Demo Hari Bhayangkara di Yogyakarta, Orator: Polri Bukan Penjaga Rakyat, tapi Penjaga Rezim
Tim Redaksi
YOGYAKARTA, KOMPAS.com
–
Hari Bhayangkara
yang seharusnya menjadi momentum peringatan hari jadi institusi Polri, justru diwarnai aksi demonstrasi di Kota
Yogyakarta
.
Sekelompok massa yang tergabung dalam Aliansi Jogja Memanggil menggelar unjuk rasa di kawasan Titik Nol Kilometer, Senin (1/7/2025) sekitar pukul 16.30 WIB.
Dalam aksinya, massa menyampaikan kritik keras terhadap institusi Polri, serta sejumlah tuntutan yang mereka nilai penting untuk demokrasi dan hak asasi manusia.
Koordinator aksi, Bung Koes, menyebut bahwa sejak awal berdiri, Polri tidak pernah benar-benar melayani kepentingan rakyat, melainkan menjadi alat kekuasaan.
“Secara historis, Polri sejatinya merupakan kelanjutan langsung dari struktur kepolisian kolonial Hindia Belanda, seperti Veldpolitie dan Politietroepen, yang dibentuk untuk mengamankan kepentingan ekonomi kolonial, menekan pemberontakan rakyat, serta menjaga stabilitas kekuasaan negara kolonial Hindia Belanda,” ucapnya dalam orasi.
Ia juga menilai bahwa setelah Kemerdekaan 1945, warisan kolonial itu justru tidak dilepaskan, melainkan diadopsi dalam bentuk baru di bawah sistem nasional.
“Selama Orde Baru, Polri berada dalam struktur ABRI dan menjadi alat utama rezim Soeharto untuk menindas gerakan rakyat, membungkam lawan politik, dan mengamankan kekuasaan,” lanjutnya.
Setelah reformasi, meskipun Polri telah dipisahkan dari militer secara administratif, menurut Bung Koes, fungsinya sebagai penjaga kekuasaan tetap dipertahankan.
Aliansi juga menyoroti alokasi anggaran Polri tahun 2025 yang mencapai Rp 126,62 triliun, dengan belanja pegawai mencapai lebih dari Rp 59 triliun.
Bahkan setelah pemotongan anggaran melalui Inpres No. 1 Tahun 2025, realisasi anggaran Polri tetap mencapai Rp 106 triliun.
“Ironisnya, pemotongan tidak menyentuh pos belanja pegawai dan alat-alat represi. Di tengah kondisi rakyat yang makin sulit mengakses kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan layak, negara justru terus menyuntikkan dana raksasa untuk memperkuat aparatus represi,” katanya.
Mereka juga mengkritik Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri yang tengah dibahas. RUU ini dinilai membuka ruang penyadapan tanpa izin pengadilan, pembatasan akses informasi, dan penggalangan intelijen tanpa mekanisme akuntabilitas.
“Pasal 14 dan 16 memperkuat fungsi Polri dalam mengawasi dunia digital dan mengatur urusan sipil, menjadikannya lembaga superbody yang menyerap peran Kominfo, BSSN, hingga BIN,” tegas Bung Koes.
Menurutnya, ini berpotensi menyebabkan tumpang tindih birokrasi dan memperbesar kekuasaan tanpa kontrol publik.
Aliansi Jogja Memanggil juga menyoroti kekerasan yang terjadi terhadap massa aksi di berbagai daerah, termasuk kasus terbaru pada 2025.
“Di Semarang, massa aksi diserang dengan gas air mata dan empat orang ditangkap. Di Jakarta, Bandung, Malang, Bojonegoro, Jember, puluhan aktivis dan relawan ditangkap, termasuk tim dokumentasi dan tim medis yang mengalami kekerasan,” katanya.
“Demokrasi kerakyatan tidak akan pernah lahir di bawah bayang-bayang gas air mata dan borgol,” tambahnya.
Bung Koes menegaskan bahwa Hari Bhayangkara bukan hari yang patut dirayakan.
“Kami menegaskan bahwa Hari Bhayangkara bukanlah hari agung yang perlu dirayakan. Ia adalah pengingat atas darah, air mata, dan ketakutan yang terus ditanamkan oleh aparat bersenjata kepada rakyat,” ujarnya.
Dalam aksi tersebut, massa menyampaikan tujuh tuntutan utama, yakni:
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Demo Hari Bhayangkara di Yogyakarta, Orator: Polri Bukan Penjaga Rakyat, tapi Penjaga Rezim Yogyakarta 1 Juli 2025
/data/photo/2025/07/01/6863c6269835f.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)