Demam Game Roblox: Perluas Pergaulan, tapi Rawan untuk Anak Megapolitan 8 Agustus 2025

Demam Game Roblox: Perluas Pergaulan, tapi Rawan untuk Anak
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        8 Agustus 2025

Demam Game Roblox: Perluas Pergaulan, tapi Rawan untuk Anak
Editor
JAKARTA, KOMPAS.com
– Gim daring Roblox tengah menjadi tren baru, tidak hanya di kalangan anak-anak, tetapi juga generasi muda seperti Gen Z.
Permainan berbasis komunitas ini menawarkan berbagai genre gim yang memungkinkan penggunanya untuk bersosialisasi, bahkan membentuk jaringan pertemanan baru.
Nafisa (20), seorang mahasiswa, mengaku mulai kecanduan Roblox sejak awal tahun.
Ia mengenal gim ini dari temannya yang mengajaknya bermain bersama.
“Aku main Roblox dari Januari 2025, karena diajak teman buat mabar (main bareng),” ucap Nafisa saat diwawancarai
Kompas.com
, Jumat (8/8/2025).
Dalam sehari, Nafisa bisa menghabiskan waktu sekitar tiga jam untuk bermain.
Ia menyebut gim ini bukan hanya hiburan, tetapi juga cara untuk memperluas jaringan sosial.
“Manfaatnya aku ngerasain banyak banget sih, bisa dapat ilmu baru sama dapat banyak teman,” ucapnya.
Nafisa juga menyukai fitur-fitur gim yang memungkinkan interaksi langsung dengan pemain lain, seperti bermain podcast bersama.
“Seru banget, karena kan kadang ketemu yang lebih tua terus ternyata satu jurusan (kuliah), jadi bisa sharing-sharing seputar kuliah, magang, dan lain-lain,” katanya.
Rahma (25), seorang karyawan swasta, juga mengalami hal serupa.
Ia mulai bermain Roblox sejak April 2025, juga karena diajak oleh temannya.
“Aku main dari akhir April kayaknya. Waktu itu aku diajak teman buat nemanin dia main Roblox. Soalnya, katanya banyak jenis permainan, jadi aku kepo deh dan sampai sekarang masih main,” jelas Rahma.
Menurut Rahma, Roblox membantunya melepas penat setelah bekerja seharian.
Ia tertarik karena gim ini menyediakan banyak jenis permainan yang memancing logika sekaligus menyenangkan.
“Jenis permainan di Roblox itu banyak banget. Yang aku pernah cobain itu sampai ada tes IQ, escape room, teka-teki, sampai gim yang butuh mikir tapi penuh warna, jadi buat anak-anak mungkin suka sih,” tuturnya.
Meski demikian, Rahma mengaku tidak pernah melanjutkan percakapan dengan pemain lain ke luar platform.
“Mengobrol di game pernah, ajak ketemuan enggak,” katanya.
Namun, interaksi dalam gim tetap menyenangkan. Ia menceritakan pengalamannya saat dibantu oleh pemain lain yang tidak ia kenal.
“Aku bahkan semalam main sama temenku, eh dibantuin sama orang enggak dikenal, jadi dia nemanin kita main game nanjak gunung biar enggak menyasar. Baik-baik orang di Roblox, lucu,” ujarnya.
Jam bermain Rahma tidak menentu, tapi jika sudah mulai bermain, ia bisa menghabiskan waktu hingga tiga jam.
“Karena aku kerja, sebenarnya enggak menentu jam mainnya. Tapi, kalau udah sekali main, biasanya dua hingga tiga jam. Kalau cuma main di permainan berkebun gitu, aku sejam juga cukup sih,” kata Rahma.
Di tengah popularitas Roblox, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti mengingatkan adanya dampak negatif dari gim tersebut, terutama bagi anak-anak usia sekolah.
Hal itu disampaikannya saat mengunjungi SD Negeri 2 Cideng, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (4/8/2025), dalam program Cek Kesehatan Gratis (CKG).
“Banyak kekerasan di game seperti Roblox. Anak-anak belum bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya rekayasa. Kadang mereka meniru, seperti membanting temannya, karena di game itu dianggap biasa,” kata Abdul Mu’ti.
Menurutnya, anak usia dini masih berada dalam tahap perkembangan kognitif yang membuat mereka cenderung meniru apa yang mereka lihat.
“Kalau di game, membanting orang itu tidak apa-apa. Tapi kalau anak-anak praktikkan itu ke temannya, jadi masalah. Ini yang harus kita pandu sejak awal,” ujarnya.
Selain kekerasan, Abdul juga menyoroti bahaya kecanduan gim yang membuat anak menjadi kurang aktif secara fisik.
“Kalau kebanyakan main game, jadi mager (malas gerak). Kalau motoriknya kurang bergerak, peredaran darah juga tidak lancar. Akhirnya, anak jadi emosional,” tuturnya.
Ia menekankan pentingnya peran keluarga dalam mengontrol konsumsi konten digital anak-anak dan menyarankan untuk membatasi penggunaan gawai hanya untuk tujuan edukatif.
“Kami minta tolong kepada para penyedia layanan online untuk memberikan tayangan atau game yang mendidik, bukan yang merusak mental dan intelektual anak-anak,” tegasnya.
Sebagai alternatif, Abdul menyebutkan contoh konten yang dinilai edukatif, seperti kartun Dora the Explorer.
“Dia mencari cara ke rumah nenek lewat peta, lalu menemukan sungai dan berpikir bagaimana menyebrang. Itu problem solving yang cocok untuk anak-anak,” pungkasnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.