Event: Pemilu 2019

  • PAN Sepakat Usulan Bahlil soal Koalisi Permanen: Harus Masuk UU Pemilu

    PAN Sepakat Usulan Bahlil soal Koalisi Permanen: Harus Masuk UU Pemilu

    Jakarta

    PAN turut merespons usulan Ketum Golkar Bahlil Lahadalia terkait koalisi permanen. PAN sepakat dengan usulan tersebut namun perlu dimasukkan dalam UU Pemilu.

    “Pernyataan ketua umum Golkar, Mas Bahlil Lahadalia, patut diapresiasi dalam meletakkan fondasi membangun sistem presidensial Indonesia ke depan dengan multi partai. Jika koalisi permanen menjadi keputusan politik seluruh partai, maka harus masuk di pasal di UU Pemilu. Jika itu terjadi, maka PAN satu pemikiran dengan Golkar,” kata Waketum PAN Viva Yoga Mauladi, Sabtu (6/12/2025).

    “Kita tunggu jadwal revisi UU Pemilu (kodifikasi dari tiga UU, yakni UU Pilpres; UU Penyelenggara Pemilu; UU Pemilihan Anggota DPR, DPD; DPRD Provinsi, Kabupaten/ Kota),” lanjutnya.

    Di sisi lain, Viva menyebut usulan koalisi permanen memang kerap muncul di setiap pembahasan revisi UU Pemilu. Di UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu sebagai dasar hukum penyelenggaraan pemilu 2019 dan 2024, tidak ada pasal yang mengatur tentang pembentukan koalisi permanen, baik sebelum atau setelah Pemilu Presiden dilaksanakan.

    “Sewaktu di DPR (2009-2019), saya pernah dua kali menjadi anggota Pansus RUU Pemilu. Isu koalisi permanen selalu muncul dalam setiap pembahasan Undang-Undang tentang Pemilu,” ujarnya.

    “Besar kemungkinan presiden terpilih akan mengalami sandera politik oleh DPR karena hanya memiliki kekuatan minoritas. Jika hal itu terjadi maka pemerintah tidak akan dapat bekerja maksimal untuk merealisasikan visi dan janji-janji politik saat kampanye,” lanjut Viva.

    Wakil Menteri Transmigrasi ini menambahkan, konfigurasi kekuatan politik di DPR sangat menentukan stabilitas pemerintahan. Karena itu, menurut Viva, meski koalisi permanen dapat menjadi salah satu opsi penguatan sistem presidensial, tetap dibutuhkan desain regulasi yang cermat agar tidak justru menimbulkan persoalan baru dalam praktik pemerintahan.

    Sebelumnya, Ketum Partai Golkar Bahlil Lahadalia mengusulkan koalisi permanen di acara puncak HUT ke-61 Partai Golkar, Istora Senayan, Jakarta. Bahlil mengusulkan koalisi permanen di hadapan Presiden Prabowo Subianto.

    “Partai Golkar berpandangan Bapak Presiden, bahwa pemerintahan yang kuat dibutuhkan stabilitas. Lewat mimbar yang terhormat ini izinkan kami memberikan saran perlu dibuatkan koalisi permanen,” kata Bahlil, Jumat (5/12/2025).

    Diketahui, Prabowo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka turut hadir di puncak HUT Golkar ini. Kembali ke Bahlil, ia tak ingin partai-partai yang ada di koalisi saat ini keluar-masuk.

    Menurutnya, koalisi yang mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran harus solid. “Jangan koalisi in-out, jangan koalisi di sana senang di sini senang di mana-mana hatiku senang,” tutur Bahlil.

    (eva/idh)

  • Wakil Ketua PPP Jatim: Jangan Lagi Ada Keputusan Politik Pragmatis

    Wakil Ketua PPP Jatim: Jangan Lagi Ada Keputusan Politik Pragmatis

    Jember (beritajatim.com) – Partai Persatuan Pembangunan kini dalam kondisi terpuruk. Peringatan penting kepada seluruh pengurus dan kader partai untuk kembali ke basis ideologis dan tidak bersikap pragmatis dalam berpolitik.

    Wakil Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PPP Jatim Mujahid Anshori mengatakan, selain gagal masuk DPR RI, jumlah kursi PPP di parlemen tingkat kabupaten dan kota di Jawa Timur pun berkurang dratis.

    Saat ini PPP hanya punya 90 kursi di 38 DPRD kabupaten dan kota di Jawa Timur. Sebelumnya, dalam Pemilu 2019, PPP mengantongi 125 kursi.

    “Jadi kita kehilangan kursi yang sangat banyak. Dari lima DPRD kabupaten kota, sekarang sembilan DPRD kabupaten kota, PPP tidak punya kursi,” katanya, dalam acara silaturahmi ulama dan Majelis Taman Surga PPP, di Pondok Pesantren Darus Sholah, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Selasa (2/12/2025).

    Mujahid mengajak seluruh kader dan pengurus PPP untuk mengambil pelajaran dari Perang Uhud. “Saat ini situasinya (PPP) sama seperti umat Islam yang sedang mengalami kekalahan dalam Perang Uhud,” katanya.

    Mujahid meminta agar kader dan pengurus PPP meniru Nabi Muhammad SAW yang tidak menyalahkan umat dan berfokus pada langkah ke depan. “Pasca Perang Uhud, Islam tidak pernah kalah sampai penaklukan Kota Mekkah,” katanya.

    “Mudah-mudahan dengan semua yang dialami PPP saat ini, kita memperbanyak doa kepada Allah, bekerja keras, dan ketiga, membangun soliditas kekompakan, Kita harus bergandengan tangan, tekan ego yang sedalam-dalamnya. Kalau ini terjadi, saya punya keyakinan seperti pasca Perang Uhud, pasca ini PPP tidak akan pernah kalah,” kata Mujahid.

    Mujahid juga mengingatkan pentingnya PPP untuk kembali ke pondok pesantren dan umat sebagai basis ideologis. “Kalau PPP ingin besar, ingin, menang jangan sekali-kali pimpinan partai ini mengambil keputusan-keputusan pragmatis, keputusan-keputusan yang sifatnya duniawi, tapi betul-betul keputusan-keputusan yang ideologis yang dilandasi oleh syariat Islam,” katanya. [wir]

  • 2
                    
                        PSI Mengusik PDI-P
                        Nasional

    2 PSI Mengusik PDI-P Nasional

    PSI Mengusik PDI-P
    Sejak 2006 berkecimpung di dunia broadcast journalism, dari Liputan6 SCTV, ANTV dan Beritasatu TV. Terakhir menjadi produser eksekutif untuk program Indepth, NewsBuzz, Green Talk dan Fakta Data
    AHMAD
    Ali adalah kader anyar Partai Solidaritas Indonesia. Celetukan warung kopi menyebut ia hasil “naturalisasi”, direkrut dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang langganan masuk DPR. Posisinya melenting, yakni ketua harian PSI.
    Majalah
    TEMPO p
    ernah menurunkan laporan tentang kencangnya
    PSI
    merekrut kader dari partai lain selepas kongres di Solo.
    Itu adalah langkah terobosan setelah partai ini bertekad bicara lebih banyak di panggung politik elektoral: Pemilihan Umum.
    Satu langkah yang lumrah dalam politik di negeri kita—terutama karena figur sosok begitu penting–dan juga dilakukan partai lain. Terkadang loncat pagar tak begitu dapat dibedakan dengan “kutu loncat”.
    Dalam kiprahnya di dua pemilu, langkah PSI berakhir murung: Gagal ke Senayan lantaran tak memenuhi
    parliamentary threshold
    atau ambang batas suara yang harus dipenuhi partai politik untuk masuk DPR dan absah disebut partai nasional.
    Dan yang lebih murung, kegagalan PSI itu diraih saat mereka “menjual” sosok Joko Widodo secara terang-terangan.
    Ahmad Ali
    dinilai sebagai sosok tepat untuk mengangkat PSI. Ia ditempa dari bawah. Pernah jadi anggota DPRD dari Partai Patriot. Lalu nyaman dalam pelukan Nasdem sejak 2013.
    Kepiawaiannya menggalang suara terbukti saat ia terpilih jadi anggota DPR periode 2019-2024 dari Sulawesi Tengah di pemilu 2019 (nasdemdprri.id).
    Di tangan Ali, PSI ingin naik kelas: Dari sekadar partai perkotaan yang karib dengan panggilan “sis dan bro” menjadi partai yang menjangkau wilayah perdesaan.
    Ia pun bersafari, menguatkan kepengurusan di daerah agar infrastruktur PSI lebih rapi dan luas. Pokok kata, sanggup bersaing dengan partai yang telah terlatih masuk DPR.
    Dengan posisi sebagai ketua harian, Ali lebih nyaring berbicara atas nama PSI. Sebagai politikus, Ali terbilang sosok yang artikulatif. Pilihan kata yang ia gunakan tidak berkabut, alias jelas dan terang.
    Di sebagian hal, Ali menggemparkan. Seperti usai memberi arahan dalam Rakorwil PSI se-Kepulauan Riau di Batam, 22 November lalu.
    “Sialnya Pak Jokowi ini gini, dia dihina, dimaki-maki. Tapi ketika dia melawan, dia disuruh, ‘Pak Jokowi harus jadi negarawan’. Terus ketika dia bicara politik, ‘ya sudah waktunya beristirahat’,” ujar Ali (
    Kompas.com
    , 23/11/2025).
    Masalahnya, dalam kalimat selanjutnya, ia seperti menyindir seorang perempuan yang sudah puluhan tahun menjadi ketua umum partai.
    Kalimat ini merespons kritik sebagian pihak yang menyoal pilihan Jokowi tetap berpolitik selepas tak lagi menjabat presiden.
    Namun, kali ini, diksi yang dipilih Ali menerbitkan kontroversi. Ia memilih tak menyebut nama tokoh yang digunakan sebagai pembanding buat Jokowi. Sebaliknya Ali hanya memberi “clue”–pilihan yang segera bikin “panas” partai lain: PDI Perjuangan.
    “Yang bilang mau pulang ke Solo, pensiun, jadi rakyat biasa, momong cucu itu Jokowi sendiri, tidak ada yang nyuruh-nyuruh dia,” kata Guntur (
    Kompas.com
    , 23/11/2025).
    Guntur mengingatkan, justru Jokowi yang ingin jadi rakyat biasa. Masih aktifnya Jokowi dalam medan diskusi serta politik praktis (menegaskan akan turun membantu PSI saat kongres di Solo), dalam kacamata ini, dinilai bertentangan dengan janji Jokowi—pensiun, jadi rakyat biasa dan momong cucu.
    Jokowi adalah politikus–kemudian menjadi wali kota, gubernur dan presiden–yang lahir dari rahim PDI Perjuangan. Ia dibesar partai ini dan meraih kebesaran lantaran mendapat tiket dari partai yang dinakhodai Megawati itu.
    Mega termasuk “berkorban” ketika memilih Jokowi sebagai capres di Pilpres 2014. Ia bisa saja mengondisikan partainya untuk mendaulatnya sebagai capres–terlebih lagi sebagai ketua umum, Mega punya hak prerogatif.
    Disokong PDI Perjuangan dan sekian partai dalam koalisi politik yang gendut, Jokowi memimpin Indonesia dengan pendekatan berbeda.
    “Jokowi adalah kita” yang dikampanyekan di masa pemilu mengangkat sosoknya menjadi pemberani, menerabas, meski kadang-kadang mewariskan jejak beban untuk penggantinya.
    Proyek Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur dan kereta cepat “Whoosh” adalah dua contohnya.
    Kisah manis hubungan PDI Perjuangan dengan Jokowi berakhir antiklimaks karena perhelatan Pilpres 2024. Mega dan Jokowi berbeda dalam urusan menentukan calon presiden.
    Mega memilih Ganjar Pranowo, sedangkan Jokowi mendukung Prabowo Subianto. Semua tahu ujung kisah mereka: Berpisah dengan cara yang tak dapat disebut baik-baik saja.
    Puncaknya, PDI Perjuangan memecat Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, dan Bobby Afif Nasution sebagai kader partai terhitung sejak Sabtu, 14 Desember 2024.
    Ini menandai “talak” politik yang paling dramatis di masa reformasi. Dan keluarga Jokowi harus berpisah dengan partai yang membesarkannya.
    Setahun sebelumnya, 25 September 2023, anak bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, lebih dulu menerima lamaran PSI. Kaesang didapuk menjadi ketua umum dalam penobatan yang superkilat, cuma dua hari setelah dia bergabung dengan PSI.
    Sejak perpisahan itu, ada-ada saja “perang pernyataan” antara PSI dan PDI Perjuangan. Terakhir, dua partai ini berbeda pandangan menyangkut anugerah gelar pahlawan kepada Soeharto.
    Pernyataan Ali yang tak menyebut nama, tapi terarah pada nama tertentu, menerbitkan konflik dua partai. Konflik di sini merujuk pada “saling menyindir dan berbalas pernyataan” di ruang publik lewat media massa.
    Namun, jika yang dimaksud Ali dalam pernyataan terakhir itu adalah Megawati, secara substantif ia benar.
    Dalam orbit politik Indonesia, Megawati adalah politìkus gaek. Ia sudah malang melintang sejak akhir Orde Baru. Sebelum PDI Perjuangan lahir.
    Jika dihitung sejak PDIP, Mega memimpin partai itu sekitar 27 tahunan. Ia sosok tak tergantikan, pemersatu partai dan
    ngemong
    kader dari segala eksponen.
    Dan jika kita jujur meneropong PDIP, kisah partai ini adalah kisah di mana partai tak mampu keluar dari bimbingan tokoh kharismatik.
    Siapa pun boleh berpolitik. Tak terkecuali Mega, Jokowi atau Susilo Bambang Yudhoyono. Meski begitu, kisah tiga mantan presiden ini tidak sama. Mega terus menjadi ketua umum, SBY memilih berada di belakang Partai Demokrat, meski perannya masih sentral.
    Sedangkan Jokowi mengisi sejarah yang lain. Ia bukan ketua umum partai saat menjabat presiden. Ia cuma “petugas partai”. Selepas pensiun, Jokowi justru menunjukkan tanda-tanda bakal membantu PSI. Ini diucapkannya secara lugas di Kongres Solo.
    Pengurus PSI pun hingga kini berteka-teki dengan menyebut “Bapak J” sebagai sosok yang akan mengisi posisi strategis, yakni ketua dewan pembina. Spekulasinya, “J” itu adalah Jokowi, tapi bisa juga Jeffrie Geovanie yang selama ini identik dengan PSI.
    Jika dicermati pernyataan Ali, ia sesungguhnya tak menyinggung satu nama, tapi dua nama. Nama lain itu diungkapkannya dengan kalimat, “Ada Bapak Presiden yang sekarang sudah 20 tahun juga tidak disuruh berhenti. Apa sih takutnya (pada) Pak Jokowi ini?”
    Pernyataan ini dapat dibaca “ia sedang membicarakan SBY”. Sejak mundur dari kabinet Pemerintahan Megawati, lalu mendirikan Demokrat, SBY sudah lebih dari 20 tahun malang melintang dalam politik.
    Cuma, SBY dipuji oleh sebagian kalangan. Setelah masa baktinya sebagai presiden berakhir pada 20 Oktober 2014, ia mundur teratur dari hingar bingar politik.
    Dan satu lagi, ia menunjukkan fatsun politik yang baik dengan tak memaksa anak-anaknya terjun di medan politik elektoral saat menjabat 2004-2014. Agus Harimurti Yudhoyono ikut Pilkada Jakarta tahun 2016, dua tahunan setelah ayahnya tak lagi jadi presiden.
    Kisah mantan presiden kontras dengan mantan wakil presiden. Jusuf Kalla menjadi ketua umum Partai Golkar saat jadi wakil presiden di masa SBY.
    Setelah itu, ia tak lagi menjadi nakhoda Golkar, termasuk ketika terpilih lagi menjadi wapres di periode kedua bareng Presiden Jokowi (2014-2019).
    Selepas itu, JK tidak mengurus politik, tapi fokus pada masjid, kemanusiaan serta bisnisnya. JK tak mencengkeram Golkar, karena partai ini tak bergantung pada sosok setelah reformasi mengguncang tanah air.
    Ahmad Ali tidak intens menyenggol SBY. Sebaliknya ia berulang menyentil Mega.
    “Saya berharap dari Kepri ini akan lahir Jokowi-Jokowi muda, tanpa harus masuk, tanpa dia harus berasal dari keluarga darah biru politik, tanpa dia harus menjadi anaknya proklamator, tanpa dia harus anaknya pahlawan. Tapi dia ada anak petani pun, dia disamakan, dan Jokowi sudah membuktikan itu,” jelas Ali.
    Proklamator cuma ada dua orang, yakni Sukarno dan Mohammad Hatta. Putra-putri Bung Hatta tak terlampau bergelut dalam politik, tak pernah ada yang jadi presiden pula.
    Sementara dari trah Sukarno sudah ada sosok Mega yang pernah jadi wakil presiden (masa Abdurrahman Wahid) dan presiden menggantikan Gus Dur (2001-2004). Dengan begitu, kalimat Ali jelas sedang “mengusik” siapa.
    Entahlah komunikasi model apa yang sedang dilancarkan Ali. Pernyataannya termasuk “konfrontatif” dan meningkatkan tensi konflik dengan PDI Perjuangan.
    Apakah ini isyarat PSI sedang “memberitahu” khalayak bahwa mereka mengincar basis pemilih PDIP?
    Di Pilkada serentak 2024 lalu, nama yang disokong Jokowi menang di pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jawa Tengah.
    Di Pilpres 2024, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka juga menang di Jateng, basis konstituen partai banteng!
    Namun, jalan politik tidak selalu linier. Betapa pun setiap parpol memiliki misi masing-masing, hendaknya keteduhan tetap dirawat. Iya, meski demokrasi identik dengan gaduh dan percakapan bebas tentang semua hal dibolehkan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Apakah “Isi Tas” Lebih Penting dari Kapasitas?

    Apakah “Isi Tas” Lebih Penting dari Kapasitas?

    Apakah “Isi Tas” Lebih Penting dari Kapasitas?
    Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

    Percuma juga punya elektabilitas tinggi, tapi enggak punya isi tas. Loh iya dong, masa isi tas enggak punya? Kalau saya kan enggak bawa tas. Yang bawa Bendum semua
    ” – Kaesang Pangarep.
    PERNYATAAN
    “mengagetkan” ini datang dari anak muda yang pada 31 Desember 2025 nanti, berusia 31 tahun. Ketua umum termuda dari semua ketua umum partai politik yang ada.
    Putra bungsu Presiden RI ke-7 Joko Widodo itu memang dikenal suka “ceplas-ceplos” dan menjadi tipe anak muda seusianya.
    Terlahir dari ayah yang menjadi pejabat, sejak Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta bahkan menjabat presiden hingga dua periode tentu meninggalkan privilege yang “luar biasa” untuk sanak keluarga. Kaeasang tumbuh dengan segala fasilitas yang melimpah.
    Justru pernyataan Kaesang – pemilik usaha Sang Pisang, Mangkokku dan Yang Ayam yang kini sebagian telah meredup – menjadi pemantik kesadaran politik akan pentingnya “isi tas” atau elektabilitas semata.
    Jelang Pemilu Legeslatif 2029 mendatang, semua partai politik sibuk menggelar konsolidasi untuk memperkuat jaringan dan pijakan di semua daerah.
    Sementara (calon) partai politik baru sibuk mencari kader baru agar bisa memenuhi kuota minimal kepengurusan di daerah-daerah.
    Pernyataan “isi tas” menjadi pengingat akan “mahalnya” biaya politik saat ini. Bayangkan berapa biaya yang dikeluarkan seorang calon anggota legeslatif yang berlaga di tingkat kabupaten atau kota?
    Berapa besar dana yang dihabiskan calon anggota legeslatif agar bisa “terpilih” di DPRD Provinsi? Berapa pula biaya yang diludeskan Caleg untuk bisa melenggang ke Senayan – kawasan Kantor Parlemen di Jakarta?
    Tidak ada rata-rata suara yang pasti karena jumlah suara yang dibutuhkan untuk menjadi anggota DPRD kabupaten sangat bervariasi, tergantung pada jumlah kursi yang tersedia di daerah pemilihan atau Dapil tersebut, jumlah suara sah di Dapil, dan perolehan suara partai politik.
    Anggota DPRD kabupaten terpilih adalah calon yang mendapatkan suara terbanyak di dapilnya, tapi ada faktor-faktor lain yang memengaruhi.
    Semakin banyak kursi yang tersedia, semakin sedikit suara yang dibutuhkan. Total suara sah di setiap dapil akan menentukan alokasi kursi partai.
    Belum lagi, setiap partai harus memenuhi ambang batas perolehan suara atau ambang batas parlemen agar berhak mengkonversi suara menjadi kursi. Saat ini, ambang batas tersebut 4 persen suara sah secara nasional untuk bisa masuk DPR RI.
    Untuk DPRD kabupaten, sistem pembagian kursi dan perolehan suara dapat berbeda-beda. Kerap terjadi, ada partai politik yang tidak memiliki wakil di Senayan, tetapi memiliki anggota Dewan di daerah kabupaten atau provinsi.
    Partai Persatuan Pembangunan (PPP) walau absen di Senayan, misalnya, tetapi memiliki enam wakil di DPRD Jawa Barat serta dua wakil di DPRD Kota Depok, Jawa Barat.
    Pun demikian dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), walau tidak lolos ke Senayan, tetapi memiliki 180 anggota Dewan di sejumlah DPRD. Jumlah ini meningkat dibandingan hasil Pemilu 2019 yang berjumlah 72 anggota Dewan.
    Wakil Ketua DPR RI periode 2009-2014 yang kini menjabat Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung pernah menghitung kalau rata-rata biaya kampanye Caleg DPR – RI naik 1,5 kali lipat. Dari Rp 3,3 miliar pada Pemilu 2009 menjadi Rp 4,5 miliar pada Pemilu 2014.
    Untuk paham dengan biaya terkiwari yang dikeluarkan Caleg DPR-RI, ada baiknya mengutip pengalaman Caleg DPR – RI yang gagal melaju ke Senayan.
    Masinton Pasaribu mengaku menghabiskan Rp 10 miliar untuk bertarung di Dapil “neraka” Jakarta II meliputi Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Luar Negeri.
    Uang sebanyak itu dihabiskan Masinton untuk pembiayaan baliho, merchandise kampanye, stiker serta mobilisasi personel. Masinton hanya meraup 50.992 suara.
    Sementara Caleg yang melenggang ke Senayan di kisaran 60.623 suara (Once Mekel dari PDIP) hingga Hidayat Nurwahid dari PKS dengan 227.974 suara.
    Masih menurut Bupati Tapanuli Tenggah di Sumatera Utara tersebut, ada pesaingnya dari kalangan pesohor di Dapil lain yang sampai menghabiskan Rp 30 miliar untuk bisa merebut suara sebanyak-banyaknya agar lolos ke Senayan di Pemilu 2019.
    Bayangkan jika itu terjadi di Pemilu 2024 lalu atau bahkan di Pemilu 2029 mendatang (
    Rri.co.id
    , 03 September 2023).
    Pernyataan Kaesang tentang pentingnya “isi tas” tidak saja membuka perdebatan klasik tentang
    political cost,
    tetapi juga menggugat masih adakah fatsun demokrasi dipahami dengan benar oleh kalangan politisi muda seperti Kaesang?
    Bukankah Generasi Emas mendatang akan berlimpah dengan bonus demografi, yakni mayoritas kalangan muda di populasi penduduk?
    Jika “sekelas” ketua umum partai berlogo gajah saja sudah “gagal paham”, maka prospek perbaikan kualitas demokrasi ke depannya menjadi tanda tanya besar.
    Fatsun demokrasi adalah tata krama atau etika yang harus dipatuhi dalam sistem demokrasi, meskipun tidak tertulis.
    Hal ini mencakup perilaku dan aturan tidak formal yang menunjang jalannya demokrasi, seperti kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab, menghormati kedaulatan rakyat, serta berpartisipasi dalam politik secara konstruktif.
    Dalam etika berpolitik, ada aturan tidak tertulis tentang bagaimana seharusnya tokoh politik dan masyarakat berperilaku dalam ranah politik agar tidak merusak tatanan demokrasi.
    Praktik menghalalkan segala cara agar “menang” dengan menumpahkan “isi tas” sebanyak-banyaknya, tidak saja membawa kualitas demokrasi semakin terpuruk, tetapi juga membiasakan era “jahiliyah” di peradaban modern.
    Partai politik memiliki elektabilitas jika memiliki daya pilih yang sesuai dengan kriteria keterampilan dan popularitas.
    Dalam negara demokrasi, partai politik harus berupaya meningkatkan elektabilitas untuk dapat memenangkan pemilihan umum. Elektabilitas adalah tingkat keterpilihan yang disesuaikan dengan kriteria pilihan.
    Agar suatu partai politik atau calon anggota legislatif bisa memiliki elektabilitas tinggi, maka harus melakukan kerja nyata di lapangan agar dikenal baik oleh masyarakat.
    Kinerja baik, yang tidak hanya turun ke daerah saat kampanye, begitu diingat warga. Belum lagi, partai atau caleg dikenal publik karena aktif memperjuangkan aspirasi rakyat.
    Tidak cukup hanya membagi-bagikan kaos dan senyum manis yang dipaksakan. Jejak-jejak positif dari partai dan Caleg selalu masuk dalam memori warga.
    Elektabilitas partai politik memiliki makna tentang tingkat keterpilihan partai politik di publik. Saat elektabilitas partai tinggi, berarti partai tersebut memiliki daya pilih yang tinggi.
    Untuk meningkatkan elektabilitas, maka objek elektabilitas harus memenuhi kriteria keterpilihan dan juga populer.
    Partai politik memiliki elektabilitas jika memiliki daya pilih yang sesuai dengan kriteria keterampilan dan popularitas. Di negara yang menganut paham demokrasi, setiap partai politik harus berupaya meningkatkan elektabilitas untuk dapat memenangkan pemilihan umum.
    “Isi tas” tidak seharusnya menjadi penentu kemenangan. Jika “isi tas” dipakai untuk praktik politik uang atau
    money politic,
    maka dapat merusak kualitas demokrasi. Tidak selalu “isi tas” bisa menjadi faktor penentu.
    Harus diingat, politik uang adalah upaya untuk memengaruhi pemilih dengan imbalan uang, barang, atau janji, dan merupakan pelanggaran hukum yang bisa dikenai sanksi pidana penjara serta denda.
    Kemenangan yang sah harus didasarkan pada visi, misi, dan program yang jelas, bukan karena iming-iming “isi tas”.
    Politik uang atau “membeli suara” adalah tindakan yang melanggar hukum dan jelas dilarang oleh undang-undang, seperti Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
    Pemilih yang terpengaruh politik uang cenderung tidak memilih berdasarkan pertimbangan rasional seperti integritas dan program kandidat, melainkan karena imbalan yang didapat.
    Cara-cara seperti ini hanya menghasilkan pemimpin yang tidak berorientasi pada kepentingan rakyat. Calon yang terpilih pasti akan berupaya mengembalikan biaya yang telah dikeluarkannya.
    Jika “isi tas” dianggap satu-satunya menjadi penentu kemenangan di kontestasi politik – dengan mengenyampingkan kerja-kerja politik yang terencana dan terukur untuk mendongkrak faktor elektabilitas – maka bisa jadi kandidat yang memiliki modal finansial lebih besar akan lebih mungkin menang.
    Pendidikan politik terbaik adalah saat kita menolak uang suap untuk memilih pemimpin yang tidak jujur, penuh pencitraan yang palsu, dan membiarkan keluarga, kerabat serta kroni-kroninya berbuat korup.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 3
                    
                        Ketika Kader Gerindra Menolak Budi Arie
                        Nasional

    3 Ketika Kader Gerindra Menolak Budi Arie Nasional

    Ketika Kader Gerindra Menolak Budi Arie
    Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

    Kesetiaan bukan berarti harus menjilat, melainkan juga mencegah beliau dari kesesatan yang justru dilakukan kaum penjilat itu
    .” – Leonardus Benyamin Moerdani
    LEONARDUS
    Benjamin (LB) Moerdani adalah Panglima ABRI dari tahun 1983 hingga 1988 dan pernah menjabat pula sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan periode 1988 – 1993.
    Berkat keberaniannya di medan laga seperti penumpasan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) serta Operasi Trikora di Irian Barat, Presiden Soekarno pernah menganugerahi Bintang Sakti untuk LB Moerdani.
    Peringatan yang disampaikan LB Moerdani di atas disampaikan kepada pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari Presiden Soeharto ketika itu.
    Moerdani tidak ingin Soeharto salah langkah, sama sebangun dengan para penjilat kekuasaan yang “pura-pura” setia, tetapi “menusuk” dari belakang.
    Moerdani adalah sosok yang begitu konsisten, walau akhirnya tersingkirkan oleh kekuasaan yang dibelanya dengan segenap jiwa raganya.
    Walau saat ini kita begitu sulit menemukan figur-figur seperti Moerdani, tapi sejumlah kader
    Gerindra
    di berbagai daerah mulai berani mengejahwantahkan sikap Moerdani terhadap rencana Ketua Umum
    Projo
    ,
    Budi Arie
    Setiadi yang ingin bergabung dengan Gerindra.
    Budi Arie mencari “rumah politik” baru dengan berencana bergabung ke Partai Gerindra. Bahkan keinginannya itu dia sampaikan di forum internal organisasinya, yakni di Munas ke III ProJo di Jakarta pada Sabtu, 1 November 2025 lalu.
    Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika di era Jokowi itu merasa Presiden Prabowo mempersilahkan dirinya bergabung ke Gerindra.
    Padahal, konteks pernyataan Prabowo yang juga Ketua Umum Partai Gerindra saat menghadiri Kongres PSI di Solo, 20 Juli 2025 lalu, adalah sekadar bertanya ke Budi Arie mengenai langkah lanjutan kariernya di politik.
    Jika “ke-ge-er-an” politik tersebut dianggap serius oleh Budi Arie, tentu dirinya kurang paham dengan basa-basi dalam pergaulan.
    Basa basi adalah adat sopan santun, tata krama dalam pergaulan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indoensia (KKBI), ungkapan yang digunakan hanya untuk sopan santun dan tidak untuk menyampaikan informasi.
    Jika melihat sepak terjang Budi Arie yang dianggap berbagai kalangan sebagai sosok yang oportunis, tentu penolakan sejumlah kader Gerindra adalah wajar.
    Jangan lupakan sejarah, ketika Projo dideklarasikan pada 2013, maksud pendiriannya sudah “cetho weleh-weleh”. Projo dididirikan untuk mendukung Joko Widodo dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2014.
    Di berbagai baliho, spanduk, dan atribut kampanye, kata “Projo” selalu berdampingan dengan foto Jokowi. Bahkan, diabadikan sebagai lambang resmi organisasi.
    Dalam konteks komunikasi politik, asosiasi ini bukan kebetulan, melainkan strategi simbolik yang efektif (
    Rmoljatim.id
    , 4 November 2025).
    Menjadi “lucu” ketika Jokowi sudah turun dari panggung politik nasional dan semakin menguatnya posisi politik Prabowo Subianto, tiba-tiba Budi Arie merevisi jati diri Projo.
    Projo bukan lagi akronim dari “Pro Jokowi”, melainkan menurut Budi Arie, berasal dari bahasa Sansekerta dan Kawi yang berarti “rakyat” atau “warga negara”.
    Pernyataan ini tentu sekilas terdengar seperti klarifikasi linguistik yang netral. Namun, jika ditarik ke dalam konteks politik, ia menyerupai upaya
    rebranding
    ideologis yang kaya makna. Bahkan terkesan ambigu, seperti ingin “mencari selamat”
    Penolakan kader Partai Gerindra di sejumlah daerah seperti dari Gresik, Blitar, Tulungagung, Sidoarjo dan Pati terhadap niatan Budi Arie untuk bergabung dengan Gerindra adalah realitas politik terkiwari.
    Selama ini, urusan “pindah-pindah” partai menjadi kewenangan elite partai, sementara kader di daerah hanya “manut” dan pasrah dengan kebijakan dewan pimpinan pusat partai. Praktik ini berlaku umum di semua partai politik.
    Ketika PDI Perjuangan (dulu PDI) berjaya jelang kejatuhan Orde Baru, sejumlah kader partai lain eksodus ke partai “banteng”.
    Begitu Demokrat menang di Pemilihah Presiden 2004, maka partai berlogo “mercy” pun sibuk menerima “naturalisasi” kader dari partai-partai lain.
    Pun demikian dengan kemenangan Jokowi di Pemilihah Presiden 2014, maka partai-partai pengusung Jokowi ramai dijadikan sasaran perpindahan kader partai. Kini fenomena “kutu loncat” terjadi di Partai Gerindra.
    Fenomena kutu loncat dalam partai politik adalah perilaku politikus yang sering berpindah-pindah partai tanpa alasan ideologis yang kuat. Sering kali didorong kepentingan pribadi seperti perebutan kekuasaan atau keuntungan.
    Dalam kasus niatan Budi Arie “loncat” ke Gerindra, tentu publik dengan mudah membacanya sebagai mencari “perlindungan” politik mengingat kasus situs judi online semasa dirinya menjabat Menkoinfo.
    Fenomena kutu loncat bisa terjadi karena partai politik tidak memiliki ideologi yang kuat, sehingga politikus lebih mudah “loncat” saat terjadi konflik internal atau mencari partai lain yang menawarkan peluang lebih besar.
    Kurangnya ikatan ideologis yang kuat membuat politikus tidak memiliki kesabaran untuk mengelola konflik internal dan lebih memilih “kabur”.
    Kasus Ruhut Sitompul yang “hatrick” pindah partai politik (dari Golkar ke Demokrat lalu ke PDI Perjuangan) adalah gambaran betapa partai sekelas PDI Perjuangan pun rentan dalam fondasi partai yang kokoh.
    Begitu pula Priyo Budi Santoso. Setelah lama menjadi kader Partai Golkar, Priyo yang sempat “mampir” di Partai Berkarya kini mukim di Partai Amanat Nasional.
    Ferdinand Hutahean pun kini menjadi kader banteng setelah sempat bercokol di Demokrat dan Gerindra.
    Fenomena kutu loncat dalam jangka panjang tentu akan menggerus kepercayaan publik terhadap partai politik. Publik menjadi resisten dan apatis terhadap partai dan politikus “bunglon”.
    Politikus yang sering berpindah dapat melemahkan partai dan menciptakan ketidakstabilan politik.
    Partai politik memberikan kesempatan kepada politisi “kutu loncat” untuk bergabung dengan harapan bisa mendongkrak suara partai karena dana atau tuah kepopuleran.
    Ketika “hijrah” dari Golkar ke Partai Berkarya, Priyo semula diandalkan untuk menjalankan mesin partai karena dianggap berpengalaman di partai sebelumnya.
    Di Pemilu 2019, Berkarya meraup 2.929.495 suara atau setara 2,09 persen. Sementara di Pemilu 2024, Berkarya malah tidak lolos sebagai partai peserta Pemilu.
    Sikap keterbukaan partai yang asal menerima kader “bunglon” merupakan sesuatu yang tidak elok dalam etika politik.
    Motivasi politisi seperti ini dipastikan hanya untuk kepentingan pribadi yang jelas-jelas mengabaikan prinsip etika dan norma dalam berpolitik.
    Partai yang memiliki ideologi yang kuat dan jelas sebenarnya dapat mencegah munculnya politisi “bunglon” dan tidak mudah memberikan privilege kepada politisi lain tanpa
    screening
    yang ketat demi menjaga kemurnian ideologi partai.
    Partai harus menghargai kader-kader yang loyal dan berdedikasi terhadap partai selama ini.
    Apakah Gerindra pada akhirnya akan memilih sikap yang sama dengan partai-partai lain yang “asal” menerima anggota tanpa pertimbangan?
    Apakah suara-suara penolakan sejumlah kader Gerindra di berbagai daerah menjadi pertimbangan elite Gerindra?
    Ketua DPP Gerindra, Prasetyo Hadi menyebut partainya belum final menerima atau tidak menerima permohonan bergabung dari Budi Arie.
    Sikap arus bawah tentu menjadi pertimbangan DPP Gerindra.
    “Kekuatan aksi nyata sekecil apapun lebih berarti daripada seribu kata” – Mendiang Prof Suhardi (salah satu pendiri Partai Gerindra).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Perjalanan Karir Abdul Wahid: Dari Cleaning Service dan Kuli Bangunan jadi Gubernur Riau

    Perjalanan Karir Abdul Wahid: Dari Cleaning Service dan Kuli Bangunan jadi Gubernur Riau

    Pergaulannya yang luas di kampus dan dunia aktivis membuka jalan bagi Wahid untuk mengenal dunia politik. Ia mulai aktif di organisasi kepemudaan dan sosial keagamaan, hingga akhirnya tertarik bergabung dengan partai politik.

    Abdul Wahid memilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai kendaraan politiknya. Latar belakangnya sebagai santri membuatnya merasa memiliki kesamaan nilai perjuangan dengan partai yang didirikan oleh para ulama Nahdlatul Ulama tersebut.

    Dari sinilah karier politik Wahid melesat. Ia pertama kali terjun ke dunia legislatif dan kemudian berhasil terpilih sebagai anggota DPR RI pada Pemilu 2019. Dari kursi Senayan, ia menjadi salah satu dari 13 wakil rakyat asal Riau yang duduk di parlemen.

    Selama di DPR RI, Wahid dikenal vokal memperjuangkan aspirasi masyarakat Riau, terutama di sektor pembangunan infrastruktur dan pendidikan. Ia juga dipercaya memegang peran strategis sebagai pimpinan di Badan Legislasi DPR RI, sebuah posisi yang memperlihatkan pengakuan atas kapasitas politiknya.

    Pada Pemilu 2024, Abdul Wahid kembali maju dari PKB dan berhasil mempertahankan kursinya. Tak hanya itu, ia memperoleh suara terbanyak di antara seluruh calon anggota DPR RI di daerah pemilihan Riau.

    Dukungan kuat masyarakat membuat namanya kemudian menguat sebagai calon Gubernur Riau. Dengan latar belakang perjuangan hidup yang inspiratif, ia dianggap sebagai simbol “anak daerah yang berhasil” dan menjadi harapan baru bagi masyarakat Riau.

    Akhirnya, pada awal 2025, Wahid resmi dilantik menjadi Gubernur Riau periode 2025–2030. Pelantikan itu dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, menandai babak baru perjalanan politiknya.

  • Profil Abdul Wahid: dari Cleaning Service, Gubernur Riau, Terciduk OTT KPK

    Profil Abdul Wahid: dari Cleaning Service, Gubernur Riau, Terciduk OTT KPK

    Bisnis.com, JAKARTA – Gubernur Riau Abdul Wahid dikabarkan terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia digadang-gadang menjadi salah satu dari 10 orang yang diamankan oleh penyidik KPK. 

    Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan terdapat 10 orang yang diamankan saat OTT di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau.

    “Benar ada kegiatan tangkap tangan yang KPK lakukan di wilayah Provinsi Riau. Saat ini, ada sekitar sejumlah 10 orang yang diamankan dalam kegiatan tangkap tangan,” ungkapnya kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Senin (3/11/2025). 

    Lantas, siapa sebenarnya Abdul Wahid?

    Profil Gubernur Riau Abdul Wahid 

    Bagi sebagian masyarakat Riau, nama Abdul Wahid bukanlah sosok asing. Ia dikenal sebagai figur sederhana yang meniti karier politik dari bawah dan sangat  jauh dari kemewahan.

    Melansir riau.go.id dan dipersip.go.id, Abdul Wahid lahir di dusun Anak Peria Desa Belaras, Kecamatan Mandah, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau, pada 21 November 1980. Dia anak ketiga dari enam bersaudara.

    Dia menempuh pendidikan Sekolah Dasar (SD) Negeri Sri Simbar pada tahun 1994. Lalu melanjutkan pendidikan ke MTs Sei Simbar dan lulus pada tahun 1997.

    Pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) dia menjalani pendidikan di MA Tembulahan, Ibukota Kabupaten, Tembilahan. Belum sampai tuntas mengayam di MA itu, dia pindah bersama kakak sepupunya ke Pondok Pesantren Ashhabul Yamin di daerah Lasi Tuo Kecamatan Ampek Angkek Candung Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

    Untuk melanjutkan pendidikan, Wahid kecil tak segan membantu ibunya bekerja di sawah dan kebun warga. Ketika menempuh pendidikan di UIN Suska Riau, Fakultas Tarbiyah jurusan Pendidikan Agama Islam, ia tetap berjuang keras agar tidak menjadi beban keluarga.

    Sambil kuliah, Abdul Wahid bekerja sebagai cleaning service di kampusnya. Ia juga pernah menjadi kuli bangunan hanya agar bisa membayar biaya kuliah dan kebutuhan hidup sehari-hari.

    “Yang penting bisa lanjut sekolah dan tidak merepotkan ibu,” katanya dalam sebuah wawancara beberapa tahun lalu.

    Dari lingkungan santri dan kehidupan kampus yang keras itulah karakter gigih Abdul Wahid terbentuk. Ia tumbuh menjadi sosok yang dikenal rendah hati, dekat dengan rakyat kecil, dan aktif dalam berbagai kegiatan sosial serta organisasi kemahasiswaan.

    Terjun ke Politik 

    Pergaulannya yang luas di kampus dan dunia aktivis membuka jalan bagi Wahid untuk mengenal dunia politik. Ia mulai aktif di organisasi kepemudaan dan sosial keagamaan, hingga akhirnya tertarik bergabung dengan partai politik.

    Abdul Wahid memilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai kendaraan politiknya. Latar belakangnya sebagai santri membuatnya merasa memiliki kesamaan nilai perjuangan dengan partai yang didirikan oleh para ulama Nahdlatul Ulama tersebut.

    Dari sinilah karier politik Wahid melesat. Ia pertama kali terjun ke dunia legislatif dan kemudian berhasil terpilih sebagai anggota DPR RI pada Pemilu 2019. Dari kursi Senayan, ia menjadi salah satu dari 13 wakil rakyat asal Riau yang duduk di parlemen.

    Selama di DPR RI, Wahid dikenal vokal memperjuangkan aspirasi masyarakat Riau, terutama di sektor pembangunan infrastruktur dan pendidikan. Ia juga dipercaya memegang peran strategis sebagai pimpinan di Badan Legislasi DPR RI, sebuah posisi yang memperlihatkan pengakuan atas kapasitas politiknya.

    Pada Pemilu 2024, Abdul Wahid kembali maju dari PKB dan berhasil mempertahankan kursinya. Tak hanya itu, ia memperoleh suara terbanyak di antara seluruh calon anggota DPR RI di daerah pemilihan Riau.

    Dukungan kuat masyarakat membuat namanya kemudian menguat sebagai calon Gubernur Riau. Dengan latar belakang perjuangan hidup yang inspiratif, ia dianggap sebagai simbol “anak daerah yang berhasil” dan menjadi harapan baru bagi masyarakat Riau.

    Akhirnya, pada awal 2025, Wahid resmi dilantik menjadi Gubernur Riau periode 2025–2030. Pelantikan itu dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, menandai babak baru perjalanan politiknya.

  • Setelah Kasus Rahayu, Sidang Etik Sahroni dkk Jadi Pertaruhan DPR

    Setelah Kasus Rahayu, Sidang Etik Sahroni dkk Jadi Pertaruhan DPR

    Setelah Kasus Rahayu, Sidang Etik Sahroni dkk Jadi Pertaruhan DPR
    Sejak 2006 berkecimpung di dunia broadcast journalism, dari Liputan6 SCTV, ANTV dan Beritasatu TV. Terakhir menjadi produser eksekutif untuk program Indepth, NewsBuzz, Green Talk dan Fakta Data
    MALAPETAKA
    di akhir Agustus 2025, meninggalkan duka dan luka, terutama kepada keluarga Affan Kurniawan serta sembilan keluarga lainnya di sejumlah kota. Sepuluh orang itu pergi untuk selamanya.
    Apakah peristiwa kelam itu mampu memberi pelajaran kepada bangsa Indonesia, khususnya elite politik di DPR, pemerintah serta petinggi partai politik?
    Publik mempertanyakan hal ini manakala dalam dua bulan terakhir, tidak mendapat kepastian tentang pembentukan tim gabungan pencari fakta (TGPF) untuk mengusut malapetaka di akhir Agustus itu.
    DPR juga kembali ke “stelan pabrik”–terutama dalam memutuskan pengunduran diri Rahayu Saraswati sebagai anggota DPR.
    Sebelumnya terungkap kenaikan dana reses dari Rp 400 juta (2019-2024) menjadi Rp 702 juta (2024-2029). Naik hampir dua kali lipat.
    Belakangan, Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad menyatakan kenaikan dana reses itu mulai bulan Mei 2025, karena indeksnya naik dan jumlah titik yang dikunjungi anggota DPR bertambah (
    Hukumonline
    , 11 Oktober 2025).
    Dana reses tidak diberikan setiap bulan. Dalam setahun, anggota DPR dijadwalkan melakukan empat hingga lima kali reses untuk menyerap aspirasi rakyat.
    Pokok kata menjadi wakil rakyat itu nikmat karena dimanjakan dengan aneka fasilitas—bahkan negara harus merogoh kocek lebih dalam untuk membiayai agenda “menyerap aspirasi” rakyat di daerah pemilihan 580 anggota DPR.
    Saban kali reses, idealnya 580 anggota DPR itu turun ke 84 daerah pemilihan (dapil). Urusan menyerap aspirasi–sesuatu yang inheren menjadi tugas wakil rakyat–tak cukup dibiayai dengan gaji dan sekian tunjangan yang melekat pada anggota DPR, tapi dibiayai dengan mata anggaran bernama dana reses.
    Jika peristiwa di akhir Agustus 2025 jadi pelajaran, mestinya DPR tidak
    ngeyel
    dengan dana reses sebesar Rp 702 juta itu. Besaran dana reses sebaiknya kembali ke skema DPR periode 2019-2024.
    Mari tengok jumlah dapil dan jumlah anggota DPR dalam tiga pemilihan umum terakhir. Pada 2014, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan 77 daerah pemilihan (distrik) untuk memilih 560 anggota DPR.
    Lima tahun berselang, Pemilu 2019, jumlah dapil bertambah menjadi 80 untuk memilih 575 anggota DPR. Dengan pemekaran provinsi di Papua, jumlah dapil di Pemilu 2024 meningkat menjadi 84. Kali ini untuk memilih 580 anggota DPR.
    Data ini menjelaskan jumlah dapil DPR periode 2024-2029 cuma bertambah empat. Anggota DPR pun bertambah lima orang, dari 575 menjadi 580.
    Penambahan dana reses dari Rp 400 juta menjadi Rp 702 juta per anggota layak ditanyakan. Apakah anggota DPR dari dapil Papua X contohnya juga turun ke dapil Papua Y saat reses? Kalau iya, apa relevansinya?
    Pemimpin DPR dan sekretariat jenderal DPR perlu menjelaskan berapa titik atau lokasi di dapil tertentu yang dikunjungi anggota DPR? Dan berapa biaya untuk berkunjung ke titik atau lokasi reses?
    Hal lain menyangkut pertanggungjawaban dana reses itu. Kenaikan dana reses dari Rp 400 juta menjadi Rp 702 juta itu sangat besar. Rakyat perlu bertanya karena dana itu berasal dari uang pajak yang ditarik dari rakyat pula.
    Pada kasus Rahayu Saraswati, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR menolak pengunduran diri keponakan Presiden Prabowo Subianto itu.
    “Mempertimbangkan aspek hukum, ketentuan tata beracara serta putusan Majelis Kehormatan Partai Gerindra” begitu antara lain penjelasan MKD.
    Aspek internal Gerindra, yakni Mahkamah Kehormatan Partai Gerindra, yang diacu MKD DPR condong formalistik dan administratif. Salah satunya karena tidak menerima pengajuan pengunduran diri secara tertulis dari Rahayu Saraswati.
    Mahkamah juga menilai tuduhan yang menyebut Rahayu Saraswati merendahkan kelompok tertentu tidak terbukti (
    Kompas.com
    , 30/10/2025).
    Keputusan ini menyimpan teka-teki. Pertama, Rahayu menunjukkan keteladanan yang baik sebagai wakil rakyat. Ia merasa perkataan atau kalimatnya telah melukai perasaan rakyat.
    Karena itu, ia memilih mengundurkan di momen ketika amarah rakyat masih tinggi selepas kejadian akhir Agustus, tepatnya pada 10 September 2025.
    Entahlah, apakah keputusan itu terjadi lantaran tekanan publik atau inisiatif moral dan etis yang peka terhadap perasaan rakyat.
    Yang pasti: Rahayu mengumumkan pengunduran dirinya ke publik. Rasanya ini lebih dari cukup–bahkan tanpa berkirim surat kepada DPP Partai Gerindra.
    Kedua, soal konten yang diduga menyebabkan terlukanya perasaan rakyat itu asli atau hasil editan, tidak sepatutnya diputuskan secara sepihak oleh Partai Gerindra.
    Sudahkah diverifikasi kepada pakar yang kompeten? Jangan sampai kasus Rahayu ini justru menyudutkan publik karena dinilai telah mengedit atau memodifikasi konten-konten berbeda waktu dan konteks milik Rahayu. Bagaimana jika faktanya bukan hasil editan atau modifikasi?
    Ketiga, inisiatif mengundurkan diri datang dari Rahayu. Seyogyanya yang bersangkutan ditanya apakah bersedia dan ingin aktif kembali menjadi anggota DPR.
    Lebih elok jika Mahkamah Kehormatan Partai Gerindra dan MKD DPR membiarkan Rahayu untuk memilih keputusan secara otonom.
    Ini ujian karena ada lima anggota DPR lain dari tiga partai politik yang akan menghadapi sidang etik MKD DPR. Publik mencerna partai politik defensif dalam kasus Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, Uya Kuya dan Adies Kadir.
    Alih-alih menempuh mekanisme pergantian antarwaktu atau PAW, Partai Nasdem, PAN dan Golkar cuma menon-aktifkan mereka dari DPR. Pernyataan dan tindakan lima anggota DPR ini dituding telah menyulut demonstrasi besar, akhir Agustus 2025.
    Sidang etik terhadap lima anggota DPR ini adalah pertaruhan besar bagi MKD. Sedangkan keputusan MKD terhadap Rahayu cuma “awalan” dari hal yang lebih besar itu.
    Musababnya, sidang etik terhadap Ahmad Sahroni dkk itu akan digelar ketika dinamika politik sudah berubah. Pengawasan publik telah menyusut drastis. Beda halnya jika sidang etik di depan MKD itu dilaksanakan pada bulan September lalu.
    Di sini pertaruhannya. Mungkinkah objektivitas mendapat ruang yang lebar dalam persidangan MKD? Adakah keadilan mampu ditegakkan tanpa pandang bulu–adil buat anggota DPR yang bakal “diadili”, juga adil bagi publik luas yang merasa terluka akibat perkataan dan tindakan lima orang wakil rakyat itu.
    Marwah MKD pernah mencapai pucuknya pada Desember 2015 silam, ketika memutus kasus “Papa minta saham” yang dituduhkan kepada Ketua DPR 2014-2019, Setya Novanto.
    Dalam sidang MKD saat itu, sembilan anggota menyatakan Setnov telah melanggar etik kategori sedang. Adapun enam anggota MKD menganggap politikus Golkar itu telah melakukan pelanggaran berat (
    BBCIndonesia.com
    , 16 Desember 2015).
    Akibat sidang etik oleh MKD itu, Setnov mengundurkan diri dari kursi ketua DPR dan MKD menyetujui surat pengunduran tersebut.
    Dulu, Setnov dilaporkan ke MKD oleh menteri ESDM saat itu, yakni Sudirman Said yang memperhatikan pengelolaan PT Freeport Indonesia.
    Sebuah kekayaan sumber daya mineral di pojok Papua yang terus memercik kontroversi lantaran penguasaan saham oleh pihak asing.
    Saat ini, siapa gerangan “Sudirman Said” dalam perkara etik yang dituduhkan kepada Ahmad Sahroni dkk? Akankah MKD bisa diharapkan mengembalikan martabatnya serta memulihkan citra institusi DPR yang berada di titik nadir akibat kejadian di akhir Agustus 2025 itu?
    Saya kira, bakal sangat ditentukan dua faktor. Pertama, Presiden Prabowo. Isyarat dan
    political will
    dari Prabowo akan menentukan nasib lima anggota DPR itu.
    Kedua, para pemimpin DPR yang terdiri atas satu ketua dan empat wakil ketua. Puan Maharani sedang mengawal perubahan di DPR. Setidaknya begitu dia berjanji.
    “Dengan penuh kerendahan hati, atas nama anggota dan pimpinan DPR RI, kami meminta maaf kepada rakyat Indonesia apabila belum sepenuhnya dapat menjalankan tugas kami sebagai wakil rakyat secara sempurna,” kata Puan saat menyampaikan Laporan Kinerja DPR Tahun Sidang 2024-2025 di Kompleks DPR-MPR Senayan, Jakarta, 2 Oktober 2025.
    Menjalankan tugas sebagai wakil rakyat perlu kepekaan terhadap nasib dan penderitaan rakyat. Jangan sampai ucapan, tindakan dan keputusan politik DPR dan pemerintah justru menjauhkan mereka dari amanat rakyat.
    Dari malapetaka di akhir Agustus 2025, bangsa kita mendapat pelajaran teramat penting: Dengar dan camkan suara rakyat. Merekalah pemilik kedaulatan yang sah.
    Eksekutif, legislatif, dan yudikatif cuma meminjam kekuasaan rakyat. Tidak kurang, tidak lebih.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kisah Mualaf Jenderal Kopassus Lodewijk Freidrich Paulus, Sempat Ditentang Keluarga dan Disebut Bakal Masuk Neraka

    Kisah Mualaf Jenderal Kopassus Lodewijk Freidrich Paulus, Sempat Ditentang Keluarga dan Disebut Bakal Masuk Neraka

    GELORA.CO – SOSOK Letnan Jenderal (Letjen) TNI (Purn) Lodewijk Freidrich Paulus dalam karier militernya pernah menjabat sebagai Danjen Kopassus periode 2026-2011. Dia sempat mendapat penentangan saat memutuskan mualaf masuk agama Islam.

    Jenderal Kopassus Lodewijk Freidrich Paulus lahir pada 27 Juli 1957 di Manado, Sulawesi Utara. Dia diketahui berasal dari keluarga yang menganut agama Kristen. Namun, dalam perjalanan hidupnya, Lodewijk kemudian memutuskan menjadi mualaf.

    Dirangkum dari berbagai sumber, kisah awal mula Lodewijk masuk Islam pernah diungkapkannya saat Peresmian Rumah Pemenangan Calon Legislatif (Caleg) DPR-RI H Lodewijk Freidrich Paulus di Jalan KH Mas Mansyur, Bandar Lampung pada Januari 2019 silam.

    Lodewijk yang waktu itu menjabat sebagai Sekjen DPP Partai Golkar menjawab beragam pertanyaan, termasuk soal perpindahan agama menjadi seorang muslim. Dari situ, diketahui bahwa keputusannya masuk Islam muncul saat dirinya berpangkat mayor.

    “Saya menjadi mualaf (masuk Islam) ketika (berpangkat) Mayor,” ucap Lodewijk, dikutip Kamis (30/10/2025).

    Dorongan Lodewijk untuk memeluk Islam bermula dari kedekatannya dengan seorang gadis muslim yang saat itu ditaksirnya. Ia adalah Meria Agustina yang kini telah menjadi pendamping hidup di sisi Lodewijk.

    Baca juga: Kisah Jenderal Kopassus Soegito Perintahkan Luhut Pandjaitan Cari Makanan saat Peristiwa Malari

    Sebelum resmi menikah, hubungannya dengan Meria terbilang cukup rumit karena perbedaan agama. Namun, Lodewijk kemudian memberanikan diri untuk menceritakan masalah tersebut kepada keluarganya.

    Saat keinginan Lodewijk itu disampaikan, tak sedikit dari mereka yang terang-terangan menolak. Bahkan, ada yang menyebutnya akan masuk neraka jika memeluk Islam.

    “Saya (kalau memeluk Islam) dikatakan akan masuk neraka,” kata Lodewijk.

    Selain itu, ada juga yang memperingatkan bahwa karier militernya bisa terhambat jika benar-benar masuk Islam. Hal ini lantaran atasannya saat itu adalah non-Muslim.

    Beragam ancaman dan tantangan itu tak menyurutkan niat Lodewijk untuk menjadi seorang Muslim. Pada akhirnya, ia mantap masuk Islam sekitar dua tahun sebelum menikah.

    Berbanding terbalik dengan ancaman yang dulu pernah dihadapi, Lodewijk setelah menjadi Muslim mengaku bersyukur karena memperoleh banyak nikmat dan kemudahan, termasuk soal kariernya di militer.

    Ia mencontohkan, dari beberapa rekan seangkatannya di militer jebolan Akmil 1981, Lodewijk di antaranya yang paling awal meraih pangkat Kolonel.

    Tak hanya itu, karier militer Lodewijk juga terbilang cemerlang seiring waktu. Kiprahnya sebagai tentara terus menanjak dengan berbagai kepercayaan menduduki posisi strategis.

    Beberapa di antaranya seperti Dansat-81 Kopassus (2001-2003), Danjen Kopassus (2009-2011) hingga Pangdam I/Bukit Barisan (2011-2013). Kemudian, ia menjadi Komandan Kodiklat AD (2013-2015), jabatan yang mengantarkannya meraih pangkat Letnan Jenderal (Letjen) TNI.

    Pensiun dari militer, Lodewijk memasuki dunia politik dengan bergabung ke Partai Golkar pada 2016. Ia kemudian dipercaya menjabat sebagai Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar dan terpilih sebagai anggota DPR RI dari daerah pemilihan (Dapil) Lampung I pada Pemilu 2019.

    Pada 30 September 2021, Lodewijk dilantik sebagai Wakil Ketua DPR RI Bidang Politik dan Keamanan. Sejak Oktober 2024 lalu, ia juga dipercaya menjadi Wakil Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan di Kabinet Merah Putih pemerintahan Prabowo-Gibran.

  • Revisi UU Pemilu: Menurunkan Ambang Batas Parlemen

    Revisi UU Pemilu: Menurunkan Ambang Batas Parlemen

    Revisi UU Pemilu: Menurunkan Ambang Batas Parlemen
    Pegiat Demokrasi dan Pemilu
    REVISI
    Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025, usulan Baleg DPR serta prioritas Prolegnas 2026, usulan Komisi II DPR.
    Revisi ini diharapkan mencari solusi atas pelaksanaan pemilu yang rumit, bukan sekadar tambal sulam aturan.
    Selain itu, mempertegas aturan pelaksanaan pemilu serta operasionalnya untuk memulihkan kredibilitas dan integritas proses pemilu. Serta memastikan pemilu lebih efisien, transparan, adil dan modern.
    Selama ini kompleksitas aturan yang ada acapkali tumpang tindih sehingga membingungkan dalam pelaksanaan proses demokrasi elektoral.
    Setiap kali pembaharuan UU Pemilu, satu isu klasik selalu menjadi trigger dan mencuri perhatian masyarakat adalah ambang batas parlemen (
    parliamentary threshold
    ).
    Angkanya mungkin terlihat sepele dari 4 persen, 5 persen atau sampai 7 persen. Namun di balik itu semua, tersimpan pertarungan besar tentang makna demokrasi.
    Ambang batas yang konon dirancang demi “efisiensi politik”, selama ini justru menjadi ketidakadilan elektoral.
    Di Indonesia, penerapan ambang batas jadi gula-gula politik yang menggoda kekuasaan. Penerapan ambang batas yang tinggi memungkinkan partai besar mempertahankan dominasi dan menyingkirkan pesaing sebelum kompetisi dimulai.
    Semakin tinggi ambang batas, makin sempit pula ruang demokrasi. Ibaratnya seperti menggelar pesta rakyat, tapi hanya segelintir tamu yang boleh masuk.
    Fakta menunjukkan bahwa ambang batas acapkali menjadi jebakan yang menggoda para pembuat aturan untuk melanggengkan kekuasaan dan kelompoknya.
    Ironisnya, setiap kali revisi UU Pemilu dibahas, godaan untuk menaikkan ambang batas mesti muncul. Bila tren ini diteruskan, maka pemilu mendatang bukan lagi tentang siapa yang mendapat kepercayaan rakyat, melainkan siapa yang mampu mempertahankan dominasi kekuasaan lewat angka.
    Dalam Teori Hegemoni Antonio Gramsci, ambang batas dijadikan alat hegemoni politik. Partai besar menggunakan wacana “penyederhanaan sistem” atau “efektivitas pemerintahan” untuk mendominasi ruang komunikasi politik.
    Bentuk persetujuan yang dipaksakan untuk mengatur siapa yang boleh berbicara dan siapa yang disenyapkan di arena demokrasi.
    Adanya ambang batas akan membatasi partai-partai baru atau kecil untuk turut serta dalam pengambilan kebijakan publik.
    Suara minoritas yang seharusnya menjadi bagian dari mozaik demokrasi, malah terbuang sia-sia. Sementara demokrasi harus memberi ruang bagi keragaman suara, menjaga keberlangsungan demokrasi sekaligus menegakkan keadilan representasi.
    Pemilu di Indonesia menggunakan sistem proporsional. Berkaca dari pengalaman pemilu selama ini, ada paradoks yang mencolok: banyak sekali suara yang tidak terkonversi menjadi kursi, jutaan suara rakyat terbuang karena partai politiknya tidak punya cukup suara memenuhi ambang batas parlemen.
    Akhirnya distribusi kursi di DPR tidak sepenuhnya mencerminkan kemauan pemilih, melainkan sekadar hasil kalkulasi dari aturan yang menyingkirkan sebagian besar suara rakyat.
    Penggunaan ambang batas parlemen yang terus naik dari pemilu ke pemilu membawa konsekuensi signifikan terhadap peta representasi politik di Senayan.
    Data menunjukkan, dalam pemilu 2004 dengan ambang batas 3 persen, sebanyak 19.047.481 suara tidak dapat dikonversi menjadi kursi atau sekitar 18 persen.
    Pemilu 2009 dengan ambang batas 2,5 persen, sebanyak 19.044.715 suara tidak dapat dikonversi menjadi kursi atau sekitar 18,2 persen.
    Begitu pula di pemilu 2014 dengan ambang batas 3,5 persen, ada 2.964.975 suara atau sekitar 2,4 persen yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi.
    Lalu di pemilu 2019 dengan ambang batas 4 persen, ada 13.595.842 suara atau sekitar 9,7 persen yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi.
    Sementara pemilu terakhir 2024, dengan ambang batas masih 4 persen, sebanyak 16.977.503 suara atau 11,19 persen yang tidak terkonversi jadi kursi di DPR.
    Fenomena ini menimbulkan hilangnya nilai suara rakyat (
    wasted votes
    ) dalam jumlah besar. Ini bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan keadilan pemilu sebagaimana dijamin Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
    Bayangkan, jutaan orang datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), mencoblos dengan penuh harapan, tapi suaranya menguap atau hangus. Ini bukan sekadar inefisiensi, melainkan pengingkaran terhadap asas kedaulatan rakyat.
    Fakta tersebut membuktikan, hak konstitusional pemilih yang telah digunakan dalam pemilu menjadi hangus atau tidak dihitung dengan dalih penyederhanaan partai politik.
    Padahal ambang batas seyogianya menyaring, bukan menyingkirkan. Ia mengatur tata kelola representasi, tetapi tidak boleh menghapus representasi itu sendiri.
    Karena keadilan elektoral hanya dapat berdiri jika setiap suara, besar mapun kecil, punya nilai politik yang sama.
    Namun, ketika suara minoritas dihapus atas nama efisiensi, demokrasi akan kehilangan maknanya. Rakyat mungkin tetap punya pemilu, tapi kehilangan rasa keadilan politik.
    Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 116/PUU-XXI/2023 terkait ambang batas parlemen jadi angin segar bagi demokrasi agar dapat tumbuh lebih baik dan bermartabat.
    Dalam putusan itu, Mahkamah meminta pembentuk undang-undang untuk
    mengubah ambang batas parlemen pada Pemilu 2029
    dan pemilu-pemilu yang akan datang dengan memperhatikan sejumlah hal.
    Pertama, didesain untuk digunakan secara berkelanjutan. Kedua, perubahan norma ambang batas parlemen termasuk besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dimaksud tetap dalam bingkai menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional, terutama untuk mencegah besarnya jumlah suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR.
    Ketiga, perubahan harus ditempatkan dalam rangka mewujudkan penyerderhanaan partai politik.
    Keempat, perubahan telah selesai sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan Pemilu 2029. Kelima, perubahan melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna, termasuk melibatkan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki perwakilan di DPR.
    Pertimbangan MK ini tentu tidak muncul tanpa dasar, melainkan merupakan hasil penilaian objektif terhadap sistem kepartaian Indonesia yang cenderung multipartai, serta untuk menjaga agar prinsip keterwakilan politik dan keadilan pemilu tetap terjamin.
    Pada akhirnya, pertarungan ini bukan sekadar soal angka ambang batas, tetapi tentang keberanian DPR untuk setia pada semangat konstitusi.
    Apakah para legislator berani menurunkannya demi keadilan representatif, atau justru meneguhkan ketidakadilan atas nama stabilitas politik?
    Sebagai alternatif dari penulis, agar suara tidak terbuang percuma, bisa diterapkan mekanisme fraksi
    threshold,
    sama halnya seperti mekanisme di tingkat DPRD provinsi maupun kabupaten/kota.
    Opsi ini terbukti berjalan efektif di mana partai-partai dengan kursi terbatas tetap dapat berpartisipasi dalam kerja-kerja legislatif melalui fraksi gabungan.
    Dengan pendekatan seperti ini, penyederhanaan sistem kepartaian tetap terjaga, tapi keterwakilan rakyat tidak jadi korban.
    Di sinilah seharusnya arah revisi UU Pemilu diletakkan, bukan pada pengetatan ambang batas, melainkan pada penguatan mekanisme representasi yang inklusif.
    Satu hal yang selalu menjadi catatan serius dalam perjalanan demokrasi di Indonesia, yakni etika. Bila revisi UU Pemilu kali ini masih kembali menempatkan ambang batas sebagai alat eksklusi, maka demokrasi Indonesia akan kehilangan ruhnya.
    Demokrasi bukan hanya soal mekanisme pemilihan dan kekuasaan, melainkan juga sistem nilai, moral dan etika yang menjadi pijakannya.
    Bukan rahasia lagi bahwa sistem politik bisa dipakai untuk mengendalikan aturan main demi kepentingan kekuasaan.
    Dalam konteks revisi UU Pemilu bisa muncul dalam berbagai rupa: ambang batas parlemen, mekanisme konversi suara, hingga desain daerah pemilihan (dapil) yang secara halus dapat menentukan siapa yang diuntungkan atau disingkirkan.
    Di sinilah etika demokrasi diuji: Apakah DPR sungguh bekerja untuk memperkuat kualitas demokrasi, atau justru memperkuat posisinya sendiri di parlemen?
    Menurunkan ambang batas parlemen sejatinya bukan langkah mundur, melainkan tindakan berani untuk mengakui bahwa demokrasi yang sehat tidak pernah takut pada keberagaman suara.
    Ujian etika demokrasi merupakan panggilan moral bagi para legislator untuk menjaga demokrasi tidak hanya sebatas aturan formal, tetapi juga menjadikannya sebagai sistem yang benar-benar bermakna, berkeadilan, dan berintegritas.
    Sebab, kekuatan demokrasi terletak bukan hanya pada jumlah suara, melainkan pada kualitas moral dan etika yang mengiringinya.
    Revisi UU Pemilu kali ini adalah kesempatan untuk membuktikan, apakah bangsa ini berani menegakkan keadilan, atau bangsa yang rela menukar etika demi efisiensi politik.
    Demokrasi sejati bukan tentang siapa yang menang, tetapi bagaimana memperlakukan suara yang kalah. Tanpa etika, demokrasi hanya menjadi mesin kekuasaan yang sah secara hukum, tapi hampa secara moral.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.