Dari Salatiga ke ITB: Perjalanan Rigel Menemukan Jati Diri Lewat Beasiswa Teladan Bandung 25 November 2025

Dari Salatiga ke ITB: Perjalanan Rigel Menemukan Jati Diri Lewat Beasiswa Teladan
                
                    
                        
                            Bandung
                        
                        25 November 2025

Dari Salatiga ke ITB: Perjalanan Rigel Menemukan Jati Diri Lewat Beasiswa Teladan
Editor
BANDUNG, KOMPAS.com
– Di sebuah rumah sederhana di Salatiga, Jawa Tengah, seorang remaja bernama Muhammad Rigel Alhuda menghabiskan masa SMA-nya dalam situasi yang tidak ideal.
Pandemi membuat pembelajarannya kurang optimal sehingga berpengaruh pada persiapan Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK).
“Aku jujur tipe orang yang nggak belajar banget karena
Covid
. Tapi waktu itu UTBK masih ada TKA—Matematika, Fisika, Kimia, Biologi.
Struggle
banget,” kenang Rigel saat dihubungi melalui WhatsApp Call, Sabtu (22/11/2025).
Saat itu, ia langsung belajar dengan keras. Berjuang untuk masuk perguruan tinggi idaman, Teknik Industri
ITB
.
“Pas sampai ITB aku nggak kaget sih. Emang isinya orang-orang pintar dan lumayan berat. Tapi aku tetap ikut organisasi, ikut lomba, cari beasiswa, dan ternyata nilai masih bisa di atas rata-rata,” ujarnya.
ITB mengubah cara belajarnya. Tetapi ada satu tantangan besar, yakni biaya.
Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk mahasiswa baru ITB bisa menyentuh angka Rp12,5 juta per semester. Bagi keluarga Rigel, angka itu bukan perkara ringan.
“Dengan kondisi ekonomi keluargaku, ngajuin keringanan itu agak susah. Jadi aku mulai cari beasiswa, ada beberapa beasiswa (terkenal) di ITB,” tutur dia.
Namun, ia menerima ajakan seorang teman untuk mencoba
Beasiswa Teladan
. Prosesnya cukup panjang dari mulai pemberkasan, motivation letter, hingga wawancara.
Rigel kemudian dinyatakan lolos, namun ironisnya, teman yang mengajaknya justru tak diterima.
“Aku lihat, beasiswa ini tuh paket komplit banget. Dibayarin UKT full sampai lulus, dapat uang bulanan, dan ada program pengembangan kepemimpinan. Kayak… kalau dapat ini, udah nggak perlu cari yang lain,” beber dia.
Meski padat dengan aktivitas, Rigel mengaku berupaya menyeimbangkan hidupnya. Misalnya dengan tetap bermain atau nongkrong walaupun hanya satu sampai dua jam.
Buatnya hal tersebut merupakan perjuangan untuk mencapai masa depannya yang lebih cerah.
Program Teladan tidak hanya memberi dukungan finansial. Intinya justru pada pembentukan karakter.
Pada tahap Lead Self, para penerima beasiswa diajak mengenal diri secara mendalam, mulai dari refleksi, eksplorasi kepribadian, analisis kekuatan dan kelemahan, hingga mencari hubungan antara diri dan lingkungan sosialnya.
“Kami membantu mereka lebih mengenal diri, eksplorasi, refleksi kritis, dan mengartikulasikan siapa dirinya,” ujar Head of Leadership Development & Scholarship Tanoto Foundation, Yosea Kurnianto, Rabu (12/11/2025).
Bagi Rigel, tahap ini membekas. Ia mengaku bukan tipe yang sangat percaya diri dan tidak banyak prestasi eksternal saat SMA karena pandemi.
Setelah mengenal diri, para penerima beasiswa masuk tahap Lead Others. Mereka diminta mengidentifikasi persoalan di komunitas sekitar kampusnya dan menciptakan solusi yang berdampak jangka panjang.
“Kami minta mereka melihat bagian mana dari sistem yang bisa diubah atau di-upgrade, sehingga setelah mereka pergi, dampaknya masih berjalan,” kata Yosea.
Seperti yang dilakukan Rigel dalam beberapa proyek. Yakni platform edukasi SMA untuk membantu remaja menemukan jati diri sebelum memilih jurusan kuliah.
Kemudian edukasi drainase dan biopori di wilayah Cijagra, Bandung, workshop sabun dari minyak jelantah bagi kelompok warga desa, hingga edukasi rambu rawan bencana di Kabupaten Bandung.
Platform edukasi yang ia bangun menjadi salah satu pengalaman paling berharga. Sebab masih banyak anak SMA yang bingung menentukan jurusan, khawatirnya salah pilih jurusan.
Di tahun akhir, para Tanoto Scholars masuk tahap Professional Preparation, fase yang mempersiapkan mereka menghadapi dunia karir.
Ada modul tentang literasi finansial,
business acumen
, sampai
professional disposition
. Para peserta diperkenalkan dengan berbagai model karir dan diminta merumuskan
legacy
yang ingin mereka bangun.
“Bukan hanya sekadar dapat kerja, tetapi dampak apa yang ingin mereka tinggalkan,” kata Yosea.
Sementara itu, dari perspektif kampus, ITB menyadari bahwa dunia bergerak jauh lebih cepat daripada sistem pendidikan tradisional.
“Perkembangan kecerdasan buatan menuntut talenta yang adaptif,” ujar Wakil Rektor Bidang Riset dan Inovasi ITB, Prof Lavi Rizki Zuhal.
ITB kini mendorong pembelajaran berbasis proyek, integrasi kasus industri dalam kurikulum, dan sertifikasi micro credential di bidang teknologi, energi, hingga manajemen proyek.
“Kami ingin lulusan tidak hanya menguasai teori, tetapi juga kompeten secara praktis dan siap masuk dunia profesional yang dinamis,” tambah Prof Lavi.
Soft skill sendiri menjadi perhatian utama ITB. Mulai dari kemampuan komunikasi, negosiasi, kolaborasi lintas disiplin, kepemimpinan dan empati.
Selain itu, terdapat kolaborasi eksternal seperti dengan industri, lembaga donor internasional, pemerintah, dan alumni. Hal itu menjadi fondasi penguatan ekosistem tersebut.
Yosea Kurnianto mengatakan, program Teladan secara konsisten menunjukkan peningkatan signifikan dalam soft skill dan hasil karir penerimanya.
“Sekitar 40 persen penerima beasiswa cenderung mendapat gaji pertama lebih besar daripada orangtuanya,” ujarnya.
Ini penting, terutama karena sebagian besar peserta berasal dari keluarga menengah ke bawah.
“Kesenjangannya besar. Tapi kompetensi planning, inovasi, kepemimpinan itu tumbuh pesat. Kami berharap program ini bisa menjadi referensi pengembangan soft skill di Indonesia,” tutur dia.
Hal itu dirasakan Rigel. Apapun karirnya kelak sebagai konsultan, ahli supply chain, dan lainnya, ia menemukan jati dirinya di Teladan, membangun sistem, dan perlahan mengubah hidupnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.