Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Demo mahasiswa menolak UU TNI menjalar ke berbagai kota – Halaman all

Demo mahasiswa menolak UU TNI menjalar ke berbagai kota – Halaman all

Mahasiswa di berbagai kota bangkit menolak Revisi UU TNI yang telah disahkan DPR pada 20 Maret lalu. Aksi unjuk rasa tak hanya berlangsung di kota-kota besar semacam Jakarta, Semarang, Bandung, dan Surabaya, tapi juga dilakukan di Tasikmalaya, Sukabumi, Jember, Majalengka, Lumajang, Kupang, Ende, dan Blitar. Aksi demonstrasi diwarnai intimidasi, kekerasan, dan penangkapan oleh aparat keamanan—yang melibatkan tentara.

Di Karawang, Jawa Barat, demonstrasi berpusat di Gedung DPRD dan dihelat oleh Komite Rakyat Sipil Karawang, pada Selasa (25/03). Tidak sekadar menolak UU TNI, mereka juga menuntut pembatalan kerja sama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan TNI.

“Perjanjian kerja sama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) mencakup berbagai sektor strategis, mulai dari pembangunan infrastruktur, pengelolaan sumber daya alam, hingga ketahanan pangan dan mitigasi bencana,” kata mereka dalam rilis yang diterima BBC Indonesia.

Keterlibatan TNI dalam sektor sipil, menurut para mahasiswa di Karawang, menimbulkan kekhawatiran mengenai meningkatnya peran militer dalam urusan publik.

Di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) ratusan mahasiswa dan masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat NTB menggelar demonstrasi memprotes pengesahan revisi UU TNI di depan Gedung DPRD Provinsi NTB.

Aksi ini berlangsung sejak pagi dan berlangsung di bawah penjagaan yang ketat dari kepolisian.

Di Kediri, Jawa Timur, aksi demonstrasi dipusatkan di Taman Sekartaji dengan mengadakan mimbar rakyat.

Di Balikpapan, Kalimantan Timur, mahasiswa memusatkan aksi demonstrasi mereka di Taman Bekapai. Aksi dimulai pada pukul 12.00.

Di Sukabumi, Jawa Barat, seorang jurnalis mengalami intimidasi dari aparat keamanan saat meliput demonstrasi mahasiswa pada Senin lalu (24/03).

Di Lumajang, Jawa Timur, aksi demonstrasi juga diwarnai pemukulan aparat terhadap salah seorang demonstran seperti yang terekam di dalam video yang beredar di media sosial.

Di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, sekitar 200 mahasiswa menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung DPRD. Mereka membakar kardus dan merangsek ke dalam gedung DPRD sekira pukul 13.00 WITA.

Massa sempat meluapkan emosi karena tidak ada satu pun perwakilan anggota DPRD yang menemui mereka. Akibat aksi ini beberapa pintu kaca hancur dan meja lobi juga sempat dirusak, seperti yang dilaporkan wartawan Eliazar Robert untuk BBC News Indonesia.

Aksi kericuhan kemudian berlanjut dengan pemukulan oleh seorang pegawai DPRD terhadap mahasiswa.

“Saya dipukul pakai tempat sampah kemudian ditonjok,” kata mahasiswa bernama Melianus Maimau sembari menunjukkan pelipisnya yang lecet.

Tak lama setelah insiden itu, massa pengunjuk rasa kemudian diterima dan berdialog dengan ketua DPRD dan Wakapolda NTT.

Di Surabaya, Jawa Timur, ratusan mahasiswa berdemonstasi di depan Gedung Negara Grahadi.

Dalam aksi tersebut, mereka membawa berbagai poster, membakar ban di tengah jalan, dan bergantian berorasi menolak UU TNI yang telah direvisi.

Gedung Grahadi sendiri telah dijaga ketat kepolisian lengkap dengan kawat berduri, seperti dilaporkan wartawan Roni Fauzan untuk BBC News Indonesia.

Menjelang sore, peserta demonstrasi mulai merobek umbul-umbul dan melakukan pelemparan.

Polisi membalasnya dengan semburan dari meriam air ke arah demonstran.

Aparat keamanan sudah memberi peringatan kepada aksi massa untuk mundur, namun massa masih melakukan perlawanan dengan melempar botol air mineral ke arah petugas yang menjaga Gedung Grahadi.

Selama aksi tersebut, sebanyak 25 orang pendemo ditahan serta dua jurnalis mengalami kekerasan dan intimidasi aparat keamanan, menurut KontraS Surabaya dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya.

Sebanyak 25 demonstran tersebut kemudian dibebaskan pada Selasa (25/03) pagi, menurut keterangan pendamping dari LBH Surabaya.

Sementara itu, dua jurnalis menjadi korban kekerasan dan intimidasi polisi. Kedua wartawan itu adalah Wildan Pratama, wartawan Suara Surabaya, serta Rama Indra, wartawan Beritajatim.com.

Dari kronologi yang diterima AJI Surabaya, Wildan dipaksa oleh seorang polisi untuk menghapus foto puluhan pendemo yang ditangkap dan dikumpulkan di sebuah ruangan di Gedung Negara Grahadi.

Adapun Rama, jurnalis Beritajatim.com, mengaku dipukul dan dipaksa menghapus rekaman video saat dirinya merekam tindakan sejumlah polisi berseragam dan tidak berseragam memukul dua pendemo di Jalan Pemuda. Kejadian itu terjadi sekitar pukul 18.28 WIB.

Menanggapi kejadian tersebut, Ketua AJI Surabaya, Andre Yuris, mengecam keras intimidasi dan kekerasan yang dilakukan polisi terhadap jurnalis Suara Surabaya dan Beritajatim.com.

“Tindakan polisi tersebut membuktikan bahwa polisi tidak paham tugas jurnalis. Apa yang dilakukan polisi melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” kata dia, Senin (24/03).

Mapolrestabes Surabaya belum memberikan respons atas rangkaian insiden tersebut.

Di Kota Malang, Jawa Timur, demonstrasi mahasiswa berlangsung pada Minggu (23/03). Dalam demonstrasi tersebut, ada enam orang yang ditahan kepolisian. Kini, seluruh mahasiswa yang ditahan telah dibebaskan.

Proses pembebasan itu melibatkan Daniel Alexander Siagian dari LBH Surabaya Pos Malang yang mendampingi tiga mahasiwa yang tersisa di dalam tahanan.

Pengacara publik dari LBH Pos Malang, Tri Eva Oktaviani, mengonfirmasi kabar pembebasan tersebut kepada BBC News Indonesia. “Sudah keluar semua, tiga orang itu.”

Selain penangkapan, sebanyak 10 orang menjadi korban kekerasan aparat terhadap demonstran aksi menolak Undang-Undang TNI, pada Minggu (23/03) malam. Ke-10 orang itu dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan, Sementara itu satu orang lainnya cedera serius pada bagian rahang, tengkorak kepala, dan gigi.

Lembaga Bantuan Hukum Pos Malang menyebut puluhan orang yang menjadi bagian dari tenaga medis mengalami tindakan pemukulan dan intimidasi aparat. Pemukulan juga dilakukan terhadap jurnalis meski mereka telah menunjukkan kartu identitasnya.

‘Aku ditarik, dipukul, dan diinjak-injak’

Ramdan bersama rekan-rekannya dari Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Kota Malang mengaku menjadi korban pemukulan aparat.

“Dari teman-teman pers mahasiswa ada delapan anak yang kena pukul. Beberapa di antaranya sudah menunjukkan kartu pers. Ada juga yang sudah mau balik, tapi tetap dipukul,” katanya kepada BBC News Indonesia.

“Kemarin aku diseret. Hampir dibawa,” kata Ramdan yang mengalami luka-luka di kedua tangannya.

Dia mengaku kakinya agak sulit untuk digerakkan akibat pemukulan tersebut. “Aku merekam saat aparat bergerak maju.”

Saat terdesak Ramdan mengaku tak punya opsi lain selain mundur. “Aku mundur, lari. Tapi enggak lama ada yang narik dari belakang. Lalu aku dipukuli di tempat sama beberapa aparat yang tidak pakai seragam.”

Ramdan mengeklaim dirinya diinjak-injak aparat yang bertameng dan berpentungan, walau mengaku pers.

“Jadi waktu dipukuli aku teriak-teriak. ‘Aku pers, aku pers’. Aku cuma bisa teriak-teriak. Terus ada teman-teman pers mahasiswa yang ngomong, ‘itu pers’. Akhirnya aku dilepaskan,” paparnya.

Di zona aman dia mengaku menyaksikan korban pemukulan lainnya. “Ada ibu-ibu pemulung juga kena pukul.”

Dia juga mendengar pemukulan aparat terhadap tenaga kesehatan.

“Ini jelas bentuk kekerasan terhadap jurnalis. Harusnya aparat bisa mengevaluasi dengan tegas bagamana cara pengamanan demonstran. Bagaimana membedakan massa, jurnalis, dan medis,” tutupnya.

Bagaimana kronologi kejadian di Malang?

Unjuk rasa menentang pengesahan revisi UU TNI ini dimulai pada Minggu (23/03) pukul 15.45 WIB.

Aksi berjalan dengan relatif lancar, kata Ramdan. Namun, usai berbuka puasa, barulah aksi kekerasan itu meletus.

“Habis magrib muncul mereka yang memakai tameng. Aku juga lihat tentara,” kata Ramdan lagi.

Kronologi dari LBH Pos Malang menyebut bentrokan mulai terjadi sekitar pukul 18.20 WIB saat sekelompok orang merangsek ke dalam Gedung DPRD lewat Pintu Utara. Selang 10 menit kemudian polisi dibantu tentara mulai memukul mundur massa.

Dalam video-video yang beredar di media sosial, polisi dilengkapi tameng dan tongkat pemukul dibantu tentara terlihat mengejar massa dan melayangkan tongkat berwarna kuning beberapa kali kepada seseorang yang tidak tampak di dalam video—karena telah dikerubungi aparat keamanan.

Dalam video lainnya sebuah titik api yang besar dapat terlihat di dekat sebuah pos keamanan yang menjadi sasaran pengrusakan.

Video lainnya memperlihatkan seorang anak muda berjaket biru yang kepalanya luka dan dibalut perban dalam keadaan terborgol saat hendak dibawa ke ambulans.

Polisi dan tentara, dalam video lainnya juga terlihat mengerubungi beberapa orang yang tampak memakai atribut medis.

Kepala Humas Polresta Malang, Yudi Risdiyanto, telah merespons pesan BBC NewsIndonesia untuk permintaan wawancara.

Namun Yudi tidak memberikan keterangan tambahan karena dia masih menunggu arahan dari kepala Polresta, “…karena semua satu pintu di Pak Kapolresta,” tulis Yudi dalam pesannya.

Mengapa demonstrasi menolak UU TNI menjalar ke berbagai kota?

Redaktur Jurnal Prisma dan Senior Research Fellow LP3ES, Rahadi Wiratama, menyebut menyebarnya aksi demonstrasi penolakan revisi UU TNI ke berbagai wilayah tidak lepas dari tumbuhnya kelompok-kelompok kritis di berbagai kota di seluruh Indonesia.

“Itu satu tanda bahwa kelompok atau kelas kritis itu relatif menyebar di Indonesia,” sebutnya.

Dia juga menyebut konsolidasi demokrasi ini adalah semacam buah setelah 25 tahun Reformasi.

Para mahasiswa yang menjadi motor utama gerakan ini juga lahir setelah era Reformasi.

“Mereka tidak mengalami masa transisi dari Orde Baru ke Orde Transisi. Mereka sudah menikmati ‘kebebasan relatif’ yang diperoleh dari Reformasi,” jelasnya.

Menurut Rahadi, ketika kebebasan para mahasiswa terancam dengan menguatnya peran militer dan revisi UU TNI, maka muncullah aksi-aksi ini.

Tapi Rahadi mengingatkan masih banyak kendala setelah 25 tahun Reformasi.

“Di tengah jalan kita menyaksikan kebalikannya. Alih-alih mengonsolidasi demokrasi, [kita malah seperti] menuju sistem politik yang gejalanya mirip dengan otoritarianisme Orba,” ujarnya.

Dia juga melihat banyak pihak yang tampaknya berusaha memadamkan isu kembalinya militerisme.

“Ada kekuatan-kekuatan yang mencoba untuk mewacanakan ‘kita sudah tidak butuh kebebasan sipil, supremasi sipil, tapi butuh sandang pangan’,” ungkapnya.

Hal ini, menurutnya, adalah penanda bahwa kesadaran publik mengenai ancaman terhadap demokrasi masih terdistorsi sehingga isu-isu kebebasan sipil masih hanya bersirkulasi di kelompok-kelompok kritis di kampus dan lembaga swadaya masyarakat.

Menjaga momentum

Kembalinya militer pada jabatan-jabatan sipil, menurut Rahadi, adalah ancaman serius bagi supremasi sipil.

“Prinsip supermasi sipil merupakan elemen fundamental dalam negara demokratis untuk memastikan bahwa militer dan lembaga keamanan tetap tunduk pada kontrol politik yang sah dan tidak mengambil alih peran pemerintahan,” tegasnya.

Meski begitu, Rahadi optimistis situasi buruk yang terjadi di Orde Baru tidak akan kembali 100%.

“Bahwa ada indikasi otoritarianisme melalui UU TNI, iya betul. Tapi akan sulit untuk dinyatakan bahwa [situasi] akan berulang persis sama seperti Orde Baru,” paparnya.

Rahadi menilai hal ini disebabkan masih ada sebagian publik yang melek politik.

Kekuatan itu juga bisa berasal dari media sosial. Kata dia, sulit untuk membendung arus informasi.

“Efek komunikasi dan efek media sosial di masyarakat susah dibendung. Jadi, semua informasi publik yang terkait dengan UU TNI muncul bersamaan hari itu juga di Indonesia di seluruh dunia. Enggak terhalang,” tuturnya.

Di media sosial juga muncul semacam solidaritas untuk memelihara momentum dengan berbagai macam cara.

Beberapa akun media sosiall, misalnya, menyerukan untuk memasang stiker di sepanjang jalan-jalan untuk membangukan kesadaran warga.

Merangkum Semua Peristiwa