Jakarta, Beritasatu.com – Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, saat ini sedang terjadi penguatan dolar Amerika Serikat (AS) atau disebut strong dollar. Fluktuasi dolar AS terus mendominasi pergerakan nilai tukar global. Hal tersebut berimbas pada nilai tukar rupiah, tetapi depresiasi rupiah masih tergolong lebih baik dibandingkan banyak mata uang negara lain.
“Memang seluruh negara mengalami depresiasi, tetapi depresiasi rupiah termasuk yang kecil,” ucap Perry dalam seminar Kafegama di Menara BTN, Jakarta, Sabtu (14/12/2024).
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah terdepresiasi mencapai Rp 16.008 per dolar AS pada Jumat (13/12/2024). Dengan fenomena strong dollar, BI menggunakan sejumlah instrumen moneter agar nilai tukar rupiah tetap terjaga. Upaya itu dilakukan melalui kebijakan triple intervention, yakni domestic non-delivery forward (DNDF), pasar spot, hingga pasar surat berharga negara (SBN). “BI terus intervensi intervensi supaya rupiah stabil,” imbuh Perry.
Menurut dia, penguatan dolar AS ini terus terjadi setelah kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden AS. Pemerintah AS juga mengeluarkan surat utang negara yang cukup besar sehingga meningkatkan defisit fiskal hingga 7,7%. Negara-negara lain harus bersikap lebih disiplin dalam menjalankan kebijakan fiskal agar tidak terkena imbas dari kebijakan AS.
“Masalahnya dengan defisit fiskal yang terlalu besar di Amerika, suka bunga Amerika untuk surat utang pemerintah sangat tinggi. Oleh karena itu seluruh dunia memindahkan portofolio investasinya ke Amerika,” pungkas Perry.
Kondisi tersebut membuat rupiah terdepresiasi.