TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ekspor peralatan listrik dari Indonesia ke Amerika Serikat (AS) berpotensi tertekan imbas kebijakan tarif impor timbal balik atau ‘Reciprocal Tarrifs’ dari Amerika Serikat (AS) ke Indonesia.
Presiden AS Donald Trump memberlakukan tarif timbal balik, yaitu bea masuk tambahan sebesar 10 persen yang akan berlaku mulai 5 April 2025.
Kemudian, ada tarif tambahan spesifik per negara yang akan berlaku mulai 9 April 2025. Indonesia dikenakan tarif sebesar 32 persen.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Peralatan Listrik Indonesia (APPI) Yohanes P. Widjaja meminta pemerintah untuk segera bernegosiasi dengan AS terkait tarif impor produk kelistrikan.
Penerapan tarif impor oleh AS beberapa hari lalu dinilai akan berdampak negatif terhadap potensi ekspor bagi produk kelistrikan dari Indonesia.
Menurut Yohanes, beberapa tahun terakhir Indonesia mendapat kesempatan ekspor ke AS serta beberapa negara lainnya untuk produk peralatan listrik.
Produk itu antara lain Transformator Tenaga, Transformator Distribusi, Panel Listrik Tegangan Menengah, Panel Listrik Tegangan Rendah, dan Meter Listrik (kWh Meter).
“Produk peralatan listrik dari Indonesia secara kualitas sudah mampu untuk bersaing di pasar International dan kami membutuhkan kehadiran pemerintah untuk mempertahankan industri lokal,” kata Yohanes dalam keterangan tertulis, Sabtu (5/4/2025).
Dampak Negatif Lain
Dampak negatif lainnya, kata Yohanes, adalah potensi pasar Indonesia dibanjiri produk dari negara yang juga terkena tarif impor dari Amerika Serikat.
Produk-produk itu ditengarai masuk ke Indonesia dengan cara dumping.
Yohanes memandang hal itu dapat membawa dampak yang luar biasa besar di dalam negeri seperti yang dialami produk tekstil.
Industri lokal disebut dapat tumbang dan Indonesia akhirnya kehilangan kesempatan menjadi negera manufaktur.
Saat ini kondisinya adalah produk-produk dari Asia Tenggara, China, dan India dikenakan bea masuk 0 persen.
Sementara itu, negara-negara tersebut sudah mampu untuk menghasilkan produk peralatan listrik mereka sendiri.
Mereka juga tidak mengandalkan bahan baku impor. Contohnya China, mereka sudah memiliki bahan baku yang melimpah, sehingga kecepatan dan daya saing mereka lebih unggul.
Dengan mereka terkena tarif impor terbaru AS, Indonesia berpotensi menjadi tujuan mereka karena memiliki pasar yang besar.
Jika kelak produk impor dari negara-negara tersebut tidak dibendung, lama kelamaan dapat membuat goyah produsen dalam negeri untuk beralih menjadi importir atau bahkan seluruhnya.
Bila produsen dalam negeri akhirnya pada beralih menjadi importir, itu dapat mengakibatkan meningkatnya pengangguran.
“APPI berharap pemerintah untuk mulai memikirkan dan merumuskan bagaimana untuk mengendalikan perdagangan di sektor swasta agar industri kelistrikan dalam negeri dapat tetap hidup,” ujar Yohanes.
Kebijakan TKDN Dipertahankan
Yohanes meminta agar kebijakan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) tetap dipertahankan dan tidak dilonggarkan guna merespon kebijakan kenaikan BMI (Bea Masuk Impor) AS.
Kebijakan TKDN dinilai terbukti ampuh meningkatkan permintaan produk manufaktur
dalam negeri terutama dari belanja pemerintah.
“Kebijakan TKDN juga telah memberi jaminan kepastian investasi dan juga menarik investasi baru ke Indonesia,” ucap Yohanes.
Ia mengatakan, banyak tenaga kerja Indonesia bekerja pada industri yang produknya dibeli setiap tahun oleh pemerintah karena kebijakan TKDN ini.
Pelonggaran kebijakan TKDN disebut malah akan berakibat hilangnya lapangan kerja dan berkurangnya jaminan investasi di Indonesia.
Penerapan TKDN untuk proyek proyek yang bersumber dana APBN yang saat ini diterapkan oleh pemerintah dinilai sudah tepat guna melindungi produsen dalam negeri.
“Hal tersebut juga diberlakukan di negera-negara lain di dunia,” kata Yohanes.
Apabila Kebijakan TKDN RI dianggap sebagai salah satu penyebab terbitnya kebijakan BMI AS ini, Yohanes menyebut perlu adanya pembicaraan secara bilateral antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Amerika Serikat.
Pembicaraan perlu meliputi produk apa
yang diinginkan oleh Amerika Serikat untuk tidak dikenakan kebijakan TKDN ini.
Yohanes pun mendorong agar Pemerintah Indonesia merespon perang tarif dengan tarif
juga.
“Jangan isu perang tarif digeser pada isu NTM (Non Tariff Measure) atau NTB (Non Tariff Barrier). Kalau perlu, pemerintah Indonesia beri tarif masuk nol persen pada produk manufaktur kelistrikan AS,” ujarnya.
