Dorong Pendapatan Nontiket Transportasi Publik di Surabaya, Eri Irawan: Halte Harus Dimonetisasi

Dorong Pendapatan Nontiket Transportasi Publik di Surabaya, Eri Irawan: Halte Harus Dimonetisasi

Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Nuraini Faiq

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA – Ketua Komisi C DPRD Surabaya, Eri Irawan mendorong pendapatan transportasi publik yang dikelola Pemkot Surabaya tak hanya mengandalkan tiket.

Dia meminta pendapatan nontiket harus dioptimalkan.

Eri mencermati optimalisasi pendapatan nontiket (non-fare box) ini harus dilakukan.

“Daerah lain bisa. Surabaya jauh lebih mampu. Halte dan seluruh sarana transportasi publik harus dijual untuk hak penamaan dan branding pihak ketiga,” desak Eri, Selasa (4/3/2025).

Politisi muda PDIP ini mencontohkan di Jakarta, band terkenal D’Masiv telah “membeli” halte Trans Jakarta di daerah Petukangan.

Band ini mendapat hak penamaan (naming rights) menjadi halte ”Petukangan D’Masiv”.

Penamaan halte inipun menarik perhatian publik.

Halte lain di Jakarta yang juga ‘dijual’ adalah Halte Bundaran HI Astra, Halte Senayan Bank DKI, Halte Widya Chandra Telkomsel, Halte Cawang Sentral 1 Polypaint, dan Halte Swadarma Paragon.

Demikian pula Stasiun MRT, seperti Stasiun Cipete Raya Kopi Tuku, Stasiun Fatmawati Indomaret, Blok M BCA, dan sebagainya.

“Pendapatan dari naming rights itu mencapai ratusan miliar rupiah. Di luar negeri, berbagai halte hingga stasiun telah dibeli hak penamaannya oleh merek-merek dunia,” kata Eri.

Dalam konteks Surabaya memang tidak bisa sebesar Jakarta.

Tapi “menjual halte” adalah ikhtiar awal untuk memulai langkah penataan transportasi publik yang semakin baik.

Salah satu syaratnya adalah alur birokrasinya harus dibuat simpel agar dunia usaha tertarik.

“Saya mendorong dilakukan inovasi dalam pengembangan transportasi publik. Langkah memacu pendapatan nontiket ini penting sebagai penunjang operasional, mengurangi ketergantungan dukungan APBD,” tandas Eri.

Langkah ini sebagai upaya menjaga keberlanjutan pengembangan transportasi publik di tengah tantangan fiskal yang dihadapi semua daerah di Indonesia, termasuk Surabaya.

Skema pendapatan nontiket bisa juga penamaan terminal yang dikelola Pemkot Surabaya.

Bahkan bisa juga hak penamaan pada jembatan penyeberangan orang (JPO).

Skema lain adalah iklan di armada transportasi yang bisa menempel dalam bentuk konvensional maupun digital di armada Suroboyo Bus maupun Wira-Wiri.

Kemudian skema merchant partnership melalui kolaborasi dengan dunia usaha.

Bentuknya macam-macam, bisa pemberian diskon produk dunia usaha untuk pengguna transportasi publik, atau pemasaran bersama antara transportasi publik dan dunia usaha.

Dengan jumlah pergerakan penumpang Suroboyo Bus yang mencapai 2 juta per tahun dan Wira-Wiri 1,42 juta per tahun, lanjut Eri, semestinya bisa menjadi ”modal” menarik minat dunia usaha untuk bekerja sama.

Jumlah armada yang mencapai 70 unit, serta feeder 102 unit, juga bisa dimonetisasi untuk mendapatkan pendapatan nontiket.

Demikian pula potensi hak penamaan halte, JPO, atau terminal yang dikelola Pemkot Surabaya, perlu dibuatkan kajian pola pergerakan orangnya untuk menarik minat sponsor.

Total ada 73 halte dan 838 bus stop di Kota Pahlawan.

”Misalnya, halte ini melayani puluhan ribu pengguna per tahun. JPO berapa orang, terminal berapa orang, Suroboyo Bus rute tertentu sekian orang, dan seterusnya. Bisa dimonetisasi untuk pendapatan nontiket. Salah satu penggunaannya nanti bisa untuk pemeliharaan armada,” jelas mantan pengurus HIPMI Jatim tersebut.

Kalau Jakarta ada D’Masiv, Surabaya bisa menjajaki kerja sama dengan Bernadya, penyanyi muda dan penulis lagu asal Surabaya.

Skemanya, Bernadya bisa menjadi duta transportasi publik Surabaya.

Menurut Eri, pendapatan nontiket tidak semata-mata soal uang atau monetisasi saja.

Tapi upaya menyempurnakan ekosistem transportasi publik.

Utamanya mengkolaborasikan semua stakeholder untuk membangun dan mengampanyekan transportasi publik di Surabaya.