Category: Tribunnews.com Regional

  • Agus Buntung Disebut Gunakan Jari Kaki Hingga Gigi Saat Beraksi Lecehkan Korban di Homestay Mataram – Halaman all

    Agus Buntung Disebut Gunakan Jari Kaki Hingga Gigi Saat Beraksi Lecehkan Korban di Homestay Mataram – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemuda disabilitas asal Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) IWAS alias Agus Buntung (21) disebut menggunakan jari kaki hingga gigi saat beraksi melakukan pelecehan terhadap korbannya di sebuah homestay.

    Direktur Reserse Kriminal Umum (Reskrium) Polda NTB Kombes Pol Syarif Hidayat sebelumnya mengungkap kronologis pelecehan yang dilakukan Agus Buntung terhadap seorang wanita berinisial M.

    Peristiwa berawal saat pelaku dan korban bertemu secara tidak sengaja di Teras Udayana, Kota Mataram pada 7 Oktober 2024.

    Keduanya memang tak saling mengenal dan tak pernah bertemu sebelumnya.

    Saat itu, korban berada di Teras Udayana sedang membuat konten untuk Instagramnya.

    Kemudian Agus Buntung datang dari rumah menumpang kendaraan orang lain ke lokasi.

    Melihat korban sedang membuat konten, Agus Buntung pun menghampirinya dan memperkenalkan diri.

    Keduanya pun akhirnya terlibat pembicaraan.  

    Selanjutnya, Agus Buntung meminta kepada korban M melihat ke arah utara di mana saat itu ada pasangan yang sedang melakukan tindakan asusila di tempat tersebut.

    “Semerta-merta korban tanpa disadari mengungkapkan kalimat ‘seperti saya dulu’ sambil sedih dan hampir mengeluarkan air mata,” kata Syarif di Mataram, Senin (2/12/2024).

    Lantas, Agus Buntung mengajak korban menjauh ke bagian belakang Teras Udayana.

    Di sana korban pun menceritakan kembali aib-aibnya kepada tersangka Agus Buntung.

    Mendengar itu, pelaku menyampaikan kepada korban bahwa korban berdosa dan perlu dibersihkan dengan cara mandi.

    “Ini kalimat yang penting: ‘Kalau tidak, aib kamu nanti akan saya buka dan saya sampaikan ke orang tua kamu’,” kata Syarif menirukan kalimat tersangka. 

    Syarif mengatakan, karena kalimat ancaman tersebut korban terpaksa menuruti apa kemauan tersangka.

    Berangkatlah keduanya ke salah satu homestay dengan kendaraan korban.

    “Memang kendaraan yang digunakan adalah kendaraan korban, karena memang pelaku tidak membawa kendaraan. Tetapi yang mengarahkan ke home stay itu adalah si pelaku,” kata Syarif.  

    Pada saat tiba di homestay, korban melihat ada penjaga home stay dan korban ketakutan.

    Ia mengira penjaga homestay itu kerja sama dengan si pelaku. 

    Sesampai di kamar nomor 6 saat itu korban masih menolak, tapi tersangka kembali mengancam akan membuka aib korban.

    “Disuruh juga membuka baju. Yang membuka baju pelaku adalah korban karena diancam dengan kalimat itu lagi,” kata Syarif.

    Syarif menyebutkan, korban saat itu menggunakan bawahan rok dan leging.

    “Yang membuka rok memang korban. Setelah dibuka rok yang membuka leging dan CD si korban adalah pelaku sendiri, dengan menggunakan jari kakinya. Setelah itu terjadilah pelecehan seksual,” kata Syarif.

    Sementara itu, pendamping korban, Andre Safutra mengungkap Agus menakuti korbannya ketika hendak berteriak. 

    Agus berucap apabila suara teriakan korban terdengar maka keduanya bakal dinikahkan warga. 

    Pada saat itu, Agus sudah bisa melucuti pakaian korban dengan kakinya. 

    “Pelaku pakaiannya dibukakan korban. Leging dibuka pelaku, bukan korban. Caranya pelaku menggunakan jari kakinya,” kata Andre. 

    Korban sempat berupaya untuk memberontak. 

    “Korban didorong oleh pelaku sehingga korban terbaring di kasur. Setelah itu korban menolak dengan gestur mengarahkan kaki korban ke badan pelaku, kayak menendang. Dia menolak untuk disentuh badannya,” ujar Andre.

    Kendati sudah melawan sekuat tenaga, korban mengaku tak berdaya karena pelaku terus mengancam.

    Pada saat itu lah Agus disebut mengucapkan jampi-jampi.

    “Korban menoleh ke arah kanan. Setelah korban menoleh, korban mendengar pelaku membaca sebuah jampi-jampi atau mantra. 

    “Kemudian (korban) melawan dengan membaca ayat Kursi, beberapa kali korban membaca ayat Kursi sembari melihat ke kanan, tidak melihat wajah (pelaku),” ungkap Andre.

    Andre pun mengungkap saat memasuki kamar, tersangka Agus membuka pintu menggunakan mulut dan gigi.

    “Menariknya di sini, ketika masuk ke kamar, pelaku yang membukakan pintu. Apa yang digunakan oleh pelaku? Gigi dan mulutnya untuk membuka pintu. Jadinya pelaku produktif,” ucap Andre.

    Pendamping korban lainnya, Ade Lativa Fitri, mengatakan sewa homestay tersebut dibayar sendiri korban.

    Tapi saat itu korban  dalam kondisi terancam dan disuruh tersangka. 

    “Bukan secara sukarela memberi uang untuk membayar homestay, korban mengaku ketakutan, karena jika kabur korban pasti dikejar karena ada interaksi pemilik homestay dengan si pelaku,” ujar Ade kepada Tribunlombok.com. Minggu (1/12/2024).

    Keterangan Penjaga dan Pemilik Homestay Kepada Polisi

    Dirkrimum Polda NTB, Kombes Syarif Hidayat dalam wawancara bersama tvOne, Rabu (4/12/2024) mengungkap Agus Buntung kerap membawa wanita berbeda ke homestay yang menjadi tempat kejadian perkara (TKP) kasus dugaan pelecehan.

    Menurut karyawan homestay, selama ini Agus sudah membawa 4 wanita yang berbeda sementara pemilik homestay mengaku melihat Agus membawa lima wanita berbeda.

    “Kita sudah memeriksa karyawan homestay dan pemilik itu sendiri. Dari keterangan karyawan dan pemilik, memang pelaku, selain membawa korban (pelapor), sudah pernah membawa perempuan (lain)” ungkap Kombes Syarif Hidayat.

    “Karyawan ini memberikan statement ada empat perempuan yang berbeda dengan pelaku datang ke homestay. Kalau pemilik homestay, itu ada lima perempuan berbeda yang dibawa pelaku,” jelas Syarif.

    Terkait mengapa Agus membawa korban ke tempat yang sama, Syarif menduga lantaran pelaku merasa nyaman.

    “Mengapa ke tempat yang sama? Kemungkinan pelaku merasa nyaman melakukan aksinya di tempat tersebut,” kata dia.

    Berdasarkan berkas perkara, Syarif mengatakan sudah ada lima perempuan, termasuk pelapor, yang menjadi korban Agus.

    Syarif mengatakan, terhadap kelima korban tersebut, Agus menggunakan modus yang sama.

    Untuk penyidikan kasus ini, Polda NTB diketahui sudah memeriksa delapan orang yang diduga menjadi korban.

    Syarif mengatakan, total ada delapan orang korban yang sedang dilakukan penyelidikan oleh Polda NTB.

    Sementara yang sudah masuk BAP berjumlah 8 orang terdiri dari saksi dan korban. 

    Syarif mengatakan, pihaknya perlu melakukan verifikasi dan pendalaman terkait informasi adanya 13 korban yang melapor melalui KDD dan tim.

    “Korban yang kita lakukan penyidikan kan cuma ada delapan orang, terkait dengan yang lain yang ada informasi yang diterima KDD saya sampaikan bahwa itu info masih didapat oleh KDD melalui tim dan perlu pendalaman verifikasi kembali,” kata Syarif.

    Syarif mengatakan, jika korban tersebut dilakukan pemeriksaan dan melaporkan diri sebagai korban ke Polda NTB maka akan ditindaklanjuti.

    “Tapi sekarang korban-korban lain masih tahap verifikasi dan pendataan yang valid oleh tim KDD dan timnya,” kata Syarif.

    Komisioner KND NTB Jonna Aman Damanik mengatakan, koordinasi tersebut dilakukan untuk memastikan hak-hak penyandang disabilitas saat berhadapan dengan hukum tetap diberikan.

    “Kami memastikan mandat Undang-Undang, mandat Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2020 terkait akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas ketika ada di proses hukum atau peradilan,” kata Jonna, Kamis (5/12/2024).

    Jonna juga mengatakan dalam kasus hukum yang melibatkan penyandang disabilitas itu semua sama seperti orang pada umumnya, bisa menjadi korban, saksi bahkan tersangka sekalipun.

    “Terkait bersalah atau tidak terhadap proses yang sudah dilakukan Polda NTB, biar pengadilan yang memutuskan,” kata Jonna.

    Bantahan Agus Buntung

    Agus Buntung diketahui telah ditetapkan sebagai tersangka kasus pelecehan seksual.

    Ia dikenakan Pasal 6C Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

    Saat ini, Agus berstatus sebagai tahanan kota.

    Agus lantas memohon doa supaya kasus yang menjeratnya segera selesai.

    Sebab, ia ingin beraktivitas seperti biasa.

    “Saya memohon biar cepat tuntas kasus ini. Saya terus terang biar damai aja, saya tidak menuntut mencemarkan nama baik, biar Tuhan yang balas,” katanya saat ditemui TribunLombok.com di kediamannya, Minggu (1/12/2024).

    “Yang penting saya bisa kuliah, bisa kerja main gamelan,” lanjut dia.

    Lebih lanjut, Agus mengungkapkan kronologi kasus rudapaksa menurut dirinya.

    Ia mengaku, hal itu bermula saat dirinya meminta tolong kepada seorang wanita, untuk mengantar ke kampus, pada 7 Oktober 2024.

    Tetapi, menurut Agus, ia justru dibawa ke sebuah homestay di Kota Mataram.

    Saat di kamar, Agus mengaku pakaiannya langsung dilucuti oleh si wanita.

    Agus mengaku, selama kejadian itu dia tidak berani berteriak lantaran malu.

    Sebab, ia sudah terlanjur tak berbusana.

    Meski demikian, Agus menyebut tidak ada ancaman dari si wanita saat kejadian.

    “Nggak ada diancam sama perempuan secara fisik. Saya diam saja selama di dalam homestay.”

    “Saya takut buat teriak, karena sudah telanjang. Saya yang malu kalau saya teriak,” ungkapnya.

    Agus pun memastikan ia tidak melakukan rudapaksa seperti yang dituduhkan.

    Pasalnya, selama menjalankan kegiatan sehari-hari, apalagi makan, membuka baju, dan buang air, ia dibantu oleh orang tua.

    (Tribunlombok.com/ Robby Firmansyah/ Andi Hujaidin / Tribunnews.com/ kompas.com)

  • Lengkap, Perjalanan Kasus Polisi Peras Guru Supriyani, Ipda MI dan Aipda AM Kini Disanksi – Halaman all

    Lengkap, Perjalanan Kasus Polisi Peras Guru Supriyani, Ipda MI dan Aipda AM Kini Disanksi – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Supriyani, seorang guru honorer di Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara, terbukti diperas oleh dua polisi.

    Supriyani dimintai uang agar kasus dugaan penganiayaan yang sedang menjeratnya tidak dilanjutkan. Sebelumnya, dia dilaporkan telah memukul muridnya yang merupakan anak seorang polisi.

    Saat ini Supriyani sudah mendapat vonis bebas. Sementara itu, dua polisi yang memerasnya, yakni Ipda MI dan Aipda AM, mendapatkan sanksi patsus dan demosi.

    Berikut perjalanan kasus pemerasan ini.

    Awal munculnya dugaan permintaan Rp50 juta

    Kepala Desa Wonua Raya, Rokiman, menceritakan asal-usul permintaan uang damai Rp50 juta.

    Rokiman mengaku awalnya berupaya menggelar mediasi dengan pelapor, yakni Aipda WH selaku ayah korban. 

    “Tapi tidak membuahkan hasil, dalam artian masih minta waktu untuk berdamai,” kata Rokiman, Kamis, (24/10/2024).

    Menurut Rokiman, Katiran (suami Supriyani) mendatangi dia guna menanyakan masalah yang membelit istrinya itu.

    “Saya jawab nanti saya tanyakan ke Polsek,” kata Rokiman.

    Rokiman selanjutnya datang ke Polsek Baito untuk menanyakan perkembangan kasus.

    Di sana dia berjumpa dengan Kanit Reskrim. Dalam kesempatan itu, disampaikan belum ada titik temu antara pihak terduga pelaku dan pihak keluarga korban.

    Guru Supriyani dan Kades Wonua Raya Rokiman. (Tribun Sultra)

    Kata Rokiman, keluarga korban belum bisa memaafkan Supriyani dan masih meminta waktu.

    Katiran kemudian kembali menemui Rokiman supaya bisa mempercepat proses kasus tersebut.

    “Karena menyangkut beban di istrinya. Kemudian dari Bapak Katiran menyiapkan dana Rp10 juta,” ujar Rokiman.

    Selanjutnya, Rokiman menyampaikan hal tersebut kepada Kanit Reskrim. Akan tetapi, keluarga korban tetapi belum bisa menerimanya atau berdamai dengan Supriyani.

    “Setelah itu, Pak Kanit menyampaikan, ‘Belum mau, Pak. Kemudian saya kembali ke Bapak Katiran, berapa mampumu. Yang dia siapkan Rp20 juta,” ungkap Rokiman.

    Meski jumlahnya sudah dinaikkan dua kali lipat, angka itu tetap belum bisa membuat keluarga korban berdamai. Sang kepala desa kembali menyambangi Polsek Baitu guna menanyakan kasus itu.

    “Kemudian muncul tangan angka lima. Setelah itu saya tanya, ‘Ini lima apa, Pak?’. Lima ratus atau lima juta. Bukan, Pak, ini lima besar,” ucapnya.

    Rokiman kembali menayakan angka lima itu dan dijawab lima puluh. Dia menyampaikan nominal 5Rp0 juta itu kepada Katiran atau suami Supriyani.

    Akan tetapi, pihak Supriyani mengaku tidak bisa membayar hingga puluhan juta itu.

    Salah satu kuasa hukum Supriyani, La Hamildi, buka suara mengenai uang Rp50 juta itu saat rapat dengar pendapat antara Supriyani dan DPRD Konawe Selatan.

    La Hamildi mengatakan Kepala Desa Wonua Raya sampai tidak bisa tidur karena kasus itu.

    “Karena seolah-olah angka Rp50 juta itu dari Pak Kades ini, padahal tidak,” kata La Hamildi.

    Di sisi lain, pihak kepolisian sempat membantah perihal angka Rp50 juta tersebut. 

    Saat masih menjabat Kapolsek Baito, Ipda MI, mengklaim tidak mengarahkan ataupun meminta uang untuk mendamaikan keluarga korban dengan Supriyani.

    MI juga mengaku tak mengetahui asal-usul permintaan uang Rp50 juta. 

    “Kalau yang 50 juta, saya tidak tahu sumbernya dari mana yang jelas itu bukan dari polisi,” katanya ketika dihubungi Tribun Sultra, Rabu, (23/10/2024). 

    Di sisi lain, Aipda WH, ayah korban, membantah telah meminta uang kepada Supriyani.

    “Kalau terkait permintaan uang yang besarannya seperti itu (Rp50 juta) tidak pernah kami meminta, sekali lagi kami sampaikan kami tidak pernah meminta,” katanya.

    Permintaan Rp2 juta

    Selain disebut dimintai uang Rp50 juta, Supriyani juga dimintai Rp2 juta. Kabar mengenai uang Rp2 juta tersebut muncul setelah Supriyani ditetapkan menjadi tersangka.

    Andre Darmawan, kuasa hukum Supriyani, menuturkan hal tersebut.

    “Berapa, Rp2 juta, siapa yang minta, kapolsek, siapa saksinya Bu Supriyani dan Pak Desa, sudah diambil uangnya di rumahnya Pak Desa, berapa nilai uangnya Rp2 juta,” tutur Andre, dikutip dari TribunnewsSultra.com.

    “Uangnya Ibu Supriyani Rp1,5 juta, ditambah dengan uangnya Pak Desa Rp500 ribu,” kata Andre.

    Lalu, setelah kasus dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Konawe, Sulawesi Tenggara, Supriyani dimintai uang oleh oknum jaksa melalui perantara. Kata Andre, uang tersebut diminta supaya kliennya tidak ditahan.

    “Saat di kejaksaan ditelepon oleh orang dari perlindungan anak, katanya pihak kejaksaan meminta Rp15 juta supaya tidak ditahan,” katanya.

    Namun, Supriyani menjelaskan, tak memberikan uang tersebut karena sudah tak memiliki uang.

    “Nah ini dari awal kita lihat seorang guru honorer dimainkan oleh jahatnya oknum aparat penegak hukum kita,” katanya.

    Supriyani menjalani uji pengetahuan pendidikan profesi guru (UP PPG) di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), hari Rabu (20/11/2024) (Tribun Sultra)

    Tujuh polisi diperiksa

    Sebanyak tujuh polisi kemudian diperiksa Propam Polda Sultra untuk mengungkap dugaan upaya pemerasan terhadap Supriyani.

    Ketujuh polisi yang diperiksa adalah Kapolsek Baito, Kanit Reskrim Baito, Kanit Intel Polsek Baito (Pelopor), Kasat Reskrim Polres Konsel, Kasi Propam Polres Konsel, Kabag Sumda, dan Jefri mantan Kanit Reskrim Polsek Baito.

    Kabid Humas Polda Sultra, Kombes Pol. Iis Kristian, mengatakan Propam menemukan indikasi permintaan uang damai ke guru Supriyani.

    “Dari keterangan-keterangan itu, Propam akan melanjutkan pemeriksaan kode etik terhadap oknum yang terindikasi meminta uang sejumlah Rp2 juta, yaitu oknum Kapolsek dan Kanit Reskrim Polsek Baito yang baru,” tuturnya.

    Sementara itu, Kabid Propam Polda Sultra, Kombes Pol. Moch Sholeh, menyatakan Kapolsek Baito, Ipda IM, dan Kanit Reskrim Polsek Baito, Aipda AM, terindikasi melakukan pelanggaran etik kepolisian.

    “Jadi saat ini dua oknum anggota tersebut sementara kami mintai keterangan terkait kode etik.”

    “Untuk sementara kami mintai pendalaman keterangan untuk dua personel ini,” bebernya, Selasa (5/11/2024), dikutip dari TribunnewsSultra.com.

    Ipda IM dan Aipda AM dicopot

    Setelah diduga melanggar kode etik, Ipda IM dan Aipda AM dicopot. Pencopotan dua personel itu berdasarkan surat perintah Polres Konawe Selatan Polda Sultra yang beredar pada Senin (11/11/2024).

    Dari surat telegram tersebut, Ipda MI dimutasi sebagai perwira utama (pama) bagian SDM Polres Konawe Selatan.

    Pengganti Ipda MI adalah Ipda Komang Budayana PS Kasikum Polres Konsel yang ditunjuk sebagai Pelaksana Harian (Plh.) Kapolsek Baito.

    Sementara itu, pengganti Aipda AM adalah Aiptu Indriyanto. Indriyanto sebelumnya menjabat Ka SPKT 3 Polsek Palangga Polres Konsel.

    “Iya sudah diganti dan ditarik ke Polres,” kata AKBP Febry Sam mengonfirmasinya, Senin (11/11/2024).

    Menurut Febry, keduanya dicopot untuk menenangkan situasi di tengah masyarakat karena keduanya disebut terlibat dari kasus Supriyani.

    “Jadi ini cooling down saja, sekarang jabatan mereka sudah kami ganti,” katanya.

    Sebelumnya, Ipda MI dan Aipda AM menjalani pemeriksaan di Propam Polda karena terindikasi meminta uang Rp2 juta agar tidak menahan Supriyani.

    Kapolri sampai turun tangan

    Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo turut menyoroti kasus dugaan pemerasan terhadap Supriyani.

    Listyo bahkan “turun gunung” guna membantu menyelidiki kasus tersebut dengan cara menerjunkan Divisi Profesi dan Pengamanan Polri atau Propam untuk menyelidikinya.

    “Termasuk juga adanya isu permintaan dana Rp50 juta supaya tidak ditahan. Ini juga kami turunkan Propam untuk mendalami kemudian menjadi jelas apakah fakta seperti itu atau sebaliknya,” ujar Listyo   saat rapat kerja bersama dengan Komisi III DPR RI secara virtual, Senin (11/11/2024).

    Listyo mengklaim pihaknya sudah enam kali mencoba melakukan upaya mediasi. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada kesepakatan.

    “Beberapa waktu yang lalu mediasi juga difasilitasi oleh Bupati Konawe Selatan. Sebetulnya pada saat itu kedua belah pihak sudah sepakat berdamai. Namun, kemudian tersangka mencabut kembali kesepakatan damai. Ini juga tentunya hal yang mempersulit kita untuk diselesaikan secara restorative justice,” katanya.

    Ipda IM dan Aipda AM terbukti meminta uang

    Ipda MI dan Aipda AM menjalani sidang etik di Propam Polda Sulawesi Tenggara (Sultra), Kamis (5/12/2024). 

    Dalam sidang itu dinyatakan bahwa Supriyani terbukti dimintai uang Rp2 juta, sedangkan permintaan Rp50 juta tidak terbukti.

    “Jadi yang terbukti itu yang Rp2 juta,” kata Kabid Humas Polda Sultra Kombes Pol. Iis Kristian, Kamis (5/12/2024), dikutip dari Tribun Sultra.

    Iis mengatakan perihal uang Rp50 juta, kala itu Aipda AM tengah berada di pasar lalu mendengar pembahasan uang Rp50 juta.

    “Kemudian dia menyampaikan kepada kepala desa, terkait kebenaran permintaan uang tersebut,” ujar Iis.

    “Dari Aipda WH tidak tahu soal angka Rp50 juta, kemudian Pak Kapolsek juga tidak tahu. Jadi fakta persidangan Rp50 juta itu tidak, yang ada itu yang Rp2 juta,” katanya. 

    Sementara itu, Kabid Propam Polda Sultra, Kombes Pol. Moch Sholeh, mengatakan Ipda M Idris telah mengakui perbuatannya meminta uang Rp2 juta kepada Supriyani dan keluarganya.

    Uang itu bahkan diberikan kepada mantan Kapolsek Baito melalui perantara Kepala Desa Wonua Raya, Rokiman.

    “Iya Ipda MI mengakui sudah meminta uang itu kepada Supriyani,” kata Sholeh, Rabu (4/12/2024).

    Dia mengungkapkan Ipda M Idris juga sudah mengakui uang Rp 2 juta dari Supriyani digunakan membeli bahan bangunan untuk Mako Polsek Baito.

    “Uang kurang lebih Rp2 juta itu diterima untuk membeli bahan bangunan ruangan Unit Reskrim, seperti tegel, semen,” ujar Sholeh.

    Sementara itu, menurut pengakuan Ipda MI, tidak ada dugaan permintaan uang Rp50 juta.

    “Yang Rp50 juta itu tidak ada,” kata Sholeh.

    Ipda IM dan Aipda AM disanksi

    Atas tindakannya, Ipda MI dan Aipda AM dijatuhi sanksi penempatan khusus (patsus).

    Propam Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara (Polda Sultra) memberi Ipda MI sanksi patsus selama tujuh hari, sedangkan Aipda AM selama 21 hari.

    Sanksi itu berdasarkan putusan majelis hakim sidang etik karena keduanya melanggar kode etik Polri.

    Kombes Sholeh mengatakan kedua polisi itu mulai menjalani patsus, Senin (9/12/2024).

    “Karena yang bersangkutan ini tinggalnya di Konawe Selatan, kita mulainya hari Senin aja,” kata Sholeh di Polda Sultra, Kamis.

    Dia berujar Ipda MI menjalani patsus di Polda Sultra, sedangkan Aipda AM di Polres Konawe Selatan.

    “Kalau Ipda MI di Polda Sultra, untuk AM ada di Polres Konawe Selatan. Bisa kita tarik patsus di mana aja karena masih rumah polisi bisa di sini (Polda) bisa juga di Polres.”

    “Tapi kemungkinan kita tarik ke Polda Sultra supaya lebih mudah pengawasannya.”

    Sanksi yang diberikan kepada Ipda MI adalah patsus tujuh hari dan demosi satu tahun. Adapun Aipda AM disanksi patsus 21 hari dan dua tahun demosi.

    Sholeh menyebut keduanya memiliki pangkat berbeda. Bagi perwira, kata dia, sanksi teguran sudah termasuk keras.

    “Dari segi pangkat berbeda ya, dengan melihat fakta-fakta persidangan dengan yang bintara beda. Untuk level perwira itu dengan teguran aja sudah keras apalagi dipatsus,” kata Sholeh.

    (Tribunnews/Febri/Mohay/Tribun Sultra/Laode Ari/Desi Triana)

  • Nasib Atok, Anak Polisi Nekat Begal Tentara di Depan Markas TNI demi Beli Rokok dan Main Judi – Halaman all

    Nasib Atok, Anak Polisi Nekat Begal Tentara di Depan Markas TNI demi Beli Rokok dan Main Judi – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Seorang anak polisi bernama Arka Satria Sitepu alias Atok (18), nekat membegal seorang tentara di depan Markas TNI.

    Peristiwa itu terjadi di depan Kodam I/Bukit Barisan, tepatnya di Jalan Gatot Subroto, Kota Medan, Sumatra Utara (Sumut), Kamis (26/11/2024).

    Atok kemudian ditangkap di Jalan Pembangunan, Desa Muliorejo, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Minggu (1/12/2024).

    Setelah ditangkap Atok, mengakui dirinya merupakan anak seorang anggota polisi yang bertugas di Dokkes Polda Sumut, namun ayahnya sudah meninggal.

    “Iya (anak polisi), dinas di Dokkes Polda Sumut, cuma sudah meninggal,” ujar Atok saat digiring ke sel tahanan, Selasa (3/12/2024), dilansir Tribun-Medan.com.

    Atok yang merupakan pimpinan kelompok begal, mengungkapkan ia melakukan aksi tersebut karena butuh uang untuk main judi.

    “Uangnya saya pakai untuk beli rokok, main PS, sama main slot judi online,” akunya.

    Atok kini telah ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan Pasal 365 ayat 2 KUHPidana terkait pencurian dengan kekerasan.

    Anak polisi itu terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara.

    Dari hasil interogasi, Atok mengaku beraksi bersama lima temannya.

    Tiga pelaku lainnya yang masih di bawah umur telah ditangkap sebelumnya dan kini sedang menjalani proses hukum di pengadilan anak.

    Sementara dua pelaku lainnya, F dan W, masih buron.

    “Tersangka dalam perkara ini ada enam orang, dimana tiga orang sebelumnya telah dilakukan penangkapan, statusnya di bawah umur.”

    “Yang terakhir ini yang kita tangkap atas nama Arkan Satria Sitepu alias Atok,” kata Kapolsek Sunggal, Kompol Bambang Gumanti Hutabarat, Selasa.

    Bambang menuturkan, penangkapan ini dilakukan setelah petugas menerima sembilan laporan polisi terkait aksi para pelaku.

    Laporan terakhir yakni dari personel TNI Angkatan Darat (AD) yang berdinas di Kodam I/Bukit Barisan bernama Sertu Marsono.

    Marsono dibegal saat dalam perjalanan menuju markas sekira pukul 04.00 WIB.

    Ia dipepet oleh enam pelaku yang mengendarai sepeda motor.

    Para pelaku menendang Marsono hingga terjatuh dan mengancamnya menggunakan senjata tajam.

    “Korban yang merupakan anggota TNI yang bertugas (di) Kodam saat itu sedang melaksanakan tugasnya dan hendak kembali ke Kodam.”

    “Ketika melintas, korban dipepet oleh para pelaku yang terdiri dari beberapa orang dengan menendang korban sehingga terjatuh,” urainya.

    Dalam situasi tersebut, Marsono memilih melarikan diri dan meninggalkan sepeda motor Honda Beat miliknya, yang kemudian dibawa kabur oleh para pelaku.

    Setelah kejadian, Marsono melapor ke pihak kepolisian.

    Bambang menuturkan, pihaknya berhasil mengidentifikasi Atok sebagai salah satu pelaku.

    Dikatakannya, kelompok ini merupakan spesialis begal yang sering beraksi di wilayah hukum Polsek Sunggal.

    “Dari hasil pemeriksaan ada sembilan TKP yang ada di wilayah hukum kita.”

    “Mereka lakukan dengan tindak pidana yang sama dan modus yang sama, mengancam menggunakan senjata tajam,” tandasnya.

    Sebagian artikel ini telah tayang di Tribun-Medan.com dengan judul Anak Polisi Dijebloskan ke Penjara, Nekat Begal Anggota TNI di Depan Kodam I/BB

    (Tribunnews.com/Nanda Lusiana, Tribun-Medan.com/Alfiansyah)

  • 5 Rekomendasi Komnas HAM ke Kapolda Jateng soal Kasus Penembakan Siswa SMK oleh Aipda RZ – Halaman all

    5 Rekomendasi Komnas HAM ke Kapolda Jateng soal Kasus Penembakan Siswa SMK oleh Aipda RZ – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Koordinator Subkomisi Pemantauan Komnas HAM Uli Parulian Sihombing menyatakan pihaknya telah melakukan pemantauan atas peristiwa tewasnya seorang pelajar di Kota Semarang berinisial GRO karena ditembak  polisi Aipda RZ pada 24 November 2024 lalu.

    Komnas HAM, ungkap Uli, telah melakukan proses pemantauan sejak 28 sampai 30 November 2024 di Kota Semarang.

    Dia mengungkapkan dalam pemantauan tersebut Komnas HAM telah menggali keterangan sejumlah pihak dan melakukan sejumlah hal.

    Pertama, Komnas HAM telah meminta keterangan Polda Jawa Tengah, Polrestabes Semarang, dan Bidpropam Polda Jawa Tengah.

    Kedua, lanjutnya, pihaknya juga meminta keterangan keluarga korban dan para saksi.

    Ketiga, pihaknya juga meninjau lokasi tempat terjadinya peristiwa penembakan di sekitar Jalan Candi Penataran Raya Kalipancur Ngaliyan, dan Jalan Simongan Semarang Kota.

    Keempat, kata Uli, Komnas HAM telah meminta keterangan dari kedokteran forensik.

    Kelima, pihaknya juga telah meminta keterangan dari digital forensik.

    “Berdasarkan pemantauan tersebut, Komnas HAM menyatakan tindakan RZ telah memenuhi unsur-unsur adanya pelanggaran HAM berdasarkan Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Hak Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,” kata Uli dalam keterangan resmi Humas Komnas HAM RI Kamis (5/12/2024).

    Dalam kesimpulannya terdapat tiga pelanggaran HAM yang dilakukan RZ yakni hak untuk hidup, untuk bebas dari perlakukan yang kejam, dan hak atas perlindungan anak.

    Berdasarkan hal tersebut, Komnas HAM merekomendasikan sejumlah point kepada dua pihak yakni Kapolda Jawa Tengah (Jateng) dan Ketua LPSK.

    Komnas HAM merekomendasikan lima hal yang harus dilakukan Kapolda Jawa Tengah.

    “Pertama, Melakukan penegakan hukum secara adil, tranparan, dan imparsial, baik etika, disiplin, dan pidana kepada oknum RZ,” kata Uli.
     
    Kedua, melakukan evaluasi secara berkala atas penggunaan senjata api oleh anggota kepolisian di lingkungan Polda Jawa Tengah, termasuk assesment psikologi secara berkala. 

    Ketiga, memberikan evaluasi pemahaman dan atau pengetahuan anggota polisi di lingkup Polda Jawa Tengah mengenai Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, khususnya untuk polisi tingkat Bintara. 

    Keempat, melakukan penegakan hukum terhadap kasus tawuran secara humanis. 

    “Kelima, melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga negara lain di tingkat provinsi untuk mengatasi permasalahan tawuran di wilayah hukum Polda Jawa Tengah,” lanjutnya.

    Selain itu, Komnas HAM juga memberikan rekomendasi kepada Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

    Komnas HAM meminta agar LPSK juga memberikan pemulihan bagi keluarga korban.

    “Untuk memberikan perlindungan saksi dan korban, termasuk pemulihan bagi keluarga korban atas peristiwa tersebut,” kata Uli.
     

  • Update Kasus Agus Buntung: Total 8 Saksi Korban Kekerasan Seksual Diperiksa Polda NTB – Halaman all

    Update Kasus Agus Buntung: Total 8 Saksi Korban Kekerasan Seksual Diperiksa Polda NTB – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Sebanyak delapan orang yang diduga menjadi korban kekerasan seksual I Wayan Agus Suartama alias Agus Buntung (21), menjalani penyelidikan oleh Polda Nusa Tenggara Barat (NTB).

    Agus Buntung merupakan disabilitas tuna daksa asal Kota Mataram, NTB, yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

    Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTB, Kombes Pol Syarif Hidayat, mengatakan total ada delapan orang saksi korban dalam penyelidikan oleh Polda NTB.

    Sementara itu, yang sudah masuk berkas berita acara pemeriksaan (BAP) berjumlah 8 orang terdiri dari tujuh saksi dan 1 korban.

    “Hari ini kita akan lakukan pemeriksaan terhadap satu lagi keterangan dari saksi korban yang mungkin pernah mengalami peristiwa yang sama dengan yang lain,” ujar Kombes Pol Syarif Hidayat, Kamis (5/12/2024), dilansir Kompas.com.

    Syarif memaparkan, pihaknya perlu melakukan verifikasi dan pendalaman terkait informasi adanya 13 warga mengaku korban dan saksi yang melapor melalui Komisi Disabilitas Daerah (KDD) dan tim.

    “Korban yang kita lakukan penyidikan kan cuma ada delapan orang, terkait dengan yang lain yang ada informasi yang diterima KDD saya sampaikan bahwa itu info masih didapat oleh KDD melalui tim dan perlu pendalaman verifikasi kembali,” jelas Syarif.

    Menurutnya, jika korban tersebut dilakukan pemeriksaan dan melaporkan diri sebagai korban ke Polda NTB, maka akan ditindaklanjuti.

    “Tapi sekarang korban-korban lain masih tahap verifikasi dan pendataan yang valid oleh tim KDD dan timnya,” imbuh Syarif.

    3 Korban Masih di Bawah Umur

    Sebelumnya, Komisi Disabilitas Daerah (KDD) NTB mendapat pengaduan dari tiga anak di bawah umur yang diduga menjadi korban pelecehan seksual oleh Agus Buntung.

    Ketua KDD NTB, Joko Jumadi, menyebut saat ini telah teridentifikasi sebanyak 13 korban.

    Menurutnya, sebanyak 10 orang dari kalangan dewasa dan tiga orang anak-anak.

    “Yang sudah melakukan BAP di kepolisian baru lima, hari ini dijadwal ada dua orang, namun ada sesuatu hal menyebabkan korban belum bisa ke Polda,” ungkapnya di Polda NTB, Rabu, dikutip dari TribunLombok.com.

    Selanjutnya, Joko akan berusaha membawa korban yang di bawah umur bersama dengan pihak Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).

    Hal itu, kata dia, untuk menjaga psikologis dari anak-anak tersebut.

    “Untuk korban anak kami kerja sama dengan lembaga perlindungan anak kota Mataram untuk dua anak diduga di Mataram, satu lagi UPTD PPA dari Lombok Barat,” terangnya.

    Adapun kendala saat ini yang diterima pihaknya yaitu bagaimana meyakinkan korban untuk bisa bersuara dan menceritakan kejadian sebenarnya.

    “Namun sampai hari ini kami masih meyakinkan korban itu yang dilakukan oleh korban,” imbuh Joko.

    Agus Buntung Disebut Ancam Korban

    Sementara itu, Agus Buntung disebut melakukan pengancaman terhadap korbannya.

    M (23), seorang mahasiswi yang menjadi korban dugaan pelecehan seksual oleh tersangka, merasa diintimidasi dan ketakutan saat kejadian.

    Hal ini disampaikan oleh Andre Saputra, pendamping korban pada Rabu (4/12/2024).

    Selain ancaman dan intimidasi, Agus Buntung disebut melakukan manipulasi terhadap korban.

    “Gambaran umum adalah motif dari si pelaku melakukan hal demikian pada korban adalah adanya ancaman, intimidasi, manipulasi, dan tipu muslihat yang dilakukan pelaku,” ungkap Andre Saputra di Mataram, Rabu, dilansir Kompas.com.

    Andre menuturkan ancaman dan intimidasi terjadi saat korban berada di Teras Udayana, di mana tersangka membawa korban ke homestay setelah pertemuan tidak sengaja.

    I Wayan Agus Suwartama alias Agus Buntung (22) sebagai tersangka pelecehan terhadap mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) di Kota Mataram, NTB, saat disuapi makanan oleh keluarganya. (ist)

    Saat berbincang, tersangka menunjuk ke arah sepasang kekasih yang sedang beraktivitas seksual, yang membuat korban teringat masa lalunya dan menangis.

    Di belakang Teras Udayana, tersangka mulai mengintimidasi korban dengan ancaman untuk memberitahu orang tua M tentang aibnya.

    “Pelaku mengatakan, ‘Kamu sudah terikat dengan saya sehingga kamu tidak bisa ke mana-mana. Saya sudah mengetahui asal-usulmu, jadi jika kamu tidak mengikuti apa kemauan saya, saya akan memberitahu orang tua kamu’. Korban merasa takut dan terintimidasi,” terang Andre.

    Setelah itu, Agus dan M menuju ke sebuah homestay menggunakan motor korban, karena tersangka tidak membawa kendaraan.

    Ketika memasuki kamar, tersangka membuka pintu menggunakan mulut dan gigi.

    “Menariknya di sini, ketika masuk ke kamar, pelaku yang membukakan pintu. Apa yang digunakan oleh pelaku? Gigi dan mulutnya untuk membuka pintu. Jadinya pelaku produktif,” tutur Andre.

    Pada Minggu (1/12/2024), Agus Buntung mengaku dirinya merupakan orang yang dijebak.

    Agus mengaku awalnya meminta bantuan kepada seorang perempuan untuk diantarkan ke kampus.

    Namun, ternyata dia berhenti di salah satu homestay di Kota Mataram.

    “Jadi pada intinya itu saya benar-benar kaget dan syok. Tiba-tiba dijadiin tersangka,” katanya, Minggu, masih dari TribunLombok.com.

    Agus juga mengaku hanya mengikuti keinginan dari perempuan tersebut.

    “Saya ceritain setelah saya sampai homestay itu, dia yang bayar, dia yang buka pintu, terus tiba-tiba dia yang bukain baju dan celana saya,” jelasnya.

    Ia pun mulai curiga ketika perempuan itu mulai menghubungi temannya.

    “Tapi yang membuat saya tahu kasus ini jebakan pas dia nelepon seseorang, di situ saya enggak berani mau ngomong apa.”

    “Saya merasa ini jebakan, karena ini ke sana kemari saya dituduh,” ujarnya.

    “Saya dituduh melakukan kekerasan seksual, coba dipikirkan bagaimana saya melakukan kekerasan seksual sedangkan bapak ibu lihat sendiri (enggak punya tangan).”

    “Didorong aja saya, atau jangan diantar saya, atau ditinggal aja saya,” papar Agus.

    Sebagian artikel ini telah tayang di TribunLombok.com dengan judul KDD NTB Ungkap 3 Korban Anak di Bwah Umur Diduga Jadi Korban Pelecehan Pria Disabilitas di Mataram

    (Tribunnews.com/Nuryanti) (TribunLombok.com/Andi Hujaidin) (Kompas.com/Karnia Septia)

    Berita lain terkait Agus Buntung dan Kasusnya

  • Selebgram Hana Hanifah Diperiksa Kasus Dugaan Korupsi Perjalanan Dinas Fiktif Sekretariat DPRD Riau – Halaman all

    Selebgram Hana Hanifah Diperiksa Kasus Dugaan Korupsi Perjalanan Dinas Fiktif Sekretariat DPRD Riau – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, PEKANBARU- Polisi memeriksa selebgram Hana Hanifah terkait kasus dugaan korupsi perjalanan dinas fiktif di Sekretariat DPRD Riau, Kamis (5/12/2024).

    Kabid Humas Polda Riau, Kombes Anom Karibianto, mengatakan, ada dugaan selebgram Hana Hanifah menerima aliran dana korupsi sejak November 2021.

    Dana itu diduga berasal dari pihak yang terlibat dalam korupsi uang negara tersebut.

    “Penyidik fokus pada aliran dana yang mengalir kepada saksi HH (Hana Hanifah). Kami masih mengonfirmasi beberapa data karena aliran dana tidak hanya terjadi sekali, nominalnya juga bervariasi, mulai dari Rp 5 juta hingga Rp 15 juta,” ungkap Anom dikutip dari Kompas.com.

    Anom mengatakan, jika memang pihak-pihak yang diperiksa mendapaatkan aliran dana, maka uang tersebut wajib dikembalikan karena berasal dari tindak pidana korupsi.

    Penyidik berencana memanggil kembali Hana Hanifah dan beberapa saksi lainnya untuk melengkapi keterangan serta memastikan kebenaran dugaan aliran dana.

    “Kami fokus pada pengembalian aset negara dan memastikan semua pihak yang terlibat bertanggung jawab,” kata Anom.

    Hana Hanifah diperiksa penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau di Pekanbaru, Kamis (5/12/2024). 

    Pemeriksaan Hana sebagai saksi terkait kasus dugaan korupsi perjalanan dinas luar daerah fiktif di Sekretariat DPRD Riau tahun 2020-2021. 

    Hana Hanifah memakai baju hitam lengan panjang dan celana jeans panjang serta berhijab motif petak-petak. 

    Artis Hana Hanifah usai menjalani pemeriksaan penyidik Ditreskrimsus Polda Riau, Kamis (5/12/2024) (KOMPAS.com/Idon Tanjung)

    Saat ditemui awak media, Hana Hanifah berusaha mengelak dan enggan memberikan komentar. 

    “Maaf ya,” ucap Hana sambil berjalan menuju ruangan penyidik Subdit Tipikor. 

    Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Riau, Kombes Nasriadi, menjelaskan bahwa pemeriksaan ini merupakan bagian dari upaya pengungkapan dugaan penyalahgunaan anggaran negara. 

    “Proses penyelidikan ini penting untuk memastikan semua pihak yang terlibat bertanggung jawab. Kami sedang mendalami aliran dana terkait pembelian aset-aset tertentu,” kata Nasriadi saat diwawancarai wartawan.

    Sebelumnya diberitakan, Ditreskrimsus Polda Riau tengah mengusut kasus dugaan korupsi perjalanan dinas fiktif di Sekretariat Dewan (Setwan) DPRD Riau pada tahun 2020-2021.

    Dalam penyelidikan ini, polisi telah memanggil sejumlah saksi untuk dimintai keterangan.

    Salah satunya mantan Pj Wali Kota Pekanbaru, Muflihun, yang saat itu menjabat sebagai Sekwan DPRD Riau.

    Penelusuran polisi menemukan indikasi korupsi dengan kerugian negara yang cukup besar.

    Sejumlah temuan mengungkapkan ribuan surat perjalanan dinas yang diduga fiktif dan 35.836 tiket pesawat yang juga diduga palsu.

    Padahal, pada periode 2020-2021, tidak ada penerbangan pesawat karena adanya pandemi Covid-19.

    Berdasarkan temuan tersebut, kasus ini telah ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan.

    Beberapa hari lalu, penyidik Ditreskrimsus Polda Riau menyita empat unit apartemen di Citra Plaza Nagoya, Batam, Kepulauan Riau, yang diduga terkait dengan hasil korupsi perjalanan dinas fiktif.

    Salah satu apartemen yang disita milik mantan Pj Wali Kota Pekanbaru, Muflihun.

     

  • Reza Indragiri Sebut Agus Buntung Super Berbahaya, Kini Sudah Ada 19 Orang Jadi Terduga Korban – Halaman all

    Reza Indragiri Sebut Agus Buntung Super Berbahaya, Kini Sudah Ada 19 Orang Jadi Terduga Korban – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel mengomentari kasus dugaan pelecehan seksual yang menjerat I Wayan Agus Suartama alias Agus Buntung asal Nusa Tenggara Barat (NTB).

    Reza menggaris bawahi, apabila Agus Buntung memang terbukti melakukan perbuatan keji, dirinya bisa dikategorikan sebagai residivis.

    Residivis dimaksudnya bukan orang sudah pernah masuk penjara, lalu mengulang kejahatan yang sama usai keluar biu.

    Namun, seseorang yang berbuat kejahatan secara berulang-ulang, meski belum pernah dipenjara.

    “Residivis yang saya maksud perilaku jahat berulang yang argonya dihitung berdasarkan jumlah korban,” urai Reza, dikutip dari kanal YouTube Official iNews, Jumat (5/11/2024).

    Reza melanjutkan, dengan informasi awal terkait jumlah terduga korban, ia menyebut Agus Buntung adalah sosok yang sangat berbahaya.

    Ditambah kasus ini sudah masuk dalam kejahatan serius yang diatur dalam Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

    “Kita patut punya keinsafan (kesadaran) bahwa orang ini adalah orang yang super berbahaya.”

    “Tetap dengan menaruh rasa hormat dan simpati atas keterbatasan fisik yang dia miliki, tetapi dengan pemahaman bahwa orang ini adalah residivis kejahatan serius yang sangat berbahaya, maka sepatutnya otoritas penegakan hukum melakukan penyikapan yang sangat serius terhadap yang bersangkutan sejak sekarang,” urai Reza.

    Reza mendorong pihak berwenang melakukan pengawasan terhadap Agus Buntung meski statusnya sekarang menjadi tahanan rumah.

    Harapannya kejahatan seksual tidak terus terulang kedepannya.

    Reza dalam kesempatannya juga meluruskan persepsi keliru publik terkait kekerasan seksual dan disabilitas.

    Ia menilai masih ada beranggapan kekerasan seksual, khususnya rudapaksa hanya bisa dilakukan oleh orang yang normal.

    “Fokus kita saat menarasikan kekerasan seksual berfokus kepada kondisi fisik pelaku.”

    “Sementara saat berbincang soal disabilitas, masih ada anggapan orang yang tidak berdaya, tidak mampu melakukan apapun, tidak pernah berpikiran jahat.”

    “Kalau dua narasi ini digabung memang muncul skeptisisme (keraguan). Bagaimana mungkin penyandang disabilitas melakukan kekerasan seksual,” ungkapnya.

    Terakhir Reza berharap, masyarakat perlu mengoreksi dua narasi, kekerasan seksual dan penyandang disabilitas.

    “Bahwa mungkin penyandang disabilitas sekalipun bisa melakukan kekerasan seksual,” tandasnya.

    Dalam perjalanan kasusnya, terdapat perbedaan jumlah terduga korban Agus Buntung.

    Ketua Komisi Disabilitas Daerah (KKD) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Joko Jumadi menyebut, ada 13 orang terduga korban yang sudah melapor ke pihaknya.

    “Yang baru melapor ada 10, yang sudah di BAP ada 3 orang,” bebernya, dikutip dari kanal YouTube BeritaSatu.

    Joko melanjutkan, dari 10 orang yang baru melapor, sudah ada 1 menjalani pemeriksaan ke Polda NTB.

    Jumlah terduga korban juga disampaikan Perhimpunan Bantuan Hukum & Advokasi Masyarakat, Andre Safutra.

    Ia mendapatkan informasi dari pengelola homestay ada 9 wanita terlihat bersama Agus Buntung.

    Informasi sebelumnya sudah ada 10 terduga korban yang laporannya masuk.

    “Bisa dijumlahkan 19 orang kemungkinan terduga korban. Jumlah bertambah terus,” tandas Andre.

    I Wayan Agus Suwartama alias Agus Buntung (22) sebagai tersangka pemerkosaan terhadap mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) di Kota Mataram, NTB, saat disuapi makanan oleh keluarganya. (dok.)

    Agus Buntung dalam berbagai kesempatannya berulang kali membantah telah melakukan pelecehan seksual.

    Ia mengaku, pertemuannya dengan korban terjadi secara tidak sengaja saat hendak mencari makan di kawasan Taman Udayana, Kota Mataram, NTB.

    Selesai mengisi perut, Agus Buntung tiba-tiba bertemu korban saat mau balik ke kampus.

    “Saya minta tolong kepada korban untuk mengantarkan. Wanita ini bersedia,” ucapnya, dikutip dari kanal YouTube tvOneNews, Rabu (4/12/2024).

    Agus Buntung menyebut, korban sempat membawanya berkeliling sebanyak 3 kali di kawasan Islamic Center.

    Tiba-tiba, dirinya dibawa ke homestay yang sewanya dibayar oleh korban sendiri.

    “Dia yang buka pintu. Dia buka semua (pakaian) saya. Dia yang gituin saya. Dia yang masang lagi (pakaian),” bebernya.

    Usai berada di homestay, Agus Buntung mengaku diajak berkeliling lagi oleh korban.

    Singkat cerita, keduanya bertemu seorang pria yang tidak dikenal oleh Agus Buntung.

    Pria tersebut, memfoto Agus Buntung saat bersama korban.

    “Saya dijebak, terus diviralkan. Saya dilaporkan Polda atas pemerkosaan atau kekerasan seksual,” imbuhnya.

    Agus Buntung dalam kesempatan lain terus membantah dirinya melakukan kekerasan seksual.

    Menurutnya hal tersebut, tidak mungkin terjadi mengingat keterbatasan kondisi fisiknya.

    “Saya dituduh melakukan kekerasan seksual, coba dipikirkan bagaimana saya melakukan kekerasan seksual sedangkan bapak ibu lihat sendiri (nggak punya tangan), didorong aja saya, atau jangan diantar saya, atau ditinggal aja saya,” sambungnya, dikutip dari TribunLombok.com.

    Informasi tambahan, Agus sudah ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat Pasal 6C UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Pelecehan Seksual.

    Sebagian artikel telah tayang di Tribun Lombok dengan judul “Tak Punya Lengan, Bagaimana Agus Bisa Jadi Tersangka Pelecehan Seksual Mahasiswi? Ini Cerita Korban”

    (Tribunnews.com/Endra)(Tribun Lombok/Andi Hujaidin)

  • Agus Buntung Tersudut, Ternyata Sering Bawa Cewek Berbeda ke Homestay dan Sering Berulah di Kampus – Halaman all

    Agus Buntung Tersudut, Ternyata Sering Bawa Cewek Berbeda ke Homestay dan Sering Berulah di Kampus – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, MATARAM – Kebusukan pemuda disabilitas asal Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), I Wayan Agus Suartama alias Agus Buntung (21),sedikit demi sedikit terungkap.

    Usai pihak kampus mengungkap fakta Agus Buntung sering berulah, kini pemilik homestay mengungkap fakta baru.

    Agus Buntung kerap embawa wanita berbeda ke homestay yang menjadi tempat kejadian perkara (TKP) kasus dugaan pelecehan.

    Menurut karyawan homestay, selama ini Agus sudah membawa 4 wanita yang berbeda sementara pemilik homestay mengaku melihat Agus membawa lima wanita berbeda.

    “Kita sudah memeriksa karyawan homestay dan pemilik itu sendiri. Dari keterangan karyawan dan pemilik, memang pelaku, selain membawa korban (pelapor), sudah pernah membawa perempuan (lain)” ungkap Dirkrimum Polda NTB, Kombes Syarif Hidayat dalam wawancara bersama tvOne, Rabu (4/12/2024).

    “Karyawan ini memberikan statement ada empat perempuan yang berbeda dengan pelaku datang ke homestay.

    Kalau pemilik homestay, itu ada lima perempuan berbeda yang dibawa pelaku,” jelas Syarif.

    Terkait mengapa Agus membawa korban ke tempat yang sama, Syarif menduga lantaran pelaku merasa nyaman.

     “Mengapa ke tempat yang sama? Kemungkinan pelaku merasa nyaman melakukan aksinya di tempat tersebut,” kata dia.

    Berdasarkan berkas perkara, Syarif mengatakan sudah ada lima perempuan, termasuk pelapor, yang menjadi korban Agus.

    Syarif mengatakan, terhadap kelima korban tersebut, Agus menggunakan modus yang sama.

    TKP tempat pertama bertemu, ungkap Syarif, juga sama, yaitu di Taman Udayana Kota Mataram.

    Tak hanya itu, antara korban dan pelaku juga tak saling kenal.

    Syarif mengungkapkan Agus dan kelima korbannya pertama kali bertemu di Taman Udayana.

     “Kalau yang ditangani kita (polisi), sampai saat ini yang dimasukkan berkas perkara, ada empat korban dengan modus yang sama. Termasuk satu korban sbg pelapor, jadi ada lima.,” ujar Syarif.

    “TKP awal juga sama, di Taman Udayana. Jadi modusnya si pelaku mendatangi korban yang sedang sendiri, terus duduk, memperkenalkan diri,” lanjutnya.

    Dari perkenalan itulah, Agus dan korban kemudian terlibat percakapan yang mendalam.

    Hal itu kemudian menyebabkan korban terikat secara psikis dan tak mampu melawan pelaku.

    “Lalu ada percakapan yang mendalam antara pelaku dan korban, dari situlah pelaku melancarkan aksi-aksinya. Sehingga korban terikat dan tidak melepaskan secara psikis,” beber Syarif.

    Tukang Bohong 

    Sebelumnya, pihak kampus tempat I Wayan Agus Suartama alias Agus Buntung (21) berkuliah, mengaku tak kaget mahasiswanya yang disabilitas itu menjadi tersangka kasus rudapaksa.

    Dosen Pembimbing Akademik (PA) Agus Buntung, I Made Ria Taurisia Armayani, menyayangkan aksi mahasiswanya itu.

     Ria mengaku, tak kaget sebab pelaku selama ini memang kerap membuat ulah di kampus.

    “Saya sayangkan (jadi tersangka kasus rudapaksa), iya. Tapi, saya juga tidak kaget karena ini bukan kali pertama Agus membuat ulah,” kata Ria kepada Kompas.com, Selasa (3/12/2024).

    Ria mengaku pernah terkena dampak ulah Agus Buntung.

    Ria pernah didatangi oleh Dinas Sosial setempat karena Agus melaporkan dirinya atas tindakan yang tidak pernah ia lakukan.

    Agus melapor karena dirinya tak diinginkan berkuliah oleh Ria.

     “Agus ini berbohong. Saya selaku dosen PA, dianggapnya tidak menginginkan dia kuliah. Padahal tidak dalam cerita konteks itu,” jelas Ria.

    Ria menuturkan, permasalahan yang sebenarnya terjadi adalah Agus menunggak Uang Kuliah Tunggal (UKT) padahal ia penerima Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K).

    Atas hal itu, Ria berusaha membantu Agus dengan memberikan kemudahan.

    Ia membuka kembali sistem pembayaran yang sudah ditutup sesuai tanggal yang ditetapkan.

    Tetapi, kata Ria, Agus tak kunjung membayar UKT meskipun sudah dibantu membuka sistem pembayaran selama tiga hari.

    Padahal Agus diketahui sudah menerima pencairan beasiswa KIP-K.

     Setelah sistem pembayaran kembali ditutup, Agus kembali menghubungi Ria untuk meminjam uang dengan alasan membayar UKT.

    Tetapi, Ria tidak memberikannya.

    Ia beralasan meskipun memberi pinjaman tetap saja tidak dapat membayar UKT karena sistemnya tidak dapat dibuka kembali.

    Akibat keterlambatan tersebut, Agus pun tidak dapat kembali menerima beasiswa KIP-K.

    Dari kejadian tersebut, Agus lantas melaporkan Ria ke Dinas Sosial.

    Kini, Agus tetap melanjutkan kuliah dengan biaya sendiri.

    I Wayan Agus Suwartama alias Agus Buntung (22), tersangka pemerkosaan terhadap mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) di Kota Mataram, NTB. (Kolase Tribunnews)

    “Uang beasiswanya tidak dipergunakan dengan sebenarnya. Seharusnya uang beasiswa itu untuk membayar.”

    “Jumlah uang beasiswa itu sekitar Rp 13 juta per tahun. Sedangkan dia membayar UKT Rp 900.000 per semester,” jelas Ria.

    Buntung disebut kerap memanipulasi absensi masuk kuliah.

    Ria menjelaskan, Agus kerap tak masuk kelas sejak awal perkuliahan.

    Tetapi, dalam catatan absensi, Agus selalu rajin mengikuti kelas.

    Atas kasus yang menjerat Agus saat ini, Ria mengatakan, pihak kampus menyerahkan kepada pihak berwenang.

    “Intinya, kami serahkan ke penegak hukum sesuai hukum yang berlaku. Kalau ditanya bagaimana karakter Agus, ya seperti itulah intinya,” pungkas Ria.

    Berstatus Tahanan Kota

    Agus Buntung diketahui telah ditetapkan sebagai tersangka kasus rudapaksa.

    Ia dikenakan Pasal 6C Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

    Saat ini, Agus berstatus sebagai tahanan kota.

    Agus lantas memohon doa supaya kasus yang menjeratnya segera selesai.

    Sebab, ia ingin beraktivitas seperti biasa.

    “Saya memohon biar cepat tuntas kasus ini. Saya terus terang biar damai aja, saya tidak menuntut mencemarkan nama baik, biar Tuhan yang balas,” katanya saat ditemui TribunLombok.com di kediamannya, Minggu (1/12/2024).

    “Yang penting saya bisa kuliah, bisa kerja main gamelan,” lanjut dia.

    Lebih lanjut, Agus mengungkapkan kronologi kasus rudapaksa menurut dirinya.

    Ia mengaku, hal itu bermula saat dirinya meminta tolong kepada seorang wanita, untuk mengantar ke kampus, pada 7 Oktober 2024.

    Tetapi, menurut Agus, ia justru dibawa ke sebuah homestay di Kota Mataram.

    Saat di kamar, Agus mengaku pakaiannya langsung dilucuti oleh si wanita.

    Agus mengaku, selama kejadian itu dia tidak berani berteriak lantaran malu.

    Sebab, ia sudah terlanjur tak berbusana.

    Meski demikian, Agus menyebut tidak ada ancaman dari si wanita saat kejadian.

    “Nggak ada diancam sama perempuan secara fisik. Saya diam saja selama di dalam homestay.”

    “Saya takut buat teriak, karena sudah telanjang. Saya yang malu kalau saya teriak,” ungkapnya.

    Agus pun memastikan ia tidak melakukan rudapaksa seperti yang dituduhkan.

    Pasalnya, selama menjalankan kegiatan sehari-hari, apalagi makan, membuka baju, dan buang air, ia dibantu oleh orang tua.

    (Tribunnews.com/Pravitri Retno W, TribunLombok.com/Andi Hujaidin/Robby Firmansyah)

  • Detik-detik Penemuan 3 Jenazah Korban Pembunuhan di Kediri, Ditemukan di Dapur dan Ruang Tengah – Halaman all

    Detik-detik Penemuan 3 Jenazah Korban Pembunuhan di Kediri, Ditemukan di Dapur dan Ruang Tengah – Halaman all

     Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Isya Anshori

    TRIBUNNEWS.COM, KEDIRI – Warga di Dusun Gondang Legi, Desa Pandantoyo, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur dikejutkan dugaan penemuan 3 mayat yang diduga korban penganiayaan, Kamis (5/12/2024) pagi.

    Tiga anggota keluarga ditemukan tewas tergeletak bersimbah darah di rumah mereka, sementara satu anak berhasil selamat meskipun dalam kondisi kritis.

    Dari informasi yang dihimpun, kejadian itu diketahui sekitar pukul 08.30 WIB.

    Sejumlah saksi yang datang untuk mengecek kondisi Agus Komarudin (38), warga setempat yang tidak masuk sekolah setelah izin pada Rabu sebelumnya. 

    Saat dicek, pintu rumah Agus tertutup rapat dan tidak ada yang keluar meski telah diketuk beberapa kali.

    Setelah beberapa kali mencoba menghubungi korban tanpa hasil, salah satu anggota keluarga, Supriono, memutuskan untuk membuka jendela kamar. 

     Ia terkejut menemukan bercak darah di atas kasur, namun tidak berani masuk ke dalam rumah.

    Kecurigaan semakin menguat ketika salah satu saksi yang melihat melalui lubang tembok kayu di dapur melaporkan adanya pemandangan mengerikan.

     Sebuah tangan tergeletak di lantai dapur yang diduga milik korban Kristiani (37), istri Agus. 

    Kejadian ini segera dilaporkan ke perangkat desa setempat dan diteruskan ke Polsek Ngancar.

    Setelah petugas kepolisian tiba di lokasi, dilakukan olah tempat kejadian perkara (TKP). 

    Dua korban ditemukan tergeletak di dapur dalam kondisi berlumuran darah, yaitu Agus Komarudin dan Kristiani.

    Sementara itu, Christian Agusta Wiratmaja, anak pertama pasangan tersebut yang masih duduk di bangku SMP, ditemukan tergeletak di ruang tengah dengan kondisi serupa.

    Anak bungsu pasangan tersebut, Samuel Putra Yordaniel, yang masih duduk di bangku SD, ditemukan dalam keadaan terluka parah namun masih hidup.

    Kapolres Kediri AKBP Bimo Ariyanto memastikan insiden tersebut diduga merupakan kasus pembunuhan dengan pencurian disertai kekerasan atau 365. 

     Setelah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP), polisi menemukan bahwa korban mengalami kekerasan fisik sebelum meninggal dunia.

    “Dari keterangan beberapa saksi dan hasil olah TKP, kejadian ini kami duga sebagai kasus pencurian dengan kekerasan yang berujung pada pembunuhan. Kami juga sudah melakukan pemeriksaan di Rumah Sakit Bhayangkara untuk melihat kondisi salah satu korban yang masih selamat, dan alhamdulillah kondisinya stabil,” kata AKBP Bimo Ariyanto. 

    Dilakukan Otopsi

    AKBP Bimo menambahkan, autopsi akan dilakukan pada hari ini sekitar pukul 18.00 WIB, untuk mengetahui lebih lanjut penyebab kematian korban. 

    Hasil sementara dari olah TKP menunjukkan bahwa para korban mengalami kekerasan fisik, berupa pukulan menggunakan benda tumpul.

    Namun, penjelasan lebih lengkap akan disampaikan setelah hasil autopsi keluar.

    “Selain itu, dari hasil olah TKP, kami juga menemukan bahwa mobil milik korban hilang, serta beberapa barang lainnya yang juga tidak ada di tempatnya,” bebernya.

     Sementara itu, korban yang selamat, Samuel Putra Yordaniel, yang merupakan anak terakhir dari keluarga tersebut, saat ini masih dalam perawatan medis di Rumah Sakit Bhayangkara. 

    AKBP Bimo Ariyanto menjelaskan bahwa kondisi Samuel sudah dalam keadaan sadar, namun masih memerlukan observasi lebih lanjut dari tim medis. 

    “Saat ini korban yang selamat sedang dalam masa pemulihan. Kami akan memberikan informasi lebih lanjut setelah hasil rontgen dan CT scan keluar,” tambahnya.

    Sementara itu, tim gabungan dari Polres Kediri kini sedang bergerak cepat untuk memburu pelaku. 

    “Saat ini tim gabungan dari Polres Kediri telah bergerak mohon doanya untuk semua untuk pelaku bisa segera tertangkap,” tegas Kapolres.

    Dari hasil olah TKP, dua orang korban ditemukan di ruang belakang rumah, sementara anak mereka ditemukan tergeletak di ruang tengah. 

    “Untuk korban yang selamat saat ini dalam keadaan sadar dan masa pemulihan,” tandasnya. 

    Kondisi Korban Selamat Membaik 

    Kapolres Kediri AKBP Bimo Ariyanto langsung mengunjungi Samuel Putra Yordaniel (8), anak yang selamat dari tragedi dugaan pembunuhan satu keluarga tewas di Dusun Gondanglegi, Desa Pandantoyo, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, Kamis (5/12/2024) sore.

    Samuel saat ini tengah dirawat intensif di RS Bhayangkara Kota Kediri.

     “Setelah mengetahui bahwa satu anak selamat dari peristiwa pembunuhan ini, kami segera membawa korban ke Rumah Sakit Bhayangkara untuk mendapatkan perawatan medis. Alhamdulillah, kondisinya semakin membaik meski masih mengalami luka,” jelasnya.

    Samuel adalah anak dari pasangan suami istri, Agus Komarudin (38) dan Kristiani (34), yang keduanya bekerja sebagai guru di SDN Babatan 1 dan SDN Barangsaren 1 Kauman Tulungagung.

    Mereka bersama anak pertama Christian Agusta Wiratmaja (9), menjadi korban dalam peristiwa tragis tersebut.

    AKBP Bimo menambahkan, meski kondisi Samuel berangsur membaik, pihak kepolisian belum dapat memintai keterangan lebih lanjut. 

    “Kami akan memberikan pendampingan psikologis agar korban merasa lebih nyaman. Saat ini, belum bisa dimintai keterangan karena kondisi korban yang masih dalam masa pemulihan,” jelas AKBP Bimo.

     

    Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJatim.com dengan judul Kondisi Anak Bungsu dalam Tragedi Satu Keluarga Tewas di Kediri, Kapolres Singgung Pendampingan

  • 10 Fakta Mengejutkan Soal Agus Buntung: Mantra Khusus, Trik Manipulasi Emosi, Hingga Mahir Menyelam – Halaman all

    10 Fakta Mengejutkan Soal Agus Buntung: Mantra Khusus, Trik Manipulasi Emosi, Hingga Mahir Menyelam – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mahasiswa semester tujuh jurusan seni dan budaya  I Wayan Agus Suartama alias Agus Buntung (21) mendadak terus menjadi buah bibir beberapa waktu belakangan ini. Hal tersebut setelah belasan korban dugaan pelecehan seksual melapor.

    Ketua Komisi Disabilitas Daerah (KDD) Nusa Tenggara Barat (NTB), Joko Jumadi menyebut, ada 13 orang terduga korban yang sudah melapor ke pihaknya.

    “Yang baru melapor ada 10, yang sudah di BAP ada 3 orang,” bebernya.

    Joko melanjutkan, dari 10 orang yang baru melapor, sudah ada 1 menjalani pemeriksaan ke Polda NTB.

    Jumlah terduga korban juga disampaikan Perhimpunan Bantuan Hukum & Advokasi Masyarakat, Andre Saputra.

    Ia mendapatkan informasi dari pengelola homestay ada 9 wanita terlihat bersama Agus Buntung.

    Informasi sebelumnya sudah ada 10 terduga korban yang laporannya masuk.

    “Bisa dijumlahkan 19 orang kemungkinan terduga korban. Jumlah bertambah terus,” ujar Andre.

    Berikut beberapa fakta mengenai I Wayan Agus Suartama alias Agus Buntung (21):

    1. Pengelola Homestay Sering Lihat Wanita Datang

    Dugaan pelecehan seksual dikuatkan oleh keterangan pengelola homestay yang mengaku kerap melihat Agus Buntung membawa wanita. Dirkrimsus Polda NTB, Kombes Pol Syarif Hidayat mengatakan, pihaknya sudah memintai keterangan pengelola homestay.

    “Dari keterangan karyawan dan pemilik homestay memang si pelaku (Agus Buntung) selain membawa korban yang lapor ke kita. Dia sudah pernah membawa perempuan yang berbeda,” ujarnya.

    Syarif membeberkan, ada perbedaan keterangan antara karyawan dengan pemilik homestay terkait jumlah wanita yang dibawa Agus Buntung. Karyawan menyebut ada 4 wanita, sedangkan pemilik mengatakan ada 5 wanita.

    “Keterangan ini menguatkan pelaku sering membawa perempuan berbeda ke homestay,” tegasnya.

    Syarif menambahkan, ada dua wanita yang dibawa Agus Buntung pada bulan Oktober ini. Sedangkan tiga lainnya diajak ke homestay selama tahun 2024.

    Meskipun demikian, karyawan dengan pemilik homestay mengaku tidak merasa janggal dengan kedatangan Agus Buntung ke tempat penginapannya.

    2. Suka Sama Suka

    Agus Buntung dalam beberapa kali kesempatan membantah apa yang dituduhkan oleh korban sehingga ia dijadikan tersangka kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual(TPKS) oleh polisi. Ia mengaku, pertemuannya dengan korban terjadi secara tidak sengaja saat hendak mencari makan di kawasan Taman Udayana, Kota Mataram, NTB.

    Selesai mengisi perut, Agus Buntung tiba-tiba bertemu korban saat mau balik ke kampus.”Saya minta tolong kepada korban untuk mengantarkan. Wanita ini bersedia,” ucapnya.

    Agus Buntung menyebut, korban sempat membawanya berkeliling sebanyak 3 kali di kawasan Islamic Center.

    Tiba-tiba, dirinya dibawa ke homestay yang sewanya dibayar oleh korban sendiri. “Dia yang buka pintu. Dia buka semua (pakaian) saya. Dia yang gituin saya. Dia yang masang lagi (pakaian). Kita suka sama suka,” bebernya.

    Usai berada di homestay, Agus Buntung mengaku diajak berkeliling lagi oleh korban. Singkat cerita, keduanya bertemu seorang pria yang tidak dikenal oleh Agus Buntung.

    Pria tersebut, memfoto Agus Buntung saat bersama korban. “Saya dijebak, terus diviralkan. Saya dilaporkan Polda atas pemerkosaan atau kekerasan seksual,” imbuhnya.

    Agus Buntung dalam kesempatan lain terus membantah dirinya melakukan kekerasan seksual. Menurutnya hal tersebut, tidak mungkin terjadi mengingat keterbatasan kondisi fisiknya.

    “Saya dituduh melakukan kekerasan seksual, coba dipikirkan bagaimana saya melakukan kekerasan seksual sedangkan bapak ibu lihat sendiri (nggak punya tangan), didorong saja saya, atau jangan diantar saya, atau ditinggal aja saya,” sambungnya.

    3. Punya Mantra Khusus

    Pendamping korban, Andre Saputra, mengatakan, tersangka I Wayan Agus Suartama (21) alias Agus Buntung mengucapkan jampi-jampi atau mantra saat hendak melakukan dugaan pelecehan terhadap korbannya.  Dugaan pelecehan yang dilakukan Agus Buntung itu terjadi di salah satu homestay di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). 

    Andre Saputra mengungkap, Agus, menakuti korbannya yang saat kejadian pada awal Oktober 2024 lalu itu hendak berteriak.  Agus mengelabui korbannya dengan mengatakan apabila suara teriakan korban terdengar maka keduanya bakal dinikahkan warga. 

    Pada saat itu, pakaian korban sudah dilucuti Agus.  “Pelaku pakaiannya dibukakan korban. Legging dibuka pelaku, bukan korban. Caranya pelaku menggunakan jari kakinya,” kata Andre.

    4. Kemampuan Manipulasi Emosional

    Menurut berbagai sumber, Agus Buntung bahkan mampu merayu korban dengan menjanjikan kenyamanan atau bahkan perlakuan khusus, yang membuat mereka tidak sadar bahwa mereka menjadi korban pelecehan seksual. Hal ini menunjukkan adanya pola yang sudah terstruktur dalam setiap aksinya.

    Dikenal sebagai seorang yang bisa menyelam dan mengendarai motor meskipun memiliki disabilitas, Agus diketahui memiliki kemampuan untuk memperdayai orang di sekitarnya.

    Pelaku juga berulang kali melakukan pelecehan seksual di lokasi yang sama, dan sudah mengincar korban dengan taktik manipulasi yang cerdas. Agus memanfaatkan korban yang kondisi psikologisnya sedang galau.

    5. Mahir Menggunakan Gigi dan Kaki

    Meski dalam kondisi disabilitas, Agus ternyata mahir menggunakan gigi dan kakinya. Salah satu korban menyebut saat peristiwa terjadi, Agus Buntung membuka legging yang dikenakan korban dengan jari-jari kaki. Ia juga mahir menggunakan gigi saat akan membuka pintu kamar dan mendorongnya dengan kaki.

    6. Menunggak Bayar Kuliah dan Manipulasi Presensi

    Tersangka pelecehan seksual sejumlah wanita, I Wayan Agus Suartama alias Agus Buntung (21), diketahui sempat menunggak bayar Uang Kuliah Tunggal (UKT). Hal tersebut diungkapkan oleh Dosen Pembimbing Akademik (PA) Agus Buntung, I Made Ria Taurisia Armayani.

    Ria mengatakan, awalnya dia dilaporkan Agus ke Dinas Sosial (Dinsos) karena dituding tak menginginkan Agus berkuliah. Padahal, kata Ria, permasalahan sebenarnya adalah Agus menunggak membayar UKT, meskipun dia merupakan penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah.

    “Agus ini berbohong. Saya selaku dosen PA, dianggapnya tidak menginginkan dia kuliah. Padahal tidak dalam cerita konteks itu,” jelas Ria.

    Agus disebut juga sering memanipulasi presensi kuliah. Ria mengungkapkan, Agus sering tidak masuk kelas sejak awal perkuliahan.

    Namun, dalam catatan absensi kuliah, Agus tercatat selalu rajin mengikuti kelas. Karena sejumlah ulah Agus di kampus itu, Ria mengaku tidak kaget saat mendengar Agus menjadi tersangka rudapaksa.

    7. Kampus Sudah Tahu Ulah Agus Buntung

    Pihak kampus tempat I Wayan Agus Suartama alias Agus Buntung (21) berkuliah, mengaku tak kaget mahasiswanya yang disabilitas itu menjadi tersangka kasus rudapaksa. Sebagai informasi, Agus Buntung, pemuda disabilitas asal Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), menjadi tersangka rudapaksa terhadap sejumlah wanita.

    Dosen Pembimbing Akademik (PA) Agus Buntung, I Made Ria Taurisia Armayani, menyayangkan aksi mahasiswanya itu.

    8. Jago Menyelam, Bermain Musik dan Naik Sepeda Motor

    Sang ibunda mengaku tak percaya bahwa anaknya yang tak punya tangan itu rudapaksa seorang mahasiswi. Agus Buntung diketahui juga mahir bermain alat musik dengan kakinya, pandai menyelam dan mengendarai sepeda motor.

    9. Sosok Super Berbahaya

    Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri, mengatakan dengan melihat korban yang lebih dari satu orang, dia menilai apa yang dilakukan Agus sudah di luar batas. Ia bahkan menyebut Agus Buntung sebagai orang yang sangat berbahaya.

    “Orang ini adalah orang yang super berbahaya,” katanya.

    “Karena itu tetap dengan menaruh rasa hormat dan simpati atas keterbatasan fisik yang dia miliki, tetapi dengan pemahaman orang ini adalah pelaku kejahatan serius yang sangat berbahaya,” sambungnya.

    Oleh karena itu, ia mendesak aparat penegak hukum segera melakukan penindakan serius terhadap Agus.

    Diketahui, Agus kini berstatus sebagai tersangka dan menjadi tahanan rumah. Terkait kondisi itu, Reza pun meminta agar pengawasan terhadap Agus diperketat.

    “Maka sepatutnya otoritas penegakan hukum melakukan penyikapan yang sangat serius terhadap yang bersangkutan sejak sekarang. Kendati diberlakukan tahanan rumah sekalipun, pengawasan tetap dilakukan secara melekat agar kejahatan yang serius itu tidak berulang,” ungkapnya.

    10. Terlambat Puber

    Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) NTB Lalu Yulhaidir mengatakan penyandang disabilitas tidak menutup kemungkinan untuk melakukan kekerasan seksual terhadap seseorang. Hal tersebut disebabkan berbagai hal.

    Misalnya pelaku memiliki kontrol diri yang lemah. Terlebih, kata Haidir, pelaku pernah menjadi korban perundungan pada saat usia anak-anak menjadi penyebab pelaku melakukan hal-hal nekat seperti pelecehan seksual.

    “Kalau berbicara psikoseksual individu disabilitas dan non disabilitas sama, tidak ada perbedaan hanya saja yang membedakan disabilitas agak terhambat dalam pubertas, seks education,” kata Haidir.