Cerita Miris Afka di Gunungkidul, Ijazah Ditahan Sekolah Gara-Gara Masih Ada Tunggakan Rp300 Ribu

Cerita Miris Afka di Gunungkidul, Ijazah Ditahan Sekolah Gara-Gara Masih Ada Tunggakan Rp300 Ribu

 

Liputan6.com, Yogyakarta – Sudah dua tahun Afka Maida Lumaris lulus dari SMPN 1 Semin, namun dirinya tak jua menerima ijazahnya. Untuk bisa melanjutkan sekolah ke tingkat SMA, remaja asal Dusun Pencil, RT 03/RW 04, Kalurahan Bendung, Kapanewon Semin, Gunungkidul itu, hanya diberikan salinan ijazah.

Penahanan ijazah Afka bukan tanpa sebab, dirinya diketahui masih menunggak biaya administrasi sekolah Rp300 ribu sehingga ijazahnya ditahan sekolah.

“Waktu awal lulus masih tenang-tenang saja karena sudah bisa daftar ke SMA. Tapi sampai sekarang kok belum juga pegang ijazah aslinya, rasanya khawatir,” tutur Afka saat ditemui di rumahnya.

Uang Rp300 ribu mungkin terdengar kecil bagi sebagian orang, namun tidak bagi keluarga Afka. Sang ayah, Wahyu Adi Putranto, sehari-hari hanya berjualan tahu bakso keliling. Penghasilan dari berjualan itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Maka jika harus membayar biaya administrasi sekolah hanya untuk menebus ijazah dirasa berat.

“Katanya masih ada tunggakan. Kalau belum dibayar, ijazah belum bisa keluar,” ucap Wahyu dengan wajah pasrah.

Antara Harapan, Kekhawatiran, dan Rasa Takut

Afka sendiri tak bisa berbuat banyak. Sebagai siswi SMA yang baru berusia 14 tahun, ia lebih banyak fokus belajar di sekolahnya sekarang. Namun di dalam hati, kekhawatiran tetap ada. Ia membayangkan jika kelak saat lulus SMA nanti, dokumen SMP yang tak kunjung di tangan bisa menjadi masalah baru.

“Kalau nanti mau kuliah atau kerja, kan butuh ijazah lengkap. Saya takut malah susah ke depannya,” ungkapnya lirih.

Selain itu, pihak keluarga juga mengaku merasa was-was jika persoalan ini menjadi sorotan luas atau viral di media sosial. Mereka takut kondisi tersebut justru berdampak pada psikologi Afka maupun keluarga, karena bisa menimbulkan perasaan direndahkan baik di lingkungan sekolah maupun di rumah.

“Kadang kalau kasus seperti ini naik ke publik, yang sering disalahkan justru pihak keluarga. Padahal, kami hanya ingin hak anak kami dipenuhi,” kata Wahyu.

Sebagai anak kedua dari empat bersaudara, Afka juga memahami betul kondisi ekonomi orang tuanya. Ia sadar sang ayah harus membagi penghasilan dari berjualan tahu bakso untuk mencukupi kebutuhan seluruh anggota keluarga.

Orang tua Afka pun berharap ada kebijakan dari pihak sekolah maupun pemerintah. Mereka mengaku tidak menolak kewajiban membayar biaya, namun berharap ada keringanan atau solusi agar anak mereka segera bisa mendapatkan haknya.