Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Ekspedisi gua di Papua hingga Meksiko Selatan – ‘Membantu kita memahami kehidupan di planet lain’ – Halaman all

Ekspedisi gua di Papua hingga Meksiko Selatan – ‘Membantu kita memahami kehidupan di planet lain’ – Halaman all

Laba-laba buta hingga fotosintesis dalam kegelapan—semuanya dapat ditemukan di tempat terdalam di Bumi, salah satunya di gua Papua.

Sembari duduk, saya menggelincir menyusuri terowongan batu yang memantulkan cahaya seperti bagian dalam tenggorokan. Saya merasa seperti ditelan dan menghilang dalam kegelapan dunia bawah tanah.

Rekan saya, Phil Short, mengatakan bahwa gua-gua hidup dan bahkan bernapas.

Lewat pintu masuknya, yang tidak jarang sangat kecil, gua-gua bertukar udara dengan dunia luar.

Saya dan Short sedang berada di gua Wookey Hole, bagian dari jaringan gua bawah tanah di satu desa di Inggris, Wookey Hole, yang terletak di Somerset.

“Hari ini cuacanya panas sekali,” ujarnya.

Short adalah salah satu penjelajah gua dan penyelam terkemuka di dunia, sekaligus pemimpin misi bawah air di Deep Research Labs.

Jika tekanan udara di luar gua lebih besar daripada di dalam, katanya, udara akan bergerak ke dalam gua dan sebaliknya.

“Di hari lain, udara di luar mungkin sangat dingin tetapi di sini masih hangat dan udara akan berhembus ke arah sebaliknya.”

Saat ini, ada puluhan ribu gua di dunia, dan semakin banyak yang ditemukan setiap harinya. Namun, banyak gua di dunia masih belum terjelajahi.

“Menjelajahi gua merupakan salah satu dari sedikit aktivitas yang tersisa saat ini, di mana manusia dapat menemukan sesuatu dan merasakan pengalaman sejati dalam lingkungan yang sepenuhnya tak tersentuh dan alami,” tutur Short.

“[Jika kalian memasuki gua yang belum terjamah], kalian akan memasuki planet kosong—tidak ada drone, teknologi modern.”

Di dalam gua, kata Short, juga bisa ditemukan “spesies baru, bahkan obat baru untuk berbagai penyakit.”

Beberapa gua sangat besar, sampai-sampai dilaporkan punya sistem cuaca sendiri. Sebagian lainnya sangat dalam, hingga belum ada yang pernah mencapai dasarnya.

Gua menyimpan rahasia evolusi manusia, kehidupan sebelum kita semua, hingga jejak dampak alam sejak beratus tahun lalu.

Gua bukan hanya kubangan kenangan, tapi juga pusat keanekaragaman hayati, seperti ekosistem lengkap yang bekerja sama dengan kehidupan.

Inilah yang ditemukan ketua ahli serangga dalam Ekspedisi Cycloop, Leonidas-Romanos Davranoglou, ketika dia mendaki Gunung Cycloop di Papua, Indonesia.

Jika kalian diam berdiri sebentar saja, kata Davranoglou kepada saya, lintah akan langsung menghampiri dari segala arah.

Mereka menghantui kalian, mengikuti getaran bumi, bayangan kalian, napas kalian.

“Di Papua, karena daerahnya lembap, lintah tinggal di mana-mana; di pepohonan, tanah, semak-semak,” kata Davranoglou.

Di hutan Pegunungan Cycloop, semua ular dan laba-laba berbisa, hingga nyamuk pembawa penyakit, mengintai mereka yang masih berani menjelajahi tanah tersebut.

Meski berbahaya, tim Davranoglou tetap bertekad “melakukan survei paling komprehensif terkait ekosistem ini.”

Berkat tekad kuat itu, mereka berhasil mengantongi bukti foto pertama yang mengonfirmasi keberadaan Zaglossus attenboroughi atau ekidna moncong panjang Sir David Attenborough pada 2023.

Spesies ini terakhir dilihat pada tahun 1961, dan selama ini dikhawatirkan telah punah.

Mereka juga berhasil menemukan satu jenis burung yang sudah dianggap hilang secara ilmiah lebih dari 15 tahun.

Tak hanya itu, tim mereka menemukan genus udang baru yang menempel di pepohonan, juga spesies serangga baru lainnya.

“Kami bisa melihat itu semua ketika kami menjelajah lebih dalam. Kami harus merangkak, dan ketika masuk, kelelawar beterbangan histeris,” cerita Davranoglou.

“Kami pikir, oke, ini pertanda baik. Lalu, kami mulai melihat jangkrik gua.”

Jangkrik gua, kata Davranoglou, adalah serangga yang berbentuk aneh. Kaki dan antenanya sangat panjang, tapi matanya kecil.

“Mereka bisa berjalan di kegelapan hanya dengan merasakannya. Jangkrik gua merupakan pertanda bahwa ada ekosistem yang kaya di gua itu,” ujarnya.

Davranoglou dan pemimpin ekspedisinya, James Kempton, sempat kembali ke gua tersebut beberapa kali setelah itu.

Ketiga kalinya mereka datang, Bumi tiba-tiba berguncang ketika Kempton sedang mencari rute untuk eksplorasi selanjutnya sendirian.

Debu berjatuhan. Kelelawar panik beterbangan.

“Papua adalah salah satu daerah tektonik paling aktif di dunia. Kami merasakan gempa bumi setiap waktu,” kata Davranoglou.

“Kami melihat bongkahan besar runtuh, kemudian terjadilah gempa besar, dan [Kempton] terguncang di gua yang sangat sempit dan penuh bongkahan.”

Saat itu, para mahasiswa yang ikut ekspedisi berdiri di luar gua, menanti Short dengan sangat ketakutan.

“Mereka menangis senang ketika mengetahui dia [Short] selamat,” ujar Davranoglou.

Akhirnya, tim itu menemukan “harta karun” spesies bawah tanah, termasuk laba-laba buta, laba-laba penuai, dan kalajengking cambuk. Semua itu merupakan temuan baru bagi dunia ilmiah.

“Kami sangat senang karena dapat menemukan ekosistem tersembunyi yang punya banyak potensi. Karena kami baru mengeksplorasi 40 meter pertama, kami baru menjelajah permukaannya,” ucapnya.

“Siapa yang tahu apa yang ada di tempat yang lebih dalam.”

Di Oxford, Davranoglou menunjukkan sekeranjang spesimen kumbang kotoran, makhluk indah dengan tanduk yang besar.

Ketika ekspedisi selesai, kata Davranoglou, pekerjaan yang sesungguhnya dimulai.

“Papua adalah pulau yang menyimpan keanekaragaman hayati paling banyak di dunia,” katanya.

Ia pun berharap pemahaman lebih jauh mengenai keanekaragaman itu dapat membantu upaya-upaya konservasi untuk melindungi ekosistem yang berharga tersebut.

“Temuan setiap spesies baru dapat memperlihatkan evolusi setiap garis keturunannya,” ujar Davranoglou.

“Temuan itu dapat membantu kalian memahami bagaimana organisme itu tersebar di masa lalu, faktor ekologi dan geologi apa yang membuat spesies itu terbagi dalam kelompok-kelompok berbeda.”

“Dengan menggunakan data ini, kalian juga dapat memahami faktor-faktor yang dapat memengaruhi distribusi spesies dan nasib mereka di masa depan.”

Pada 2013, Short juga merampungkan eksplorasi selama tiga bulan, menghabiskan total 45 hari di bawah tanah. Tempat yang diberi nama Gua J2 itu tersembunyi di tengah pegunungan Sierra Juarez di Meksiko Selatan.

Eksplorasi ini sangat menantang karena ia juga harus membawa peralatan penting, seperti tabung udara, regulator, alat masak, hingga tenda sembari melintasi hutan belantara.

“Di atas gunung, kami mendirikan markas. Tenda-tenda bertebaran di hutan, mengelilingi area tengah, di mana terdapat terpal tempat berkumpul dan api unggun,” kata Short.

“Sekitar satu jam perjalanan menuruni bukit, ada jalan masuk menuju gua. Lebarnya hanya 45 sentimeter dengan tinggi 1,3 meter.”

Beberapa meter setelah memasuki gua, Short harus turun sejauh 70 meter menggunakan tali, sambil menggendong peralatan menyelam seberat 40 kilogram.

“Setelah sekitar 700 meter, kami sampai di tempat kecil di mana anggota tim sebelumnya sudah menggantungkan hammock. Ada pula tungku dan sejumlah persediaan lainnya,” cerita Short.

Di dalam sana, ada dua kamp lainnya. Di salah satu kamp, sudah dipersiapkan tenda. Sementara itu, kamp ketiga merupakan markas persiapan untuk tim penyelam.

Di titik ini, Short berpisah dengan anggota tim lainnya yang berasal dari 15 negara. Dari total 44 orang, hanya Short dan satu anggota lainnya, Gala, yang akan menyelam selama sembilan hari.

Setelah menyelam sekitar 600 meter, Short dan Gala kembali ke permukaan, disambut deru suara air terjun.

“Kami menemukan tirai kalsit indah berwarna-warni. Kami mengitarinya dan melihat ada sungai yang seperti bendungan,” tutur Short.

“Banyak cipratan seperti embun, seperti air terjun di tengah hutan, di tengah-tengah kubah besar ini, di mana seluruh sungai J2 mengalir ke perut bumi.”

Mereka lantas merayap di dinding gue itu, menyusuri sungai itu sampai ke ujung.

Pemimpin ekspedisi ini, Bill Stone, mengatakan pemetaan sistem gua semacam ini dapat membuka jalan untuk ekspedisi ilmiah selanjutnya.

“Gua perlu dilindungi,” kata Hazel Barton, profesor ilmu geologi di Universitas Alabama.

Barton adalah seorang ahli geomikrologi yang mempelajari mikroba di lingkungan paling ekstrem di Bumi. Dia merupakan salah satu ilmuwan yang mengikuti jejak Stone ke pegunungan Sierra Juarez.

Selama lebih dari 20 tahun, Barton mempelajari kehidupan mikroskopis di bawah tanah yang dapat bertahan di tengah kelaparan ekstrem.

Penelitian Barton membantu pemahaman terkait daya tahan antimikroba sampai kemampuan tanaman untuk berfotosintesis di tempat yang sangat gelap.

“Sekitar satu kilometer dari tempat masuk, masih ada fotosintesis, tapi sudah mendekati gelombang inframerah. masih ada bintang yang dapat terlihat di gelombang itu,” ujar Barton.

“Temuan ini dapat membantu kita memahami bagaimana bisa ada kehidupan di planet lain.”

Menurut Barton, eksplorasi gua hampir sama seperti menjadi astronaut, tapi tanpa perlu ke luar angkasa.

“Kalian adalah orang pertama yang melihat sesuatu. Jejak kalian merupakan jejak kaki pertama di sana,” tuturnya.

“Sepuluh ribu tahun dari sekarang, jejak kaki saya di Gua Lechuguilla di New Mexico, atau di Gua Tepui di Venezuela, mungkin masih ada di sana.”

Short mengatakan bahwa kita akan selalu menemukan hal baru di dalam gua.

“Sekarang ini, sangat sulit untuk membuat orang kagum, tapi kalian bisa datang ke sini dan melihat sesuatu yang baru setiap kali kalian datang,” ucap Short.

Ada ratusan pintu masuk menuju gua di Bumi, Bulan, bahkan Mars. Banyak yang belum terjamah.

Jika kita berani melongok ke kegelapan itu, apa yang dapat kita temukan di bawah permukaan Bumi itu?