Jakarta, Beritasatu.com – Polemik dana pemerintah daerah (pemda) yang mengendap di perbankan ramai jadi perbincangan. Kondisi ini dinilai menunjukkan masih lemahnya tata kelola keuangan daerah dan belum efektifnya kebijakan pemerintah pusat dalam mendorong percepatan belanja daerah.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, dana pemerintah daerah (pemda) yang mengendap di perbankan masih menjadi persoalan klasik yang belum terselesaikan.
Ia menyebut, praktik mencari keuntungan dan lemahnya perencanaan anggaran membuat penyerapan dana daerah belum berjalan optimal.
“Dana pemda mengendap di bank masih jadi masalah klasik, karena dua faktor utama,” ujar Bhima saat dihubungi Beritasatu.com, Senin (27/10/2025).
Menurut Bhima, pertama faktor dana pemda menumpuk karena pemda menikmati pendapatan bunga deposito dari dana yang diparkir di bank. Kedua, perencanaan yang buruk membuat banyak pencairan, terutama proyek infrastruktur, dilakukan di akhir tahun anggaran.
Hal itu, lanjutnya, menjadi penyebab utama dana pemda mengendap atau belum tersalurkan hingga mencapai Rp 234 triliun sepanjang Januari-September 2025 yang kini ramai menjadi polemik.
“Memang praktik aneh pemda menyimpan uang di deposito dan giro, dengan alasan pencadangan. Padahal dana APBD cukup di instrumen simpanan biasa karena satu tahun pasti terpakai,” jelas Bhima.
Ia juga menyoroti adanya oknum pemda yang memanfaatkan lambatnya realisasi pencairan dan sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA) untuk membantu likuiditas bank daerah. Makin besar dana parkir di instrumen jangka panjang, makin besar pula potensi bank menyalurkan dana kredit.
“Spread bunga dana pemda yang parkir dan penyaluran kreditnya kan dinikmati bank. Tapi kan bagi pemda tidak gratis, oknum pemda ini akan mendapat success fee karena dianggap memberi bantuan penempatan dana bank,” imbuhnya.
Ia menegaskan, jika ditemukan gratifikasi antara pihak bank dengan oknum pemda, maka hal itu dapat diusut secara pidana. Namun permasalahannya, kata dia, tidak semua success fee penempatan dana pemda di deposito bentuknya uang tunai.
“Ada yang bentuknya voucher jalan-jalan, golf, promosi jabatan,” tuturnya.
Selain itu, Bhima menilai, langkah atau resep dari pemerintah pusat dalam menertibkan dana mengendap ini juga belum tepat. Menurutnya, kebijakan efisiensi atau pemotongan anggaran transfer daerah sebagai bentuk pendisiplinan pemda justru berisiko menimbulkan dampak ekonomi lain.
“Yang terjadi fenomena naiknya pajak daerah justru membahayakan daya beli. Harus ada pendampingan secara konsisten dari Kemenkeu dan Kemendagri pada pemda yang pencairannya lambat,” tegasnya.
Untuk mencegah penyimpangan, Bhima mendorong kerja sama antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ia menilai pengawasan penting dilakukan untuk menelusuri indikasi pidana dalam penempatan dana pemda di deposito dan perencanaan anggaran yang lebih baik.
