Ce Hun Tiau, Simfoni Manis Menyegarkan dari Pontianak yang Tak Pernah Gagal Menggoda Lidah

Ce Hun Tiau, Simfoni Manis Menyegarkan dari Pontianak yang Tak Pernah Gagal Menggoda Lidah

Dalam konteks ini, Ce Hun Tiau lahir dari proses panjang adaptasi bahan lokal ke dalam resep-resep warisan Tionghoa. Nama Ce Hun Tiau sendiri berasal dari dialek Hakka atau Teochew, yang merujuk pada salah satu bahan utamanya, semacam mie atau jelly dari tepung beras yang dulunya sering digunakan.

Seiring waktu, nama tersebut tetap digunakan, meski komposisi bahan telah mengalami transformasi mengikuti selera dan ketersediaan bahan lokal. Kehadiran Ce Hun Tiau di Pontianak tak hanya terbatas di warung kaki lima atau pasar malam, tetapi juga telah menjalar ke restoran-restoran modern, bahkan menjadi oleh-oleh ikonik yang dikemas dalam bentuk beku atau instan.

Masyarakat Pontianak sendiri memiliki kedekatan emosional dengan minuman ini, menjadikannya bagian dari momen-momen kebersamaan, seperti buka puasa, acara keluarga, hingga sajian saat hari besar keagamaan. Di tengah arus modernisasi yang kadang menggerus warisan tradisional, Ce Hun Tiau tetap bertahan sebagai simbol rasa dan identitas kota.

Bahkan, di era media sosial, visual dari Ce Hun Tiau yang berwarna-warni dan menggoda menjadi konten yang kerap viral, menarik perhatian generasi muda untuk kembali mencicipi dan melestarikan kekayaan kuliner ini. Maka tak heran jika Ce Hun Tiau bukan hanya digemari karena rasa manis dan kesegarannya, tetapi juga karena kisah dan nilai budaya yang terkandung di dalamnya.

Ia adalah bentuk nyata dari bagaimana makanan bisa menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara identitas dan kenikmatan. Di tengah derasnya inovasi kuliner yang kadang melupakan akar tradisi, Ce Hun Tiau tetap berdiri teguh sebagai warisan rasa Pontianak yang patut dibanggakan dan dijaga eksistensinya.

Sebab, setiap sendok Ce Hun Tiau bukan hanya tentang manisnya gula merah atau gurihnya santan, tetapi tentang warisan, tentang rumah, dan tentang rasa yang menyatukan.

Penulis: Belvana Fasya Saad