Cerita Siska, “Single Parent” yang Bertahan dari Teror Pinjol Ilegal
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Di sebuah kamar kontrakan, sebuah ruang kecil yang menjadi saksi bagaimana hidup Siska (bukan nama sebenarnya) berubah drastis.
Di dalam kontrakan tersebut, perempuan berusia 32 tahun itu pernah menghabiskan malam-malam panjang tanpa tidur. Hanya menatap ponselnya yang bergetar puluhan kali setiap jam.
Setiap getaran adalah ancaman. Setiap nada dering adalah ketakutan.
Dan semua itu bermula dari keputusan yang ia ambil dalam keadaan terdesak.
Siska yang merupakan orangtua tunggal harus menafkahi keluarga dari hasil membantu di warung milik tetangganya.
Uang yang ia dapatkan hanya cukup untuk membeli beras satu liter dan sebungkus mi.
Sementara, slip tagihan listrik sudah menumpuk, ditemani pesan WhatsApp dari ibu kos yang mulai menagih kontrakan dua bulan tertunggak.
Sebagai orangtua tunggal, ia hidup dari hari ke hari. Tak ada suami, tak ada keluarga lain yang bisa rutin membantu.
Yang ada hanya seorang anak kecil yang masih membutuhkan biaya sekolah.
Dalam tekanan seperti itu, pikirannya buntu.
Siska kembali mengingat momen yang membuatnya akhirnya menekan tombol “ajukan pinjaman”.
“Kebutuhan rumah tuh numpuk, listrik mau diputus, kontrakan nunggak dua bulan. Ya akhirnya saya nekat cari pinjaman biar bisa nutup dulu yang mendesak,” kata Siska kepada
Kompas.com,
Senin (1/12/2025).
Saat itu, kontrakan menjadi hal paling genting.
Keputusan itu, bagi Siska, seperti mencari udara di tengah tenggelam.
Dengan ponselnya, ia mulai menjelajah aplikasi. Lalu matanya terpaku pada sebuah iklan yang berseliweran di Instagram.
“Lagi
scroll
HP sambil rebahan, muncul tuh iklan yang bilang
‘langsung cair, tanpa ribet’
. Saya klik karena penasaran,” kata dia.
Di titik itu, ia belum mengenal perbedaan antara
pinjol
legal dan ilegal. Yang ia lihat hanya satu hal: solusi instan.
Prosesnya mudah, malah terlalu mudah.
“Prosesnya cepet banget. Enggak pake foto KTP yang ribet, cuma
selfie
sama isi-isi data,” jelas dia.
Pinjaman pertama cair: Rp 1 juta.
“Buat bayar kontrakan dan sebagian buat beli sembako,” ujar dia.
Namun, yang tampak sebagai pertolongan, justru membuka pintu ke jurang yang jauh lebih gelap.
Dalam tujuh hari, kondisi berubah. Tagihan datang dengan jumlah yang membuatnya terpaku. Bunga, biaya administrasi, dan potongan lain membuat nilai pengembalian melonjak.
“Tiba-tiba pas mau bayar kok jumlahnya lebih besar,” kata Siska.
Rasanya seperti pukulan bertubi-tubi.
Dalam putus asa, ia mengikuti saran teman yang justru semakin menjerumuskannya.
“Terus ada temen bilang,
‘udah, minjem lagi di aplikasi lain buat nutup yang pertama’.
Dari situ lah mulai gali tutup lubang,” kata dia.
Hari demi hari, aplikasi lain datang menghampiri. Satu jadi dua, dua jadi lima.
“Enggak kerasa. Tiap mau jatuh tempo saya minjam yang lain terus,” kata dia.
Siska sempat mencoba berhenti, namun tekanan yang datang dari para penagih membuatnya merasa tak punya pilihan.
“Pernah, Mas. Tapi begitu satu jatuh tempo, mereka neleponin terus. Jadi saya panik lagi. Ya sudah minjem lagi. Rasanya kayak lingkaran setan,” ucap dia.
Apa yang awalnya terasa sebagai solusi, berubah menjadi mimpi buruk.
Dalam hitungan hari, ponsel Siska menjadi alat penyiksa.
Nomor tak dikenal muncul terus menerus—dalam negeri, luar negeri, hingga nomor yang baru dibuat.
“Nelepon sampai 60 kali sehari pernah, kadang dari nomor luar negeri. WA juga
spam,”
kata dia.
Percakapan-percakapan itu masih membekas dalam kepalanya. Bahkan kini, suara notifikasi saja bisa membuat tubuhnya kaku.
Namun, yang paling menghancurkan adalah teror visual dan ancaman kriminalisasi.
“Pernah tuh mereka kirim foto KTP saya yang mereka edit-edit, bilang saya mau ditangkap polisi. Terus ada yang bilang mau dateng ke rumah. Saya sampe gemeteran baca pesannya,” ujar dia.
Tak hanya dirinya yang menjadi sasaran. Para penagih itu menyasar keluarganya, bahkan tetangganya.
“Mereka juga sebar berita ke tetangga, bilang saya kabur bawa uang,” kata Siska.
Tekanan psikologis itu berdampak langsung pada kesehatan fisik.
Dan ada satu kalimat yang tak akan pernah ia lupakan sepanjang hidupnya. Kala para penagih mengancam keselamatan anak semata wayangnya.
“Waktu mereka ngomong mau ngejemput paksa anak saya. Padahal anak saya masih SD. Saya langsung nangis kejer,” ujar dia.
Dalam situasi itu, Siska pernah merasa dikepung dari segala sisi. Ia tak tahu harus melarikan diri ke mana.
Ia akhirnya menceritakan semuanya kepada sang adik, orang pertama yang ia percaya.
“Dia kaget banget dan marahin saya, tapi Dia bilang kita cari jalan sama-sama,” kata Siska.
Dari pengakuan itu, Siska mulai merasakan titik terang. Untuk pertama kalinya, ia tak lagi memikul beban itu sendirian.
Malam itu, ia dan adiknya berbicara panjang—tentang ketakutan, rasa malu, dan rasa bersalah yang terus menghantuinya.
Adiknya mencoba menenangkannya, memastikan bahwa apa yang terjadi bukan sepenuhnya kesalahannya, dan bahwa ada jalan keluar meski tampak gelap.
Dukungan itulah yang mendorongnya mencari pertolongan lebih jauh.
“Adik saya akhirnya nyuruh saya lapor ke lembaga bantuan. Baru dari situ saya mulai ngerti kalau saya bukan satu-satunya korban,” katanya.
Meski begitu, trauma yang tersisa sangat dalam. Hingga kini, membuka ponsel pun terasa seperti menghadapi monster yang siap menerkam.
“Dua bulan penuh saya matiin HP siang malam. Keluar rumah pun lihat-lihat dulu. Trauma banget,” ucap dia.
Dalam beberapa tahun terakhir, Pengacara Publik LBH Jakarta, Alif Fauzi melihat pola yang terus berulang.
Banyak korban meminjam bukan untuk kebutuhan konsumsi, melainkan untuk menutup tagihan dari aplikasi sebelumnya.
Situasi ini menyerupai pola yang dialami korban judi online, sebuah lingkaran yang tidak pernah benar-benar berhenti.
Dalam kasus pinjol, cara kerjanya bahkan lebih terstruktur dan eksploitatif.
“Ini menguatkan adanya praktik yang eksploitatif dalam penyelenggaraan
pinjaman online
. Secara posisi hukum, ini juga menunjukkan ketiadaan perlindungan hukum bagi warga negara yang menghadapi masalah pinjaman online,” ujar dia.
Bagi Alif, para peminjam ini tidak tepat bila dianggap sebagai debitur yang lalai atau ceroboh.
Mereka lebih tepat dipahami sebagai pihak yang terperangkap dalam sistem yang tidak memberikan ruang aman.
“Betul bisa (
korban pinjol
), sejauh ini praktik pengambilan data berbasis pada aplikasi yang terinstal (medium ICT/ITE), dan secara sistematis dipindahtangankan kepada pihak
debt collector
atau pihak aplikasi yang tidak terdaftar,” jelas Alif.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa mereka bukan hanya berhadapan dengan utang yang menumpuk.
Mereka juga menjadi sasaran perdagangan data, menjadi korban dari mekanisme digital yang merugikan, dan terjebak dalam situasi yang tidak didukung oleh regulasi yang melindungi.
Menurut Alif, kelompok yang paling mudah terpapar masalah pinjol tidak pernah berubah dari tahun ke tahun.
Perempuan, terutama ibu rumah tangga, masih menjadi pihak yang paling rentan.
“Sejauh ini perempuan atau ibu rumah tangga masih menjadi kelompok paling rentan terkena masalah pinjaman online,” kata Alif.
Beban mengurus keluarga, memenuhi kebutuhan anak, hingga memastikan makanan selalu tersedia membuat mereka berada dalam posisi yang rawan.
Alif menyampaikan, banyak korban datang dalam kondisi mental yang sudah tertekan.
Tidak sedikit ibu rumah tangga yang bahkan takut menyentuh ponsel karena telah menerima ratusan pesan ancaman dari penagih.
Ketika membahas alasan awal seseorang meminjam melalui aplikasi pinjol, Alif melihat polanya hampir selalu sama.
Tekanan ekonomi menjadi faktor paling kuat. Banyak orang terpaksa mencari dana cepat untuk memenuhi kebutuhan makan, membayar kontrakan, biaya sekolah anak, modal usaha yang terhambat, atau sekadar menutup kewajiban harian.
“Selain itu, ada juga karena data pribadinya digunakan untuk mengajukan aplikasi pinjaman online,” kata Alif.
Dalam berbagai kasus, para korban berharap dapat menyelesaikan kebutuhan darurat. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Temuan LBH juga menunjukkan bahwa banyak korban pertama kali terpapar pinjol melalui panggilan telepon yang tidak pernah mereka minta.
“Belakangan banyak aplikasi pinjaman online yang menawarkan pinjaman online melalui telepon dengan nomor yang tidak dikenal,” jelas Alif.
Setelah itu, tekanan dari debt collector memperkuat lingkaran jebakan yang mulai menjerat mereka.
“Biaya admin, denda, dan penetapan bunga tidak sesuai standar/regulasi yang ada,” kata Alif.
Cerita Siska bukan satu-satunya. Di balik iklan “cair cepat tanpa ribet”, ada ribuan korban lain yang hidup dalam tekanan, teror, dan ancaman.
Sebagian kehilangan pekerjaan.
Sebagian kehilangan keluarga.
Sebagian kehilangan keberanian untuk bertemu dunia.
Dan sebagian, seperti Siska, sedang berusaha kembali berdiri dari kehancuran emosional dan finansial.
Pinjol ilegal bekerja dengan pola yang sama: memanfaatkan kesulitan ekonomi, memudahkan pinjaman, lalu menjebak dengan bunga, biaya tersembunyi, akses kontak, dan teror sistematis.
Bagi banyak perempuan, terutama orangtua tunggal dan pekerja informal, jerat ini terasa tak terhindarkan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Cerita Siska, "Single Parent" yang Bertahan dari Teror Pinjol Ilegal Megapolitan 4 Desember 2025
/data/photo/2022/04/16/625af161087b7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)