TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Industri perdagangan daring atau e-commerce di Indonesia kini telah terakselerasi dari semula merupakan pasar digital, berkembang menjadi ekosistem.
Ini karena perdagangan daring melibatkan berbagai sektor seperti logistik, sistem pembayaran, pemasaran digital, dan pelaku usaha dalam berbagai skala.
“Kita tidak bisa berbicara tentang e-commerce tanpa membahas bagaimana sistem pembayaran dan logistik berperan di dalamnya. Ketiga aspek ini saling terhubung, dan kemajuan industri ini bergantung pada bagaimana ekosistem ini berkembang secara bersama-sama,” kata ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi saat jadi pembicara di Focus Group Discussion (FGD) bertema Menelaah Masa Depan Industri E-Commerce Indonesia yang diselenggarakan Asosiasi E-Commerce Indonesia (IDEA) di Jakarta, Rabu (13/3/2025).
FGD ini menghadirkan pelaku industri, akademisi, serta perwakilan dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Komunikasi dan Digital, yang membahas strategi daya saing, tantangan logistik, serta regulasi yang diperlukan untuk mendukung inovasi.
Dia menganalisis, sebenarnya sejak 2015 industri ini telah mengalami transformasi besar. Model bisnis yang dulunya didominasi oleh marketplace kini bergeser ke social commerce, live shopping, hingga penggunaan AI dalam personalisasi pengalaman pelanggan. Inovasi terjadi begitu cepat, dan hanya mereka yang mampu beradaptasi yang bisa bertahan.
“Industri ini adalah industri dengan pola persaingan hampir sempurna. Teknologi terus mendisrupsi model bisnis lama, dan pemain yang gagal beradaptasi akan tersingkir. Tidak ada jaminan bahwa mereka yang besar hari ini akan tetap bertahan besok,” ujarnya.
“Adaptasi dalam bentuk inovasi di logistik bisa menjadi pilihan bagi pelaku e-commerce dengan menawarkan biaya logistik yang rendah. Hal ini mengingat konsumen Indonesia yang price sensitive,” tambahnya.
Kontribusi ke Perekonomian Indonesia
Di tengah disrupsi yang terjadi, e-commerce juga telah menjadi tulang punggung ekonomi digital Indonesia.
Menurut Rifan Ardianto, Direktur Perdagangan Sistem Elektronik dan Perdagangan Jasa Kementerian Perdagangan RI, nilai transaksi e-commerce pada tahun 2024 mencapai Rp 512 triliun, meningkat 12,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, jumlah pengguna e-commerce terus meningkat dan diperkirakan mencapai 65,65 juta orang pada tahun yang sama, naik 12 persen dari tahun sebelumnya.
Namun, di balik pertumbuhan ini, industri masih menghadapi berbagai tantangan besar, seperti minimnya pemahaman UMKM terhadap pemasaran digital dan akses informasi, serta belum meratanya infrastruktur logistik dan pembayaran digital, terutama di luar Pulau Jawa.
“Tantangan ini perlu diselesaikan secara kolaboratif. Industri dan regulator harus bergerak bersama untuk menciptakan ekosistem yang sehat dan berkelanjutan,” kata Rifan.
Transformasi di Sektor Logistik
Direktur Pos dan Penyiaran Kementerian Komunikasi dan Digital Gunawan Hutagalung mengatakan, efisiensi logistik menjadi faktor kunci dalam memastikan e-commerce mampu bersaing secara harga dan layanan. Namun faktanya, bagi banyak pelaku usaha di luar Pulau Jawa, logistik masih menjadi hambatan terbesar.
Karenanya, sinergi antara industri Courier, Express, and Parcel (CEP) dan e-commerce sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan sektor ini.
“Pangsa pasar industri CEP diproyeksikan terus tumbuh dengan tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 7,24 persen. Namun, kita masih tertinggal dari negara lain yang sudah mengadopsi sistem logistik 4PL dan 5PL. Indonesia harus segera berbenah agar tidak tertinggal,” ujarnya.
Komdigi saat ini sedang menyiapkan kebijakan tentang Layanan Pos Komersial, yang akan mengatur kolaborasi antara perusahaan logistik dan e-commerce untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi.
Di sisi lain, regulasi yang adaptif dan progresif memainkan peran krusial dalam mendorong pertumbuhan industri e-commerce Indonesia. Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Services Dialogue (ISD) Council, Devi Ariyani, regulasi yang terlalu ketat dan tidak fleksibel dapat menghambat fleksibilitas pelaku usaha dalam beradaptasi dengan perubahan pasar. Alih-alih membatasi ruang gerak industri, kebijakan seharusnya dirancang untuk menciptakan level playing field – memberikan kesempatan yang setara bagi semua pelaku usaha, baik skala besar maupun kecil, tanpa menghambat inovasi dan ekspansi bisnis.
“Negara perlu memilah di mana ia benar-benar harus hadir, seperti dalam perlindungan konsumen dan pencegahan praktik bisnis yang tidak sehat. Namun, aspek lain seperti inovasi model bisnis dan efisiensi operasional sebaiknya dibiarkan berkembang secara alami melalui mekanisme pasar,” ujar Devi.
Dalam ekosistem yang bergerak cepat seperti e-commerce, regulasi harus bersifat adaptif, tidak reaktif. Jika kebijakan hanya berfungsi sebagai instrumen pengawasan tanpa mempertimbangkan dinamika industri, maka Indonesia berisiko tertinggal dibandingkan negara lain dalam membangun daya saing ekonomi digitalnya.
“E-commerce berkembang lebih cepat daripada kebijakan. Jika regulasi hanya mengejar dari belakang, kita akan selalu tertinggal. Regulator harus berperan sebagai fasilitator dan enabler, bukan sekadar pengatur,” tegasnya.
Ketua Umum IDEA Hilmi Adrianto berpendapat, dalam lanskap digital yang sangat dinamis dan terus berkembang, industri E-Commerce tidak hanya menghadapi peluang besar tetapi juga tantangan yang semakin kompleks,” ujarnya.
Ia menambahkan, adaptasi, efisiensi, dan inovasi adalah kunci bagi industri e-commerce untuk bertahan dan meningkatkan daya saing secara berkelanjutan, serta memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional.
Untuk memastikan industri e-commerce tetap menjadi pilar pertumbuhan ekonomi digital, regulator harus mengedepankan kebijakan yang tidak hanya memberikan kepastian hukum tetapi juga mendukung inovasi, investasi, dan efisiensi operasional. Regulasi yang terlalu kaku dan mengatur operasi secara mikro berpotensi membatasi fleksibilitas industri dalam merespons perkembangan pasar yang dinamis. Sebaliknya, kebijakan berbasis prinsip adaptabilitas dan efisiensi akan menciptakan ekosistem bisnis yang sehat dan kompetitif, sangat diperlukan agar industri dapat terus berkembang secara berkelanjutan.
Regulator memiliki peran strategis dalam menyeimbangkan pertumbuhan industri dengan perlindungan konsumen serta persaingan usaha yang sehat. Dengan memberikan ruang bagi industri untuk tumbuh secara organik, sambil tetap memastikan adanya transparansi dan persaingan usaha yang sehat, Indonesia dapat memperkuat posisinya sebagai pemimpin dalam ekonomi digital global. Regulasi yang mendukung inovasi tidak hanya akan mempercepat pertumbuhan industri e-commerce, tetapi juga membuka lebih banyak peluang bagi UMKM dan pelaku usaha lokal untuk berkembang di era digital.