Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Derita Pasien Long Covid: Dokter Tak Percaya Penyakit Mereka Nyata

Derita Pasien Long Covid: Dokter Tak Percaya Penyakit Mereka Nyata

Jakarta, Beritasatu.com –  Derita pasien long Covid semakin nyata, tetapi banyak dari mereka merasa diabaikan dan tidak dipercaya oleh tenaga medis. Sebuah studi terbaru yang melibatkan wawancara mendalam dengan 14 penderita long Covid menemukan bahwa pasien menghadapi tantangan besar dalam mendapatkan pengakuan atas kondisi mereka. Beberapa bahkan menolak dukungan psikologis karena khawatir hal itu akan dianggap sebagai bukti bahwa penyakit mereka tidak nyata.

“Kami menemukan bahwa para peserta hidup dalam ketidakpastian yang terus-menerus dan berjuang mencari pengobatan. Banyak yang merasa tidak didengarkan, kehilangan kepercayaan pada dokter, lingkungan sosial, bahkan tubuh mereka sendiri,” ujar Saara Petker, psikolog klinis sekaligus salah satu penulis studi ini dikutip IFL Science, Jumat (28/3/2025). 

Petker bersama Profesor Jane Ogden dari University of Surrey mewawancarai 14 orang dewasa di Inggris yang mengalami long Covid. Para peserta tidak diwajibkan memiliki diagnosis resmi dan dapat melaporkan sendiri gejalanya. Long Covid didefinisikan sebagai gejala Covid-19 yang bertahan lebih dari empat minggu setelah infeksi awal.

Di awal pandemi, long Covid pertama kali dikenali melalui laporan individu yang merasa tidak kunjung pulih meski hanya mengalami gejala ringan. Gejalanya beragam, mulai dari kelelahan ekstrem, kabut otak, sesak napas, hingga pusing. Hingga kini, penelitian telah mengidentifikasi lebih dari 200 kemungkinan gejala terkait long Covid.

Namun, meskipun long Covid kini diakui secara medis, derita pasien long Covid masih belum sepenuhnya mendapatkan perhatian yang mereka butuhkan. Wawancara yang dilakukan antara April 2022 hingga Maret 2023 mengungkapkan tiga pola utama dalam pengalaman pasien. 

Pertama, banyak pasien long Covid hidup dalam ketidakpastian. Mereka  terus bertanya-tanya tentang kondisi mereka tanpa jawaban pasti.

Kedua, kurangnya kepercayaan terhadap dokter.  Banyak pasien merasa dokter tidak mempercayai keluhan mereka. Ketiga, mereka butuh adanya pengakuan medis karena beberapa pasien berharap diagnosis yang jelas akan membuat mereka lebih dipercaya.

Salah satu peserta mengaku diabaikan oleh layanan medis spesialis long Covid, sementara yang lain merasa bahwa perawatan yang diberikan tidak memadai. Banyak dari mereka harus berjuang sendiri untuk membuktikan bahwa penyakit mereka nyata, bahkan melakukan riset sendiri, meskipun sering kali dianggap remeh oleh tenaga medis.

Karena aspek fisik penyakit mereka sering tidak ditanggapi dengan serius, beberapa peserta enggan menerima terapi psikologis atau obat antidepresan yang ditawarkan. Mereka khawatir bahwa menerima perawatan tersebut akan semakin memperkuat anggapan bahwa penyakit mereka hanyalah gangguan mental.

“Masalahnya bukan pada pasien yang menolak bantuan, tetapi pada kebutuhan mendalam untuk dipercaya,” kata Ogden.

Studi ini menyimpulkan bahwa agar pasien lebih mau menerima berbagai opsi pengobatan, tenaga medis perlu lebih mendengarkan keluhan mereka. Dukungan psikologis harus diberikan sebagai tambahan dari perawatan medis, bukan sebagai pengganti.

Derita pasien long Covid tidak hanya sebatas gejala fisik, tetapi juga perjuangan untuk mendapatkan pengakuan. Jika tenaga medis ingin membantu mereka dengan lebih baik, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mendengarkan dan memahami.
 

Merangkum Semua Peristiwa