Jakarta, CNN Indonesia —
Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyebut Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) berpotensi menjadi macan kertas.
“Meski telah mengakomodasi berbagai standar dan memberikan garansi perlindungan bagi subyek data, akan tetapi implementasi dari undang-undang ini berpotensi problematis, hanya menjadi macan kertas, lemah dalam penegakkannya,” ujar Wahyudi Djafar Direktur Eksekutif dalam sebuah keterangan resmi, Selasa (20/9).
Pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dalam Rapat Paripurna DPR (Pembicaraan Tingkat II), Selasa (20/9).
Dalam undang-undang tersebut di antaranya membahas kewajiban pengendali dan pemroses data, aturan tentang akses ilegal, hingga sanksi dan denda atas pelanggaran data pribadi.
Selain itu, UU PDP juga memuat definisi data pribadi, jangkauan material yang berlaku mengikat bagi badan publik dan sektor privat, perlindungan khusus bagi data spesifik, adopsi prinsip-prinsip pemrosesan data pribadi, batasan dasar hukum pemrosesan data pribadi, serta perlindungan hak subjek data.
Meski demikian, ELSAM menjelaskan ada beberapa masalah yang mungkin terjadi dalam penegakan UU PDP akibat ketidaksolidan dalam perumusan pasal-pasalnya.
“Situasi tersebut (penegakan yang lemah) hampir pasti terjadi, akibat ketidaksolidan dalam perumusan pasal-pasal terkait dengan prosedur penegakan hukum, sebagai imbas kuatnya kompromi politik, khususnya berkaitan dengan Lembaga Pengawas Pelindungan Data Pribadi,” ujar Wahyudi.
Menurutnya, kunci implementasi UU PDP ada pada otoritas perlindungan data sebagai lembaga pengawas yang akan memastikan kepatuhan pengendali dan pemroses data, serta menjamin pemenuhan hak-hak subjek data.
“Apalagi ketika UU PDP berlaku mengikat tidak hanya bagi sektor privat, tetapi juga badan publik (kementerian/lembaga), maka independensi dari otoritas ini menjadi mutlak adanya, untuk memastikan ketegasan dan fairness dalam penegakan hukum PDP,” tuturnya.
Alih-alih membuat lembaga independen, Wahyudi menyebut pemerintah justru mendelegasikan kepada Presiden untuk membentuk Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) yang bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasalnya, lembaga yang dibentuk nanti akan menjadi lembaga pemerintah yang akhirnya setara dengan lembaga pemerintah lain.
“Pertanyaan besarnya, apakah mungkin satu institusi pemerintah memberikan sanksi pada institusi pemerintah yang lain?” tanyanya.
Lebih lanjut, Wahyudi juga menyoroti sejumlah pasal yang menurutnya memiliki ketidaksetaraan antara sektor publik dan sektor privat terkait sanksi jika melakukan pelanggaran.
“Bila melakukan pelanggaran, sektor publik hanya mungkin dikenakan sanksi administrasi (Pasal 57 ayat (2)), sedangkan sektor privat selain dapat dikenakan sanksi administrasi, juga dapat diancam denda administrasi sampai dengan 2 persen dari total pendapatan tahunan (Pasal 57 ayat (3))” terangnya
“Bahkan dapat dikenakan hukuman pidana denda mengacu pada Pasal 67, 68, 69, 70,” imbuhnya.
(lom/lth)