Liputan6.com, Kutai Kartanegara – Bencana tanah bergerak menelan sejumlah rumah warga yang ada di Kilometer 28, Desa Batuah, Kecamatan Loa Janan, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Seorang warga atas nama Wati (30) mengaku rumah yang sudah ditinggalinya 30 tahun lenyap bak ditelan bumi. Kini, bagian utama rumahnya sudah tak ada lagi, hanya teras dan dapur yang masih berdiri pada posisi aslinya, sisanya terperosok turun sedalam hampir 8 meter.
“Di sini kan rata, bukan perbukitan. Ini teras saya, di sana dapur saya,” kata Wati sambil menunjuk sisa bangunan rumahnya, Selasa (9/9/2025).
Pernyataan itu seakan menegaskan kebingungan ibu yang sehari-hari juga berkebun ini. Kawasan datar, ternyata bukan aman dari tanah ambruk, dalam pula. Kehilangan rumah, tempat berteduh setelah puluhan tahun tinggal di tanah yang mereka yakini aman dari bahaya. Namun, tanah yang diam-diam bergeser justru mematahkan keyakinan itu.
Wati masih ingat betul, awal tahun lalu dia merasakan tanah di sekitar rumahnya mulai bergerak. Retakan muncul di lantai.
“Kalau kejadiannya mulai Januari, geser sedikit demi sedikit. Mulai berhenti setelah dua bulan. Bulan 5 di situ sudah puncaknya,” ujarnya.
Kekhawatiran itu membuatnya mengemasi barang-barang seadanya, hanya beberapa meter dari teras rumah. Satu per satu dipindahkan ke sebuah tempat yang dianggapnya aman itu. Tempat itu pula yang menjadi awal Wati sekeluarga menginap setelah kejadian.
“Awalnya sempat khawatir, jadi kita angkat sedikit-sedikit, taruh di tenda sini. Belum sempat ambil semua, sudah amblas,” ceritanya.
Sejak rumahnya amblas, Wati bersama keluarganya hidup di pengungsian. Awalnya mereka tinggal di tenda darurat. Setelah beberapa minggu, ia menumpang di rumah seorang warga bernama Haji Asnawati.
“Alhamdulillah ada yang kasih tumpangan walaupun ukurannya hanya 3 kali 5 meter. Tinggal berlima. Tapi kita bersyukur sekali dikasih tumpangan. Seandainya tidak ada yang kasih, kami masih di posko (tenda), pak,” tuturnya lirih.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Wati bergantung dari hasil kebun seadanya. Meski tidak pasti, menunggu masa panen, namun dia tetap berharap pada mata pencaharian itu.
“Berkebun aja pak. Bukan penghasilan tiap hari. Itu pun kalau berbuah,” ujarnya.