Jakarta, CNBC Indonesia – Kejatuhan daya beli masyarakat Indonesia tinggal menunggu waktu, bila pemerintah Indonesia terus menerus mengacuhkan fenomena yang sebenarnya sudah terjadi sejak Pasca Pandemi Covid-19 ini.
Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi Bambang Brodjonegoro mengatakan, potensi hilangnya daya beli masyarakat ini bisa terjadi karena memang dari sisi pendapatan kelas pekerja RI sangat kecil dengan kebutuhan biaya belanja bahan pokok yang terus melejit.
“Tidak mengherankan kalau ada yang mengeluh daya beli kita turun, karena tadi income-nya enggak bisa bergerak banyak, biayanya enggak bisa dihindari sehingga ruang untuk daya belinya itu menjadi tipis,” kata Bambang dalam program Cuap-Cuap Cuan CNBC Indonesia, dikutip Senin (23/12/2024)
“Dan kemudian kalau ada tadi gejolak rupiah, kemudian ada inflasi, ya makin tipis aja, bahkan takutnya hilang daya belinya,” tegasnya.
Mantan menteri keuangan era periode pertama Presiden Joko Widodo itu menjelaskan, dari sisi pendapatan memang masyarakat Indonesia sudah jamak diketahui orang banyak nilainya jauh tertinggal bila dibandingkan negara lain, bahkan dibanding negara tetangga.
Dari sisi upah minimum saja, yang rata-ratanya pada tahun ini Rp 3,04 juta jauh tertinggal dari Malaysia yang mencapai rata-rata Rp 6,12 juta per bulan, apalagi dibanding Singapura yang senilai Rp 25,75 juta per bulan.
“Memang banyak yang melakukan perbandingan antar negara ya dianggapnya upah atau gaji di Indonesia itu relatif kecil sehingga untuk income memang istilahnya ya tidak bisa mengharapkan banyak untuk bisa menciptakan daya beli yang besar kalau income-nya pas-pasan,” tutur Bambang.
Saat pendapatannya pas-pasan, Bambang mengingatkan, biaya untuk bertahan hidup di Indonesia malah terus melejit. Tercermin dari angka inflasi bahan pangan yang melonjak hingga ke level 8-10% sejak 2022 sebelum akhirnya deflasi pada tahun ini.
Namun, Bambang mengingatkan, bila melihat dengan teori sticky price atau sticky cost yang menjelaskan bahwa harga-harga pokok penjualan sulit berubah, sebetulnya deflasi yang terjadi beberapa hari terakhir dengan angka inflasi yang rendah terjadi akibat nilai harga yang sudah keburu tinggi pada 2022 hanya turun sedikit saat nilai atau harga barangnya bertengger di level maksimumnya.
“Ya kita harus mengikuti teori yang namanya sticky price jadi artinya sekali harga itu naik itu susah turun. Dia mungkin tidak naik lagi, jadi dia mungkin ketika naik itulah inflasinya, misalnya 8%. Sesudah itu padahal dia akan naik lagi atau turun sedikit disitulah inflasinya 0% atau deflasi tapi kan harga tinggi itu sudah terjadi,” tutur Bambang.
Sialnya, harga bahan pokok yang tinggi itu tidak hanya terjadi untuk bahan makanan saja, melainkan merambah ke kebutuhan pokok lain yang sebetulnya bisa dikendalikan pemerintah, seperti air minum hingga perumahan.
Di negara maju, air layak minum gratis langsung disediakan pemerintahnya sedangkan di Indonesia masyarakat masih harus membeli air layak minum melalui botol kemasan, seperti air galon.
“Akhirnya terpaksa kita beli air dalam galon atau air dalam botol yang harganya ya mungkin kelihatannya murah tapi kan kita belinya sering dalam volume yang lumayan, jadi itu terpaksa menjadi suatu biaya yang enggak bisa kita hindari dan itu pasti kan ikut mengurangi daya beli,” kata Bambang.
Adapun untuk harga sewa rumah memang sebetulnya menjadi salah satu komponen yang menyumbang inflasi inti, sebagaimana emas dan perhiasan. Namun, harganya kata Bambang, saat ini sudah di luar batas kemampuan untuk menjaga daya beli masyarakat.
“Dan ini saya belum bicara bahkan kalau untuk orang yang hidup di perkotaan itu memang terutama di Jakarta misalkan biaya hidup mereka itu tinggi loh sebenarnya, karena kita tidak punya public transportation yang cukup sehingga orang masih harus menggunakan kendaraan pribadi apakah dua roda atau empat roda,” tuturnya.
(arj/haa)