Beritasatu TV. Terakhir menjadi produser eksekutif untuk program Indepth, NewsBuzz, Green Talk dan Fakta Data
    DEMOKRASI
    Indonesia seperti masakan tanpa juru masak atau “chef”. Untuk pertama kali negeri kita menggelar pemilu nasional dan pemilu lokal (pemilihan kepala daerah) secara serentak pada 2024.
    Serentak di sini tidak menunjuk pada hari yang sama, melainkan tahun yang sama–berjarak 9,5 bulanan.
    Ini adalah kelanjutan dari sifat serentak di Pemilu 2019 saat pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota (Pileg) dilaksanakan berbarengan atau di hari yang sama dengan pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres). Sebut saja “Pemilu 5 Kotak”.
    Pemilu serentak tahun 2019 itu menerjemahkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 14/PUU-XI/2013.
    Sebelumnya, mulai dari 2004 hingga 2014, seluruh pemilu dilakukan terpisah dengan pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota mendahului pemilihan presiden dan wakil presiden.
    Sekarang, dua pilar dalam “Pemilu 5 Kotak” itu dicopot oleh MK lewat putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
    Mulai 2029 mendatang, pemilihan anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota akan masuk satu rumpun dengan pemilihan kepala daerah (gubernur dan bupati/wali kota).
    Untuk gampangnya ini disebut pemilu lokal atau daerah. Putusan MK ini dibacakan pada Kamis, 26 Juni 2025.
    Yang lebih drastis dan dramatis, MK memutuskan pemilu nasional dan pemilu lokal atau daerah tidak lagi digelar pada yang sama seperti 2024, tapi terpisah.
    MK menetapkan waktu pemungutan suara pemilu lokal paling singkat dua tahun atau paling lama 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR atau DPD atau pelantikan presiden dan wakil presiden.
    Mulai 2029, pemilu nasional hanya untuk memilih anggota DPR, anggota DPD serta presiden dan wakil presiden. Pendek kata susut menjadi “Pemilu 3 Kotak”.
    Kali ini MK menggantikan peran
    chef
    bagi demokrasi Indonesia, setidaknya dalam “masakan” yang bernama pemilihan umum dan bagaimana pemilu nasional dan pemilu lokal harus dilaksanakan.
    Keputusan MK tak pelak mengganti model penyelenggaraan pemilu di level nasional dan lokal, dari serentak dalam tahun yang sama menjadi terpisah dengan jarak waktu paling singkat dua tahun.
    Putusan MK dapat dibilang maju, revolusioner dan agak keluar dari fungsi MK sebagai “negative legislator”.
    I Dewa Gede Palguna saat masih menjadi Hakim Konstitusi (2008) menyatakan, meskipun MK dapat membatalkan undang-undang, tapi MK tidak dapat membuat putusan untuk melakukan perubahan terhadap UU. Itulah “negative legislator” yang melekat pada MK.
    Menurut MK, putusan itu untuk menjaga kualitas pemilu, meningkatkan efisiensi penyelenggaraan, serta memberi ruang yang lebih baik bagi pemilih untuk menggunakan hak pemilih secara cermat dan tidak terburu-buru.
    Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan, partisipasi pemilih di
    Pilkada
    2024 sebesar 68,2 persen. Itu lebih rendah dibandingkan Pemilu 2024 di mana partisipasi pemilih mencapai 81,78 persen.
    Apakah ini menjelaskan jarak waktu antara gelaran pemilu nasional dengan Pilkada (pemilu lokal) yang cuma 9,5 bulan bikin rakyat jenuh?
    Bisa iya, bisa tidak. Dulu, sebelum ada rekayasa sistemik untuk menyelenggarakan Pilkada secara serentak, Pilkada bisa digelar setiap tiga hari sekali.
    Pilkada dimaksud berlangsung di tiga daerah berbeda, bisa tingkat provinsi, kabupaten atau kota. Hal ini bikin jenuh dan bosan rakyat di lapis bawah. Seolah-olah tiada hari tanpa Pilkada.
    Saban tahun ada saja daerah yang menghelat Pilkada. Begitu jika kita menengok sejak Pilkada langsung pertama kali diadaptasi di Pilkada tahun 2005.
    Pemilu serentak rangkap dua, yakni pemilu nasional dan pemilu lokal di tahun yang sama sesungguhnya adalah ikhtiar untuk memotong “persaingan politik” yang berlangsung maraton dan menyebabkan rakyat bosan dan jenuh dengan politik.
    Pilkada serentak pada 27 November 2024 itu, juga dilatarbelakangi keperluan sinkronisasi antara pusat dan daerah.
    Di masa Presiden Joko Widodo, mencuat isu sinergitas dan koordinasi sehingga mendorong ide pemilu serentak di tahun yang sama untuk mengisi pemimpin di pusat dan daerah.
    Pemilu nasional dan pemilu lokal serentak di tahun yang sama baru dipraktikkan di tahun 2024. Rasanya terlampau tergesa-gesa jika harus dirombak, diubah dan dibangun ulang.
    Ibarat kata “masakan” DPR, lewat UU 7/2017 tentang Pemilu dan UU 10/2016 tentang Pilkada, baru saja disajikan kepada rakyat Indonesia, kok cepat-cepat dicap agar disingkirkan dari daftar menu.
    Sembilan hari sebelum MK menerbitkan putusan yang mengubah keserentakan pemilu, Ketua Komisi Hukum DPR Habiburokhman mengeluh soal MK.
    “Di DPR ini kadang-kadang kami capek bikin Undang-undang, dengan gampangnya dipatahkan oleh Mahkamah Konstitusi,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi),
    Tempo.co
    , 18 Juni 2025.
    Keluhan ini dapat dibaca bermacam-macam. MK dianggap menjadi institusi yang “mentorpedo” produk legislasi DPR atau ia sedang frustrasi dengan putusan-putusan MK?
    Selama MK konsisten dengan fungsi dan peran yang diamanatkan konstitusi, publik pasti akan berada di belakangnya.
    Namun, sebagai institusi, MK pernah tergelincir tatkala memutuskan alias mengubah syarat usia minimal untuk calon presiden dan wakil presiden, tahun 2023 lalu.
    Putusan itu memberi karpet merah kepada Gibran Rakabuming Raka, putra sulung presiden saat itu Joko Widodo, untuk berlaga di pemilu 2024.
    Jadi, putusan nomor 135 ini pun harus ditakar untung dan ruginya, manfaat dan mudharatnya bagi gelaran pemilihan umum serta demokrasi Indonesia.
    Konsekuensi pertama, jika pemilu lokal digelar dua tahun atau 2,5 tahun setelah pelantikan anggota DPR, DPD atau presiden dan wakil presiden, berarti seluruh provinsi, kabupaten dan kota akan mengalami kekosongan pemimpin dari 2029-2031.
    Dan itu kolosal, meliputi 545 daerah, yakni 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota. Saat masa jabatan kepala daerah usai, maka pemerintah pusat harus mengisi atau menempatkan orang sebagai penjabat gubernur/bupati/wali kota.
    Selama ini penjabat kepala daerah adalah orang pilihan presiden atau menteri dalam negeri atau kementerian dalam negeri. Keberadaan mereka ditunjuk, ditugaskan, dan bukan dipilih sebagaimana seorang kepala daerah.
    Sudah pasti legitimasi penjabat kepala daerah itu rendah, tapi mengambil keputusan penting, bahkan strategis di daerah mereka bertugas. Ini dilema penjabat yang terbaca di masa Jokowi.
    Konsekuensi kedua, bagaimana dengan kursi anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten dan DPRD kota selama masa transisi menuju pemilu lokal serentak 2031 (jeda dua tahun atau 2,5 tahun dari pelantikan anggota DPR, DPD serta presiden dan wakil presiden)? Siapa yang akan dan bagaimana mengisinya?
    Total kursi DPRD kabupaten/kota saja menembus 17.510. Belum lagi anggota DPRD tingkat provinsi. Haruskah anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota periode 2024-2029 diperpanjang masa jabatannya hingga pemilu lokal atau Pilkada serentak 2031?
    Apakah model transisi begini sehat untuk menjalankan fungsi
    checks and balances
    ? Tidakkah ini mengurangi kesempatan politikus lain di tingkat lokal atau kader partai di provinsi/kabupaten/kota yang mengincar kursi legislator tadi?
    Konsekuensi terakhir, berkaitan dengan aspek pendanaan. Biaya Pilkada serentak 2024 sekitar Rp 41 triliun. Adapun anggaran pemilu nasional sebesar Rp 71,3 triliun. Total biaya pemilu nasional dan pemilu lokal di tahun 2024 menembus Rp 112,3 triliun.
    Dengan memasukkan pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota ke rumpun pemilu lokal, apakah biaya total pemilu yang digelar terpisah bakal tetap? Atau sebaliknya kian besar karena faktor inflasi?
    Kini, kerumitan, keruwetan, hingga dilema yang muncul menyusul keputusan MK ini perlu dikaji oleh pemerintah, DPR, KPU, organisasi sipil, peneliti hingga akademisi yang
    concern
    terhadap pemilu dan demokrasi di Tanah Air.
    Momentum merevisi atau mengubah UU Pemilu dan UU Pilkada seyogyanya menjadi “moment of the truth” untuk memasak (baca: melahirkan) penyelenggaraan pemilihan umum yang meningkatkan kualitas demokrasi di negeri kita.
    Bongkar pasang desain atau rancangan gelaran pemilu yang terlalu sering, bukan zamannya lagi. Itu bisa menerbitkan apatisme publik. Percaya dengan proses, jangan reaksioner.
    Dan agar produk legislasi DPR dan pemerintah, tidak kelewat sering diuji-materi (
    judicial review
    ) ke MK, maka dua cabang kekuasaan yang berperan sebagai “positive legislator” itu wajib mengubah pendekatan.
    Belakangan tuntutan “partisipasi yang bermakna” kian nyaring disuarakan masyarakat sipil, terutama setelah revisi Undang-Undang Tentara NasionaI Indonesia (UU TNI) dianggap kurang memperhatikannya.
    Kritik serupa dialamatkan ke DPR dan pemerintah menyangkut revisi UU BUMN serta revisi UU Mineral dan Batu Bara.
    MK lewat putusan nomor 91/PUU-XVIII/2020 mengartikan
    meaningful participation
    sebagai: hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak masyarakat untuk mendapat penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (
    hukumonline.com
    , 13 Juli 2022).
    Saya kira panduan MK tadi teramat jelas. Jangan sampai DPR dan pemerintah jatuh di lubang yang sama gara-gara mengangkangi soal partisipasi publik yang bermakna.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sederet Fakta Persidangan Hasto, Sebut Nama Djan Faridz hingga Hatta Ali

    Sederet Fakta Persidangan Hasto, Sebut Nama Djan Faridz hingga Hatta Ali

    Bisnis.com, JAKARTA — Sekretaris Jenderal (PDIP) Hasto Kristiyanto akhirnya buka-bukaan mengenai kasus perintangan penyidikan dan suap terkait Harun Masiku. Pada sidang yang berlangsug Kamis (26/6/2025) kemarin, dia mengungkap sejumlah fakta, termasuk soal Harun Masiku hingga hubungannya dengan mantan Ketua Mahkamah Agung (MA).

    Hasto, misalnya, mengaku pernah diajak oleh politisi senior Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Djan Faridz untuk bertemu dengan Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali.

    Hal itu disampaikan Hasto saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendalami soal proses pengajuan uji materi di MA oleh PDIP atas peraturan KPU ihwal pelimpahan suara caleg DPR yang meninggal dunia pada Pemilu 2019.

    Uji materi itu sejalan dengan keinginan PDIP untuk melimpahkan suara yang diperoleh Nazarudin Kiemas, caleg DPR 2019 dari PDIP dapil Sumatera Selatan I yang meninggal dunia, sesuai dengan keputusan partai. Saat itu, partai memutuskan untuk memilih Harun Masiku sebagai caleg yang menerima pelimpahan suara almarhum. 

    Awalnya, JPU bertanya ke Hasto bagaimana dia mengetahui putusan MA yang akhirnya mengabulkan uji materi PDIP atas peraturan KPU dimaksud. Hasto menjawab bahwa hal itu diketahui dari surat yang diterima DPP PDIP dari MA. 

    Kemudian, JPU bertanya apabila Hasto ingat bahwa informasi itu dia dapatkan bersamaan dengan saat pertemuan dengan Ketua MA. Menurut pengakuan Hasto, dia belum mengetahui ihwal putusan uji materi yang diajukan saat melakukan pertemuan di MA. 

    Hubungan dengan Djan Faridz 

    Sekjen PDIP sejak 2015 itu lalu mengungkap pertemuannya dengan Ketua MA saat itu, Hatta Ali, atas ajakan politisi senior PPP Djan Faridz pada 23 September 2019. Dia menyebut Djan saat itu menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly, yang juga Ketua DPP PDIP. 

    “Saya berada di MA itu nanti bisa dilihat dalam fakta persidangan yang lalu, itu bersama dengan Pak Djan Faridz. Ya saya diajak oleh Pak Djan Faridz untuk ke MA. Dan kemudian terhadap keputusan apakah fatwa itu diterima atau tidak, saat itu saya belum tahu. Pada tanggal itu saya belum tahu,” ungkapnya di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Kamis (26/6/2025). 

    JPU lalu menyebut bahwa saksi Saeful Bahri sebelumnya menerangkan bahwa Harun Masiku pernah mengirimkan gambarnya bersama dengan Hasto dan Djan. Hasto kemudian mengakui bahwa sempat bertemu dengan Harun Masiku di ruang tunggu Ketua MA, namun dia membantah ada pembicaraan soal fatwa MA terkait dengan putusan uji materi dari PDIP. 

    Dia menyebut pertemuan dengan Ketua MA bersama Djan Faridz saat itu membahas soal kinerja lembaga peradilan di bawag kepemimpinan Hatta Ali. “Saya sebelumnya kalau tidak salah itu diajak Pak Djan Faridz mau ke MA. Karena Pak Djan Faridz adalah sebagai Staf Ahlinya Pak Laoly. Kemudian saya diajak, ya saya bergabung, kami satu mobil berdua menggunakan mobilnya Pak Djan Faridz. Ketika kami sampai di sana, kemudian di ruang tunggu di situ ada Pak Harun Masiku,” ungkap Hasto.

    Di sisi lain, Hasto membantah ada komunikasi dengan Harun saat bertemu di kantor Ketua MA. Mantan anggota DPR 2004-2009 itu menyebut, Harun meninggalkan ruangan ketika pembicaraan antara Djan dan Hatta Ali berlangsung. 

    “Ketika Pak Djan Faridz sedang menyampaikan maksud dan tujuannya bertemu, saudara Harun Masiku keluar dari ruang pertemuan itu. Jadi saya sendiri tidak berbicara apa-apa dengan Harun Masiku,” terangnya.

    Harun Masiku Kader Terbaik?

    Hasto menceritakan alasan Harun dipilih oleh PDIP untuk menerima pelimpahan suara dari caleg DPR terpilih Sumsel I, Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia. Hal itu meski suara yang diperoleh Harun saat pemungutan suara bukan pada urutan kedua. 

    Sementara itu, pemilih masih tetap memberikan hak suaranya kepada Nazarudin pada 2019 lalu kendati sudah meninggal. Hal ini menyebabkan ribuan suara yang mencoblos Nazarudin di surat suara hangus atau menjadi 0 sebagaimana peraturan KPU. Hal ini, kata Hasto, merugikan partai karena bisa berdampak ke perolehan kursi di DPR. 

    Alhasil, PDIP pun mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) yang pada intinya agar suara Nazarudin dikembalikan ke partai. Selanjutnya, mekanisme internal partai yang akan memilih siapa caleg yang akan menerima pelimpahan suara tersebut. 

    Permohonan uji materi ke MA itu pun dikabulkan. PDIP lalu meminta KPU melaksanakan putusan tersebut, meski penyelenggara pemilu belum mengamini permintaan partai. Sehingga, partai meminta MA agar mengeluarkan fatwa untuk pelaksanaan putusan uji materi itu. 

    Sejalan dengan hal tersebut, terang Hasto, PDIP menggelar rapat pleno pada Juli 2019 menetapkan agar Harun menerima pelimpahan suara almarhum Nazarudin.

    “Menerima perintah lebih tepatnya seperti itu sebagai diskresi yang dimiliki DPP PDI Perjuangan memohon pertimbangan hukum di dalam judicial review tersebut,” terang Hasto di hadapan Majelis Hakim di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Kamis (26/6/2025). 

    Tidak hanya itu, Hasto pun mengamini pertanyaan JPU bahwa saat itu partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu menganggap Harun adalah kader terbaik di antara delapan caleg yang ada di surat suara dapil Sumsel I. 

    “Benar [Harun adalah kader terbaik],” tegas politisi asal Yogyakarta itu. 

    Menurut Hasto, partai memiliki database terkait dengan caleg-caleg yang maju dengan bendera PDIP pada Pemilu 2019. Dia mengatakan bahwa partai menilai Harun memenuhi kebutuhan strategis partai. 

    Misalnya, aspek historis bahwa Harun mengaku terlibat dalam penyusunan AD/ART partai pada Kongres I PDIP. Kemudian, aspek keahlian dan latar belakang pendidikannya yang disebut pernah mendapatkan beasiswa dari Ratu Inggris, Elizabeth.

    “Di situ tertulis bahwa dia mendapatkan beasiswa dari Ratu Rlizabeth, kemudian keahliannya international economic of law. Suatu profesi yang sangat diperlukan oleh partai. Maka kami juga melihat aspek-aspek kebutuhan strategis partai,” terang Hasto.

  • Sambut MK Soal Pemilu Nasional-Lokal, Perludem Dorong Revisi UU Pemilu
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        26 Juni 2025

    Sambut MK Soal Pemilu Nasional-Lokal, Perludem Dorong Revisi UU Pemilu Nasional 26 Juni 2025

    Sambut MK Soal Pemilu Nasional-Lokal, Perludem Dorong Revisi UU Pemilu
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau
    Perludem
    menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi yang telah mengabulkan gugatannya untuk sebagian, yakni memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal untuk 2029.
    “Perludem mengapresiasi serta menghormati putusan
    MK
    ini dan mendorong agar pembahasan UU Pemilu dn Pilkada segera dilakukan,” tulis pihak Perludem dalam siaran persnya, Kamis (26/6/2026).
    Putusan MK yang terbaru, yang mengakhiri
    pemilu serentak
    , adalah Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    “Segera revisi UU Pemilu dan Pilkada,” jelas pihak Perludem.
    Revisi nantinya harus memperhatikan putusan MK tersebut.
    Nantinya, Pemilu 2029 tidak akan sama serentak seperti Pemilu 2024 atau Pemilu 2019.
    Pemilu selanjutnya bakal terpisah dua, yakni pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal.
    Pemilu serentak
    nasional terdiri atas pilpres, pileg DPR, dan pileg DPD.
    Pemilu serentak lokal terdiri atas pileg DPRD provinsi dan kabupaten/kota, pilgub, dan pilbup.
    “Dengan jeda waktu minimal 2 tahun atau maksimal 2,5 tahun (antara nasional ke lokal),” ujar pihak Perludem.
    Maka, UU Pemilu dan UU Pilkada perlu direvisi dalam satu paket pembahasan menggunakan metode kodifikasi agar tidak tumpang tindih regulasi.
    “Revisi UU Pemilu dan UU Pilkada telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025, namun hingga saat ini belum juga dimulai pembahasannya,” ujar Perludem.
    Maka, inilah momentum revisi dua UU itu demi perbaikan pemilu.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hasto: Harun Masiku Kader PDIP Terbaik, Pernah Dapat Beasiswa Ratu Elizabeth

    Hasto: Harun Masiku Kader PDIP Terbaik, Pernah Dapat Beasiswa Ratu Elizabeth

    Bisnis.com, JAKARTA — Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendalami keterangan Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto sebagai terdakwa perkara suap dan perintangan penyidikan kasus Harun Masiku. Salah satunya terkait dengan alasan partai memilih Harun sebagai anggota DPR pergantian antarwaktu (PAW) 2019-2024 daerah pemilihan (dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) I. 

    Untuk diketahui, Hasto didakwa melakukan perintangan penyidikan serta ikut memberikan suap kepada anggota KPU 2017-2022 Wahyu Setiawan, untuk meloloskan Harun sebagai anggota DPR PAW pada periode yang lalu. 

    Hasto menceritakan alasan Harun dipilih oleh PDIP untuk menerima pelimpahan suara dari caleg DPR terpilih Sumsel I, Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia. Hal itu meski suara yang diperoleh Harun saat pemungutan suara bukan pada urutan kedua. 

    Sementara itu, pemilih masih tetap memberikan hak suaranya kepada Nazarudin pada 2019 lalu kendati sudah meninggal. Hal ini menyebabkan ribuan suara yang mencoblos Nazarudin di surat suara hangus atau menjadi 0 sebagaimana peraturan KPU. Hal ini, kata Hasto, merugikan partai karena bisa berdampak ke perolehan kursi di DPR. 

    Alhasil, PDIP pun mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) yang pada intinya agar suara Nazarudin dikembalikan ke partai. Selanjutnya, mekanisme internal partai yang akan memilih siapa caleg yang akan menerima pelimpahan suara tersebut. 

    Permohonan uji materi ke MA itu pun dikabulkan. PDIP lalu meminta KPU melaksanakan putusan tersebut, meski penyelenggara pemilu belum mengamini permintaan partai. Sehingga, partai meminta MA agar mengeluarkan fatwa untuk pelaksanaan putusan uji materi itu. 

    Sejalan dengan hal tersebut, terang Hasto, PDIP menggelar rapat pleno pada Juli 2019 menetapkan agar Harun menerima pelimpahan suara almarhum Nazarudin.

    “Menerima perintah lebih tepatnya seperti itu sebagai diskresi yang dimiliki DPP PDI Perjuangan memohon pertimbangan hukum di dalam judicial review tersebut,” terang Hasto di hadapan Majelis Hakim di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Kamis (26/6/2025). 

    Tidak hanya itu, Hasto pun mengamini pertanyaan JPU bahwa saat itu partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu menganggap Harun adalah kader terbaik di antara delapan caleg yang ada di surat suara dapil Sumsel I. 

    “Benar [Harun adalah kader terbaik],” tegas politisi asal Yogyakarta itu. 

    Menurut Hasto, partai memiliki database terkait dengan caleg-caleg yang maju dengan bendera PDIP pada Pemilu 2019. Dia mengatakan bahwa partai menilai Harun memenuhi kebutuhan strategis partai. 

    Misalnya, aspek historis bahwa Harun mengaku terlibat dalam penyusunan AD/ART partai pada Kongres I PDIP. Kemudian, aspek keahlian dan latar belakang pendidikannya yang disebut pernah mendapatkan beasiswa dari Ratu Inggris, Elizabeth. 

    “Di situ tertulis bahwa dia mendapatkan beasiswa dari Ratu Rlizabeth, kemudian keahliannya international economic of law. Suatu profesi yang sangat diperlukan oleh partai. Maka kami juga melihat aspek-aspek kebutuhan strategis partai,” terang Hasto.

    Untuk diketahui, Hasto didakwa melakukan perintangan penyidikan di kasus Harun Masiku. Salah satu perbuatan yang ditudingkan kepada elite PDIP itu adalah memerintahkan Harun Masiku melalui Nur Hasan untuk merendam telepon genggam miliknya ke dalam air setelah tim KPK melakukan tangkap tangan terhadap anggota KPU 2017–2022, Wahyu Setiawan.

    Pada dakwaan sekunder, Hasto didakwa ikut memberikan uang suap kepada Wahyu Setiawan. Berdasarkan surat dakwaan yang dibacakan JPU Maret 2025 lalu, uang yang diberikan Hasto bersama-sama dengan Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri dan Harun Masiku adalah SGD57.350 dan Rp600 juta.

    Tujuannya, agar Wahyu bersama dengan Agustina Tio Fridelina menyetujui permohonan pergantian antarwaktu (PAW) DPR 2019-2024 caleg terpilih Dapil Sumatera Selatan I. Permohonan itu ditujukan agar Riezky Aprilia diganti dengan Harun.

    Padahal, Riezky Aprilia merupakan caleg yang saat itu memeroleh suara kedua terbesar setelah Nazarudin Kiemas, caleg terpilih dapil Sumsel I yang meninggal dunia. Akan tetapi, Hasto menginginkan agar Harun yang lolos menjadi anggota DPR menggantikan almarhum.

    “Terdakwa menyampaikan bahwa Harun Masiku harus dibantu untuk menjadi anggota DPR RI karena sudah menjadi keputusan partai dan memberi perintah kepada Donny Tri Istiqomah dan Saeful Bahri untuk mengurus Harun Masiku di KPU RI agar ditetapkan sebagai Anggota DPR RI dan melaporkan setiap perkembangan, baik mengenai komitmen, penyerahan uang dan segala hal terkait pengurusan Harun Masiku,” demikian bunyi dakwaan jaksa.

  • Hasto Akhirnya ‘Bernyanyi’, Ngaku Diajak Djan Faridz Bertemu Ketua MA

    Hasto Akhirnya ‘Bernyanyi’, Ngaku Diajak Djan Faridz Bertemu Ketua MA

    Bisnis.com, JAKARTA — Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengaku pernah diajak oleh politisi senior Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Djan Faridz untuk bertemu dengan Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali.

    Hal itu disampaikan Hasto saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendalami soal proses pengajuan uji materi di MA oleh PDIP atas peraturan KPU ihwal pelimpahan suara caleg DPR yang meninggal dunia pada Pemilu 2019.

    Uji materi itu sejalan dengan keinginan PDIP untuk melimpahkan suara yang diperoleh Nazarudin Kiemas, caleg DPR 2019 dari PDIP dapil Sumatera Selatan I yang meninggal dunia, sesuai dengan keputusan partai. Saat itu, partai memutuskan untuk memilih Harun Masiku sebagai caleg yang menerima pelimpahan suara almarhum. 

    Awalnya, JPU bertanya ke Hasto bagaimana dia mengetahui putusan MA yang akhirnya mengabulkan uji materi PDIP atas peraturan KPU dimaksud. Hasto menjawab bahwa hal itu diketahui dari surat yang diterima DPP PDIP dari MA. 

    Kemudian, JPU bertanya apabila Hasto ingat bahwa informasi itu dia dapatkan bersamaan dengan saat pertemuan dengan Ketua MA. Menurut pengakuan Hasto, dia belum mengetahui ihwal putusan uji materi yang diajukan saat melakukan pertemuan di MA. 

    Sekjen PDIP sejak 2015 itu lalu mengungkap pertemuannya dengan Ketua MA saat itu, Hatta Ali, atas ajakan politisi senior PPP Djan Faridz pada 23 September 2019. Dia menyebut Djan saat itu menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly, yang juga Ketua DPP PDIP. 

    “Saya berada di MA itu nanti bisa dilihat dalam fakta persidangan yang lalu, itu bersama dengan Pak Djan Faridz. Ya saya diajak oleh Pak Djan Faridz untuk ke MA. Dan kemudian terhadap keputusan apakah fatwa itu diterima atau tidak, saat itu saya belum tahu. Pada tanggal itu saya belum tahu,” ungkapnya di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Kamis (26/6/2025). 

    JPU lalu menyebut bahwa saksi Saeful Bahri sebelumnya menerangkan bahwa Harun Masiku pernah mengirimkan gambarnya bersama dengan Hasto dan Djan. 

    Hasto kemudian mengakui bahwa sempat bertemu dengan Harun di ruang tunggu Ketua MA, namun dia membantah ada pembicaraan soal fatwa MA terkait dengan putusan uji materi dari PDIP. 

    Dia menyebut pertemuan dengan Ketua MA bersama Djan Faridz saat itu membahas soal kinerja lembaga peradilan di bawag kepemimpinan Hatta Ali.

    “Saya sebelumnya kalau tidak salah itu diajak Pak Djan Faridz mau ke MA. Karena Pak Djan Faridz adalah sebagai Staf Ahlinya Pak Laoly. Kemudian saya diajak, ya saya bergabung, kami satu mobil berdua menggunakan mobilnya Pak Djan Faridz. Ketika kami sampai di sana, kemudian di ruang tunggu di situ ada Pak Harun Masiku,” ungkap Hasto.

    Di sisi lain, Hasto membantah ada komunikasi dengan Harun saat bertemu di kantor Ketua MA. Mantan anggota DPR 2004-2009 itu menyebut, Harun meninggalkan ruangan ketika pembicaraan antara Djan dan Hatta Ali berlangsung. 

    “Ketika Pak Djan Faridz sedang menyampaikan maksud dan tujuannya bertemu, saudara Harun Masiku keluar dari ruang pertemuan itu. Jadi saya sendiri tidak berbicara apa-apa dengan Harun Masiku,” terangnya.

    Berdasarkan catatan Bisnis, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menggeledah rumah Djan Faridz terkait dengan penyidikan kasus Harun Masiku pada 22 Januari 2025. Dia kemudian diperiksa oleh penyidik pada 26 Maret 2025. 

    Secara terpisah, pada saat sidang praperadilan yang diajukan Hasto di PN Jakarta Selatan, Biro Hukum KPK pernah menyebut Harun memiliki kedekatan dengan Ketua MA Hatta Ali. 

    “Bahwa Harun Masiku merupakan orang Toraja dan bukan kader asli PDI Perjuangan karena baru bergabung pada tahun 2018 dan memiliki kedekatan dengan Ketua Mahkamah Agung periode 2012-2022, Hatta Ali. Dan diyakini Harun Masiku memiliki pengaruh di Mahkamah Agung,” demikian bunyi jawaban Termohon KPK terhadap petitum yang diajukan Hasto, yang dibacakan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. 

  • Perintangan Tak Masuk Akal, Jika Proses Hukum Sudah Inkrah

    Perintangan Tak Masuk Akal, Jika Proses Hukum Sudah Inkrah

    GELORA.CO  – Ahli Hukum Pidana dari Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang, Mahrus Ali menyebut tak masuk akal terjadinya perintangan pada suatu perkara yang telah berkekuatan hukum tetap atau Inkrah. 

    Adapun hal itu disampaikan Ali saat dihadirkan sebagai saksi ahli dalam persidangan kasus dugaan suap pengurusan pergantian antara waktu (PAW) DPR periode 2019-2024 dan perintangan penyidikan Harun Masiku dengan terdakwa Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto di PN Tipikor Jakarta, Jumat (20/6/2025) malam.

    Mulanya kuasa hukum Hasto Kristiyanto, Ronny Talapessy menanyakan mengenai perintangan di tahap penyidikan dengan mencontohkan beberapa kasus.

    “Kemudian putusan Mahkamah Agung nomor 3315 Pidsus 2018 Frederich Yinadi, terpidana terbukti menghalangi penyidikan terhadap tersangka korupsi Setyo Navanto, ini artinya dalam proses tingkat penyidikan,” kata Ronny di persidangan.

    Menjawab hal itu, Ali menyebut dalam Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, mengatur upaya perintangan di tingkat penyidikan. Sehingga, tak masuk akal bila terjadi di tahap penyelidikan. 

    “Jadi itu yang saya katakan bahwa kalau ada orang dikenakan Pasal 21 (Undang-Undang Tipikor), sementara perkara pokoknya jalan bahkan sampai ada putusan yang incraht itu tidak make sense,” ujar Ali.

    Menurutnya, bila terjadi perintangan pada penanganan perkara, maka, proses hukumnya tidak akan berjalan hingga diputus oleh majelis hakim. 

    “Berarti apa? berarti tidak ada penyidikan yang tercegah, tidak ada penyidikan yang tergagalkan,” imbuhnya.

    Selain itu, ia juga menyebut dalam Undang-Undang tersebut telah jabarkan batasan secara gamblang dan tegas. Sehingga tak bisa ditafsirkan penerapan Pasal 21 Undang-Undang Tipikor jika terjadinya perintangan di tahap penyelidikan. 

    “Kemudian di dalam Undang-Undang dijelaskan secara jelas misalnya ini penyidikan ya itu tidak bisa ditafsirkan lain selain penyidikan bukan kemudian penyelidikan,” ungkapnya. 

    “Mencegahnya perbuatannya di penyelidikan, kenapa? untuk mencegah agar tidak terjadi penyidikan, enggak kaya gitu,” imbuhnya.

    Terlebih, dalam proses penyelidikan belum masuk tahap Pro Justicia. Di mana, aparat penegak hukum masih mencari ada tidaknya dugaan pelanggaran pidana.

    “Kenapa? karena di penyelidikan belum ada pro Justicia, alat bukti belum ada di situ,” tandasnya.

    Seperti diketahui Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-Perjuangan Hasto Kristiyanto didakwa melakukan tindak pidana korupsi berupa suap dalam pengurusan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI, Harun Masiku.

    Adapun hal itu diungkapkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat membacakan berkas dakwaan Hasto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (14/3/2025).

    “Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut memberi atau menjanjikan sesuatu,” kata Jaksa KPK Wawan Yunarwanto.

    Dalam kasus tersebut, Hasto didakwa bersama-sama dengan orang kepercayaan yakni Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 ribu Dollar Singapura (SGD) kepada mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.

    Uang tersebut diberikan kepada Wahyu agar KPU bisa mengupayakan menyetujui pergantian calon anggota legislatif terpilih dari daerah pemilihan Sumatera Selatan 1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

    “Yang bertentangan dengan kewajiban Wahyu Setiawan selaku anggota KPU RI yang termasuk penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,” ucap Jaksa.

    Jaksa mengatakan, peristiwa itu bermula pada 22 Juni 2019 dilaksanakan rapat pleno DPP PDIP untuk membahas perolehan suara Nazarudin Kiemas calon anggota legislatif dapil Sumatera Selatan 1 yang telah meninggal dunia.

    Adapun dalam pemilu 2019, Nazarudin dinyatakan memperoleh 34.276 suara, disusul Riezky Aprilia 44.402 suara, Darmadi Djufri 26.103 suara, Doddy Julianto Siahaan 19.776 suara, Diana Oktasari 13.310 suara.

    Kemudian di urutan kelima ada Harun Masiku dengan perolehan suara 5.878 suara, Suharti 5.669 suara dan Irwan Tongari 4.240 suara.

    Lalu berdasarkan hasil rapat pleno tersebut, Hasto selaku Sekjen memerintahkan Tim Hukum PDIP, Donny Tri Istiqomah menjadi pengacara partai untuk menggugat materi Pasal 54 ayat (5) huruf k tentang peraturan KPU nomor 3 tahun 2019 ke Mahkamah Agung (MA).

    Setelah itu Hasto memanggil Donny dan Saeful Bahri ke rumah aspirasi di Jakarta Pusat untuk memberi perintah agar membantu Harun Masiku untuk menjadi anggota DPR RI.

    “Dan melaporkan setiap perkembangan, baik mengenai komitmen penyerahan uang dan segala hal terkait pengurusan Harun Masiku kepada Terdakwa,” ujar Jaksa.

    Setelah itu selang satu bulan yakni Juli 2019, DPP PDIP kembali menggelar rapat pleno dengan keputusan menetapkan Harun Masiku sebagai caleg mengganti posisi Nazarudin Kiemas.

    Atas keputusan itu Hasto pun memberitahu kepada Donny Tri untuk mengajukan surat permohonan kepada KPU.

    Kemudian DPP PDIP bersurat kepada KPU yang pada pokoknya meminta agar perolehan suara Nazarudin Kiemas dialihkan kepada Harun Masiku.

    “Menindaklanjuti surat dari DPP PDIP tersebut yang pada pokoknya KPU RI tidak dapat memenuhi permohonan DPP PDI-P karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” sebutnya.

    Setelah tidak bisa memenuhi permintaan DPP PDIP, KPU pun menetapkan Riezky Aprilia sebagai calon anggota DPR RI terpilih berdasarkan rapat pleno terbuka pada 31 Agustus 2019.

    Akan tetapi operasi pengajuan Hasto sebagai anggota DPR masih berlanjut.

    Di mana Hasto meminta fatwa dari MA hingga menyuap Wahyu Setiawan sebesar 57.350 SGD atau setara Rp 600 juta.

    Atas perbuatan tersebut, Hasto didakwa dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

  • Bursa Calon Ketum PSI dan Personalisasi Politik

    Bursa Calon Ketum PSI dan Personalisasi Politik

    Bursa Calon Ketum PSI dan Personalisasi Politik
    Odri Prince Agustinus D. Sembiring adalah mahasiswa Magister Ilmu Politik di Departemen Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada. Minat risetnya berfokus pada representasi politik, ekologi politik, dan peran masyarakat sipil dalam mendorong transisi menuju keberlanjutan. Saat ini, ia tengah melakukan penelitian tentang paradoks kebijakan lingkungan di Norwegia dengan menggunakan pendekatan teori representasi deliberatif dan psikoanalisis politik. Untuk memperdalam pemahaman mengenai pembangunan global dan tata kelola sumber daya alam, Odri akan melanjutkan studi di Departemen Geografi, Norwegian University of Science and Technology (NTNU), Norwegia. Di sana, ia akan mengikuti sejumlah mata kuliah seperti Diskursus Pembangunan dan Globalisasi, Jaringan Produksi Global, Perencanaan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, serta Lanskap dan Perencanaan: Konsep, Teori, dan Praktik.
    MENYAMBUT
    pemilihan Ketua Umum
    PSI
    yang akan digelar pada Juli 2025 mendatang, dinamika internal partai anak muda ini kembali mencuri perhatian publik.
    Setahun lalu, siapa menyangka
    Kaesang Pangarep
    , putra bungsu Joko Widodo yang lebih dikenal sebagai pengusaha kuliner dan vlogger, akan menduduki kursi Ketua Umum
    Partai Solidaritas Indonesia
    (PSI)?
    Penunjukan Kaesang sebagai Ketum PSI pada 25 September 2023, mengejutkan banyak pihak. Hanya berselang dua hari setelah resmi bergabung, Kaesang langsung didapuk memimpin PSI periode 2023–2028, menggantikan Giring Ganesha (eks vokalis Nidji).
    Peristiwa bak karbitan politik ini memicu cibiran bahwa PSI kini menjelma “Partai Solidaritas Istana”, sindiran tajam bahwa partai anak muda tersebut tak ubahnya perpanjangan tangan lingkar keluarga presiden.
    Pergantian pucuk pimpinan PSI ini bukan sekadar gosip internal partai, melainkan gejala yang mencerminkan disfungsi lebih luas dalam sistem kepartaian Indonesia.
    PSI sejak awal menahbiskan diri sebagai partai antitesis korupsi dan intoleransi, digawangi anak-anak muda perkotaan.
    Namun, dalam perjalanannya, partai ini justru kian menampilkan watak politik Indonesia kontemporer: sarat personalisasi figur, intrik kolusi antarelite, dan rapuhnya pelembagaan partai.
    Relasi kekeluargaan antara Kaesang dan Jokowi kini menjadi pintu masuk yang menarik untuk menelaah tiga problema utama tersebut melalui lensa teoretis: personalisasi politik, kartelisasi partai, dan kerapuhan pelembagaan partai.
    Penunjukan Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum PSI menegaskan kecenderungan personalisasi politik di Indonesia.
    Alih-alih melalui proses kaderisasi bertahap dan panjang, sosok “instan” yang populer berkat nama besar keluarganya langsung didorong ke posisi puncak partai.
    PSI seolah bertaruh sepenuhnya pada daya tarik pribadi Kaesang, bukan pada rekam jejak politik atau platform ideologis yang jelas.
    Fenomena ini sejalan dengan kecenderungan global, di mana partai politik semakin berorientasi pada figur individu, bukan lagi perjuangan kolektif atau ideologi tertentu (Cross, Katz, & Pruysers, 2018).
    Di kasus PSI, sejak awal partai ini memang membangun citra yang bertumpu pada sosok muda dengan daya tarik tinggi di media.
    Mulai dari Grace Natalie (mantan jurnalis televisi yang menjadi pendiri partai), Tsamara Amany (aktivis muda), hingga Giring Ganesha (mantan vokalis band Nidji), PSI konsisten memanfaatkan popularitas pribadi para tokohnya untuk meningkatkan elektabilitas.
    Namun, strategi seperti ini ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, tokoh populer bisa memperbesar perhatian publik. Di sisi lain, ketergantungan yang berlebihan pada pesona pribadi figur-figur ini justru melemahkan pembangunan institusi partai yang kokoh.
    Identitas atau “brand” partai menjadi sangat bergantung pada persona ketua umumnya. Kita bisa lihat jelas bagaimana gaya PSI pada masa kepemimpinan Giring begitu lekat dengan pendekatan komunikasinya yang unik dan cenderung nyentrik, mulai dari janji besar hingga pernyataan ambisi politik yang kontroversial.
    Sebaliknya, ketika era Kaesang dimulai, partai ini dengan cepat berubah haluan, mengambil pendekatan mirip “politik keluarga” yang selama ini melekat pada citra Jokowi.
    Personalisasi politik seperti ini juga membawa risiko lain, yaitu menurunnya loyalitas pemilih dan kader terhadap partai.
    Banyak pendukung PSI yang memilih partai ini semata-mata karena terpikat oleh sosok tertentu, bukan karena meyakini visi dan program partai secara mendalam.
    Ketika figur tersebut meninggalkan partai atau citranya meredup, dukungan publik dengan mudah berpindah ke partai lain atau figur baru yang sedang populer.
    Para ahli seperti Gideon Rahat dan Tamir Sheafer (2007) menggambarkan fenomena personalisasi politik ini sebagai proses meningkatnya peran figur individu dalam politik, sementara peran partai sebagai organisasi justru melemah.
    Artinya, dalam konteks PSI, sosok ketua umum seperti Kaesang menjadi daya tarik utama partai, sedangkan institusi partai dan ideologi yang semestinya menjadi fondasi perjuangan politik justru menjadi sekunder.
    Kondisi ini tentu mengkhawatirkan untuk demokrasi yang sehat, karena idealnya partai politik bertumpu pada gagasan, ideologi, dan program yang konsisten, bukan hanya kharisma dan daya tarik sesaat seorang tokoh.
    Tak kalah menarik adalah indikasi kartelisasi partai dalam dinamika PSI. Kartelisasi partai merupakan kecenderungan di mana partai-partai politik lebih sibuk saling berkolusi untuk berbagi kekuasaan dan sumber daya negara, ketimbang serius memperjuangkan aspirasi masyarakat.
    Dalam kondisi ini, partai tak lagi menjalankan perannya sebagai perantara antara rakyat dan negara secara optimal.
    Sebaliknya, partai-partai tersebut berkolaborasi demi mempertahankan kepentingan elitnya sendiri, sehingga berubah menjadi semacam persekutuan elite penguasa yang cenderung tertutup dan menjauh dari rakyat.
    Kasus PSI adalah contoh nyata bagaimana fenomena ini terjadi dalam skala lebih kecil. Sepanjang eksistensinya, PSI sering kali lebih memilih mendekatkan diri ke lingkaran kekuasaan dibandingkan mengambil posisi sebagai oposisi yang kritis dan substansial.
    Sejak Pemilu 2019, misalnya, PSI secara konsisten mendukung penuh Presiden Jokowi, meskipun mereka gagal masuk ke parlemen.
    Karena sikap politik ini, publik menyindir PSI sebagai “Partai Solidaritas Istana”. Label ini melekat akibat kedekatan PSI dengan Jokowi yang terkesan terlalu erat, mulai dari mendukung hampir semua kebijakan pemerintah hingga menyediakan posisi strategis bagi anggota keluarga presiden sendiri, seperti penunjukan Kaesang sebagai ketua umum.
    Langkah PSI tentu bukan tanpa alasan. Dengan merapat ke pusat kekuasaan, PSI berharap mendapatkan berbagai keuntungan, seperti posisi publik, akses pendanaan, dan fasilitas politik lain yang membantu kelangsungan hidup partai.
    Strategi ini terbukti efektif bagi para elite partai, meski bertentangan dengan idealisme yang selama ini mereka gaungkan.
    Contoh paling jelas adalah Giring Ganesha yang, setelah mundur dari posisi ketua umum PSI, mendapatkan jabatan strategis sebagai Wakil Menteri Kebudayaan dalam kabinet Presiden Prabowo Subianto hasil Pemilu 2024.
    Yang menarik, Prabowo sebelumnya adalah rival utama Jokowi di dua pemilihan presiden. Namun, PSI dengan mudah menyeberang kubu begitu konstelasi politik berubah.
    Ini jelas menunjukkan logika kartel politik: selama bisa dekat dengan kekuasaan, partai tidak segan-segan berpindah koalisi tanpa peduli konsistensi politik.
    Dengan kondisi seperti ini, “solidaritas” yang menjadi jargon PSI seolah lebih tepat disebut solidaritas antar-elite ketimbang solidaritas untuk masyarakat luas.
    Ini merupakan gambaran lebih besar yang terjadi di politik Indonesia, di mana hampir semua partai lebih memilih bergabung dalam pemerintahan, meninggalkan peran sebagai oposisi yang kritis.
    Situasi seperti ini tentu membuat publik bingung karena sulit membedakan mana partai yang benar-benar mewakili aspirasi rakyat dan mana yang sekadar mengejar keuntungan pribadi lewat kolusi pragmatis antar-elite.
    Akibatnya, akuntabilitas atau pertanggungjawaban para politisi kepada rakyat menjadi kabur, dan demokrasi menjadi semakin kehilangan arah.
    Gejala terakhir yang sangat terasa dalam kasus PSI adalah lemahnya pelembagaan partai. Pelembagaan partai berarti sejauh mana partai politik tertanam kuat di masyarakat, punya identitas yang stabil, dan mampu bertahan dalam jangka panjang.
    Menurut pakar politik Scott Mainwaring (1998), sistem partai yang lemah biasanya ditandai oleh akar sosial yang dangkal di masyarakat, identitas partai tidak jelas, dan lebih dominannya ketergantungan pada tokoh atau patron dibandingkan ideologi partai itu sendiri.
    Mainwaring bahkan menegaskan bahwa lemahnya pelembagaan partai menjadi salah satu hambatan utama bagi terwujudnya demokrasi yang stabil dan kuat.
    PSI adalah contoh nyata partai dengan pelembagaan yang masih rapuh. Sebagai partai yang baru berdiri pada 2014 dan gagal masuk parlemen pada Pemilu 2019, PSI belum sempat membangun basis pendukung yang kuat dan stabil.
    Dukungan yang mereka terima dari masyarakat sering kali bersifat sementara, mengikuti tren atau sosok populer tertentu. Tidak heran jika tingkat perolehan suara PSI mudah naik turun dari satu pemilu ke pemilu berikutnya.
    Pada Pemilu 2019 lalu, misalnya, PSI hanya meraih sekitar 2 persen suara dan kembali menghadapi tantangan besar pada Pemilu 2024 dengan perolehan 2,8 persen suara.
    Di internal partai pun, PSI menunjukkan instabilitas yang tinggi. Dalam waktu kurang dari lima tahun saja, PSI sudah berganti pimpinan sebanyak tiga kali: dari Grace Natalie, beralih ke Giring Ganesha, lalu kini dipegang oleh Kaesang Pangarep.
    Pergantian yang cepat ini menunjukkan lemahnya aturan organisasi dan ketergantungan partai pada tokoh tertentu.
    Aturan-aturan internal partai juga tampak berubah sesuai kehendak elite partai. Sebagai contoh, normalnya seorang ketua umum menjabat selama lima tahun, tetapi Kaesang yang baru saja menjabat pada 2023 akan diuji kembali dalam pemilihan ketua umum pada Juli 2025 mendatang.
    Meskipun mungkin bertujuan untuk membangun citra sebagai partai yang sangat terbuka, langkah ini sekaligus menunjukkan bahwa aturan organisasi dalam PSI belum stabil dan masih mudah berubah.
    Lebih jauh lagi, PSI juga menghadapi persoalan lemahnya jaringan pendukung yang solid di akar rumput.
    Mereka memang kuat di media sosial, tetapi di luar perkotaan, terutama di pedesaan, basis massa mereka sangat tipis.
    Akibatnya, loyalitas pendukung PSI cenderung mudah tergerus begitu ada isu atau figur politik baru yang lebih menarik.
    Kondisi ini umum ditemukan dalam sistem demokrasi yang masih berkembang, di mana partai-partai yang belum punya akar ideologis yang kuat akan mudah tergantikan oleh partai baru yang lebih menarik perhatian publik.
    Dalam kondisi demikian, para politisi pun sering kali lebih memilih jalur pribadi atau berpindah partai yang menawarkan peluang lebih menjanjikan, ketimbang serius membangun institusi partai untuk jangka panjang.
    Di PSI sendiri, fenomena ini tampak jelas dengan sejumlah kader awal yang berpindah ke partai lain atau memilih berkarier secara independen begitu ada tawaran lebih baik.
    Semua ini menunjukkan bahwa PSI masih jauh dari menjadi organisasi politik yang stabil dan matang. Sebaliknya, partai ini tampak lebih mirip kendaraan politik sementara yang mudah ditinggalkan begitu dianggap tidak lagi menguntungkan.
    Drama internal PSI, mulai dari efek Kaesang hingga berbagai manuver politik Giring, sejatinya menjadi cermin buram bagi kondisi demokrasi kita saat ini.
    Personalisasi politik yang berlebihan menyebabkan partai kehilangan karakter dan tujuan utamanya, tenggelam dalam kultus individu tertentu.
    Kartelisasi partai, kecenderungan partai-partai untuk saling berkolusi dan berbagi kekuasaan, membuat demokrasi kita kekurangan oposisi yang benar-benar substantif.
    Alih-alih adu gagasan demi memperjuangkan kepentingan rakyat, partai-partai justru sibuk berbagi jabatan demi mempertahankan posisi dan kekuasaan.
    Sementara itu, lemahnya pelembagaan partai membuat sistem politik kita ibarat pasar bebas: partai politik datang dan pergi dengan mudah, semangat organisasi yang kuat jarang terbentuk, dan yang tersisa hanyalah ambisi sesaat para tokohnya.
    PSI mungkin merupakan contoh paling ekstrem, tetapi sesungguhnya kondisi yang sama juga terlihat di berbagai partai politik lain di Indonesia.
    Misalnya, politik dinasti keluarga yang makin lazim di partai-partai besar, kebiasaan bagi-bagi jabatan dalam koalisi pemerintahan yang terlalu besar, hingga kemunculan partai-partai baru yang sekadar menjadi kendaraan politik pragmatis menjelang pemilu, hanya untuk segera ditinggalkan sesudahnya.
    Jika dibiarkan terus-menerus, maka semua kecenderungan ini akan menggerus kualitas demokrasi kita secara perlahan.
    Idealnya, partai politik berfungsi sebagai pilar utama penyalur aspirasi rakyat. Namun, ketika partai hanya dijadikan mesin politik pribadi atau kelompok tertentu demi meraih kekuasaan, yang paling dirugikan adalah masyarakat luas.
    Suara rakyat menjadi samar, pertanggungjawaban politik hilang, dan demokrasi kita semakin tak tentu arah.
    Pada akhirnya, julukan “Partai Solidaritas Istana” mungkin terdengar seperti sindiran ringan, tetapi mengandung pesan serius tentang kondisi politik di Indonesia.
    Dinamika PSI saat ini adalah peringatan keras bahwa sistem kepartaian kita sedang dalam kondisi yang memprihatinkan.
    Solusinya mungkin tidak sederhana. Namun langkah awal yang harus dilakukan adalah mengembalikan fungsi partai sebagai institusi milik publik, bukan dikuasai secara pribadi atau keluarga tertentu.
    Tanpa langkah ini, partai politik akan terus menjadi kapal kosong yang mudah terombang-ambing, bukannya menjadi jangkar kuat bagi demokrasi yang matang dan stabil.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPU Sumenep Nyatakan Hairul Anam Penuhi Syarat Gantikan BEI di DPRD

    KPU Sumenep Nyatakan Hairul Anam Penuhi Syarat Gantikan BEI di DPRD

    Sumenep (beritajatim.com) – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sumenep resmi menyatakan bahwa Hairul Anam memenuhi seluruh syarat administratif untuk menggantikan Bambang Eko Iswanto (BEI) sebagai anggota DPRD Sumenep melalui mekanisme penggantian antar waktu (PAW). Proses ini dilakukan menyusul kasus narkoba yang menjerat BEI, anggota DPRD dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

    Ketua DPRD Sumenep, H. Zainal Arifin, mengatakan pihaknya telah menerima surat resmi dari KPU yang menyebutkan Hairul Anam sebagai calon legislatif PPP dengan suara terbanyak kedua di Daerah Pemilihan (Dapil) I, sehingga layak menggantikan posisi BEI.

    “Kami segera menindaklanjuti surat dari KPU ini dengan menggelar rapat pimpinan DPRD Sumenep. Setelah itu, kami akan mengirimkan surat ke Gubernur Jawa Timur melalui Bupati Sumenep untuk proses PAW ini,” kata Zainal, Senin (16/6/2025).

    Dalam Pemilu 2019, Hairul Anam mengantongi 2.505 suara, sementara BEI memperoleh 4.487 suara. Merujuk pada ketentuan yang berlaku, caleg dengan suara terbanyak kedua berhak diusulkan menggantikan anggota DPRD yang diberhentikan.

    “Untuk PAW, yang diusulkan adalah caleg dengan perolehan terbanyak kedua. Dalam hal ini, Hairul Anam berada di posisi tersebut untuk PPP Dapil I,” jelas Zainal.

    Saat ini, DPRD Sumenep menunggu turunnya Surat Keputusan (SK) dari Gubernur Jawa Timur mengenai pemberhentian resmi BEI dan pengangkatan Hairul Anam. Setelah SK tersebut diterima, DPRD akan menggelar rapat Badan Musyawarah (Bamus) guna menetapkan jadwal sidang paripurna pelantikan.

    Diketahui, Bambang Eko Iswanto ditangkap pada 4 Desember 2024 di kediamannya di Desa Kombang, Kecamatan Talango, dengan barang bukti narkotika jenis sabu seberat 15,76 gram. Dalam putusan 14 Mei 2025, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sumenep menjatuhkan vonis 10 tahun penjara dan denda Rp2 miliar. Jika tidak dibayar, BEI akan menjalani tambahan kurungan enam bulan. [tem/beq]