Dirut Versi Lama Bantah WNA China Serang TNI di Tambang Ketapang: Justru Mereka Dipukuli Regional 18 Desember 2025

Dirut Versi Lama Bantah WNA China Serang TNI di Tambang Ketapang: Justru Mereka Dipukuli
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        18 Desember 2025

Dirut Versi Lama Bantah WNA China Serang TNI di Tambang Ketapang: Justru Mereka Dipukuli
Tim Redaksi
PONTIANAK, KOMPAS.com
– Direktur Utama versi manajemen lama PT Sultan Rafli Mandiri (SRM), Li Changjin, membantah keras tudingan bahwa 15 pekerja Warga Negara Asing (WNA) asal China menyerang anggota TNI di area tambang emas PT SRM, Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
Li menilai isu tersebut sebagai rumor dan kebohongan yang sengaja disebarkan oleh Firman dan Imran, yang mengklaim sebagai manajemen baru perusahaan.
“Firman dan Imran secara ilegal menduduki lokasi pertambangan SRM serta tanah milik Pamar Lubis. Mereka kemudian menggunakan TNI untuk menjaga kawasan SRM,” kata Li Changjin melalui keterangan tertulis, Kamis (18/12/2025).
Li menyayangkan sikap komandan TNI di
Ketapang
yang disebutnya langsung mempercayai narasi penyerangan tanpa penyelidikan mendalam, lalu mengirim tambahan personel untuk mengamankan seluruh pekerja WNA.
Ia meminta Markas Besar TNI Angkatan Darat (Mabes TNI AD) melakukan penyelidikan menyeluruh atas insiden tersebut.
“Harus diselidiki secara objektif, apakah tentara yang melakukan pemukulan atau pekerja China yang memukul. Jika memang pekerja kami yang memukul, mana korbannya? Pekerja China sudah pasti takut terhadap tentara, apalagi sampai berani menyerang,” ujar Li.
Li Changjin mengungkapkan terdapat sembilan pekerja WNA asal Tiongkok yang justru menjadi korban penganiayaan. Mereka disebut dipukuli dan diinjak saat berada di dalam truk.
“Mereka dipukuli dan diinjak di dalam truk hingga mengalami luka lebam di bagian punggung, dada, dan paha,” ungkapnya.
Menurut Li, seluruh pekerja WNA tersebut memegang Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) yang diterbitkan Kantor Imigrasi Ketapang, sehingga keberadaan mereka dinyatakan legal.
Ia menegaskan tidak ada bukti signifikan yang menunjukkan pekerja SRM menyerang prajurit TNI.
“Tidak ada bukti signifikan dalam video yang beredar yang memperlihatkan pekerja teknis SRM merusak mobil atau menyerang TNI. Justru mereka menjadi korban pemukulan saat dibawa menuju kantor imigrasi,” tegas Li.
Li Changjin juga mempertanyakan keberadaan prajurit TNI di dalam area tambang SRM yang menurutnya merupakan wilayah sipil.
“Mengapa prajurit TNI melakukan latihan dasar militer di dalam area tambang SRM tanpa pemberitahuan terlebih dahulu? Area tambang SRM adalah wilayah sipil, bukan wilayah militer,” ucapnya.
Ia meminta kuasa hukum Firman, Muchamad Fadzri, menghentikan penyebaran informasi yang dinilainya menyesatkan, termasuk klaim bahwa pekerja Tiongkok melakukan latihan dasar militer dan menyerang aparat.
Menurut Li, konflik sebenarnya terjadi antara Firman dan Imran dengan para pekerja SRM. Keduanya disebut berupaya mengusir pekerja Tiongkok dan memblokir akses mereka ke area pertambangan.
Ia menegaskan Firman dan Imran tidak pernah mengeluarkan dana untuk proyek tambang SRM.
Seluruh peralatan, fasilitas, modal, dan teknologi di lokasi tersebut disebut sebagai hasil investasi lebih dari 10 tahun oleh dirinya bersama Pamar Lubis sebagai pemegang saham mayoritas.
Li juga mengungkapkan bahwa pada Juli 2025, Firman, Imran, Suandi, dan Muardi diduga membuat Akta Anggaran Dasar palsu yang didaftarkan melalui sistem Administrasi Hukum Umum (AHU).
Langkah tersebut diduga bertujuan mencopot dirinya dari jabatan Direktur Utama dan Pamar Lubis dari jabatan Direktur, yang dinilai melanggar Undang-Undang Perseroan Terbatas.
“Saat ini perkara tersebut sedang dalam penyelidikan Bareskrim Polri dan Polda Metro Jaya,” tutup Li Changjin.
Diberitakan sebelumnya, bentrok antara 15 WNA asal China dengan prajurit TNI dan warga sipil di areal
tambang emas
PT SRM diduga dipicu konflik klaim kepengurusan perusahaan.
Terdapat dua kubu manajemen PT SRM, yakni versi lama yang dipimpin Li Changjin dan versi baru dengan Direktur Utama Firman yang mengklaim pengesahan direksi melalui RUPS Juli 2025.
Insiden terjadi pada Minggu, 14 Desember 2025 sekitar pukul 15.40 WIB. Versi Li Changjin menyebut kericuhan bermula saat staf teknis WNA mengoperasikan drone di area IUP PT SRM, yang kemudian dipersoalkan pihak lain.
Sementara manajemen versi baru menyebut penerbangan drone dilakukan tanpa izin dan memicu kecurigaan pengamanan internal, yang berujung konflik dan dugaan penyerangan fisik.
Kodam XII/Tanjungpura membenarkan insiden terjadi saat prajurit Yonzipur 6/Satya Digdaya melaksanakan latihan dasar.
TNI mengklaim prajurit diserang dengan senjata tajam, airsoft gun, dan alat setrum, serta melaporkan kerusakan satu mobil dan satu sepeda motor.
Kantor Imigrasi Ketapang mengamankan 15 WNA China untuk pemeriksaan keimigrasian. Seluruh WNA diketahui memegang KITAS yang disponsori PT SRM versi direksi lama.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.