Dari Pasuruan untuk Literasi: Rumah Lujeng Jadi Magnet Pecinta Buku “Berat”
Tim Redaksi
PASURUAN, KOMPAS.com
– Terkadang, ada orang yang rajin membeli buku tetapi kemudian menjadikan buku seolah hiasan di lemari.
Kebiasaan itu tidak berlaku bagi Lujeng Sudarto, warga Kelurahan Petung Sari, Kecamatan Pandaan, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
Ia menyimpan buku bacaannya dengan rapi untuk dipinjamkan kepada orang lain dan menjadikan rumahnya sebagai tempat diskusi.
Rumah sederhana yang berlokasi Perum Batumas Blok E-II Nomer 11 Pandaan itu dikenal kerap kali didatangi tamu.
Meski tidak banyak, ada saja yang bertamu cukul lama.
“Ya memang kalau teman-teman yang datang atau orang bertamu di sini ya rata-rata mesti ajak diskusi,” ujar Lujeng sambil senyum saat ditemui
Kompas.com
, Jum’at (15/08/2025).
Jika masuk di rumahnya, tamu langsung melihat rak buku yang sederhana. Namun, di sana terdapat ratusan buku yang tidak banyak orang miliki.
Sebagian besar buku milik Lujeng bertema revolusi dan filsafat. Bahkan, sejumlah buku yang berjajar itu banyak diburu orang.
Misalnya Seven theories of relegion karya Daniel L Pala, Bumi Manusia milik Pramoedya Ananta Toer, Memahami Bahasa Agama oleh Komarudin Hidayat, Second Sex karya Simone De Beauvior.
Ada juga buku Zarathustra milik Nietzsche dan Summer karya Albert Camus.
“Ya memang buku di sini bagi sebagian orang memang berat untuk dibaca, tapi bagi orang pergerakan ini adalah vitamin untuk memperkaya referensi atau pengetahuan agar tidak gampang menjustifikasi peristiwa atau fenomena yang sedang terjadi,” katanya.
Sembari menemui tamu, dia menceritakan kecintaaan pada buku sejak masuk bangku perkuliahan di salah satu kampus di Malang.
Setiap pulang dari kampus, dia mampir ke kakak kelas untuk membaca buku. Setelah sampai di indekos, dia langsung berkumpul dengan sejumlah aktifis untuk berdiskusi.
“Kalau diskusi, syaratnya harus sudah punya bahan dari buku yang sudah dibaca. Kalau tidak ya mesti tampak bodoh. Karena di kos saya itu tempatnya mahasiswa kelompok cipayung ya ada PMII, HMI, GMNI dan yang lainnya,” kata Lujeng.
Sejak saat itu, kecintaaannya pada buku terus berlanjut. Bahkan, pria kelahiran Tuban itu mempunyai kebiasaan untuk berbelanja buku saat pergi ke mana pun.
Hampir setiap minggu dia membeli buku dengan tema-tema “berat”, misalnya soal sosial budaya, filasafat, ideologi, dan kumpulan catatan kritis.
Sementara itu, jumlah koleksi buku yang ada di rumahnya sebanyak 350 buku, di rumah Tuban 150 buku, dan di rumah lamanya sekitar 100 buku.
“Untuk syarat meminjam buku di sini adalah orang yang sudah saya kenal. Kemudian setelah membaca, harus dapat didiskusikan bersama. Sehingga ada nilai (literasi) yang didapat. Buku itu jangan hanya berhenti dibaca, harus didiskusikan agar menambah pengetahuan,” tutur dia.
Meski ruang tamu tidak terlalu lebar, rumah Lujeng juga sebagai tempat diskusi dari beberapa kalangan profesi, mulai dari mahasiswa, jurnalis, pegiat sosial, dan aktivis perempuan.
“Saya beberapa kali ke rumah Mas Lujeng, koleksi bukunya bagus. Saya pernah baca buku The Eve of the French Revolution. Habis baca langsung diajak diskusi,” kata Akmal Taufik, mahasiswa pascasarjana asal Pasuruan.
Menurut Taufik, buku seperti yang dikoleksi Lujeng saat ini jarang ditemui.
“Kalau tidak akademisi, ya memang jarang orang baca buku seperti itu. Saya kagum masih ada orang dengan hobi membaca buku-buku setebal itu lalu mau diajak diskusi,” katanya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Dari Pasuruan untuk Literasi: Rumah Lujeng Jadi Magnet Pecinta Buku "Berat" Surabaya 15 Agustus 2025
/data/photo/2025/08/15/689eec35853a8.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)