Category: Voi.id

  • Kemendagri Punya Mesin ‘ATM’ Dukcapil yang Bisca Cetak e-KTP Secara Mandiri

    Kemendagri Punya Mesin ‘ATM’ Dukcapil yang Bisca Cetak e-KTP Secara Mandiri

    JAKARTA – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) meluncurkan sebuah alat berupa Anjungan Dukcapil Mandiri (ADM) untuk mencetak dokumen kependudukan. Layaknya sebuah mesin ATM, mesin ini diharapkan bisa mempermudah urusan masyarakat yang kerap bermasalah dengan perkara kekosongan blangko.

    Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri, Zudan Arid Fakrulloh menyampaikan, ADM merupakan tempat layanan bagi masyarakat untuk mencetak berbagai dokumen dukcapil, mulai dari KTP elektronik, akta lahir, kartu keluarga, kartu identitas anak (KIA), hingga akta kematian. 

    “Inovasi ini dirancang khusus agar masyarakat bisa mencetak dokumen dengan cepat, mudah, gratis dan berstandar sama tanpa diskriminasi,” ujar Zudan dikutip dari keterangan pers-nya, Senin, 18 November.

    Dirjen Dukcapil Kemendagri, Zudan Arif mencoba mesin ADM (Dok. Kemendagri)

    Ada 3 model mesin yang disiapkan Dukcapil Kemendagri, namun fungsinya sama. Caranya, masyarakat yang ingin mencetak dokumen kependudukan datang ke Disdukcapil dulu untuk mendaftar atau meminta akses ADM.

    Setelah persyaratan yang dibutuhkan dipenuhi, masyarakat akan mendapatkan PIN melalui SMS dan QR (quick response) Code melalui email. Kemudian dengan PIN dan QR Code itulah dia bisa mencetak sendiri dokumen kependudukan yang dibutuhkan.

    “Kalau sudah teregistrasi, itu PIN atau QR code akan berlaku dua tahun. Karena takut disalahgunakan. Selain itu, untuk memastikan orangnya masih ada apa nggak,” kata Zudan.

    Zudan mengatakan, meski alat ini sangat dibutuhkan dan memudahkan masyarakat, namun Kemendagri tidak mewajibkan tiap daerah punya alat ini. Hanya saja, pengadaan mesin ini akan dimasukkan dalam e-catalog pada tahun depan. 

    “Banyak yang sudah mau beli. Saya yakin kepala daerah yang ingin memberikan layanan terbaik bagi masyarakatnya pasti butuh alat ini. Tidak ada arahan untuk mewajibkan,” terang Zudan.

    Selain sedang dimatangkan prosedurnya, Kemendagri sedang menyiapkan aplikasi agar masyarakat bahkan tidak perlu ke Dukcapil untuk meminta akses menggunakan mesin ADM. Harapannya, cukup daftar via aplikasi lalu cetak di mesin ADM terdekat.

    “Ditjen Dukcapil sedang siapkan aplikasi. Ke depan tinggal pakai aplikasi. Kalau e-KTP hilang, upload surat kehilangan dan dokumen lain, datang ke ADM, cetak deh,” pungkasnya. 

  • Foto Pertama My Chemical Romance Sejak Umumkan Reuni

    Foto Pertama My Chemical Romance Sejak Umumkan Reuni

    JAKARTA – My Chemical Romance (MCR) membagikan foto pertama pasca-pengumuman reuni mereka setelah enam tahun berpisah.

    Bulan lalu, band ini mengumumkan sebuah pertunjukan comeback di Shrine Expo Hall, Los Angeles yang akan digelar pada 20 Desember mendatang. Tiket dijual sejak 1 November lalu dan ludes dalam hitungan menit.

    Gerard Way dkk lantas membagikan detail dari tiga pertunjukan yang dijadwalkan untuk 2020. Mem-posting di media sosial mereka, MCR akan tampil di Australia, New Zealand dan Jepang awal tahun depan.

    Mereka akan tampil di The Outer Fieldsm Western Spring Stadium di Auckland pada 25 Maret, bersama sejumlah tamu spesial semisal Jimmy Eat World, Midnight Youth, dan Miss June.

    Sabtu kemarin, band membagikan foto pertama sejak mereka bersama lagi. Dengan keterangan foto simpel yang berbunyii, “11.5.19” – yang diasumsikan terhadap tanggal pengambilan foto tersebut. Foto hitam putih itu memperlihatkan MCR duduk di lantai studio latihan.

    Sementara itu pekan lalu, single mereka yang bertajuk The Black Parade kembali masuk tangga lagu Billboard 200. Mengacu pada data resmi, albumnya yang dirilis pada 2006 juga kembali masuk tangga album Billboard untuk pertama kalinya dalam dua tahun.

    Kabar tentang reuni MCR diungkapkan Gerard Way dalam wawancara bersama The Guardian. Gerard mengatakan kesuksesan album Danger Days: The True Lives of the Fabulous Killjoys memengaruhi bubarnya MCR. Tekanan kala itu jadi puncak dari gejolak yang telah dirasakan penggawa band sejak kesuksesan album The Black Parade.

    “Ketika hal-hal menjadi sukses dan berjalan dengan baik, itulah ketika orang mulai memiliki opini dan Anda mulai berjuang,” tuturnya, dikutip dari NME.

    “Semua orang memiliki opini tentang apa yang seharusnya MCR lakukan. Itu membuat sulit untuk menentukan arah yang akan diambil. Anda berada di dalam perangkap pikiran ‘Apakah ini sudah cukup baik?’”

    Wacana reuni ini sejatinya sudah bergaung selama bertahun-tahun setelah bubarnya MCR. “Saya rindu bermain dengan para anggota, tetapi saya pikir tidak (untuk reuni).” Kini, wacana itu terjawab. 

  • Membakar Diri Katanya Demi Cinta

    Membakar Diri Katanya Demi Cinta

    JAKARTA – Cinta bisa mengubah pola pikir seseorang, bahkan keluar di jalur nalar. Apapun bisa dilakukan, bahkan menyakitkan badan sendiri.

    Itu yang terjadi pada Hendra Ferdian (31). Petugas keamanan itu mencoba membakar dirinya sendiri untuk membuktikan cintanya pada sang istri, Sarly Amalia.

    Cerita ini berawal dari niatan Sarly menceraikan Hendra, dua bulan lalu. Hendra menolak dicampakan dengan alasan masih sayang. Meski pisah ranjang, dia tak ingin Sarly pergi dari genggaman.

    “Karena suami (Hendra) tidak mau cerai, ingin membuktikan, bahwa dia sayang anak dan istri,” ucap Kanit Reskrim Polsek Cipayung Iptu Budi Setyanta saat dikonfirmasi, Senin, 18 November.

    Sarly berniat menceraikan Hendra karena masalah ekonomi. Dia pulang ke rumah orang tuanya dan membawa anaknya. Keluarga Sarly melarang Hendra datang, meski menemui anaknya.

    “Menurut dia (Hendra) karena ekonomi, karena istrinya dan keluarga hidupnya terlalu mewah,” katanya.

    Hendra kelimpungan. Di ujung bingung, dia menuangkan bensin ke tubuhnya, Senin 18 November dini hari. Disulutlah korek api ke badannya. Meski dicegah sejumlah orang, api terlanjur membakar badannya.

    Seluruh tubuh Hendra menderita luka bakar yang cukup serius. Kini, dia menjalani perawatan di Rumah Sakit Polri Kramat Jati untuk penyembuhannya.

    “Banyak lukanya, di tangan, di sekujur badan namanya 50 persen, mukanya juga, karena bensin diguyurin ke badannya,” kata Budi.

  • Ada Peran James Gunn di Balik Terpilihnya Zachary Levi Sebagai Shazam!

    Ada Peran James Gunn di Balik Terpilihnya Zachary Levi Sebagai Shazam!

    JAKARTA – Ternyata, sutradara The Suicide Squad, James Gunn ikut bertanggung jawab dalam membantu Zachary Levi memerankan karakter Shazam!. Tidak percaya? Ini buktinya.

    Gunn mengungkap hal tersebut dalam sesi tanya jawab di Instagram ketika ditanya kebenaran kabar yang menyebut Levi pernah ikut audisi untuk peran Star Lord dalam Guardians of the Galaxy.

    Selain mengonfirmasi kebenaran informasi tersebut dan mengaku ia dan timnya sempat mempertimbangkan untuk memberikan peran tersebut kepada Levi, Gunn lalu menyebut bagaimana produser Shazam! meminta gagasan darinya tentang aktor yang cocok untuk memerankan superhero dari DC Extended Universe tersebut. 

    Komentar positif Gunn membuat bola Levi berguling yang akhirnya mendapatkan peran Shazam!

    Terinspirasi oleh komentar Gunn dan tanggapan terhadap pertanyaan itu, Levi lalu memposting di Instastory-nya tentang rasa syukur dia atas apa yang dikatakan Gunn. Ia melanjutkan dengan mengatakan bagaimana peran Shazam! mengubah hidupnya, itulah sebabnya ia berhutang budi kepada Gunn.

    Levi juga mengemukakan bagaimana ia akan merasa bahagia jika suatu hari bisa bekerja dengan Gunn. Sementara sang sutradara membalas dengan mengatakan dirinya juga akan sangat senang. 

    Interaksi antara Gunn dan Levi ini tidak hanya manis tetapi juga memberi kita wawasan lebih lanjut tentang bagaimana produser Hollywood meberikan peran terhadap aktor-aktor mereka. 

    Fakta bahwa seorang produser dari DC bertanya kepada Gunn mengenai siapa yang harus mereka pilih untuk Shazam! bahkan sebelum dia menggarap The Suicide Squad menunjukkan betapa dekatnya komunitas Hollywood. 

    Saat itu Levi bersaing dengan barisan aktor seperti John Cena dan Billy Magnussen untuk karakter Shazam! dan dia menang, dengan sedikit dorongan yang diberikan Gunn.

  • Ajal Ratusan Pengikut Sekte Maut Peoples Temple dalam Bunuh Diri Massal

    Ajal Ratusan Pengikut Sekte Maut Peoples Temple dalam Bunuh Diri Massal

    GUYANA – Hari ini, 41 tahun yang lalu, ratusan anggota Peoples Temple di Jonestown mati dalam peristiwa bunuh diri massal. Beberapa sekarat. Hanya segelintir yang selamat dan bisa menceritakan salah satu tragedi paling kelam dalam sejarah ini. Tim Carter, salah satunya. Dan ini kisah tentang hari paling buruk yang barangkali tak mungkin ia lupakan.

    Hari itu, 18 November 1978, Carter menghadiri undangan pertemuan besar –disebut juga pertemuan gereja– di sebuah paviliun di dalam hutan Guyana, Jonestown. Di sana, ia menemui ratusan kolega sesama anggota Peoples Temple, sebuah sekte dalam Kristen yang dikenal di Indianapolis sejak tahun 1950-an.

    Betapa terkejutnya Carter ketika sampai di Paviliun Jonestown. Di tempat yang oleh seluruh pengikut sekte disebut Surga Jonestown itu Carter menyaksikan ratusan orang membunuh diri mereka sendiri. Hari itu, Carter kehilangan tetangga, teman, hingga istri dan anaknya.

    “Apa yang saya lihat dan dengar di sana, orang-orang berteriak. Orang-orang menangis. Saya tahu persis apa yang saya dengar. Dan itu bukan pengalaman menyenangkan,” kata Carter seperti dikutip abcnews.go.com.

    Terhitung, 909 orang tewas setelah mengonsumsi racun sianida. Dari ratusan yang tewas, anak-anak jadi barisan yang pertama meregang nyawa. Mereka dicekoki cairan sianida, obat penenang, dan jus buah yang disemprotkan ke dalam tenggorokan dengan jarum suntik.

    Setelah anak-anak, selanjutnya adalah orang dewasa. Mereka didoktrin untuk meminum racun sianida. Tak semua orang di dalam barisan sekte cukup gila untuk menuruti perintah mati itu. Namun, mereka tak punya pilihan lain.

    Ada penjaga bersenjata mengelilingi mereka ketika peristiwa itu terjadi. Jadi, jika bukan racun, maka timah panas penjaga yang akan membunuh mereka. Sedangkan Carter yang terlambat datang dan sejumlah anggota sekte lain yang tengah berada di daerah lain saat peristiwa terjadi, selamat.

    Asal gagasan gila sekte maut

    Gagasan gila Peoples Temple untuk bunuh diri massal bukan muncul begitu saja. Ada sejumlah peristiwa panjang yang terjadi di sepanjang eksistensi sekte maut itu.

    Peoples Temple didirikan oleh seorang pendeta bernama Jim Jones. Ia dikenal sebagai pendeta karismatik yang membawa narasi kesetaraan ras. Jones juga memainkan narasi tentang perlawanan terhadap gerakan apharteid dalam gereja yang ia dirikan.

    Tim Carter pun dahulunya adalah pengikut setia Jones. Menurutnya, narasi yang ‘dijual’ Jones kepada pengikutnya amat tepat dengan isu aktual saat itu.

    “Ketika dia (Jones) bicara tentang hak-hak sipil dan ketidakadilan yang ada dalam masyarakat Amerika, itu merupakan salah satu hal yang wajib kamu dengarkan,” kata warga Guyana, Amerika Serikat itu.

    Pendeta Jim Jones (Commons Wikimedia)

    Pada 1965, Jones memindahkan kelompoknya ke California Utara. Setelah tahun 1971, mereka pindah ke San Francisco. Satu tahun sebelumnya, gereja Jones diterpa isu penipuan dan penganiayaan. Media saat itu menyebut Jones dan petinggi di kelompoknya melakukan penipuan keuangan dan penganiayaan fisik terhadap anak-anak di dalam kelompok.

    Jones pun makin paranoid. Ia kemudian membawa pengikutnya pindah ke Guyana. Di Guyana, Jones menjanjikan tanah surga di wilayah yang ia sebut Jonestown kepada para pengikut setianya. Namun, tentu saja, tanah surga yang dijanjikan tak pernah benar-benar ada.

    Beberapa pengikut Jones mulai kritis. Mereka mempertanyakan janji Jones soal tanah surga. Namun, pengikut yang mengkritisi Jones justru dihukum. Paspor mereka disita. Surat-surat yang menyangkut hajat hidup mereka pun diblokir. 

    Hingga pada 1978, beberapa mantan anggota Peoples Temple meyakinkan anggota Kongres Amerika Serikat dari California, Leo Ryan untuk pergi ke Jonestown dan menyelidiki pemukiman itu. 

    Pemukiman anggota Peoples Temple di Jonestown (Commons Wikimedia)

    Pada 17 November 1978, Ryan bersama beberapa jurnalis dan pengamat tiba di Jonestown. Awalnya, kunjungan berjalan lancar. Tapi, ketika rombongan Ryan hendak pulang, beberapa warga Jonestwon meminta agar mereka ikut pulang beserta rombongan. 

    Mengetahui adanya pengkhianatan dari pengikutnya, Jones merasa tertekan dan menyuruh bawahannya untuk menyerang Ryan. Singkat cerita, Ryan berhasil disergap oleh para pengikut Jones di landasan udara ketika mereka berusaha pergi. Ryan beserta empat orang lainnya dibunuh ketika mereka naik pesawat sewaan. 

    Barulah setelah peristiwa itu, Jones memerintahkan kepada seluruh pengikutnya untuk berkumpul di Paviliun Jonestown dan melakukan apa yang disebutnya sebagai tindakan revolusioner, yakni bersama-sama mengakhiri hidup dengan racun sianida.

  • Gratifikasi Rp17 Miliar Ma’ruf Cahyono Terkait Distribusi dan Cetak Dokumen

    Gratifikasi Rp17 Miliar Ma’ruf Cahyono Terkait Distribusi dan Cetak Dokumen

    JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut penerimaan gratifikasi yang menjerat eks Sekjen MPR RI Ma’ruf Cahyono berkaitan dengan distribusi hingga pencetakan dokumen. Diduga terjadi pemberian uang dalam proses tersebut.

    “Perkara ini terkait dengan distribusi barang-barang cetak seperti buku-buku dan dokumen lainnya,” kata Pelaksana tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu kepada wartawan yang dikutip Rabu, 9 Juli.

    Dalam kasus ini, Ma’ruf Cahyono dijerat dengan Pasal 12B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang mengatur penerimaan gratifikasi oleh penyelenggara negara. Tapi, komisi antirasuah belum memerinci detail proses pengadaan yang diikuti dengan praktik lancung tersebut.

    KPK menyebut Ma’ruf diduga menerima gratifikasi senilai Rp17 miliar. Tapi, jumlah ini masih bertambah karena penghitungan dan pendalaman keterangan saksi terus dilakukan.

    Para saksi yang dipanggil, di antaranya adalah Iis Iskandar yang berprofesi sebagai wiraswasta dan Benzoni, seorang pegawai negeri sipil pada Sekretariat Jenderal MPR RI. Mereka digarap di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan pada Kamis, 3 Juli.

    “Kedua saksi hadir dan penyidik mendalami bagaimana proses pengadaan barang dan jasa (PBJ) di lingkungan Kesetjenan MPR RI, bagaimana pembayarannya, serta bagaimana permintaan komitmen fee dilakukan,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 4 Juli.

    Meski belum memerinci lebih lanjut hasil pemeriksaan, Budi memastikan keterangan para saksi akan membantu mengungkap perkara yang tengah ditangani.

    Adapun saat ini, Ma’ruf juga telah dicegah ke luar negeri oleh Direktorat Jenderal Imigrasi atas permintaan KPK. Larangan bepergian ke luar negeri berlaku selama enam bulan sejak 10 Juni untuk mendukung kelancaran proses penyidikan.

  • Inul Daratista Totalitas Merawat Adam Suseno, Biaya Pengobatan hingga Beli Sofa Tembus Ratusan Juta

    Inul Daratista Totalitas Merawat Adam Suseno, Biaya Pengobatan hingga Beli Sofa Tembus Ratusan Juta

    JAKARTA – Penyanyi dangdut ternama Inul Daratista buka suara soal perhatian besar yang ia berikan untuk sang suami, Adam Suseno, yang sempat alami pendarahan di bagian kakinya hingga harus dioperasi.

    Dalam pernyataannya, Inul menegaskan ia tak mempermasalahkan biaya besar selama itu untuk kesembuhan suami tercinta.

    “(Harga sofa untuk Mas Adam) Malah itu bukan Rp50 juta, (tapi) Rp150 juta,” ujar Inul Daratista di kawasan Tendean, Jakarta Selatan, Selasa, 8 Juli.

    Bukan hanya soal fasilitas mewah, Inul juga mengungkapkan total biaya pengobatan Adam yang mencapai ratusan juta rupiah. Namun, baginya, angka itu tak berarti dibandingkan kesehatan suami.

    “(Pengobatan habis ratusan juta) Bagi aku, uang itu nggak ada nilainya kalau buat orang sakit, apalagi buat suami sendiri, karena aku kerja ditemenin sama dia, jadi kalau buat dia, aku nggak hitung-hitungan,” ungkap Inul dengan tulus.

    “Tapi kalau buat harganya, ya mahal memang. Jadi biar orang tahu kalau sehat itu mahal, makanya jaga kesehatan. Mas Adam juga nggak ada masalah,” lanjutnya.

    Kabar baiknya, kondisi Adam Suseno kini telah berangsur membaik. Inul menyebut suami akan kembali beraktivitas seperti biasa.

    “(Kondisi Mas Adam) Biasa aja normal aja, mungkin 1-2 minggu ke depan udah go public lagi lah, karena aku juga nggak mau suami saya di rumah aja, nanti takut pikirannya nggak sehat,” tuturnya.

    Sebagai bentuk perhatian, Inul bahkan merencanakan perjalanan ke Yogyakarta untuk menyegarkan pikiran sang suami.

    “Besok juga mau jalan-jalan ke Yogya, dia mau ikut, tapi di mobil aja, aku bawa biar fresh aja karena selama ini udah bantuin aku kerja, cari duit, jadi aku harus beri service yang lebih baik lagi,” pungkasnya.

  • Pemberantasan Mafia Hukum dan Peradilan Masih Setengah Hati

    Pemberantasan Mafia Hukum dan Peradilan Masih Setengah Hati

    JAKARTA – Beberapa waktu lalu, Kejaksaan Agung menangkap empat hakim dan dua pengacara serta seorang panitera terkait dugaan suap putusan lepas perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak kelapa sawit mentah atau CPO di PN Jakarta Pusat.

    Kasus itu menambah daftar panjang kasus terkait mafia peradilan yang telah diungkap oleh penegak hukum. Sebelumnya, Kejagung juga berhasil melakukan operasi tangkap tangan terhadap tiga orang hakim di Pengadilan Negeri Surabaya. Ketiga hakim itu ditangkap atas dasar tuduhan menerima suap dalam proses penanganan perkara pembunuhan dengan terdakwa Gregorius Ronald Tanur.

    Tidak berhenti sampai di situ, penyidik berhasil mengembangkan informasi bahwa dalam perkara yang sama, terdapat upaya mempengaruhi proses hukum kasasi yang diajukan oleh Ronald Tanur. Benar saja, tidak lama berselang, pihak yang diduga sebagai makelar kasus akhirnya turut ditetapkan sebagai tersangka, yakni Zarof Ricar, mantan pejabat di Mahkamah Agung.

    Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta mengungkapkan, fenomena suap hakim dan mafia peradilan di Indonesia telah menjadi masalah sistemik yang merusak integritas penegakan hukum. Praktik suap, intervensi pihak eksternal, dan kolusi antara penegak hukum, pengacara, dan para pihak berperkara telah menggerogoti kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.

    Bukan rahasia umum bahwa sistem peradilan dan penegakan hukum sangat rentan dengan suap maupun mafia atau calo. Hal ini sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat. Meski pemerintah dan DPR telah berupaya dengan berbagai cara seperti membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgasus) maupun Panitia Kerja (Panja) untuk menyoroti hal ini, namun ternyata kartel hukum ini tidak hilang.

    ilustrasi

    “Sebenarnya sudah ada komitmen untuk mereformasi sistem hukum dan peradilan secara lebih terbuka, profesional, dan terpercaya. Seluruh model dan format kajian terhadap independensi, kemandirian, maupun upaya untuk meningkatkan integritas dan kualitas peradilan yang tinggi telah dicoba untuk digalakkan,” ujar Sudirta.

    Namun seolah permasalahan itu tidak akan pernah berhenti dan terus menerus terjadi, bahkan semakin marak dan kasat mata. Menurutnya, reformasi peradilan bukan hanya berbicara dari permasalahan suap di pengadilan yang diungkap Kejagung, tapi juga berbicara di seluruh tahap peradilan.

    “Ini berarti sistem peradilan pidana misalnya juga menyangkut penyidikan, upaya paksa, penuntutan, hingga putusan itu sendiri. Atau dari pengajuan gugatan atau permohonan, putusan, hingga eksekusi, seluruh tahap seolah memiliki tarif,” imbuhnya.

    Dalam praktek di lapangan, banyak modus yang telah tercipta untuk memuluskan peran dan pengaruh mafia hukum dan peradilan. Karena itu, reformasi peradilan tidak hanya berbicara soal struktur dan substansi dari hukum dan peraturan perundang-undangan, namun juga kultur dari hukum dan fenomena tersebut.

    Sudirta menjelaskan, permasalahan mengenai suap menyuap dalam sistem peradilan bukan hal baru karena terkait dengan penanganan perkara dan kewenangannya. Hal itu teridentifikasi dari beberapa akar permasalahan, pertama adalah korupsi yang sudah sangat kronis dan sistemik dibarengi dengan lemahnya pengawasan internal dan eksternal.

    “Kita sering mendengar adanya penanganan terhadap hakim yang bermasalah, tapi tampaknya tidak juga memberikan dampak yang signifikan. Penanganan permasalahan hakim dan aparat penegak hukum sepertinya hanya gesture belaka atau untuk meredam amarah publik,” tuturnya.

    Kedua, sistem rekrutmen dan seleksi hakim atau sistem karir yang seringkali tidak transparan dan banyak “titipan”. Hal ini terasa biasa saja namun berdampak cukup jauh, koneksi masuknya mafia hukum dan peradilan menjadi langgeng dan banyak yang kemudian tersandera dengan “utang budi” tersebut.

    “Kita tidak membicarakan terlebih dahulu soal kapasitas dan kualitasnya, karena pada akhirnya bergantung pula pada “koneksi”. Persoalan ini diperparah dengan sistem pembinaan karir yang tidak meritokratis. Sistem reward and punishment dikhawatirkan hanya menjadi slogan,” tukas Sudirta.

    Ketiga adalah permasalahan rendahnya gaji hakim dan kesejahteraannya dibandingkan dengan beban kerja dan godaan suap yang jauh timpang. Meskipun kini gaji dan tunjangan hakim sudah dinaikkan, tidak serta merta membuat hakim merasa “aman” dan tercukupi.

    Selanjutnya adalah banyaknya intervensi dan minimnya pengawasan karena pengaruh dari luar (mafia) cukup tinggi. Pengawasan internal dan eksternal tidak efektif karena kalah dengan asas kemandirian dan independensi yudikatif; yang bebas dan mandiri. Pengawasan eksternal dari Komisi Yudisial (KY) maupun lembaga pengawas eksternal lainnya akhirnya hanya mengandalkan publik untuk menekan, bukan komitmen dari pengawas yang memegang kewenangan.

    Persoalan selanjutnya kata Sudirta, adalah minimnya pendidikan dan pelatihan yang mendorong integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas. Pelatihan integritas, pembangunan zona integritas dan wilayah bebas korupsi tidak memiliki tolok ukur yang jelas dan obyektif. Modus operandi penyuapan terhadap lembaga penegak hukum dan peradilan sebenarnya sudah teridentifikasi, namun tidak memiliki semacam denah (roadmap) untuk penanggulangannya.

    Hal yang paling dapat terlihat tentunya adalah menurunnya kepercayaan publik terhadap sistem peradilan atau penegakan hukum. Ketidakpastian berdampak pada sistem ekonomi dan investasi serta pelindungan Hak Asasi Manusia. Dengan demikian dapat terlihat adanya penyimpangan terhadap tujuan hukum yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Hingga kini adagium seperti “keadilan hanya milik penguasa atau orang kaya” atau “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas” akan selalu muncul.

    Penguatan Sistem Pengawasan Internal dan Eksternal Bisa Menekan Praktik Mafia Peradilan

    Sudirta mengatakan, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan suap dan penyimpangan dalam sistem peradilan di Indonesia. Pertama, reformasi struktur peradilan dan penegakan hukum perlu dijamin. Kedua, penguatan fungsi pengawasan melalui sistem, pengawasan internal, maupun pengawasan eksternal. Sistem peradilan pidana misalnya memiliki pengawasan hakim secara internal (Bawas MA), Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal, hingga aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) ataupun penegakan hukum.

    “Perlu dipikirkan kembali bagaimana sistem dapat secara otomatis mengawasi akuntabilitas dan keakuratannya. Revisi Hukum Acara Pidana harus memungkinkan upaya untuk mengajukan keberatan terhadap beberapa tindakan atau upaya paksa yang telah diatur dalam undang-undang, secara obyektif dan transparan,” terangnya.

    Keempat, transparansi dari rekrutmen, pembinaan karir, uji kompetensi, dan peningkatan integritas harus dapat dijamin, diharapkan akan mendorong publik agar ikut mengawasi. Sistem pembinaan karir, mutasi, promosi, demosi, dan pengisian jabatan harus memiliki tolok ukur yang jelas, obyektif, dan kepastian atau ketegasan. Jaminan untuk pembinaan karir dan penempatan di wilayah harus dilakukan dengan sistem pengelolaan Sumber Daya Manusia yang sesuai dengan kompetensi dan profesionalitasnya.

    Kelima, perhatian terhadap hakim dan kesejahteraan maupun fasilitas yang mendukung optimalisasi kerja dan profesionalitas. Saat ini, banyak hakim atau aparat yang mengalami kekurangan dari sisi kesejahteraan maupun dukungan sarana dan prasarana kerja. Penanganan terhadap pelanggaran etik maupun hukum harus dapat dilakukan secara terbuka atau membuka ruang publik untuk dapat mengadu dan mendapat tindak lanjut yang jelas.

    “Pemanfaatan teknologi informasi juga dapat dioptimalkan untuk pengawasan dan transparansi publik. Hal terkait adalah penggunaan whistleblowing system dapat saling melaporkan penyimpangan tentunya dengan penghargaan jika terbukti dan bermanfaat,” tambah Sudirta.

    Keenam, peningkatan keterlibatan masyarakat sipil dalam pemantauan dan pengungkapan praktik mafia hukum dan peradilan. Selain edukasi terhadap seluruh aparat penegak hukum, hakim, dan termasuk advokat; dibutuhkan kejelasan sistem yang dapat memudahkan penanganan pelanggaran seperti hukum dan etik yang sangat berat dan dilakukan melalui SOP atau prosedur yang jelas dan obyektif.

    “Reformasi struktural, pemanfaatan teknologi, penegakan hukum tegas, dan peningkatan kesadaran integritas harus dilakukan secara konsisten dan simultan. Tanpa upaya serius, kepercayaan publik terhadap hukum di Indonesia akan terus merosot dan tentunya menghambat pembangunan bangsa dan sumber daya manusia Indonesia,” tegas politikus dari PDI Perjuangan itu.

    Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya menilai, pengungkapan kasus mafia peradilan seperti pada penangkapan Zarof Ricar bukan sesuatu yang mengejutkan. Sebab modus yang dilakukan oleh Zarof serupa dengan yang dilakukan oleh jaringan mafia peradilan lainnya yang sebelumnya pernah diproses hukum oleh KPK, yakni Sekretaris MA, Nurhadi dan Hasbi Hasan. Sekalipun ketiganya bukan merupakan hakim atau pihak yang menangani perkara, namun dengan pengaruh besar yang dimiliki, mereka memperdagangkan pengaruh itu untuk menjadi perantara suap kepada hakim yang menangani perkara.

    “Modus ini juga setidaknya juga menjadi salah satu modus korupsi yang telah dipetakan oleh ICW sejak tahun 2003 silam. Artinya, modus korupsi di sektor peradilan tidak pernah berubah. Pertanyaan yang kemudian muncul, mengapa, meski sudah pernah ada jaringan mafia peradilan yang diproses hukum, dan modus-modusnya sudah terpetakan, namun prakteknya masih ada hingga saat ini,” tuturnya.

    Menurut Diky, dua kemungkinan penyebab eksistensi mafia peradilan. Pertama, proses penegakan hukum dalam perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK atau penegak hukum lainnya tidak pernah menyasar hingga aktor-aktor intelektualnya. Kedua, tidak ada upaya signifikan yang dilakukan oleh MA untuk melakukan upaya reformasi yang berdampak signifikan untuk menutup ruang gerak bagi hakim, panitera, atau pegawai pengadilan untuk melakukan praktik-praktik bertindak sebagai makelar kasus.

    Kondisi ini tentu semakin menunjukkan bahwa moralitas para penegak hukum, khususnya hakim di lembaga peradilan, telah berada di titik nadir yang sangat mengkhawatirkan. Maka tidak berlebihan rasanya jika publik, yang notabene merupakan para pencari keadilan, mengharapkan bahwa pengungkapan Zarof Ricar dijadikan sebagai momentum bagi penegak hukum untuk mengungkap jaringan mafia peradilan yang lebih luas di Mahkamah Agung.

    Selain itu, penguatan kewenangan Komisi Yudisial sebagai lembaga otonom penjaga etika kehakiman juga perlu diperkuat. Sebab, prakteknya saat ini, Komisi Yudisial hanya dapat memberikan rekomendasi atas hasil pemeriksaan aduan mengenai pelanggaran kode etik dan kode perilaku hakim, dan kewenangan untuk memutusnya tetap di Mahkamah Agung.

    “Sebagai langkah menghindari adanya potensi konflik kepentingan, maka Komisi Yudisial perlu diberikan wewenang untuk melakukan pemeriksaan dan memberikan sanksi kepada hakim. Namun yang paling penting, agar simultan dengan strategi-strategi tersebut, perlu ada terobosan kebijakan dari Ketua MA untuk menjadi orkestrator dalam upaya mereformasi lembaganya guna mengembalikan kembali muruah lembaga peradilan,” tutup Diky.

  • Soal Transmisi Manual di Mobil Performa, Hyundai: Itu Sudah Lewat Zamannya

    Soal Transmisi Manual di Mobil Performa, Hyundai: Itu Sudah Lewat Zamannya

    JAKARTA – Mobil dalam segmen performa tinggi haruslah memiliki karakteristik menyenangkan untuk dikendarai sehingga para pengemudi mampu merasakan sensasi berbeda yang membuatnya menyatu bersama kendaraannya.

    Salah satu hal yang dirindukan pada mobil performa tinggi saat ini adalah kehadiran kembali transmisi manual, di mana para pengemudi memiliki kuasa dalam memindahkan gigi ketika mengendarai kendaraannya secara tradisional.

    Meskipun demikian, Managing Director Hyundai Motor Europe Technical Centre, Tyrone Johnson mengatakan bahwa anggapan tersebut tidaklah tepat. Ia berpendapat bahwa saat ini pengemudi tidaklah merindukan hal berbau konvensional seperti tuas transmisi manual, rem parkir konvensional, hingga instrumen analog.

    “Tidak ada yang menginginkan transmisi manual dan rem tangan lagi, atau instrumen analog seperti pada masa lampau,” kata Johnson dikutip dari Car Magazine, Rabu, 9 Juli.

    Ia juga menambahkan bahwa dunia mobil sport saat ini tidak dalam sekarat dan menunjukkan transisi era baru kendaraan listrik (EV) dengan performa lebih baik dibandingkan mesin pembakaran internal (ICE).

    “Saya tidak mengerti gagasan bahwa mobil performa sedang sekarat. Jika kalian ingin melaju kencang, tidak ada yang lebih baik dari EV,” tambah Johnson.

    Meskipun demikian, Johnson masih bisa memahami mengapa banyak orang merindukan mobil sport yang memiliki suara dengan sensasi berbeda. Oleh karenanya, pihak Hyundai memasukkan suara imitasi dalam Ioniq 5 N.

    “Saya bisa mengerti bahwa beberapa orang ingin memiliki mobil dengan suara, getaran, dan hal-hal seperti itu. Masukan sensorik tersebut membantu otak manusia memahami apa yang terjadi di dalam mobil,” jelasnya.

    Saat ini, Hyundai menunjukkan komitmennya dalam transisi menuju elektrifikasi dengan menghadirkan Ioniq 5 N yang memulai debut globalnya sejak 2023 lalu. Mobil ini disebut merupakan revolusioner bagi dunia EV performa tinggi.

    Ioniq 5 N ditenagai oleh motor listrik ganda yang menghasilkan tenaga sebesar 600 hp dan torsi sebesar 748 Nm. Dengan fitur N Grin Boost, angka tersebut dapat meningkat menjadi 641 hp dan torsi 770 Nm.

    Dengan daya tersebut, Ioniq 5 N mampu mencapai kecepatan 0 hingga 100 km/jam dalam waktu sekitar 3,5 detik, dengan kecepatan maksimal mencapai 260 km/jam.

    Dalam waktu dekat, pabrikan berlogo ‘H’ miring ini akan memperluas jajaran mobil subdivisi Hyundai N dengan meluncurkan Ioniq 6 N yang berlangsung pada gelaran Goodwood Festival of Speed 2025 dalam waktu dekat.

  • Tindakan Pembubaran Ibadah Harus Dihentikan

    Tindakan Pembubaran Ibadah Harus Dihentikan

    JAKARTA – Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya menyoroti berbagai peristiwa intoleransi yang terjadi beberapa waktu belakangan ini, seperti di Jawa Barat. Ia pun menegaskan bahwa beribadah sesuai keyakinan adalah hak warga negara yang dijamin secara konstitusional.

    “Beribadah adalah hak konstitusional setiap warga negara dan wajib dilindungi oleh negara. Tidak ada alasan apapun membenarkan pembubaran aktivitas ibadah. Apalagi jika pembubaran diiringi dengan intimidasi dan persekusi,” ujar Willy Aditya, Rabu, 9 Juli.

    Willy mengatakan, hak kebebasan beribadah telah diatur secara tegas dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat 1 dan 2 dimana disebutkan bahwa setiap orang bebas meyakini kepercayaan, sesuai hati nuraninya, memeluk agama, demikian juga beribadat menurut agamanya.

    Oleh karena itu, Willy berharap semua warga negara menjadikan aturan tersebut sebagai pedoman dalam hidup berbangsa dan bernegara. Ia mengatakan Indonesia adalah negara hukum sehingga pembubaran paksa suatu ibadah tidak dapat dibenarkan.

    “Dalam hukum kita, tidak ada ruang bagi tekanan kelompok untuk mengatasi prosedur negara. Jika ini dibiarkan, maka yang dilanggar bukan hanya hukum, tetapi juga prinsip kebinekaan itu sendiri,” tegas Willy.

    Menurut Willy, kerukunan umat beragama akan terwujud bila yang merasa minoritas terus merasa aman menjalankan ibadah bahkan dilingkungan yang dirasa berbeda dengannya. Ia juga menekankan bahwa toleransi bukan sekadar retorika, melainkan harus menjadi nilai yang diwujudkan dalam kebijakan, aturan, dan perilaku aparat negara.

    Ia pun mengajak semua masyarakat Indonesia agar berdialog menemukan persamaan untuk saling mendukung.

    “Kerukunan itu ada ketika semua umat saling menjaga satu sama lain. Bukan saling membatasi. Kalau kita benar-benar menghayati Pancasila, maka bersinergi di dalam perbedaan adalah bagian dari jati diri kita sebagai bangsa Indonesia,” pungkas Willy.

    Seperti diketahui, beberapa waktu lalu perusakan rumah terjadi di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat, karena menjadi lokasi retret keagamaan. Insiden perusakan yang videonya viral itu menunjukkan sekelompok orang menurunkan kayu salib sambil berteriak-teriak.

    Sejumlah massa juga membubarkan retret pelajar Kristen di Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi tersebut secara paksa. Pihak kepolisian menetapkan 8 tersangka dalam kasus tersebut.

    Para tersangka tersebut dijerat dengan Pasal 170 KUHP tentang perusakan secara bersama-sama. Selain itu, mereka juga diancam Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang.

    Kasus intoleransi lain baru-baru ini juga terjadi di wilayah Depok, Jawa Barat. Warga RT 2 dan RT 5 RW 03 Kelurahan Kalibaru menggelar aksi menolak pembangunan gereja di Jalan Palautan Eres, Kecamatan Cilodong, Kota Depok. Videonya viral di media sosial.

    Warga mengklaim penolakan dilakukan karena sejak awal tidak pernah ada sosialisasi ke warga sekitar soal pembangunan gereja.