Jakarta, Beritasatu.com – Fenomena Ramadan pada setiap tahun selalu membuat umat muslim bergembira menyambutnya. Umat senantiasa menunggu-nunggu dan menyambut dengan riang bahkan melalui ucapan yang khas, marhaban yaa Ramadhan. Sambutan ini disertai dengan persiapan amaliah ibadah puasa sebulan penuh selama Ramadhn bersama ibadah-ibadah lain (Utomo, 2024: 14).
Senada dengan hal tersebut, Ramadan adalah bulan yang identik dengan ibadah, kesederhanaan, dan peningkatan spiritualitas. Namun, realitas ekonomi menunjukkan bahwa bulan ini juga menjadi momen peningkatan konsumsi masyarakat muslim secara signifikan. Fenomena ini terlihat dari lonjakan pembelian bahan makanan, pakaian, dan barang konsumsi lainnya.
Mengapa hal ini terjadi? Bagaimana perspektif Islam terhadap fenomena ini? Bagaimana Islam mengajarkan keseimbangan antara konsumsi dan spiritualitas.
Peningkatan Konsumsi selama Ramadan
Secara empiris, berbagai penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi masyarakat meningkat selama Ramadan. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Habriyanto mengungkapkan bahwa pengeluaran konsumsi untuk makanan dan minuman per hari meningkat sekitar 41% hingga 50% selama bulan Ramadan dibandingkan dengan sebelum Ramadan (Habriyanto, 2019: 75-80). Selain itu, berdasarkan survei yang dilakukan oleh SurveySensum, rata-rata anggaran belanja masyarakat pada Ramadan 2022 tercatat sebesar Rp 6,9 juta, mengalami kenaikan sekitar 10% dibandingkan dengan Ramadan 2020 (Reza Pahlevi, 2022).
Pada artikel lain menyatakan periode Ramadan dan Idul Fitri menjadi puncak konsumsi masyarakat di Indonesia. Permintaan akan barang dan jasa melonjak tajam selama periode ini. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti tradisi berbuka puasa bersama, persiapan menyambut Idulfitri yang meningkatkan daya beli masyarakat.
Bulan Ramadan merupakan momen istimewa bagi umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Selain sebagai waktu untuk meningkatkan ibadah dan refleksi spiritual, Ramadan juga membawa dampak signifikan terhadap perekonomian, terutama dalam hal peningkatan konsumsi masyarakat.
Perspektif Syariat tentang Konsumsi
Dalam Islam, konsumsi diatur sedemikian rupa agar sesuai dengan prinsip-prinsip syariat. Al-Qur’an dan Hadis memberikan pedoman jelas mengenai bagaimana seorang Muslim seharusnya mengatur pola konsumsinya.
Salah satu ayat yang sering dijadikan rujukan adalah Surah al-A’raf/7: ayat 31:
يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ خُذُوا۟ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.
Ayat ini menekankan pentingnya mengonsumsi makanan dan minuman yang halal, bergizi, serta tidak membahayakan kesehatan. Dalam segala hal, termasuk ibadah, makan, dan minum, dianjurkan untuk tidak berlebihan, karena Allah tidak menyukai perilaku yang melampaui batas.
Sementara ulama menyatakan bahwa ayat ini turun ketika beberapa orang sahabat Nabi SAW. bermaksud meniru kelompok al-Hummas, yakni kelompok suku Quraisy dan keturunannya yang sangat menggebu-gebu semangat beragamanya sehingga enggan bertawaf kecuali memakai pakaian baru yang belum pernah dipakai melakukan dosa, serta sangat ketat dalam memilih makanan serta kadarnya ketika melaksanakan ibadah haji. Sementara sahabat Nabi saw berkata: “Kita lebih wajar melakukan hal demikian daripada al-Hummas.” Nah, ayat di atas turun menegur dan memberi petunjuk bagaimana yang seharusnya dilakukan (Shihab, 2002: 72-75).
Bagian akhir ayat ini menegaskan prinsip kesehatan yang juga diakui oleh para ilmuwan, terlepas dari keyakinan mereka. Perintah untuk makan dan minum tanpa berlebihan mengajarkan keseimbangan yang harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing individu. Kebutuhan seseorang bisa berbeda dengan yang lain, sehingga tidak ada ukuran baku yang sama untuk semua. Oleh karena itu, ayat ini menanamkan sikap proporsional (Shihab, 2002: 72-75).
Ayat ini menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dalam konsumsi dan menghindari perilaku berlebihan. Dalam konteks Ramadan, seorang muslim dianjurkan untuk tetap mengendalikan diri dan tidak terjerumus dalam perilaku konsumtif yang berlebihan.
Selain itu, Nabi Muhammad SAW juga memberikan contoh dalam kesederhanaan saat berbuka puasa. Beliau menganjurkan untuk berbuka dengan kurma dan air, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَتُمَيْرَاتٌ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٌ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
“Dari Anas bin Malik, ia berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbuka puasa sebelum shalat dengan ruthab (kurma basah), jika tidak ada ruthab, maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering), dan jika tidak ada tamr, beliau meminum seteguk air”. (HR. Abu Dawud).
Hadis ini mengajarkan bahwa tujuan utama puasa adalah pengendalian diri dan peningkatan ketakwaan, bukan pemuasan nafsu makan secara berlebihan.