Category: Tribunnews.com Regional

  • Alasan Politisi PDIP di Riau Pekanbaru Beri Nama Jokowi untuk Anak Ketiganya – Halaman all

    Alasan Politisi PDIP di Riau Pekanbaru Beri Nama Jokowi untuk Anak Ketiganya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, PEKANBARU – Seorang bayi di Riau, Pekanbaru yang lahir pada Sabtu (11/1/2025) diberi nama Jokowi.

    Bayi ini tuai sorotan karena merupakan anak ketiga dari Politisi PDIP Perjuangan yang juga 
    mantan ketua PWNU Riau, Rusli Ahmad.

    Sempat hilang sejak Pemilihan Umum lalu yang menyatakan dukungan kepada Paslon Prabowo-Gibran, kini Rusli Ahmad muncul dengan kelahiran putra ketiganya.

    Nama yang diberikannya kepada putranya ini adalah nama Presiden RI ke tujuh Joko Widodo.

    Bahkan uniknya, ia sudah mempersiapkan pada saat kelahiran anaknya dengan mencetak baju bertuliskan “Jokowi bin Rusli Ahmad”.

    Adapun alasan Rusli memberi nama anaknya Jokowi karena menurutnya sosok Presiden RI ke tujuh tersebut menjadi inspirasi bagi dirinya dan masyarakat dari bawah yang tidak punya keluarga petinggi namun bisa memimpin bangsa ini.

    “Beliau sosok inspirasi, tidak punya keluarga dari polisi dan pejabat, tapi beliau bisa menjadi Presiden, inilah yang menginspirasi kita semuanya,” ujar Rusli.

    Ia memberikan nama kepada anaknya agar kelaknya bisa menjadi doa’ untuk menjadi pemimpin dimasa yang akan datang.

    “Semangat ini juga lah yang akan saya tanamkan pada anak saya Jokowi sejak kecil ini,” ujar Rusli Ahmad.

    Sosok Rusli Ahmad 

    Rusli Ahmad dikenal sebagai politisi dari PDI Perjuangan, sebelumnya duduk sebagai anggota DPRD Riau dari PDI Perjuangan dari daerah pemilihan Riau 3 Rokan Hulu.

    Di PDI Perjuangan, Rusli Ahmad juga sempat menjadi ketua Banteng Muda Indonesia (BMI).

    Selain itu Rusli Ahmad juga sempat menjabat sebagai ketua PWNU di masa kepemimpinan Said Aqil Siradj dan menjadi ketua Santri Tani NU pusat.

    Sebagai politisi dan tokoh masyarakat di Provinsi Riau, Rusli Ahmad juga banyak dikenal sebagai yang vokal dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat kecil. (Tribunpekanbaru.com/Nasuha Nasution)

     

  • Wali Murid Geram Anaknya Dipaksa Duduk di Lantai, Oknum Guru Tak Merasa Salah dan Minta Diviralkan – Halaman all

    Wali Murid Geram Anaknya Dipaksa Duduk di Lantai, Oknum Guru Tak Merasa Salah dan Minta Diviralkan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Video siswa SD dipaksa duduk di lantai kelas oleh gurunya viral di media sosial setelah diunggah ibu korban.

    Peristiwa tersebut terjadi di SD Yayasan Abdi Sukma, Medan, Sumatra Utara (Sumut), sejak Senin (6/1/2025) hingga Rabu (8/1/2025).

    Selama tiga hari, siswa kelas 4 SD berinisial MI (10) dipaksa duduk di lantai kerena menunggak pembayaran SPP selama tiga bulan.

    Ibu korban, Kamelia (38), mengaku tidak ingin memviralkan kasus ini jika wali kelas bernama Haryati meminta maaf atas perbuatannya.

    Namun, Haryati justru tak merasa bersalah dan menantang Kamelia untuk memviralkan video tersebut.

    “Jadi niat buat video itu, tadi bukan buat supaya sampai seperti ini (viral), enggak sebenarnya.”

    “Saya hanya (ingin) ngasih pelajaran, karena saya ditantang (guru itu) viralkan. Saya bilang ke dia, Ibu jangan sampai viral perbuatan ini, viralkan katanya,” ungkapnya, Minggu (12/1/2025).

    Ia menjelaskan pihak sekolah sudah banyak membantu kedua anaknya yang duduk di bangku kelas 4 dan kelas 1.

    Kamelia hanya tidak terima dengan perlakuan Haryati yang mempermalukan anaknya di depan siswa lain selama tiga hari.

    “Saya coba buat video itu hanya untuk memberi pelajaran, bukan untuk buat seperti viral atau saya mengharap dapat bantuan bukan gitu.”

    “Saya juga enggak juga punya niat untuk buat jelekan sekolah, tidak. Saya hanya menyayangkan sikap oknum gurunya,” tegasnya.

    Menurutnya, hanya guru Haryati yang bersikap arogan di sekolah tersebut sehingga seluruh guru terkena dampaknya.

    “Cuman dia (guru itu) yang bersifat kayak gitu sama murid, jadi biar ada efek jeranya juga. Jangan ada (peristiwa) yang dialami kayak anak saya jangan ada korban lagi,” tuturnya.

    Kamelia berencana memindahkan anaknya ke sekolah lain karena trauma.

    Jika pihak sekolah memecat wali kelas bernama Haryati, Kamelia tak akan memindahkan anaknya.

    “Saya berkoordinasi dengan kepala sekolah, Buk kalau dia gak keluar, saya tarik anak saya.”

    “Karena otomatis anak saya trauma,” ucapnya, Sabtu (11/1/2025).

    Menurut Kamelia, MI akan dibenci para guru-guru di sekolah lantaran videonya viral di media sosial.

    MI juga akan trauma melihat Haryati yang memberi hukuman duduk di lantai.

    “Saya tahu, akibat kejadian itu pasti membuat anak saya dibenci,” tandasnya.

    Kata Polisi

    Petugas kepolisian turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini secara mediasi.

    Kapolsek Delitua, Kompol Dedy Dharma, menyatakan orang tua siswa telah dipertemukan dengan Haryati serta pihak sekolah.

    “Kami sudah menggerakkan anggota Bhabinkamtibmas untuk mengecek langsung terkait video viral tersebut,” tuturnya, Minggu (12/1/2025).

    Dari keterangan pihak sekolah, hukuman yang diberikan Haryati tak ada dalam aturan sekolah.

    “Sudah ditanyakan langsung ke pemilik yayasan dan kepala sekolah, tidak ada ada pelarangan siswa belajar karena SPP menunggak,” tegasnya.

    Ia menerangkan permasalah ini merupakan kelalian wali kelas yang tidak berkomunikasi dengan kepala sekolah sebelum bertindak.

    “Sudah dimediasi, untuk SPP yang menunggak pun telah lunas.” 

    “Pihak guru menyadari perbuatannya dan sudah meminta maaf kepada orang tua siswa. Intinya mereka sudah sama-sama saling memaafkan,” katanya.

    Haryati Diberi Sanksi

    Ketua Yayasan Abdi Sukma, Ahmad Parlindungan, mengatakan hukuman duduk di lantai merupakan inisiatif dari wali kelas bernama Haryati.

    Kini, Haryati mendapat hukuman larangan mengajar untuk sementara waktu.

    “Kami yayasan akan memberikan pembebasan tidak mengajar atau skorsing sampai waktu yang ditentukan kemudian,” bebernya, Sabtu, dikutip dari TribunMedan.com.

    Menurutnya, pihak yayasan dan sekolah tak pernah membuat aturan tersebut.

    “Semua siswa yang ada, mau bayar atau tidak harus ikut belajar mengajar. Kami sangat kecewa dengan kondisi ini yang menjadi viral seluruh Indonesia karena tidak ada aturan tertulis,” tandasnya.

    Ia menjelaskan adik kandung korban yang duduk di bangku kelas 1 SD juga belum membayar SPP selama tiga bulan.

    Namun, wali kelasnya memperbolehkan mengikuti pelajaran seperti para siswa lain.

    Ahmad menambahkan Haryati yang berstatus wali kelas tak memiliki masalah pribadi dengan orang tua korban.

    Pihak sekolah sudah meminta maaf ke keluarga korban atas kesalahan ini.

    “Mediasi sudah. Sudah meminta maaf. Anaknya ada 2 disini, yang kelas 4 dan kelas 1 SD. Nah, yang kelas 1 ini tidak ada masalah. Sama-sama tidak membayar uang sekolah,” jelasnya.

    Sementara itu, kepala sekolah, Juli Sari, membenarkan siswa yang ada dalam video menunggak pembayaran SPP.

    Namun, pihak sekolah kecolongan dengan hukuman yang dibuat Haryati sehingga viral di media sosial.

    “Saya juga baru mengetahui siswa tersebut di dudukkan di lantai setelah wali muridnya datang ke sekolah menemui saya sambil menangis,” bebernya.

    Juli menegaskan Haryati membuat peraturan sendiri tanpa sepengetahuan pihak sekolah.

    “Wali murid juga sudah kita panggil. Saat kejadian itu orang tuanya nangis-nagis. Dan permasalahan ini sudah kami selesaikan hari itu juga,” jelasnya.

    Ia belum dapat memutuskan sanksi yang akan diterima Haryati karena perlu mengadakan rapat dengan pemilik yayasan.

    “Iya (pemecatan belum ada). Cuman sudah ditegur bahwa tidak boleh seperti itu, dan jangan di ulangi lagi.”

    “Sementara kemungkinan dipecat atau tidak itu keputusan dari yayasan, saya  tidak berani bilang iya atau tidak karena Senin rapat lagi  untuk memutuskan yang baik untuk sekolah dan wali kelas,” pungkasnya.

    Sebagian artikel telah tayang di TribunMedan.com dengan judul Siswa SD Dihukum Duduk di Lantai Oleh Gurunya karena Nunggak SPP, Polisi Bantu Mediasi 

    (Tribunnews.com/Mohay) (TribunMedan.com/Fredy Santosa/Alfiansyah)

  • Ancaman Orang Tua setelah Anaknya Dipaksa Duduk di Lantai Kelas, Pihak Sekolah Minta Maaf – Halaman all

    Ancaman Orang Tua setelah Anaknya Dipaksa Duduk di Lantai Kelas, Pihak Sekolah Minta Maaf – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Seorang siswa kelas 4 SD di Medan, Sumatra Utara, berinisial MI (10) mengalami hukuman duduk di lantai selama tiga hari, mulai Senin, 6 Januari 2025, hingga Rabu, 8 Januari 2025.

    Hukuman tersebut dijatuhkan oleh wali kelasnya, Haryati, karena MI menunggak pembayaran SPP.

    Ibu MI, Kamelia (38), merasa terkejut dan marah melihat anaknya dipermalukan di hadapan teman-temannya.

    “Saya berencana memindahkan anak saya ke sekolah lain karena trauma. Jika pihak sekolah memecat wali kelas, saya tidak akan memindahkan anak saya,” ucapnya. 

    Kamelia juga menambahkan bahwa MI mungkin akan dibenci oleh guru-guru di sekolah setelah video hukuman tersebut viral di media sosial.

    Kapolsek Delitua, Kompol Dedy Dharma, mengonfirmasi bahwa pihak kepolisian telah turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini secara mediasi.

    “Kami sudah menggerakkan anggota Bhabinkamtibmas untuk mengecek langsung terkait video viral tersebut,” ujarnya pada Minggu, 12 November 2025.

    Dari keterangan pihak sekolah, hukuman yang diberikan oleh Haryati tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.

    “Sudah ditanyakan langsung ke pemilik yayasan dan kepala sekolah, tidak ada pelarangan siswa belajar karena SPP menunggak,” tegasnya.

    Pihak sekolah mengakui bahwa tindakan Haryati merupakan kelalaian yang tidak berkomunikasi dengan pihak sekolah sebelum bertindak.

    Ketua Yayasan Abdi Sukma, Ahmad Parlindungan, menyatakan bahwa hukuman duduk di lantai adalah inisiatif dari Haryati.

    Saat ini, Haryati telah diberikan sanksi larangan mengajar sementara waktu. “Kami akan memberikan pembebasan tidak mengajar atau skorsing sampai waktu yang ditentukan kemudian,” ungkapnya.

    Ahmad menegaskan bahwa tidak ada aturan tertulis yang mengizinkan tindakan tersebut. “Kami sangat kecewa dengan kondisi ini yang menjadi viral seluruh Indonesia karena tidak ada aturan tertulis,” tambahnya.

    Kepala sekolah, Juli Sari, juga membenarkan bahwa siswa dalam video tersebut menunggak pembayaran SPP.

    Namun, ia mengakui bahwa pihak sekolah kecolongan dengan hukuman yang dijatuhkan oleh Haryati.

    “Saya juga baru mengetahui bahwa siswa tersebut didudukkan di lantai setelah wali muridnya datang ke sekolah menemui saya sambil menangis,” jelasnya.

    Juli menegaskan bahwa Haryati telah membuat peraturan sendiri tanpa sepengetahuan pihak sekolah.

    Meskipun pihak sekolah telah meminta maaf kepada keluarga korban, keputusan mengenai sanksi lebih lanjut terhadap Haryati masih dalam proses.

    “Pemecatan belum ada, tetapi sudah ditegur agar tidak mengulangi hal tersebut,” pungkasnya.

    Sebagian artikel telah tayang di TribunMedan.com dengan judul Siswa SD Dihukum Duduk di Lantai Oleh Gurunya karena Nunggak SPP, Polisi Bantu Mediasi 

    (Tribunnews.com/Mohay) (TribunMedan.com/Fredy Santosa/Alfiansyah)

  • Viral Siswa SD Dipaksa Duduk di Lantai karena Nunggak Bayar SPP, Wali Kelas Dapat Sanksi Tegas – Halaman all

    Viral Siswa SD Dipaksa Duduk di Lantai karena Nunggak Bayar SPP, Wali Kelas Dapat Sanksi Tegas – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Sebuah video yang viral menunjukkan seorang siswa SD dihukum duduk di lantai karena menunggak pembayaran sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) selama tiga bulan.

    Peristiwa ini terjadi di SD Yayasan Abdi Sukma, Medan, dan memicu reaksi keras dari orang tua siswa.

    Orang tua siswa yang menjadi korban hukuman tersebut melaporkan tindakan oknum guru kepada kepala sekolah.

    Ketua Yayasan Abdi Sukma, Ahmad Parlindungan, menjelaskan bahwa hukuman duduk di lantai merupakan inisiatif dari wali kelas bernama Haryati.

    “Kami yayasan akan memberikan pembebasan tidak mengajar atau skorsing sampai waktu yang ditentukan,” ujarnya pada Sabtu, 11 Februari 2025.

    Ahmad menegaskan bahwa pihak yayasan dan sekolah tidak pernah membuat aturan yang mengizinkan hukuman tersebut.

    “Semua siswa, mau bayar atau tidak, harus ikut belajar mengajar. Kami sangat kecewa dengan kondisi ini yang menjadi viral seluruh Indonesia karena tidak ada aturan tertulis,” tambahnya.

    Ahmad juga mencatat bahwa adik kandung korban, yang duduk di bangku kelas 1 SD, juga belum membayar SPP selama tiga bulan, namun wali kelasnya memperbolehkan untuk mengikuti pelajaran.

    Pihak sekolah telah meminta maaf kepada keluarga korban atas kesalahan tersebut.

    “Mediasi sudah dilakukan dan kami sudah meminta maaf. Anaknya ada dua di sini, yang kelas 4 dan kelas 1 SD. Nah, yang kelas 1 ini tidak ada masalah, sama-sama tidak membayar uang sekolah,” jelas Ahmad.

    Kepala sekolah, Juli Sari, mengonfirmasi bahwa siswa yang terdapat dalam video menunggak pembayaran SPP.

    Ia menegaskan bahwa Haryati membuat peraturan sendiri tanpa sepengetahuan pihak sekolah.

    “Saya juga baru mengetahui siswa tersebut didudukkan di lantai setelah wali muridnya datang ke sekolah menemui saya sambil menangis,” ungkap Juli.

    Juli menambahkan bahwa wali murid sudah dipanggil untuk menyelesaikan permasalahan ini.

    Ia menyatakan bahwa keputusan mengenai sanksi untuk Haryati masih dalam proses. “Pemecatan belum ada, cuman sudah ditegur bahwa tidak boleh seperti itu dan jangan diulang lagi,” tegas Juli.

    Keputusan akhir mengenai nasib Haryati akan ditentukan dalam rapat dengan pemilik yayasan.

    “Saya tidak berani bilang iya atau tidak mengenai kemungkinan dipecat, karena Senin rapat lagi untuk memutuskan yang baik untuk sekolah dan wali kelas,” pungkasnya.

    Sebagian artikel telah tayang di TribunMedan.com dengan judul Suruh Siswa SD Duduk di Lantai karena Nunggak SPP, Wali Kelas Kena Skorsing dan Tak Boleh Ngajar

    (Tribunnews.com/Mohay) (TribunMedan.com/Fredy Santosa)

  • Fakta Pencabulan Santriwati di Tasikmalaya, Pimpinan Ponpes jadi Tersangka, Dilakukan 10 Kali – Halaman all

    Fakta Pencabulan Santriwati di Tasikmalaya, Pimpinan Ponpes jadi Tersangka, Dilakukan 10 Kali – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Seorang pimpinan pondok pesantren berinisial R (45) telah ditetapkan sebagai tersangka kasus pencabulan terhadap santriwatinya yang masih berusia 13 tahun.

    Penetapan tersangka dilakukan setelah penyidik Polres Tasikmalaya Kota menggelar perkara dan memeriksa sejumlah saksi.

    Kasat Reskrim Polres Tasikmalaya Kota, AKP Herman Saputra, mengungkapkan bahwa status tersangka diberikan setelah proses penyelidikan yang mendalam.

    “Kami sudah menahan tersangka berinisial R. Penetapan tersangka dilakukan setelah gelar perkara yang melibatkan sejumlah pihak pada Sabtu (11/1/2025) sekitar pukul 16.00 WIB,” ujarnya, dikutip dari TribunJabar.id.

    R dijerat dengan Pasal 81 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak, yang ancaman hukumannya mencapai 15 tahun penjara.

    “Tersangka dikenakan pasal tentang persetubuhan dengan anak, dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara,” tambah AKP Herman.

    Dalam penyelidikan, pelaku mengakui telah menyetubuhi korban sebanyak empat kali sejak akhir 2023 hingga November 2024.

    Berdasarkan kesaksian korban, aksi bejat tersebut terjadi sebanyak 10 kali di lingkungan pondok pesantren. Kasus ini terungkap setelah korban memberanikan diri menceritakan kejadian tersebut kepada orang tuanya.

    Korban yang mengalami trauma berat telah dipulangkan ke rumahnya untuk mendapatkan pendampingan dan perlindungan lebih lanjut.

    “Kami sedang melakukan serangkaian pemeriksaan terkait dugaan tindak asusila ini,” jelas AKP Herman.

    Lembaga Bantuan Hukum (LBH) GP Ansor Kota Tasikmalaya, melalui perwakilannya Aa Syaepul Milah, mendesak aparat penegak hukum untuk menerapkan pasal tambahan.

    “Pelaku dapat dijerat dengan Pasal 4 ayat (2) jo Pasal 6 huruf C karena telah menyalahgunakan kedudukan, wewenang, dan kepercayaan sebagai pimpinan ponpes,” tegasnya.

    Ia juga meminta kepolisian untuk menyelidiki kasus ini secara objektif tanpa ada keberpihakan.

    “Aparat harus menunjukkan komitmen dalam menangani kasus kekerasan seksual, agar tidak terjadi penyidikan yang berlarut-larut,” tambah Aa.

    LBH GP Ansor turut mendesak Pemerintah Kota Tasikmalaya dan dinas terkait untuk segera memberikan perhatian khusus kepada korban. Pendampingan psikologis dan pemenuhan hak-hak anak menjadi prioritas utama. “

    Trauma fisik maupun psikologis yang dialami korban harus mendapat perhatian serius. Ini adalah luka yang membutuhkan waktu panjang untuk pulih,” pungkas Aa.

    Sebagian artikel telah tayang di TribunJabar.id dengan judul Minta Polisi Tangani Serius Kasus Asusila Pimpinan Lembaga Pendidikan, Ini Kata GP Ansor Kota Tasik

    (Tribunnews.com/Mohay) (TribunJabar.id/Jaenal Abidin)

  • Bripda Fauzan Tak Dipecat usai Nikahi Korban Rudapaksa, IPW: Celah Hukum Indonesia – Halaman all

    Bripda Fauzan Tak Dipecat usai Nikahi Korban Rudapaksa, IPW: Celah Hukum Indonesia – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso mengatakan tidak dipecatnya anggota polisi di Sulawesi Selatan (Sulsel), Bripda FA atau Fauzan usai menikahi mantan pacarnya yang dirudapaksa olehnya adalah wujud keterbatasan hukum di Indonesia.

    Mulanya, Sugeng mengatakan apabila dalam kasus ini, Bripda Fauzan merudapaksa anak di bawah umur, maka dirinya tidak mungkin batal dipecat karena tindakannya sudah masuk dalam ranah tindak pidana.

    “Perbuatan tindakan asusila, kalau anak di bawah umur, maka itu adalah tindak pidana dan itu tidak bisa dibantah lagi,” katanya kepada Tribunnews.com, Minggu (12/1/2025).

    Namun, ketika Bripda Fauzan menikahi mantan pacarnya yang dirudapaksa dan merupakan perempuan dewasa, maka proses hukum yang terjadi tidak sesimpel seperti kasus rudapaksa terhadap anak di bawah umur.

    Pasalnya, kata Sugeng, kasus tersebut sudah masuk sebagai delik aduan.

    Sugeng mengatakan hal ini justru wujud keterbatasan sistem hukum di Indonesia karena bisa menjadi strategi Bripda Fauzan untuk menghindari sanksi pemecatan atau pidana.

    Adapun hal yang dilakukan adalah dengan menikahi korban sehingga bisa dianggap sebagai upaya agar korban mencabut laporannya.

    Sugeng mengatakan ketika pelaku menikahi korban, maka hal tersebut dianggap sebagai penyelesaian masalah secara restorative justice.

    “Kalau delik aduan, maka pintu delik aduan ini bisa menjadi strategi dari pihak pelaku untuk melumpuhkan sanksi atau ancaman kepada dirinya apabila terjadi restorative justice.”

    “Misalnya, terjadi kesepakatan bahwa dia (Bripda Fauzan) menikahi. Maka korban bisa mencabut laporan tersebut. Nah, inilah keterbatasan hukum kita ketika pencabutan laporan tersebut dengan menikahi, maka tindakan asusila ini dianggap dimaafkan,” jelasnya.

    Sugeng mengatakan siapapun boleh menyatakan bahwa Bripda Fauzan telah mengakali hukum di Indonesia.

    Namun, imbuhnya, fakta bahwa Bripda Fauzan mau menikahi korban asusila yang diakibatkan olehnya adalah fakta hukum.

    “Jadi bisa menjadi alasan untuk meringankan hukuman pemecatan. Jadi ini kan itikad banding,” katanya.

    Hanya saja, Sugeng meyakini upaya Bripda Fauzan dengan menikahi mantan pacarnya tersebut memang semata-mata hanya bertujuan untuk menghindari sanksi pemecatan alih-alih wujud pertanggung jawaban.

    Hal tersebut dibuktikan dengan adanya dugaan bahwa Bripda Fauzan melakukan penelantaran terhadap korban sejak pertama kali menikah.

    Adapun hal itu dikatakan oleh kuasa hukum korban, Muhammad Irvan.

    “Kalau dia kemudian menelantarkan, maka terlihat satu akal bulus atau licik (dari Bripda FA),” pungkas Sugeng.

    Bripda FA Kembali Aktif Jadi Polisi, Kini Korban Laporkan Pelaku soal Penelantaran

    Sebelumnya, Polda Sulawesi Selatan (Sulsel) membenarkan bahwa Bripda Fauzan kembali aktif menjadi anggota polisi setelah mengajukan banding terkait sanksi pemecatan kepadanya atas kasus dugaan asusila terhadap mantan kekasihnya.

    Adapun banding Bripda Fauzan berujung dikabulkan sehingga sanksi pemecatan dibatalkan.

    Salah satu memori banding Bripda Fauzan adalah dengan menikahi mantan kekasihnya tersebut.

    “Memang awalnya sanksi PTDH. Tapi karena dia (Bripda Fauzan ) banding dan diterima karena sepakat untuk menikahi mantan pacarnya,” kata Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes Didik Supranoto, Minggu (12/1/2025), dikutip dari Kompas.com.

    Meski tidak dipecat, Didik menegaskan Bripda Fauzan tetap diberi sanksi berupa demosi atau penundaan kenaikan pangkat selama 15 tahun dan mutasi.

    “Sanksinya itu demosi 15 tahun dan mutasi,” jelas Didik.

    Di sisi lain, Bripda Fauzan kini menghadapi laporan anyar dari istrinya karena diduga melakukan penelantaran.

    “Laporan (KDRT) dan etiknya masih dalam proses. Tetapi, nanti saya konfirmasi dulu sudah sejauh mana prosesnya,” katanya.

    Kuasa hukum keluarga korban, Muhammad Irvan, membenarkan bahwa Bripda Fauzan kini memang masih menjadi anggota polisi dan bertugas di Sat Samapta Polres Toraja Utara.

    Selain itu, Irvan juga membenarkan pernyataan Didik bahwa Bripda FA kembali dilaporkan atas dugaan penelantaran keluarga.

    “Iya kami laporkan (Bripda Fauzan) terkait penelantaran rumah tangga,” ucap Irvan.

    Penelantaran Bripda Fauzan terhadap istrinya, kata Ivan, berupa menolak tinggal satu atap hingga tak memberikan nafkah yang layak.

    Bahkan, Bripda Fauzan sudah tidak tinggal satu rumah dengan istrinya sejak pertama kali nikah.

    “Di hari pertama pernikahannya langsung ditinggalkan. Di Makassar hingga di Toraja Utara, korban ditolak serumah. Jadi korban ini tinggal di kos sendiri. Kalau korban sakit juga diacuhkan,” kata Irvan. 

    Korban, kata Irvan, selalu berupaya untuk memposisikan dirinya sebagai istri, seperti menghubungi Bripda Fauzan hingga aktif dalam kegiatan Bhayangkari.

    Dengan fakta ini, Irvan menduga alasan Bripda Fauzan menikahi sang istri untuk menghindari sanksi pemecatan.

    “Jadi, kuat dugaan kami, dia (Bripda Fauzan) ini menikahi korban karena ingin lolos PTDH,” pungkasnya.

    (Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)(Kompas.com/Reza Rifaldi)

     

  • Jadwal Sidang Perdana Agus Buntung, Resmi Ditahan dan Masih Membantah Lakukan Pelecehan – Halaman all

    Jadwal Sidang Perdana Agus Buntung, Resmi Ditahan dan Masih Membantah Lakukan Pelecehan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – I Wayan Agus Suartama, 22 tahun, yang lebih dikenal sebagai Agus Buntung, akan menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Kamis, 16 Januari 2025.

    Agus Buntung ditahan sejak 9 Januari 2025 sebagai tersangka dalam kasus pelecehan seksual.

    Kasi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi NTB, Effrien Saputra, menjelaskan bahwa berkas perkara Agus telah dilimpahkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) ke Pengadilan Negeri Mataram pada Jumat, 10 Januari 2025.

    “Penetapan jadwal sidang Agus sudah keluar dari pengadilan negeri. Jadwal sidangnya hari Kamis, 16 Januari 2025,” ujarnya.

    Agus sebelumnya sempat menjadi tahanan rumah, namun Polda NTB kemudian menyerahkan Agus ke Kejaksaan Negeri Mataram untuk ditahan di Lapas Kelas IIA Kuripan, Lombok Barat.

    Meskipun ada penolakan dari Agus dan keluarganya, pihak kejaksaan tetap menahan Agus di lapas.

    Agus Buntung, yang merupakan penyandang tunadaksa, ditempatkan di ruang tahanan khusus untuk disabilitas dan lansia dengan kapasitas hingga 20 orang.

    Kepala Lapas Kelas IIA Kuripan, Muhammad Fadil, menyatakan bahwa Agus akan diperlakukan sama seperti tahanan lainnya, namun dengan fasilitas khusus.

    “Kami sediakan kloset duduk untuk lansia dan penyandang disabilitas,” ungkapnya.

    Fadil menambahkan, pihaknya akan memantau kondisi Agus selama di lapas sebelum memutuskan untuk memberikan tenaga pendamping.

    “Jika dia mampu mengurus dirinya sendiri, kita samakan dengan yang lain,” jelasnya.

    Saat mendengar keputusan penahanannya, Agus Buntung histeris.

    Kuasa hukumnya, Kurniadi, menyatakan bahwa kliennya keberatan dijadikan tahanan lapas dan sempat berniat untuk bunuh diri.

    “Agus merasa tak melakukan pelecehan dan teriak di hadapan jaksa serta orang tuanya,” kata Kurniadi.

    Kurniadi juga menganggap penahanan Agus melanggar hak asasi manusia. “Penyandang disabilitas harus mendapatkan perhatian khusus, jangan sembarangan melakukan penahanan,” tegasnya.

    Agus sendiri mengaku tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan orang lain dan memohon untuk kembali ditahan di rumah.

    Ibu Agus, Ni Gusti Ayu Ari Padni, juga tidak kuat melihat anaknya terus menangis.

    Ia khawatir dengan kondisi Agus yang tidak memiliki kedua tangan.

    “Dia tidak bisa sendiri, mau cebok mau apa. Kalau dia normal, saya lepas,” tuturnya.

    Agus Buntung membantah melakukan pelecehan terhadap seorang mahasiswi di sebuah homestay di Mataram, dan ia yakin bahwa kebenaran akan terungkap.

    Sebagian artikel telah tayang di TribunLombok.com dengan judul Jadwal Sidang Perdana Agus Difabel Akan Berlangsung 16 Januari

    (Tribunnews.com/Mohay) (TribunLombok.com/Robby Firmansyah)

  • Kapolri Didesak Cabut Putusan Bripda FA Batal Dipecat usai Nikahi Korban Asusila dan Menelantarkan – Halaman all

    Kapolri Didesak Cabut Putusan Bripda FA Batal Dipecat usai Nikahi Korban Asusila dan Menelantarkan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso mendesak Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, untuk turun tangan terkait kasus anggota polisi di Sulawesi Selatan (Sulsel), Bripda FA yang batal dipecat dan aktif kembali setelah menikah mantan kekasihnya yang menjadi korban asusila dan berujung penelantaran.

    Sugeng mengatakan hal itu bisa dilakukan Kapolri karena aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Polisi (Perpol) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri.

    Berdasarkan aturan tersebut, kata Sugeng, Kapolri bisa melakukan peninjauan kembali terkait putusan terhadap Bripda FA.

    Apabila mau, Listyo Sigit bisa membatalkan putusan menjadi Bripda FA dijatuhi sanksi Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PTDH) atau dipecat.

    “Berdasarkan ketentuan Perpol Nomor 7 Tahun 2022, (Kapolri) dapat membuat putusan berdasarkan kewenangannya melalui peninjauan dengan memberhentikan karena tindakan yang tercelanya menelantarkan (korban),” katanya kepada Tribunnews.com, Minggu (12/1/2025).

    Sugeng mengatakan langkah ini perlu dilakukan Kapolri semata-mata demi membersihkan citra Polri di mata publik.

    “Untuk membersihkan (citra-red) polisi dari oknum-oknum yang licik semacam ini,” katanya.

    Sementara terkait dibatalkannya pemecatan terhadap Bripda FA, Sugeng mengatakan bahwa hal ini menjadi wujud keterbatasan hukum di Indonesia.

    Sugeng mengungkapkan jika korban dari Bripda FA adalah anak di bawah umur, maka yang bersangkutan dipastikan akan langsung dipecat dan dijatuhi sanksi pidana.

    Hal itu karena kasus asusila yang menjerat anak di bawah umur bukan merupakan delik aduan.

    Namun, kata Sugeng, hal berbeda terjadi ketika korban asusila Bripda FA adalah mantan kekasihnya yang sudah cukup umur.

    Maka, perlu adanya delik aduan lewat laporan oleh korban kepada pihak kepolisian.

    Hanya saja, hal tersebut justru bisa menjadi ‘alat’ Bripda FA untuk menghindari pemecatan dan sanksi pidana lewat menikahi korban.

    “Kalau delik aduan, maka pintu delik aduan ini bisa menjadi strategi dari pihak pelaku untuk melumpuhkan sanksi atau ancaman kepada dirinya apabila terjadi satu restorative justice.”

    “Misalnya, terjadi kesepakatan bahwa dia menikahi. Maka, korban bisa mencabut laporan tersebut. Nah, inilah keterbatasan hukum kita karena jika korban sudah dinikahi, maka perbuatan asusila ini sudah dinyatakan dimaafkan,” jelasnya.

    Bripda FA Kembali Aktif Jadi Polisi, Kini Korban Laporkan Pelaku soal Penelantaran

    Sebelumnya, Polda Sulawesi Selatan (Sulsel) membenarkan bahwa Bripda FA kembali aktif menjadi anggota polisi setelah mengajukan banding terkait sanksi pemecatan kepadanya atas kasus dugaan asusila terhadap mantan kekasihnya.

    Adapun banding Bripda FA berujung dikabulkan sehingga sanksi pemecatan dibatalkan.

    Salah satu memori banding Bripda FA adalah dengan menikahi mantan kekasihnya tersebut.

    “Memang awalnya sanksi PTDH. Tapi karena dia (Bripda FA) banding dan diterima karena sepakat untuk menikahi mantan pacarnya,” kata Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes Didik Supranoto, Minggu (12/1/2025), dikutip dari Kompas.com.

    Meski tidak dipecat, Didik menegaskan Bripda FA tetap diberi sanksi berupa demosi atau penundaan kenaikan pangkat selama 15 tahun dan mutasi.

    “Sanksinya itu demosi 15 tahun dan mutasi,” jelas Didik.

    Di sisi lain, Bripda FA kini menghadapi laporan anyar dari istrinya karena diduga melakukan penelantaran.

    “Laporan (KDRT) dan etiknya masih dalam proses. Tetapi, nanti saya konfirmasi dulu sudah sejauh mana prosesnya,” katanya.

    Kuasa hukum keluarga korban, Muhammad Irvan, membenarkan bahwa Bripda FA kini memang masih menjadi anggota polisi dan bertugas di Sat Samapta Polres Toraja Utara.

    Selain itu, Irvan juga membenarkan pernyataan Didik bahwa Bripda FA kembali dilaporkan atas dugaan penelantaran keluarga.

    “Iya kami laporkan (Bripda FA) terkait penelantaran rumah tangga,” ucap Irvan.

    Penelantaran Bripda FA terhadap istrinya, kata Ivan, berupa menolak tinggal satu atap hingga tak memberikan nafkah yang layak.

    Bahkan, Bripda FA sudah tidak tinggal satu rumah dengan istrinya sejak pertama kali nikah.

    “Di hari pertama pernikahannya langsung ditinggalkan. Di Makassar hingga di Toraja Utara, korban ditolak serumah. Jadi korban ini tinggal di kos sendiri. Kalau korban sakit juga diacuhkan,” kata Irvan. 

    Korban, kata Irvan, selalu berupaya untuk memposisikan dirinya sebagai istri, seperti menghubungi Bripda FA hingga aktif dalam kegiatan Bhayangkari.

    Dengan fakta ini, Irvan menduga alasan Bripda FA menikahi sang istri untuk menghindari sanksi pemecatan.

    “Jadi, kuat dugaan kami, dia (Bripda FA) ini menikahi korban karena ingin lolos PTDH,” pungkasnya.

    (Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)(Kompas.com/Reza Rifaldi)

  • Mayat Wanita Tanpa Busana Ditemukan di Pantai Saoka Sorong, Sang Ibu Ungkap Terakhir Bertemu Korban – Halaman all

    Mayat Wanita Tanpa Busana Ditemukan di Pantai Saoka Sorong, Sang Ibu Ungkap Terakhir Bertemu Korban – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, SORONG – Mayat wanita tanpa busana ditemukan  Pantai Saoka, Distrik Maladumes, Kota Sorong, Papua Barat Daya, Minggu (12/1/2025) pagi.

    Informasi yang dihimpun TribunSorong.com, kronologi penemuan jenazah berawal dari seorang anak yang berjalan di sekitar Pantai Saoka, sekitar pukul 10.00 WIT.

    Anak tersebut kemudian melihat jasad perempuan dalam posisi telentang di tepi pantai.

    Ia pun segera berlari ke darat lalu memberitahukan kejadian itu kepada warga sekitar.

    Kabar tersebut membuat warga ramai datang ke lokasi yang tak lama berselang petugas kepolisian pun tiba di tempat kejadian perkara (TKP).

    Setelah proses olah TKP selesai, jasad dimasukkan ke kantong jenazah lalu dievakuasi ke RSUD Sele Be Solu guna pemeriksaan lebih lanjut.

    “Kami belum tahu pasti identitas korban, yang jelas korban berjenis kelamin perempuan,” ujar Kapolsek Sorong Barat AKP Andi Muhammad Nurul Yaqin  kepada TribunSorong.com.

    Belakangan identitas jasad perempuan tersebut terkuak setelah foto-fotonya menyebar di grup whatsapp warga.

    Korban diketahui bernama Kesya Irena Yola Lestaluhu (20), warga Jalan Danau Tigi, Kelurahan Rufei, Distrik Sorong Barat, Kota Sorong.

    Ibu korban, Amina Latale mengatakan sebelum ditemukan tewas, putrinya sempat menerima telepon dari temannya.

    “Kesya tadi malam terima telepon dari temannya pukul 23.00 WIT (Sabtu, 11 Januari 2025). Dia keluar rumah pada pukul 01.00 WIT,” kata Amina Latale.

    Amina mengaku dirinya sempat melarang putrinya keluar rumah karena hari sudah malam.

    “Saya awalnya sudah larang dia keluar, karena sebelumnya mereka juga sudah ke Suprau sore hari,” ujar Amina.

    “Saya sudah bilang, Kesya jangan jalan, ini sudah larut. Dia (korban, red) bilang saya jalan pakai mobil,” lanjut dia.

    Larangan tersebut rupanya tidak diindahkan almarhum, karena temannya tetap ingin menjemput pada malam itu.

    Korban pun duduk di depan rumah menunggu jemputan kemudian pergi ke lokasi yang telah disebutkan, yakni kawasan Pantai Saoka.

    Saat ini jasad korban masih berada di RSUD Sele Be Solu guna pemeriksaan lebih lanjut.

    Penulis: Safwan 

    Sebagian dari artikel ini telah tayang di Tribunsorong.com dengan judul Kasus Mayat Wanita di Pantai Saoka Sorong, Begini Cerita Ibunda Sebelum Korban Pergi dari Rumah

  • Serangan Tikus Bikin Geger Klaten, Warga Ramai-ramai Berburu, Sekali Aksi Tangkap Dapat 305 Ekor – Halaman all

    Serangan Tikus Bikin Geger Klaten, Warga Ramai-ramai Berburu, Sekali Aksi Tangkap Dapat 305 Ekor – Halaman all

    Laporan Wartawan TribunSolo.com, Zharfan Muhana

    TRIBUNNEWS.COM, KLATEN – Meski saat ini sedang heboh perburuan koin jagat yang terjadi di beberapa daerah, petani di Desa Manjungan, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah justru ramai-ramai terjun ke sawah untuk memberantas hama tikus yang meresahkan, Minggu (12/1/2025).

    Mereka bergotong royong untuk membasmi tikus yang menyebar di lahan pertanian desa setempat. Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) desa setempat, Nurul mengatakan bila pemberantasan diikuti dari 2 gabungan kelompok tani (Gapoktan).

    “Di Desa Manjungan ini (pemberantasan tikus), melibatkan Gapoktan. Kelompok Margi Mulyo dan Ngudi Lestari,” ujar Nurul.

    Pemberantasan tikus sendiri, menggunakan tiga metode. “Ada gropyokan, pengemposan (pengasapan), dan pengumpanan,” paparnya.

    Menurutnya, persoalan hama tikus sendiri tidak bisa selesai sekali satu kali. “Jadi memang, untuk tikus tidak bisa diselesaikan dalam 1 cara,” kata Nurul.

    “Maksudnya, pengendalian harus terintegrasi dan bersama-sama,” imbuhnya.

    Desa Manjungan sendiri, dikatakannya memiliki puluhan hektar sawah dan hampir merata terkena hama tikus.

    “Hampir semua ada (hama tikus), karena sini luasnya yang barat 54.6 hektar dan sini (timur) 13 hektar,” ucapnya.

    Sementara itu, Ketua Kelompok Tani Margo Mulyo, Ismed Rohadi mengatakan bila hama tikus terjadi dalam masa tanam terakhir.

    “Sudah 2 (panen) setengah tahun, atau 2 kali masa tanam,” ujar Ismed.

    Hal ini lantas, menyebabkan petani tak dapat hasil panen karena serangan hama.

    Para petani memilih menganggurkan sawah atau bero, karena hasil tak menutup ongkos tanam. “Kemarin ada yang dibero kan ada, ini (menunjuk lahan) kemarin nggak panen,” jelasnya.

    Pantauan Tribun para petani mengelilingi lahan sawah yang hendak dilakukan gropyokan. Beberapa petani ada yang membawa cangkul, lalu mencangkul tanah yang diduga menjadi sarang tikus.

    Beberapa ekor tikus yang ditemukan lalu ditangkap, dan dimasukkan kedalam karung. Total tangkapan pada penggropyokan hari ini, tikus yang dapat diamankan sebanyak 305 ekor.

    Dan selanjutnya tikus dimusnahkan, dengan cara dimatikan dan diteruskan dikubur. Selain pengropyokan, para petani juga diberikan obat tikus. Untuk pembasmian hama tikus dengan cara umpan.