TRIBUNNEWS.COM – Pemangkasan anggaran secara besar-besaran terus dilakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump dan Elon Musk selaku pimpinan Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE).
Departemen Pertahanan AS yang akrab dinamai Pentagon pun tak luput dari sasaran efisiensi pemerintahan Trump.
Hal ini terjadi setelah pada Jumat waktu setempat (21/2/2025) di mana Pentagon mengumumkan pemberhentian 5400 karyawan mereka sebagai bagian dari efisiensi anggaran tersebut.
Pemutusan hubungan kerja yang dijadwalkan berlangsung minggu depan tersebut merupakan bagian dari rencana pemangkasan jumlah pekerja federal di Kementerian Pertahanan yang diprediksi akan terus dilakukan hingga mencapai angka 50.000 orang.
Dikutip dari Reuters, hal tersebut dibenarkan oleh salah satu pejabat tinggi Pentagon, Darin Selnick.
Selnick bahkan menyatakan bahwa Pentagon akan memberlakukan moratorium perekrutan dan bisa mengurangi tenaga kerja sipilnya sebesar 5 persen hingga 8 persen, atau sekitar 950.000 orang.
Perombakan besar-besaran tak hanya terjadi Pentagon, Biro Investigasi Federal (FBI) juga mengalami dampak efisiensi biaya di pemerintahan Trump.
Hal ini terjadi karena pada saat yang hampir bersamaan pada Jumat, FBI memerintahkan 1.500 staf untuk dipindahkan dari markas besarnya di Washington ke kantor-kantor mereka di penjuru daerah AS.
Adapun para pegawai FBI tersebut akan ditempatkan di seluruh penjuru AS, menurut dua sumber dari Reuters.
Kebijakan ini menuai sorotan mengingat angka tersebut setara dengan satu dari empat pegawai FBI yang saat ini bekerja di Washington, menurut data pemerintah.
Perombakan ini adalah bagian terbaru dari strategi efisiensi besar-besaran yang dipimpin oleh Trump dan Elon Musk.
Melalui masukan dari DOGE, Musk bahkan telah memecat lebih dari 20.000 pekerja federal di AS.
Musk juga dan membongkar program-program di seluruh pemerintah AS, mulai dari Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) hingga sejumlah lembaga pengawasan keuangan.
Tantangan hukum terhadap kebijakan ini masih terus mendapatkan respons yang beragam dari pihak legislatif hingga yudikatif sejauh ini.
Sejumlah hakim federal menolak untuk menghentikan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pemerintahan Trump, namun ada pula yang memberikan lampu hijau.
Satu respons yang menjadi sorotan adalah langkah Mahkamah Agung AS yang memblokir Trump untuk segera memecat pejabat kepala Kantor Penasihat Khusus yang merupakan sebuah lembaga pengawas independen.
Dalam beberapa kasus, kebijakan Trump yang dinilai terburu-buru ini juga menuai sorotan karena beberapa blunder administrasi yang kemudian terjadi.
Hal ini terlihat dalam langkah Trump yang merekrut kembali beberapa pekerja yang telah dipecat, termasuk mereka yang mengawasi keselamatan nuklir dan respons terhadap flu burung.
Blunder tersebut begitu kentara terlihat di kebijakan Trump menyangkut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC).
Pihak CDC menyatakan bahwa mereka akan memanggil kembali pekerja yang sebelumnya dipecat, yang bertugas mengawasi rencana kesehatan bagi 137.000 orang yang jatuh sakit akibat paparan racun setelah serangan pembajakan pada 11 September 2001.
CDC juga menyatakan akan memulihkan dua kontrak penelitian yang dibatalkan untuk menyelidiki tingkat kanker di kalangan petugas darurat, setelah mendapat kritik dari anggota Kongres baik Demokrat maupun Republik.
(Tribunnews.com/Bobby)
