Duduk Perkara Pencopotan Pacul hingga Olly dari Kursi Ketua PDIP di Daerah
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– PDI Perjuangan menjelaskan duduk perkara pencopotan sejumlah kader dari kursi jabatan Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDI-P di sejumlah wilayah, termasuk Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul.
Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Bidang Sumber Daya, Said Abdullah mengatakan, para kader banteng itu tidak dipecat, melainkan mengikuti aturan organisasi pasca-Kongres VI PDI-P di Nusa Dua, Bali, 2025.
Aturan tersebut tertuang dalam Anggaran Dasar dan Peraturan Partai (PDI Perjuangan) Nomor 1 Tahun 2025.
Dalam aturan itu disebutkan bahwa kader yang terpilih sebagai pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P tidak boleh merangkap jabatan, baik di atas maupun di bawah struktur partai.
“Menyebutkan ketentuan sebagaimana berikut, ‘Anggota Partai atau kader Partai yang terpilih dan ditetapkan menjadi DPP dan Pengurus Partai tidak boleh merangkap jabatan struktural di atas maupun di bawahnya dan secara otomatis dianggap telah mengundurkan diri dari jabatan sebelumnya, kecuali Ketua Umum Partai menentukan lain’,” kata Said saat membacakan aturan tersebut, dikutip dari siaran pers, Sabtu (23/8/2025).
Menurut Said, aturan itu menjadi dasar pemberhentian beberapa kader yang sebelumnya menjabat Ketua DPD, yakni Olly Dondokambey (Sulawesi Utara), MY Esti Wijayanti (Plt Bengkulu), Bambang “Pacul” Wuryanto (Jawa Tengah), dan dirinya sendiri di Jawa Timur.
“Jadi, proses pemberhentian keempat Ketua DPD PDI Perjuangan di atas sebagai mekanisme yang memang telah diatur oleh Anggaran Dasar dan Peraturan Partai,” ucap Said.
“Karena normanya begitu, maka hal itu harus dilaksanakan oleh Ibu Ketua Umum dan DPP Partai,” sambungnya.
Kini keempat nama tersebut sudah resmi masuk dalam struktur DPP PDI-P periode 2025-2030 yang dibentuk langsung oleh Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.
Ia menyebutkan, aturan larangan rangkap jabatan ini bertujuan agar struktur partai di setiap tingkatan dapat lebih fokus dalam menjalankan tugas dan fungsi masing-masing.
Sebelum Said Abdullah, Ketua DPP PDI-P Andreas Hugo Pareira lebih dulu mengungkap adanya aturan larangan rangkap jabatan dalam AD/ART terbaru.
Andreas menerangkan, hal ini berlaku bagi semua kader, termasuk Bambang Pacul yang kini sudah ditetapkan sebagai Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) PDI-P periode 2025-2030.
“Anggota atau kader partai yang telah diputuskan dan ditetapkan menjadi dewan pimpinan partai tidak boleh merangkap jabatan pada struktur pengurus partai di atasnya atau di bawahnya,” ujar Andreas saat dihubungi, Kamis (21/8/2025).
Akibat pencopotan Pacul, posisi Ketua DPD PDI-P Jawa Tengah kini diisi oleh FX Hadi Rudyatmo (FX Rudy) sebagai pelaksana tugas (Plt).
Andreas menegaskan, aturan ini tidak hanya berdampak pada Pacul, tetapi juga bagi pengurus DPP lainnya yang sempat merangkap jabatan.
“Juga bagi Ibu Esty Wijayanti yang masih merangkap Plt Ketua DPD Bengkulu, juga Ibu Sadarestuwati yang juga merangkap menjadi Plt Ketua DPC Kabupaten Jombang,” kata Wakil Ketua Komisi XIII DPR itu.
Kursi Ketua DPD Jawa Tengah memiliki bobot politik yang penting.
Daerah yang pernah diduduki Bambang Pacul itu selama ini dikenal sebagai “kandang banteng” karena memang menjadi lumbung suara terbesar PDI-P.
Pada Pemilu 2019, PDI-P meraih 5,76 juta suara atau 29,71 persen dari keseluruhan perolehan suara di Jawa Tengah.
Di ajang Pilpres 2019, pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang diusung PDI-P juga menang telak dengan 16,82 juta suara (77,29 persen).
Namun, pada Pemilu 2024, dukungan terhadap PDI-P di Jawa Tengah menurun.
PDI-P meraih 5,2 juta suara pada pemilihan legislatif, lebih rendah dibandingkan lima tahun sebelumnya.
Di Pilpres 2024, pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud Md yang diusung PDI-P hanya mendapat 7,82 juta suara (34,34 persen).
Angka ini terpaut jauh dari hasil Pilpres 2019.
Sebaliknya, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka berhasil memenangkan Jawa Tengah dengan 12,09 juta suara, sementara pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar hanya meraih 2,86 juta suara.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Event: Pemilu 2019
-
/data/photo/2025/03/31/67ea08b050c8b.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
3 Duduk Perkara Pencopotan Pacul hingga Olly dari Kursi Ketua PDIP di Daerah Nasional
-

Megawati Minta Banyak Jatah Menteri ke Jokowi dalam Memori Hari Ini, 8 Agustus 2019
JAKARTA – Memori hari ini, enam tahun yang lalu, 8 Agustus 2019, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri minta banyak jatah menteri ke Jokowi. Keinginan itu dianggap Megawati sebagai bentuk kewajaran karena PDIP partai pemenang Pemilu 2019.
Sebelumnya, PDIP kembali mencalonkan Jokowi sebagai capres dalam Pilpres 2019. Partai berlambang banteng dengan moncong putih itu yakin Jokowi bakal menang kembali. Mesin partai pun bergerak memenangkan Jokowi.
Eksistensi Jokowi sebagai kader PDIP tak diragukan. Jokowi tercatat kerap jadi andalan PDIP dalam segala macam kontestasi politik. Kolaborasi Jokowi dan PDIP membawa hasil gemilang. Jokowi pernah menjabat sebagai Wali Kota Surakarta, Gubernur DKI Jakarta, bahkan Presiden Indonesia.
Semuanya atas dukungan dari Megawati Soekarnoputri. Mantan Presiden Indonesia itu menganggap Jokowi adalah petugas partai terbaik. Jokowi dianggapnya memutus mata rantai posisi PDIP sebagai oposisi pemerintah dari era 2004-2014.
Kepemimpinan Jokowi pun mengundang pujian. Pemerintahan Jokowi periode pertama 2014-2019 dipandang positif. Kondisi itu membuat Jokowi kembali dijagokan jadi capres dalam Pilpres 2019. Megawati yakin Jokowi bisa kembali menang. Apalagi, lawan Jokowi adalah Prabowo Subianto.
Sosok yang notabene pernah dikalahkan Jokowi pada Pilpres terdahulu. PDIP kemudian memasangkan Jokowi dengan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ma’ruf Amin. Partai Gerindra pun tak mau kalah memasangkan Prabowo Subianto dengan mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno.
Hasilnya seperti yang diprediksi PDIP. Jokowi keluar sebagai Presiden Indonesia terpilih. Kondisi itu membuatnya PDIP bersuka cita.
“Pemilu hanyalah proses mencari pemimpin. Jokowi dan KH Ma’ruf Amin adalah Presiden dan Wapres kita semua. Pemimpin seluruh rakyat Indonesia. Kami mensyukuri kemenangan ini. Inilah kemenangan rakyat. Namun perlu diingat, pemilu hanyalah alat mencari pemimpin. Jokowi dan KH Ma’ruf Amin adalah Presiden dan Wapres kita semua.”
“Pemimpin seluruh rakyat Indonesia. Megawati berharap kepada Jokowi, agar pemerintahan periode kedua ini, sepenuhnya diabdikan bagi kepentingan bangsa dan negara, serta memberikan perhatian besar bagi pembangunan manusia Indonesia,” ungkap Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto sebagaimana dikutip laman ANTARA, 21 Mei 2019.
Megawati Soekarnoputri yang pernah menjabat sebagai Presiden Indonesia era 2001-2004. (ANTARA)
Megawati pun menyambut kemenangan Jokowi dengan suka cita. Megawati blak-blakan meminta banyak jatah menteri untuk kader PDIP ke Jokowi pada 8 Agustus 2019. Permintaan Megawati dianggap sebagai bentuk kewajaran.
PDIP adalah partai pemenang Pemilu 2019 dan Jokowi adalah kader PDIP. Jokowi harus memberikan ruang bagi kader PDIP memimpin kementerian. Megawati pun takkan memberikan ruang negosiasi ketika Jokowi hanya memberikan sedikit kursi menteri.
“Kalau nanti Pak Jokowi mesti ada (menteri dari PDIP), mesti banyak. Orang kita pemenang dua kali. Saksikan ya. Nanti saya kasih cuma empat ya? eeeeeh emoooh. Tidak mau. Tidak mau. Tidak mau. Iya dong. Orang nggak dapat saja minta. Hore!” ujar Megawati dalam pembukaan Kongres V PDIP di Sanur, Bali sebagaimana dikutip laman CNBC, 8 Agustus 2019.
-
/data/photo/2025/08/06/6892c9ad53cff.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
1 Profil Sudewo, Bupati Pati yang Tantang 50.000 Warga Demo Kenaikan PBB 250 Persen Regional
Profil Sudewo, Bupati Pati yang Tantang 50.000 Warga Demo Kenaikan PBB 250 Persen
Penulis
PATI, KOMPAS.com
– Bupati Pati, Sudewo, tengah jadi perbincangan setelah pernyataannya menantang aksi unjuk rasa warga viral di media sosial.
Dalam video yang beredar di media sosial, Sudewo menyatakan tak gentar meski harus menghadapi gelombang demonstrasi besar menolak kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen.
“Siapa yang akan melakukan penolakan, saya tunggu. Silakan lakukan. Jangan cuma 5.000 orang, 50.000 orang aja suruh ngerahkan, saya tidak akan gentar. Saya tidak akan mengubah keputusan,” ujar Sudewo, dikutip Rabu (6/8/2025).
Pernyataan ini menyulut reaksi keras dari masyarakat.
Ribuan warga dikabarkan akan turun ke jalan dalam demonstrasi akbar pada 13 Agustus 2025, menolak kenaikan pajak yang dianggap memberatkan.
Sudewo lahir di Pati, 11 Oktober 1968, dan merupakan politikus senior di Jawa Tengah.
Ia menamatkan pendidikan sarjana di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta pada 1993, lalu melanjutkan studi magister di bidang Teknik Pembangunan di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.
Karier profesionalnya diawali sebagai karyawan di PT Jaya Construction (1993–1994), lalu menjadi pegawai proyek Departemen Pekerjaan Umum di Bali.
Ia diangkat sebagai PNS tahun 1997 dan sempat bertugas di Dinas PU Kabupaten Karanganyar sebelum memutuskan untuk berwiraswasta.
Sudewo pertama kali masuk dunia politik melalui Partai Demokrat, dan terpilih sebagai anggota DPR RI periode 2009–2013.
Setelah sempat vakum, ia kembali ke Senayan pada Pemilu 2019 lewat Partai Gerindra.
Di partai besutan Prabowo Subianto itu, ia menjabat sebagai Ketua Bidang Pemberdayaan Organisasi DPP Partai Gerindra hingga sekarang.
Pada Pilkada Pati 2024, Sudewo bersama pasangannya Risma Ardhi Chandra memenangkan kontestasi dan resmi menjabat sebagai Bupati dan Wakil Bupati Pati.
Sebelumnya, ia pernah mencalonkan diri di Pilkada Karanganyar 2002, namun belum berhasil.
Selain aktif di parlemen dan pemerintahan, Sudewo juga punya rekam jejak organisasi yang panjang, di antaranya:
Di awal kepemimpinannya sebagai Bupati Pati, Sudewo mengumumkan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen.
Kenaikan PBB ini diumumkan Sudewo dalam rapat bersama para camat dan anggota PASOPATI di Kantor Bupati Pati pada Minggu (18/5/2025),
“Telah disepakati bersama bahwa kesepakatannya itu sebesar 250 persen karena PBB sudah lama tidak dinaikkan, 14 tahun tidak naik,” ujar Sudewo, dikutip dari situs resmi Humas Pati, Selasa (5/8/2025).
Menurut Sudewo, tarif PBB di Kabupaten Pati selama ini tidak pernah disesuaikan sejak 14 tahun terakhir.
Akibatnya, penerimaan daerah dari sektor pajak tergolong rendah, bahkan tertinggal dari kabupaten-kabupaten tetangga.
“PBB Kabupaten Pati hanya sebesar 29 Miliar, di Kabupaten Jepara 75 miliar. Padahal, Kabupaten Pati lebih besar daripada Kabupaten Jepara,” kata Sudewo.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2013/06/28/125731820130628-1129251780x390.JPG?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
1 Kwik Kian Gie Meninggal Dunia Nasional
Kwik Kian Gie Meninggal Dunia
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Mantan Menko Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri,
Kwik Kian Gie
,
meninggal dunia
pada Senin (28/7/2025) malam.
Kabar tersebut dikonfirmasi oleh senior PDI-P, Andreas Hugo Pareira.
“Ya betul, 28 Juli 2025 sekitar pukul 22.00 WIB, dalam usia 90 tahun,” ujar Andreas kepada
Kompas.com
, Selasa (29/7/2025) dini hari.
Andreas mengatakan, Kwik Kian Gie merupakan sosok ekonom andal.
Dia juga menyebut fungsionaris PDI-P tersebut sebagai tokoh ekonom besar.
“Selamat jalan menuju keabadian, ekonom andal berintegritas. You’ll be missed. Kita kehilangan tokoh ekonom besar,” ucapnya.
Sementara itu, mantan Cawapres 2019, Sandiaga Uno, turut mengucapkan dukacita atas meninggalnya Kwik Kian Gie.
Seperti diketahui, Kwik Kian Gie sempat menjadi penasihat bidang ekonomi pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno jelang pemilu 2019 lalu.
Menurut Sandi, Kwik Kian Gie adalah mentor yang tidak pernah lelah memperjuangkan kebenaran.
Sandi bahkan mengunggah foto bersama Kwik Kian Gie dan Prabowo Subianto.
”
Selamat jalan, Pak Kwik Kian Gie. Ekonom, pendidik, nasionalis sejati. Mentor yang tak pernah lelah memperjuangkan kebenaran. Yang berdiri tegak di tengah badai, demi kepentingan rakyat dan negeri. Indonesia berduka,
” kata Sandi dalam akun resmi Instagram-nya.
Kwik Kian Gie lahir pada tahun 1935 di Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Setelah menamatkan pendidikan SMA, ia melanjutkan studinya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia selama setahun untuk tingkat persiapan.
Kemudian, pada tahun 1956, dia melanjutkan studi ke Nederlandsche Economiche Hogeschool Rotterdam yang kini bernama Erasmus Universiteit Rotterdam. Kwik menyelesaikan studinya pada tahun 1963.
Lalu pada tahun 1987, dia bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pada tahun yang sama, Kwik mewakili PDI sebagai anggota Badan Pekerja MPR.
Ketika Megawati Soekarnoputri menjadi Ketua Umum PDI yang berubah nama menjadi PDI Perjuangan, Kwik Kian Gie menduduki jabatan Ketua DPP merangkap Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan. Sebagai kader PDI Perjuangan, Kwik Kian Gie pernah menjadi Wakil Ketua MPR RI.
Lalu di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Kwik Kian Gie pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin) periode 1999-2000.
Kemudian pada tahun 2001-2004, Kwik Kian Gie dipercata Megawati Soekarnoputri untuk mengemban jabatan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dan Ketua Bappenas.
Kwik Kian Gie pun diganjar Bintang Mahaputra Adipradana pada tahun 2005.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Mendesak Reformasi Sistem Pemilihan Umum
Jakarta –
Tidak sedikit kawan-kawan saya yang berseloroh, “Demokrasi itu bukan tujuan, bukankah ia hanya jalan untuk mencapai kesejahteraan?”, lalu yang lain menyahut, “Ya betul, lihat Tiongkok, luar biasa bargaining position-nya di kancah global, dan tidak perlu repot-repot dengan demokrasi.”
Obrolan itu bermula dari pembahasan hangat seputar pemilihan umum (pemilu), dengan konteks putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 135/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah.
Namun, saya masih meyakini demokrasi sebagai jalan kehidupan berbangsa dan bernegara, mengutip Abraham Lincoln “No man is good enough to govern another man without that other’s consent.”
Langkah untuk menjamin “persetujuan” tersebut memiliki legitimasi yang kuat melalui proses pemilu yang demokratis. Saya memahami mungkin sebagian dari kita telah jenuh, bosan, atau mungkin marah, dengan “janji manis” demokrasi yang tak kunjung datang.
Beragam efek samping pemilu yang tidak diharapkan telah menimbulkan permasalahan, seperti maraknya politik uang (money politic) yang ikut menyumbang terjadinya korupsi, biaya tinggi dalam pemilu (pusat maupun daerah), dan lamban atau lemahnya institusionalisasi demokrasi.
Nah, reformasi terbuka lebar melalui masuknya RUU Pemilu dalam prioritas prolegnas 2025, akan tetapi sayang sampai sekarang kita belum tahu kapan pembahasannya akan dilangsungkan.
Urgensi Reformasi Pemilu
Reformasi sistem pemilu kian mendesak untuk segera dilakukan di Indonesia. Terlebih, setelah keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) 135/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah. Riuh rendah terkait putusan ini, terus saling bersahutan hingga saat ini. Namun, sepatutnya publik tidak boleh hanyut dalam kondisi ini.
Seharusnya yang kita lakukan adalah mendesak agar DPR dan pemerintah, segera melakukan pembahasan terhadap revisi UU Pemilihan Umum (RUU Pemilu).
Mengapa desakan itu penting? Setidaknya terdapat 2 (dua) putusan MK sebelumnya yang berharga bagi perbaikan pelaksanaan Pemilu 2029 mendatang. Pertama, putusan tentang penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Kedua, putusan soal ambang batas parlemen yang tidak lagi 4 persen. Sayangnya sampai dengan saat ini, belum jelas kapan RUU Pemilu akan dibahas.
Siapa yang menjadi leading sector RUU Pemilu masih belum jelas, namun sepatutnya tidak perlu berebut siapa yang akan menjadi leading sector pembahasan RUU Pemilu. Apakah akan diserahkan kepada Komisi II, Badan Legislasi (Baleg) ataupun Panitia Khusus (Pansus)? Tidak jadi masalah, toh sama-sama DPR juga.
Melemahnya Partai Politik
Pemilihan anggota DPR baik pusat maupun daerah, semakin terpersonalisasi pada figur kandidat dari pada partai politik, terutama setelah diterapkannya proporsional daftar terbuka pada Pemilu 2009.
Aspinall dan Berenschot (2020) menyebut fenomena tersebut menyebabkan terjadinya apa yang disebut sebagai free-wheeling clientelism (klientelisme gelindingan roda lepas), yang membuat partai politik terdegradasi perannya dalam proses pemilihan dibandingkan kandidat itu sendiri.
Declaining partai politik terlihat dari semakin rendahnya party-id dari partai politik di Indonesia. Dari survei Politika Research & Consulting (PRC) sejak 2020 hingga 2024 menunjukkan bahwa orang yang merasa dekat dengan partai politik tertentu hanya berkisar 15,2 persen hingga 10,3 persen saja dari total pemilih. Hal ini menunjukkan bahwa perlu segera dilakukan perbaikan atas pelembagaan partai politik.
Selain itu, melemahnya partai politik tercermin dari semakin berkurangnya jumlah pemilih yang mencoblos partai politik. Pemilih lebih cenderung mencoblos kandidat atau figur (caleg) dari pada partai politik. Apabila dibandingkan pada Pemilu 2019 dan Pemilu 2024, menunjukkan hampir semua partai politik mengalami penurunan jumlah pemilih yang mencoblos partai politik, kecuali hanya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mengalami peningkatan.
Ketika mekanisme yang digunakannya adalah electoral threshold jumlah suara terbuang (tidak terkonversi menjadi kursi DPR) harusnya lebih kecil apabila dibandingkan dengan penerapan parliamentary threshold, namun ternyata tidak selalu demikian. Suara terbuang menjadi sumber kritik bagi pemerhati demokrasi di Indonesia.
Semakin besarnya suara terbuang mencerminkan terjadinya disproporsionalitas di dalam sistem Pemilu kita yang menganut proporsionalitas.
Pemilu pasca reformasi (1999-2024), berdasarkan data KPU RI menunjukkan bahwa suara terbuang terbesar terjadi pada Pemilu 2009 yang mencapai 19.047.481 suara atau setara dengan 18,3 persen total suara sah. Di sisi lain, suara terbuang terendah pada Pemilu di Indonesia terjadi pada tahun 2014 dengan 2.964.975 suara atau setara dengan 2,4 persen (sudah menggunakan parliamentary threshold).
Namun sejak itu, jumlah suara terbuang kian meningkat 13.595.842 suara atau 9,7 persen (2019) dan 17.304.303 suara atau 11,4 persen (2024). Salah satu bukti empiris yang mendukung mengapa suara terbuang pada Pemilu 2014 relatif lebih sedikit adalah, karena partai politik peserta Pemilu relatif sedikit (12 partai politik) jika dibandingkan dengan periode Pemilu pasca reformasi lainnya.
Menanti Arah Baru?
Ambang batas pencalonan Pilpres yang sudah digugurkan, menandakan lahirnya sebuah baru dalam Pilpres di Indonesia. Artinya semua partai politik berhak mencalonkan presiden dan wakil presidennya. Sudah seharusnya momentum ini bisa dijadikan oleh partai politik untuk menggerakkan pendalaman demokrasi (deepening democracy) dan menciptakan sistem yang lebih inklusif.
Sikap anti-partai politik yang selama ini seperti mewabah harus dilawan dengan gerakan nyata, dengan merebut hati rakyat. Bagaimanapun juga partai politik adalah pilar penting dalam demokrasi.
Secara konseptual oleh Norris (2004) perdebatan tentang reformasi elektoral secara umum adalah perdebatan memilih di antara adversarial democracy dan consensual democracy. Indonesia sendiri lebih cenderung pada consensual democracy. Visi utama consensual democracy adalah menekankan pada pengambilan keputusan secara konsensus, tawar-menawar atau kompromi di antara beragam partai politik di parlemen, mendukung sistem elektoral proporsional yang mengurangi hambatan bagi partai minoritas, memaksimalkan partisipasi pemilih, dan parlemen yang mencerminkan keragaman.
Namun di sisi lain, consensual democracy memiliki kelemahan karena menghasilkan hasil elektoral yang tidak tegas atau koalisi pemerintahan yang cenderung lemah, tidak efektif, dan tidak stabil, memungkinkan terjadinya permasalahan fragmentasi multi-partai, dan cenderung mendorong pengambilan keputusan yang lambat dan terlalu berhati-hati.
Karena adanya kelemahan atau kelebihan itu barangkali yang membuat adanya usulan jalan ketiga, seperti usul tentang sistem pemilu campuran dalam pemilihan anggota legislatif. Hemat penulis, Indonesia harus bisa belajar dengan caranya sendiri. Apakah jalan yang dipilih adalah memberikan peluang yang lebih besar terhadap partai-partai kecil atau partai baru, namun disisi lain menimbulkan “bahaya” fragmentasi partai.
Ada pula jalan lainnya, seperti mengurangi jumlah partai di level nasional, untuk mendorong penyederhanaan partai politik (multi-partai sederhana).
Apapun langkah yang akan diambil oleh para pengambil kebijakan, RUU Pemilu mendesak untuk dilakukan pembahasan serta mengedepankan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
Sudah saatnya momentum RUU Pemilu menjadi ajang konsolidasi sistem politik Indonesia untuk jangka panjang. Tidak ada sistem pemilihan yang benar-benar sempurna, tapi yang bisa kita lakukan adalah menentukan sistem pemilihan secara sadar yang paling menunjang agar bangsa Indonesia bisa bertumbuh.
Faris Widiyatmoko. Dosen FISIP UPNV Jakarta dan Direktur Eksekutif Politika Research & Consulting.
(rdp/rdp)
-

Kaesang: Saya Akan Rapikan Struktur PSI dari DPP sampai Ranting!
Solo, Beritasatu.com – Kaesang Pangarep kembali ditetapkan sebagai ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) periode 2025-2030 dalam Kongres ke-1 PSI di Gedung Graha Saba Buana, Kota Solo, Jawa Tengah, Sabtu (19/7/2025). Putra bungsu mantan Presiden Jokowi ini berjanji akan merombak struktur pengurus PSI dari tingkat pusat hingga ranting.
“Saya sekarang punya waktu yang jauh lebih banyak dibandingkan periode sebelumnya. Saya sekarang punya waktu 4 tahun sebelum pemilihan legislatif ke depannya. Jadi, saya akan merapikan seluruh struktur dari DPP, DPW, DPD, DPC sampai tingkat ranting,” kata Kaesang kepada wartawan di arena Kongres PSI.
Selain itu, Kaesang mengungkap alasan perubahan logo PSI dari mawar menjadi gajah. Menurutnya, itu mencerminkan karakter PSI di bawah pimpinannya.
“Secara filosofi, gajah itu tidak akan mengamuk ketika diserang maupun tidak diserang. Gajah selalu menjadi versi dirinya sendiri. Gajah mungkin memang bukan raja hutan, tetapi gajah adalah pelindung dari negara besar,” jelasnya.
Sementara itu, Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) yang hadir dalam kongres berharap PSI dapat lolos ke Senayan pada Pemilu 2029.
“Kalau targetnya 2029 masuk ke Senayan, yang saya kira itu jangan dijadikan target, karena memang itu harus,” tegas Jokowi.
Jokowi menyebutkan PSI harus belajar dari pengalaman dua kali mengikuti pemilu, yakni pada 2019 dan 2024.
Ia yakin pengalaman pertama pada Pemilu 2019, saat PSI baru dilahirkan sebagai partai baru, dan hampir lolos ke Senayan pada Pemilu 2024, akan menjadi pelajaran berharga.
“Saya mendengar bahwa tentu saja dari pengaman lapangan, akan ada perombakan besar-besaran di tubuh PSI,” jelasnya.
-
/data/photo/2025/07/19/687b6a0de495e.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Jokowi: PSI Harus Masuk Senayan pada Pemilu 2029 Regional 19 Juli 2025
Jokowi: PSI Harus Masuk Senayan pada Pemilu 2029
Tim Redaksi
SOLO, KOMPAS.com
– Presiden Joko Widodo (
Jokowi
) menegaskan,
Partai Solidaritas Indonesia
(
PSI
) harus berupaya untuk masuk ke
Senayan
dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2029.
Pernyataan tersebut disampaikan Jokowi di hadapan kader PSI dalam kongres partai tersebut, Sabtu (19/7/2025).
“Kalau targetnya 2029 masuk ke Senayan, yang saya kira itu jangan dijadikan target. Karena memang itu harus,” tegas Jokowi.
Jokowi menyebutkan, PSI perlu belajar dari pengalaman mengikuti dua Pemilu sebelumnya, di mana hasil yang diraih belum memuaskan.
Ia yakin bahwa pengalaman pertama pada Pemilu 2019, saat PSI baru dilahirkan sebagai partai baru, dan hampir lolos ke Senayan pada Pemilu 2024, akan menjadi pelajaran berharga.
“Saya mendengar bahwa tentu saja dari pengaman lapangan, akan ada perombakan besar-besaran di tubuh PSI,” jelasnya.
Presiden juga menekankan bahwa kesulitan yang dihadapi akan menjadi modal untuk memperkuat partai.
“Kesulitan-kesulitan itu akan membuat kita lebih baik. Kesulitan-kesulitan itu akan membuat kita lebih kuat,” lanjutnya.
Menurut Jokowi, hambatan dan tantangan yang ada di lapangan akan membantu PSI untuk lebih matang.
“Karena semakin banyak kesulitan yang kita hadapi, semakin banyak hambatan yang kita hadapi, semakin banyak tantangan yang kita hadapi, kita akan semakin matang. Dan kita tidak akan mengulang lagi kesalahan-kesalahan di 2019, di 2024,” paparnya.
Dalam waktu empat tahun ke depan, Jokowi berharap PSI dapat memperbaiki tata kelola dan manajemen partai, baik secara mikro maupun makro.
“Manajemen mikro maupun manajemen makronya, strategi mikro maupun strategi makronya, semuanya diperbaiki,” ujarnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Sosiolog UGM: Pemilu terpisah harus diikuti reformasi partai
Yang harus diperbaiki sekarang ini adalah cara partai membangun komunikasi politik. Reformasi partai harus dikerjakan, kalau enggak ya percuma
Yogyakarta (ANTARA) – Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sujito menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemisahan pemilu nasional dan lokal harus diikuti dengan reformasi partai politik.
“Yang harus diperbaiki sekarang ini adalah cara partai membangun komunikasi politik. Reformasi partai harus dikerjakan, kalau enggak ya percuma,” kata Arie saat ditemui di Kampus UGM, Sleman, DI Yogyakarta, Rabu.
Menurut Arie, masalah demokrasi di Indonesia tidak akan selesai hanya dengan memisahkan pemilu nasional dan lokal karena persoalan utamanya justru terletak pada struktur dan perilaku partai politik yang masih stagnan.
“Partai ini kan belum banyak berubah,” ujar Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat, dan Alumni UGM ini.
Arie menyebut sistem partai yang sentralistis tidak kompatibel dengan model pemilu terpisah yang menuntut konsolidasi lintas tingkatan.
Karena itu, apabila tidak diiringi perubahan di internal parpol, pemisahan justru bisa menimbulkan ketimpangan representasi antara pusat dan daerah.
“Anda bisa bayangkan, partai itu sentralistis, sementara pemilu kalau dipilah, penyelenggaraannya jadi terpisah. Ini bukan pekerjaan yang mudah,” kata dia.
Ia memandang keputusan MK sebagai bentuk eksperimen politik yang bisa menambah kompleksitas jika partai tidak siap menghadapi perubahan.
“Keputusan MK itu belum tentu nanti langsung memudahkan mereka mengkonsolidasi antara yang dikerjakan di daerah maupun di pusat,” ucapnya.
Arie juga mengkritisi asumsi bahwa pemisahan waktu pemilu bakal efektif mendongkrak partisipasi pemilih.
Menurut dia, partisipasi tidak ditentukan oleh desain pemilu, akan tetapi oleh kekuatan hubungan antara pemilih dan para kontestan.
“Tidak ada korelasi positif pemisahan penyelenggaraan pemilu di daerah sama pusat itu akan mendongkrak partisipasi atau tidak. Tergantung kontestannya, tergantung pendirian politiknya,” katanya.
Ia menambahkan, pemilih tidak akan tertarik hanya karena sistem berubah karena yang lebih penting adalah sejauh mana partai mampu menjalin kedekatan dan komunikasi dengan masyarakat.
MK, Kamis (26/6), mengabulkan sebagian permohonan Perludem dalam Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024. MK memutuskan bahwa pemilu anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah (pemilu lokal) digelar 2 atau 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden terpilih (pemilu nasional).
Menurut MK dalam pertimbangan hukum, desain penyelenggaraan pemilu selama ini mengakibatkan impitan sejumlah tahapan dalam penyelenggaraan pemilu DPR, DPD, presiden/wakil presiden, dan DPRD provinsi/kabupaten/kota dengan tahapan pemilihan kepala dan wakil kepala daerah.
Dengan adanya perimpitan itu, tumpukan beban kerja penyelenggara pemilu menjadi tak terelakkan. Dalam batas penalaran yang wajar, Mahkamah menilai, kondisi yang demikian berpengaruh terhadap kualitas penyelenggaraan pemilu.
Hal lain yang disoroti MK dalam pertimbangan hukum, yaitu pelaksanaan Pemilu 2019 yang menyebabkan penyelenggara pemilu jatuh sakit dan meninggal dunia karena rumitnya teknis penghitungan suara dan terbatasnya waktu untuk rekapitulasi suara.
Sementara itu, dari segi rakyat pemilih, MK menilai pemilu beruntun dalam tahun yang sama berpotensi membuat pemilih menjadi jenuh dan tidak fokus.
MK turut menyinggung masalah pelemahan pelembagaan partai jika pemilu nasional terus digelar berdekatan dengan pemilu lokal. Partai politik menjadi tidak memiliki cukup waktu untuk menyiapkan kadernya sehingga mudah terjebak dalam pragmatisme.
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/776039/original/040097700_1417784671-z1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
NasDem Soroti Putusan MK soal Pemilu Terpisah: Tata Kenegaraan Bisa Porak-Poranda – Page 3
Liputan6.com, Jakarta – Wakil Ketua DPP NasDem, Saan Mustopa, menyebut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan jadwal pemilihan umum nasional dan daerah berpotensi mengacaukan sistem ketatanegaraan Indonesia.
“Kita bukan di situ ya (nambah beban ongkos politik), prinsip kita bukan di situ. Prinsip kita bahwa putusan itu tadi, sekali lagi, itu menimbulkan konsekuensi tentang tata kenegaraan kita nanti agak porak-poranda,” kata Saan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (1/7/2025).
Saan juga menyoroti inkonsistensi Mahkamah Konstitusi dalam membuat putusan terkait sistem pemilu. Menurutnya, MK sebelumnya telah menegaskan soal keserentakan pemilu, termasuk melalui putusan yang diberlakukan pada Pemilu 2019.
“Mereka kan sudah memutuskan 2019 yang mengatur keserentakan Pemilu di mana Presiden, Wakil Presiden, DPRRI, DPDRI, DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota dengan lima kotak, itu kan putusan Mahkamah Konstitusi sendiri,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa meski putusan tersebut sempat kembali digugat, MK justru tetap menguatkan prinsip keserentakan dan hanya memberikan opsi alternatif, bukan pembelahan jadwal seperti yang diputuskan saat ini.
“Bahkan ketika itu digugat lagi, Mahkamah Konstitusi juga tidak mengabulkan malah memberikan opsi, termasuk di dalamnya opsi keserentakan Pemilu yang dilakukan di 2019. Kita ingin konsistensi terkait dengan soal itu penting banget,” pungkasnya.
-

Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Lokal Progresif dan Ramah HAM
PIKIRAN RAKYAT – Komnas HAM mengapresiasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan Pemilu lokal dan nasional dalam Pemilihan Umum 2029.
Putusan tersebut sejalan dengan salah satu poin rekomendasi Komnas HAM kepada pemerintah dan DPR dalam Kertas Kebijakan terkait dengan perlindungan dan pemenuhan HAM bagi petugas Pemilu yang dirilis 15 Januari 2025.
“Komnas HAM menilai Putusan Mahkamah Konstitusi ini merupakan langkah progresif untuk mendorong terwujudnya Pemilu yang lebih ramah HAM.” Demikian kata Ketua Komnas HAM Anis Hidayah dalam Keterangan Pers Komnas HAM Nomor: 38/HM.00/VI/2025, Minggu (29/6/2025). Terdapat sejumlah alasan yang membuat putusan MK dinilai progresif dalam urusan HAM.
Pertama, dari sisi penyelenggara Pemilu. Desain Pemilu nasional dan lokal akan membagi beban pekerjaan para petugas Pemilu, terutama pada proses pemungutan suara oleh petugas TPS. Dengan demikian, pelaksanaan pekerjaan lebih terarah dan terukur (manageable).
Pemilu 2019 dan 2024 dengan lima surat suara menjadi salah satu penyebab utama tingginya angka kecelakaan kerja petugas TPS baik yang meninggal maupun sakit. Proses pemungutan dan penghitungan lima surat suara pada umumnya berakhir di pagi hari berikutnya. Para petugas Pemilu memikul beban kerja yang melebihi batas kewajaran dan dengan waktu istirahat yang sangat terbatas.
Kondisi itu diperburuk dengan tingginya tekanan psikis dari pendukung Capres atau partai politik dan kekhawatiran terhadap kesalahan teknis yang mungkin terjadi dalam pemungutan dan perhitungan suara di TPS. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang secara sah memisahkan Pemilu nasional dengan 3 surat suara dan lokal dengan 4 surat suara dalam Pemilu 2029 juga sejalan dengan pemenuhan hak atas pekerjaan layak. Pemisahan secara signifikan akan mengurangi beban kerja petugas Pemilu, memotong waktu kerja menjadi lebih pendek, serta memungkinkan waktu beristirahat lebih panjang.
Kedua, dari sisi pemilih. Desain Pemilu nasional dan lokal bakal memberi kesempatan bagi pemilih mendapatkan hak atas informasi kepemiluan yang lebih baik.
Pemilu 2019 dan 2024 dengan lima surat suara sangat membingungkan bagi pemilih. Pasalnya, semua isu terfokus pada Pilpres. Isu Pileg senyap dan bahkan isu-isu lokal nyaris tidak mendapat tempat. Pemilih juga sering kali mengalami kebingungan, di antaranya adalah karena banyaknya surat suara DPD yang tidak sah karena tidak dicoblos sama sekali oleh pemilih. Dengan adanya pembagian, pemilih akan lebih fokus terhadap isu-isu pusat dalam Pemilu nasional dan isu-isu kedaerahan di Pemilu Lokal. Hal itu akhirnya akan berkontribusi pada pelaksanaan Pemilu yang lebih demokratis. Di mana salah satu prasyaratnya adalah pemilih yang terinformasi dengan baik (well-informed voters) sehingga mampu memilih secara rasional, bukan karena sentimen SARA atau terpapar hoaks.
Ketiga, Putusan MK merupakan langkah progresif mewujudkan Pemilu yang ramah HAM. Putusan itu menjadi representasi kehadiran negara dalam pemenuhan hak hidup dan hak atas kesehatan yang lebih baik bagi petugas Pemilu di masa yang akan datang. Dengan demikian, pengalaman kelam kematian ratusan Petugas Pemilu 2019 dan 2024 tidak terulang kembali.***