Dedi Mulyadi Minta SMAN 6 Depok Tiadakan “Study Tour” ke Bali karena Bebani Siswa
Editor
KOMPAS.com
– Gubernur
Jawa Barat
terpilih,
Dedi Mulyadi
meminta kegiatan
study tour
SMAN 6 Depok
ke Bali ditiadakan.
Hal ini disampaikan Dedi setelah mendengar ada keluhan dari sejumlah pihak yang keberatan dengan biaya
study tour
tersebut.
“Saya meminta kepada kepala sekolah SMAN 6 Depok, enggak usah deh
study tour
-nya,” kata Dedi saat dikonfirmasi
Kompas.com
, Sabtu (15/2/2025).
Menurut Dedi, biaya
study tour
ke Bali sekitar Rp 3,5 juta. Jika ditambah uang saku dan biaya jajan, maka orang tua harus mengeluarkan uang sekitar Rp 4,5 juta hingga Rp 5,5 juta.
“Memang saya belum dilantik. Jadi hanya bisa bersifat imbauan, belum bisa membuat sesuatu yang tertulis menjadi keputusan Gubernur. Tetapi mari kita belajar cerdas,” tegas Dedi.
Dia menjelaskan,
study tour
itu adalah sebuah orientasi berpikir yang bisa digunakan untuk dunia pendidikan. Selain itu mengarahkan anak-anak dalam melakukan pengkajian, penelitian, pada sebuah tempat yang dikunjungi.
Kalau mau fokus pada kalimat
study tour
, jelas Dedi, sebenarnya gampang. Banyak sekali tempat di Depok yang bisa menjadi objek studi.
“Sampah di Depok menjadi masalah besar itu bisa menjadi rangkaian studi, di mana anak-anak jurusan biologi atau IPA bisa menggunakan metodologi bakteri sebagai mengurai sampah dengan menggunakan R4 (
reduce, reuse, recycle, replace
), jelas Dedi.
Sampah diurai sejak di rumah. Bagi sampah plastik karena tidak bisa diurai, bisa digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang produktif lainnya.
Sekolah bisa menggerakkan siswanya melakukan penelitian, berstudi ke tiap rumah, untuk belajar cara memilah sampah organik dan anorganik sehingga tidak jadi problem.
“Kemudian bisa pergi ke industri yang ada di sekitar kita. Mempelajari percepatan proses produksi bagaimana menggunakan robot sebagai kekuatan teknologi hari ini, bagaimana proses produksi minyak goreng dari hulu sampai hilir, membuat motor, tekstil dan industri lainnya,” kata Dedi.
Namun lanjut dia, jika pergi ke tempat-tempat rekreatif, itu bukan
study tour
. Hal demikian namanya piknik atau berwisata.
“Sudahlah enggak usah pakai kalimat studi-studian. Itu namanya piknik,” ujarnya.
Yang jadi pertanyaan, kata Dedi, setiap orang piknik? “Boleh. Boleh banget dan itu hak setiap orang,” kata dia.
Yang tidak boleh, menurut Dedi, hal ini menjadi kebijakan di sebuah lembaga pendidikan formal, dimana orang-orangnya adalah orang-orang akademis yang pernah kuliah, baik S1 maupun S2.
“Hak setiap orang boleh, keluarga piknik ke puncak, boleh. Tidak ada yang melarang asal punya uang,” katanya.
Lebih lanjut, Dedi mengatakan,
study tour
akan menjadi problem manakala anak-anak yang tidak bisa ikut study tour menjadi minder di sekolah. Kemudian anak marah kepada orang tuanya yang tidak mampu memenuhi keinginannya untuk study tour.
“Enggak usah (
study tour
) deh, gunakan uangnya untuk kepentingan yang lain. Kalau orangtuanya yang mampu silakan saja piknik sama keluarganya,” jelas Dedi.
Hal serupa berlaku dengan di kantor pemerintah yang disoroti Dedi. Dia mempersilakan pegawai pemerintah yang ingin piknik ke Yogyakarta maupun Bali.
“Itu hak individu, pergi saja sama keluarga. Tapi jangan numpang di kegiatan pemerintah menjadi studi banding, kunjungan kerja, ke Yogya, Bali, Lombok atau sampai Jepang, Inggris, Prancis,” sebut Dedi.
Kalau mau ke luar negeri, silakan memakai uang sendiri. Jangan memakai uang negara.
“Mau pergi ke manapun silakan pergi. Jangan berkamuflase atas nama studi banding, study tour, menggunakan uang negara, atau kalau
study tour
menjadikan orang tuanya repot,” tegas Dedi.
Dia menambahkan, tidak ada maksud apapun melarang
study tour
yang harus mengeluarkan atau memungut uang besar. Dedi mengajak semua pihak berpikir yang objektif, bertindak yang efektif agar dunia pendidikan semakin maju.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/01/20/678dfe50e748e.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)