Category: Tribunnews.com Internasional

  • Indonesia Coffee Day: Merayakan Budaya Kopi Nusantara di Jepang – Halaman all

    Indonesia Coffee Day: Merayakan Budaya Kopi Nusantara di Jepang – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Persatuan Pelajar Indonesia Jepang Komisariat Nagoya (PPIJ Nagoya) berkolaborasi dengan Nagakute International Association (NIA) telah sukses menyelenggarakan acara bernama Indonesia Coffee Day.

    Acara ini bertujuan memperkenalkan budaya Indonesia melalui keberagaman kopi khas Nusantara kepada masyarakat Nagakute di Prefektur Aichi, Jepang.

    Acara berlangsung pada Sabtu, 22 Februari 2025, dan dihadiri oleh lebih dari 30 partisipan yang terdiri dari warga lokal Jepang, mulai dari mereka yang awam hingga para pecinta kopi yang antusias mencicipi berbagai jenis kopi khas Indonesia.

    Antusiasme tinggi dari masyarakat Jepang menunjukkan bahwa pertukaran budaya melalui kopi dapat menjadi media yang interaktif dan menarik.

    Fahrizal Basanto Ramadhan, selaku Penanggung Jawab acara, menekankan pentingnya memahami keberagaman kopi Indonesia.

    Nagoya dikenal sebagai salah satu kota dengan konsumsi kopi terbesar di Jepang, menempati posisi ketiga setelah Tokyo dan Gifu.

    Tradisi minum kopi yang kuat di Nagoya, terutama dengan konsep sarapan khas morning service, memberikan konteks menarik bagi masyarakat setempat untuk memahami dan menikmati kopi Indonesia selama acara tersebut.

    Selain presentasi mengenai sejarah dan karakteristik kopi Nusantara yang dibawakan oleh mahasiswa, para peserta juga berkesempatan mencicipi berbagai jenis kopi, seperti kopi Kerinci, kopi Flores Bajawa, dan kopi Toraja.

    INDONESIA COFFEE DAY – Masyarakat Jepang mencicipi kopi asli Indonesia di acara Indonesia Coffee Day, Sabtu (22/2/2025). Indonesia Coffee Day yang digelar oleh PPIJ Nagoya dan NIA telah sukses digelar. (PPI Dunia/PPIJ Nagoya)

    Kopi-kopi ini disajikan langsung oleh seorang praktisi serta peneliti kopi yang sedang melanjutkan studi di Nagoya University.

    Shota Matsuda, representatif NIA, menyambut baik kolaborasi ini dan berharap agar kerja sama dengan PPIJ Nagoya dapat terus berkembang.

    Salah satu partisipan, Suzuki, 28 tahun, mengungkapkan kegembiraannya setelah mencicipi kopi Indonesia secara langsung dan bertukar budaya dengan mahasiswa Indonesia.

    Dengan suksesnya penyelenggaraan Indonesia Coffee Day, diharapkan acara serupa dapat terus dilakukan sebagai jembatan budaya antara Indonesia dan Jepang.

    Partisipasi aktif mahasiswa dalam kegiatan ini juga membuktikan bahwa kopi bukan sekadar minuman, tetapi juga simbol persahabatan dan pertukaran budaya.

    Semoga ke depannya, lebih banyak kegiatan yang mengedepankan kerjasama budaya antara kedua negara dapat terlaksana.

    Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).

  • Suriah Gelar Dialog Nasional, Milisi Kurdi SDF Tidak Diundang – Halaman all

    Suriah Gelar Dialog Nasional, Milisi Kurdi SDF Tidak Diundang – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Pemerintah sementara Suriah menggelar dialog nasional yang melibatkan berbagai kelompok dan agama di negara itu pada Selasa (25/2/2025), di Damaskus.

    Presiden sementara Suriah, Ahmed al-Sharaa, sebelumnya berjanji untuk mengadakan dialog ini guna membahas pembentukan pemerintahan yang lebih representatif.

    Menurut laporan dari NY Times, pemerintah menetapkan batas waktu 1 Maret untuk memulai proses tersebut.

    Undangan resmi dikirimkan hanya beberapa hari sebelum acara dimulai, tepatnya pada Minggu (23/2/2025).

    Sekitar 600 peserta, termasuk pemimpin masyarakat, akademisi, dan tokoh agama, diundang dalam dialog ini. 

    Sharaa juga mengundang jurnalis, pengusaha, aktivis, mantan tahanan rezim Bashar al-Assad, serta keluarga korban yang tewas atau terluka dalam perang saudara yang telah berlangsung selama 13 tahun.

    Para peserta akan membahas topik seperti keadilan transisi, struktur konstitusi baru, reformasi kelembagaan, kebebasan pribadi, peran masyarakat sipil, serta ekonomi negara.

    “Saya mengajak seluruh warga Suriah untuk bersatu dan bergandengan tangan guna menyembuhkan luka serta menghapus rasa sakit akibat puluhan tahun kediktatoran,” ujar Sharaa dalam pidato pembukaannya. Dia juga mengumumkan pembentukan komite keadilan transisi, seperti dilaporkan Al Jazeera.

    “Selama dua bulan terakhir, kami mengejar mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan terhadap rakyat Suriah,” lanjutnya.

    Milisi Kurdi Tidak Diundang

    Meski Sharaa menekankan pentingnya menyatukan masyarakat yang terpecah akibat perang, upaya ini menghadapi tantangan.

    Mengutip AP News, meskipun seluruh komunitas Suriah diundang, tidak jelas berapa banyak perwakilan minoritas yang hadir.

    Suriah adalah negara mayoritas Muslim Sunni, namun terdapat banyak minoritas agama dan etnis seperti Alawi, Druse, Kristen, dan Kurdi.

    Beberapa kelompok Kurdi diundang untuk berpartisipasi, namun Pasukan Demokratik Suriah (SDF), milisi yang dipimpin oleh suku Kurdi dan didukung AS, tidak diundang, sebagaimana dilaporkan NY Times.

    Pemerintah sementara Suriah menuntut agar SDF melucuti senjatanya dan bergabung dengan militer nasional sebagai syarat untuk ikut serta dalam dialog.

    Penyelenggara konferensi berpendapat bahwa SDF tidak mewakili seluruh suku Kurdi di Suriah.

    Turki, sekutu erat Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang memimpin penggulingan Bashar al-Assad, juga telah lama menekan SDF, mengeklaim kelompok tersebut terkait pemberontak separatis Kurdi di Turki.

    Menurut NY Times, banyak warga Suriah yang skeptis terhadap hasil dari dialog nasional ini, terutama karena ketegangan sektarian yang masih tinggi dan sering kali berujung pada aksi balas dendam.

    Masyarakat juga meragukan komitmen inklusivitas dari pemerintahan yang dipimpin oleh HTS, yang sebagian besar memberikan posisi pemerintahan kepada loyalisnya.

    Sejauh ini, HTS yang dipimpin Sharaa belum melibatkan kelompok-kelompok lain yang berperan dalam penggulingan Assad.

    Penyelenggara konferensi menyatakan, meskipun dialog nasional berlangsung bersamaan dengan pembentukan pemerintah baru, tidak ada hubungan langsung antara keduanya.

    Peserta konferensi akan mengeluarkan resolusi atau rekomendasi terkait pemerintahan baru, konstitusi, dan undang-undang baru, meski rekomendasi tersebut tampaknya tidak mengikat.

    “Rekomendasi dari Dialog Nasional tidak akan menjadi sekadar formalitas, tetapi akan menjadi dasar deklarasi konstitusional sementara, identitas ekonomi, serta rencana reformasi kelembagaan,” kata Hassan al-Dughaim, juru bicara komite penyelenggara.

    (Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

  • Turki Terbuka untuk Bertindak Sebagai Penjamin Keamanan dalam Perjanjian Damai Ukraina dan Rusia – Halaman all

    Turki Terbuka untuk Bertindak Sebagai Penjamin Keamanan dalam Perjanjian Damai Ukraina dan Rusia – Halaman all

    Turki Terbuka untuk Bertindak Sebagai Penjamin Keamanan dalam Perjanjian Damai Ukraina dan Rusia

    TRIBUNNEWS.COM- Turki terbuka untuk memberikan jaminan keamanan bagi Ukraina sebagai bagian dari kesepakatan akhir dengan Rusia untuk mengakhiri perang, kata menteri luar negeri Turki pada hari Senin selama jumpa pers dengan mitranya dari Rusia.

    Hakan Fidan mengatakan bahwa Turki, pada prinsipnya, siap mengambil langkah apa pun yang dapat berkontribusi pada perdamaian saat perang Rusia-Ukraina memasuki tahun ketiga minggu ini. Namun, ia menambahkan bahwa Ankara perlu melihat bagaimana pembicaraan berlangsung sebelum membuat komitmen akhir.

    “Setelah kami melakukan persiapan teknis yang diperlukan terkait masalah ini, [Presiden Recep Tayyip Erdogan] akan membuat keputusan yang diperlukan,” katanya. “Namun untuk saat ini, kami mengikuti dengan saksama diskusi dan pertemuan tersebut.”

    Fidan juga mengungkapkan bahwa Ankara mendukung inisiatif perdamaian baru Presiden AS Donald Trump untuk mengadakan pembicaraan langsung dengan pimpinan Rusia, yang mengecualikan Ukraina selama putaran pertama minggu lalu di Riyadh.

    Menteri luar negeri Turki mengatakan Ankara memandang inisiatif Amerika memiliki pendekatan “berorientasi pada hasil” dan percaya bahwa solusi hanya dapat dicapai melalui negosiasi yang melibatkan kedua belah pihak.

    “Kami siap memberikan segala bentuk dukungan bagi terciptanya perdamaian melalui dialog,” ujarnya.

    Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov, di sisi lain, mengklaim bahwa Ukraina menolak menandatangani rancangan perjanjian damai di Istanbul pada Maret 2022 menyusul tekanan dari Inggris dan sekutu Barat lainnya. Ia menambahkan bahwa kesepakatan tersebut juga mencakup jaminan keamanan dari anggota Dewan Keamanan PBB, Jerman, dan Turki.

    “Telah dijelaskan bagaimana hal ini akan berjalan. Faktanya, pihak Ukraina sendiri yang merumuskan jaminan ini,” kata Lavrov. “Namun, Barat melarangnya.”

    Menurut rancangan perjanjian damai, Rusia saat itu tidak setuju Turki menjadi penjamin.

    Pernyataan Lavrov pada hari Senin mengindikasikan bahwa Moskow terbuka terhadap Ankara sebagai salah satu penjamin keamanan.

    Meskipun ada kekhawatiran di ibu kota Eropa atas sikap agresif Trump terhadap Ukraina dan presidennya, Volodymyr Zelensky, pejabat Turki yakin negosiasi tersebut pada akhirnya dapat mengarah pada diskusi serius. Ankara telah lama menganjurkan perundingan langsung yang melibatkan semua pihak.

    Komentar Trump telah mendorong beberapa pemimpin Eropa untuk mempertimbangkan kembali hubungan mereka dengan Washington. Awal bulan ini, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengadakan pertemuan puncak Eropa untuk membahas krisis tersebut – kecuali Ankara.

    Sejak awal perang, Turki telah menjaga keseimbangan yang baik antara kedua belah pihak, menolak untuk bergabung dengan sanksi internasional sambil mengizinkan pengunjung Rusia untuk bepergian ke negara tersebut. Perdagangan bilateral sebagian besar terus berlanjut, meskipun ada beberapa kesulitan transaksi keuangan karena sanksi Barat.

     

    SUMBER: MIDDLE EAST EYE

  • IDF Caplok Perbatasan, Menteri Luar Negeri Israel Ejek Pemerintah Baru Suriah ‘Teroris dari Idlib’ – Halaman all

    IDF Caplok Perbatasan, Menteri Luar Negeri Israel Ejek Pemerintah Baru Suriah ‘Teroris dari Idlib’ – Halaman all

    IDF Caplok Perbatasan, Menteri Luar Negeri Israel Ejek Pemerintah Baru Suriah ‘Teroris dari Idlib’

    TRIBUNNEWS.COM – Menteri Luar Negeri Pendudukan Israel Gideon Sa’ar mengejek pemerintahan baru di Suriah dengan menyebut mereka terdiri dari “kelompok teroris dari Idlib yang merebut Damaskus dengan paksa.”

    Ia menegaskan kalau Israel tidak akan berkompromi dalam hal keamanan perbatasannya.

    Meski mendapat kecaman secara luas, pencaplokan wilayah perbatasan Suriah oleh Pasukan Israel (IDF) dengan dalih ‘zona kendali’, tetap berlangsung dengan menduduki wilayah perbatasan di sisi Suriah.

    Gideon Sa’ar juga menyatakan kalau Hamas dan Jihad Islam Palestina (PIJ) beroperasi di wilayah Suriah untuk membuka front melawan Tel Aviv, sebagaimana yang diklaimnya.

    Ia menambahkan, “Saya mendengar pembicaraan tentang pengalihan kekuasaan di Suriah, dan ini adalah masalah yang menggelikan.”

    Ia melanjutkan, “Kami gembira dengan kepergian Assad, namun kaum Islamis tengah berupaya membalas dendam terhadap kaum Alawi dan mengincar kaum Kurdi,” menurut pernyataannya.

    Komentar Gideon Sa’ar ini terkait keberadaan Pasukan Israel yang tetap menduduki sejumlah wilayah Suriah di perbatasan.

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membenarkan kehadiran militer Israel di Suriah selatan sebagai tindakan defensif.

    Netanyahu bahkan menyatakan kalau pasukan Israel akan tetap berada di sana tanpa batas waktu.

    Israel mengumumkan pada hari Minggu bahwa mereka tidak akan menoleransi kehadiran Hayat Tahrir al-Sham (HTS) atau pasukan apa pun yang terkait dengan pemerintahan baru Suriah di Suriah selatan. 

    Pernyataan ini menyusul pengambilalihan Damaskus oleh HTS pada tanggal 8 Desember, yang mengakhiri kekuasaan Bashar al-Assad dan mendorong serangan Israel ke wilayah Suriah dengan dalih keamanan.

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membenarkan kehadiran militer Israel di Suriah selatan sebagai “tindakan defensif,” dengan menyatakan bahwa pasukan Israel akan tetap berada di sana tanpa batas waktu. 

    Ia menuntut demiliterisasi penuh Quneitra, Daraa, dan Sweida, dengan menyatakan, “Kami tidak akan membiarkan pasukan HTS atau tentara Suriah baru memasuki wilayah selatan Damaskus.”

    Untuk lebih merasionalisasi pendudukan militer, Netanyahu juga mengutip dugaan ancaman terhadap minoritas Druze di Suriah selatan sebagai alasan intervensi militer, dengan menyatakan, “Kami tidak akan menoleransi ancaman apa pun terhadap sekte Druze di Suriah selatan.” 

    Israel secara historis menggunakan dalih melindungi minoritas Druze untuk melegitimasi tindakan militer dan memperluas pijakan strategisnya di wilayah tetangga.

    Gambar ini menunjukkan kendaraan militer Israel melaju di zona penyangga Suriah, dekat desa Druze Majdal Shams di Dataran Tinggi Golan yang dianeksasi Israel, pada 11 Desember 2024. – Setelah serangan kilat oleh pejuang pemberontak Islam menggulingkan presiden Bashar al-Assad , Israel, yang berbatasan dengan Suriah, mengirim pasukan ke zona penyangga di sebelah timur Dataran Tinggi Golan yang dianeksasi Israel, yang digambarkan oleh Menteri Luar Negeri Gideon Saar sebagai “langkah terbatas dan sementara” untuk “alasan keamanan”. (Photo by Jalaa MAREY / AFP) (AFP/JALAA MAREY)

    Pendudukan Militer 

    Setelah runtuhnya pemerintahan Suriah, pasukan Israel menyerbu zona demiliterisasi yang diawasi PBB, termasuk sisi Suriah dari Gunung Hermon/Jabal al-Sheikh, menempatkan pasukan sekitar 25 kilometer dari Damaskus. Perluasan ini telah menuai kecaman luas karena melanggar perjanjian internasional.

    Israel telah secara signifikan meningkatkan pendudukannya di pedesaan selatan Quneitra , pindah ke desa-desa seperti al-Asbah, Kodna, al-Rafid, dan Hiran.

    Citra satelit yang diterbitkan oleh Haaretz mengungkap pembangunan tujuh pos militer pendudukan Israel baru di wilayah Suriah, yang dilengkapi tempat tinggal, pusat komando, dan pos pengamatan.

    Reaksi Internasional dan Suriah

    Suriah mengecam tindakan Israel sebagai pendudukan ilegal, dan menuntut penarikan segera pasukan Israel. 

    Perserikatan Bangsa-Bangsa juga mengecam Israel, menyebut kehadirannya sebagai pelanggaran perjanjian internasional dan mendesak penarikan segera pasukan Israel.

    Di tengah pendudukan yang terus berlangsung, penduduk Quneitra kembali menyerukan pembebasan Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel. 

    Selama sesi diskusi yang diselenggarakan oleh Komite Persiapan Konferensi Dialog Nasional Suriah, para peserta menekankan persatuan wilayah Suriah dan mengutuk pendudukan Israel yang terus berlanjut.

    Para peserta mendesak penerapan keadilan transisi, amnesti, dan rekonsiliasi, serta pembentukan tentara nasional dan reformasi ekonomi. Rekomendasi ini akan diserahkan kepada pemerintahan baru Suriah di bawah kendali HTS.

    Tuntutan Israel untuk demiliterisasi provinsi-provinsi Suriah merupakan bagian dari upaya Israel untuk melemahkan kedaulatan Suriah dan mengendalikan wilayah-wilayah strategis di dekat Damaskus. 

    Meskipun mendapat kecaman internasional, Israel tetap melanjutkan pendudukan militernya, yang meningkatkan ketegangan regional dan menimbulkan kekhawatiran tentang potensi konfrontasi militer.

    Tentara Israel beroperasi di pagar perbatasan sisi Suriah, 15 Desember 2024. (Foto oleh Jamal Awad/Flash90)

    Warga Quneitra Serukan Persatuan untuk Melawan Pendudukan Israel

    Aksi pendudukan Israel di wilayah Suriah ini mendapat penentangan dari warga lokal Suriah di wilayah-wilayah perbatasan.

    Para peserta sesi dialog yang diadakan di Kegubernuran Quneitra, Suriah selatan pada tanggal 22 Februari telah menyerukan untuk menjaga persatuan negara, membebaskan Dataran Tinggi Golan yang diduduki dari Israel, dan melawan serangan Israel ke wilayah Suriah tambahan.

    Seruan itu disampaikan dalam sesi dialog yang digelar sebagai persiapan konferensi nasional untuk membentuk masa depan politik negara ini.

    Sesi dialog tersebut diselenggarakan oleh Komite Persiapan Konferensi Dialog Nasional Suriah, yang bertugas mengumpulkan masukan dari warga Suriah untuk membantu membentuk masa depan negara tersebut, termasuk konstitusi baru.

    Hasil dialog nasional akan berupa rekomendasi tidak mengikat kepada pemerintahan baru Suriah, yang dipimpin oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan pemimpinnya, mantan komandan Al-Qaeda Ahmed al-Sharaa.

    Para peserta dialog di Quneitra juga menyerukan penunjukan seorang gubernur untuk mengawasi pemerintahan lokal, penyediaan layanan penting bagi warga, dan pembentukan komite khusus untuk urusan rakyat Quneitra dan Golan.

    Ahmad al-Sharaa, yang mengangkat dirinya sendiri sebagai presiden Suriah akhir bulan lalu, telah menyatakan bahwa diperlukan waktu tiga tahun untuk merancang konstitusi baru dan empat hingga lima tahun untuk menyelenggarakan pemilihan presiden.

    Sebagian warga Suriah khawatir bahwa Sharaa mungkin tidak akan melepaskan kekuasaan dan akan memaksakan rezim agama fundamentalis di negara tersebut berdasarkan doktrin Salafisme.  

    Banyak pula yang khawatir negara itu mungkin terbagi menjadi kantong-kantong etnis yang diperintah secara terpisah oleh Sunni, Druze, dan Kurdi.

    Awal minggu ini, surat kabar Israel Haaretz mengungkap citra satelit yang menunjukkan tentara Israel telah mendirikan 7 pos militer baru di wilayah yang didudukinya secara ilegal di Suriah selatan.

    Tentara Israel menduduki wilayah tambahan di Suriah setelah runtuhnya pemerintahan Suriah Bashar al-Assad pada bulan Desember.

    Militer Israel mendirikan pos-pos baru untuk dijadikan pusat operasional bagi pasukan di wilayah tersebut.

    Militer membangun tempat tinggal, pusat komando, klinik, kamar mandi, dan toilet di pos terdepan.

    Pada tanggal 9 Januari, pejabat Israel mengatakan bahwa mereka berencana untuk menduduki “zona kendali” sepanjang 15 km dan “lingkup pengaruh” sejauh 60 km di wilayah Suriah dalam “jangka panjang”.

     

    (oln/rntv/tc*)

  • Uni Eropa Melonggarkan Sanksi Terhadap Suriah tapi Beberapa Sanksi Uni Eropa akan Tetap Berlaku – Halaman all

    Uni Eropa Melonggarkan Sanksi Terhadap Suriah tapi Beberapa Sanksi Uni Eropa akan Tetap Berlaku – Halaman all

    Uni Eropa Melonggarkan Sanksi Terhadap Suriah, Beberapa Sanksi Uni Eropa akan Tetap Berlaku

    TRIBUNNEWS.COM- Negara-negara Uni Eropa pada tanggal 24 Februari menangguhkan dengan segera beberapa sanksi yang dijatuhkan blok tersebut terhadap Suriah, termasuk pembatasan terkait energi, perbankan, transportasi, dan rekonstruksi.

    Sanksi AS dan Uni Eropa menghancurkan perekonomian Suriah dan menjerumuskan jutaan orang ke dalam kemiskinan sebagai bagian dari perang rahasia mereka untuk menggulingkan pemerintahan mantan presiden Bashar al-Assad.

    “Keputusan ini merupakan bagian dari upaya Uni Eropa untuk mendukung transisi politik inklusif di Suriah, serta pemulihan ekonomi, rekonstruksi, dan stabilisasi yang cepat,” kata pernyataan yang dikeluarkan oleh Dewan Uni Eropa.

    Selama pertemuan di Brussels pada hari Senin, para menteri luar negeri Uni Eropa sepakat untuk menangguhkan pembatasan pada sektor energi yang mencakup minyak, gas, dan listrik, serta sanksi pada sektor transportasi.

    Mereka juga telah mencabut pembekuan aset untuk lima bank, melonggarkan pembatasan pada bank sentral Suriah, dan memperpanjang pengecualian tanpa batas waktu untuk memfasilitasi pengiriman bantuan kemanusiaan.

    Beberapa sanksi Uni Eropa yang terkait dengan otoritas dari pemerintahan Suriah sebelumnya yang dipimpin oleh mantan presiden Bashar al-Assad akan tetap berlaku – termasuk sanksi terhadap perdagangan senjata, barang-barang dengan penggunaan ganda baik untuk keperluan militer maupun sipil, perangkat lunak untuk pengawasan, dan perdagangan internasional barang-barang warisan budaya Suriah, Reuters melaporkan.

    Negara-negara Uni Eropa mengatakan mereka akan terus memantau situasi di Suriah untuk memastikan penangguhan tersebut tetap tepat.

    AS dan Uni Eropa memberlakukan sanksi baru terhadap Suriah pada awal perang tahun 2011. 

    Ekonomi Suriah hancur pada tahun 2019 karena AS memperketat sanksi yang sudah kejam terhadap Suriah berdasarkan Undang-Undang Caesar. 

    Sanksi tersebut membantu mencegah pembangunan kembali negara tersebut setelah delapan tahun perang. 

    Sanksi tersebut juga membatasi kemampuan Suriah untuk mengimpor minyak dan bahan bakar setelah kehilangan kendali atas ladang minyaknya kepada pasukan AS dan Kurdi di timur laut negara tersebut.

    Jutaan warga Suriah jatuh miskin setelah sanksi diperketat berdasarkan Undang-Undang Caesar. Nilai pound Suriah anjlok, sehingga gaji dan tabungan sebagian besar warga Suriah menjadi hampir tidak berharga.

    Pada hari Minggu, Abdallah al-Dardari, direktur Biro Regional Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) untuk Negara-negara Arab, mengatakan bahwa 90 persen penduduk Suriah hidup dalam kemiskinan. 

    “Angka tersebut tiga kali lipat dari tingkat kemiskinan pada tahun 2010, dan proporsi penduduk yang hidup dalam kemiskinan ekstrem saat ini adalah 66 persen – enam kali lipat dari angka pada tahun 2010, yaitu 11 persen,” imbuh Dardari.

    Uni Eropa mulai mempertimbangkan kembali kebijakan sanksinya setelah ekstremis dari Hayat Tahrir al-Sham (HTS), bekas afiliasi Al-Qaeda, menggulingkan pemerintahan Assad dalam serangan kilat pada bulan Desember tahun lalu.

    AS, Uni Eropa, dan negara-negara regional lainnya secara diam-diam mendukung HTS, yang dipimpin oleh mantan komandan Al-Qaeda di Irak Ahmad al-Sharaa (sebelumnya dikenal sebagai Abu Mohammad al-Julani), untuk menggulingkan Assad.

     

    SUMBER: THE CRADLE

  • Media Barat Soroti Momen Jabat Tangan Antara Trump dan Presiden Prancis Macron: Tarik Tambang – Halaman all

    Media Barat Soroti Momen Jabat Tangan Antara Trump dan Presiden Prancis Macron: Tarik Tambang – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Sejumlah media Barat menyoroti momen jabat tangan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang dinilai canggung bahkan saling tarik menarik seperti sedang bermain tarik tambang.

    Kedua presiden tersebut bertemu di Gedung Putih pada Senin (24/2/2025), untuk membicarakan perang Rusia-Ukraina.

    Video jabat tangan mereka beredar luas di media sosial.

    Setelah keduanya menepuk pundak masing-masing beberapa kali, Donald Trump tampak menarik kuat tangan Macron dan menahannya selama beberapa detik.

    Macron kemudian mengalihkan pandangannya dari wajah Trump dan melambaikan tangan kepada orang-orang yang hadir untuk menyambutnya.

    USA Today mengulas momen itu dengan judul “Watch Donald Trump’s unusually long handshake with French President Emmanuel Macron,” menekankan kata jabat tangan yang aneh dan lama antar kedua pemimpin.

    New York Post menyebut jabat tangan itu layaknya tarik tambang (tug-of-war) melalui artikelnya yang berjudul “Trump, French President Macron engage in tug-of-war handshake at White House”.

    Serupa, media Inggris The Independent dan Telegraph menyebut jabatan tangan itu aneh, melalui artikelnya yang berjudul “Trump and Macron share awkward long handshake after White House snub” dan “In pictures: Trump and Macron’s awkward handshake diplomacy”.

    JABAT TANGAN CANGGUNG – Tangkap layar YouTube The Sun yang tayang pada 25 Februari 2025, memperlihatkan pertemuan Donald Trump dan Emmanuel Macron di Gedung Putih, Senin (24/2/2025). Momen jabat tangan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Prancis Emmanuel Macron dinilai canggung. (Tangkap layar YouTube The Sun)

    Setelah keduanya melakukan percakapan, Trump dan Macron saling menyanjung satu sama lain.

    “Presiden Macron adalah orang yang sangat istimewa menurut saya,” kata Trump di Ruang Oval.

    “Kami adalah sahabat karib, karena kami bekerja sama dengan sangat baik,” kata Macron di Gedung Putih. 

    “AS dan Prancis selalu berdiri di pihak yang sama − pihak yang benar, menurut saya, dalam sejarah.”

    Macron Desak Trump Tidak Berpihak pada Rusia di Tengah Perang Ukraina

    Pada peringatan tiga tahun invasi Rusia ke Ukraina, Presiden Prancis Emmanuel Macron mendesak mantan Presiden AS Donald Trump untuk tidak membuat kesepakatan terburu-buru yang dapat melegitimasi invasi Presiden Rusia Vladimir Putin.

    Menurut laporan USA TODAY, sekutu Amerika Serikat terkejut dengan cepatnya pembicaraan antara Trump dan pemerintah Rusia.

    Bahkan, Gedung Putih menyarankan bahwa Rusia mungkin diizinkan untuk mempertahankan wilayah yang direbut secara ilegal, demi mengakhiri perang yang telah berlangsung selama tiga tahun.

    Trump menuding Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy sebagai penyebab terjadinya invasi, menyebutnya sebagai “diktator tanpa pemilu.”

    Trump juga mendesak Zelenskyy untuk menandatangani kesepakatan mineral yang memungkinkan Amerika Serikat mendapatkan kembali dana yang telah dihabiskan untuk mendukung pertahanan Ukraina di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden.

    Zelenskyy memang membatalkan pemilihan umum yang seharusnya digelar pada musim semi 2024 dengan alasan perang yang sedang berlangsung.

    Macron telah mengatur dua sesi darurat dan melakukan dua panggilan telepon dengan Trump sebelum kunjungannya pada hari Senin, yang menurutnya merupakan “titik balik” bagi peran Eropa dalam perundingan damai.

    Selain itu, Macron dan Trump juga berpartisipasi dalam panggilan telepon bersama para pemimpin Kelompok Tujuh (G7), termasuk Kanada, Jerman, Italia, Jepang, dan Inggris, untuk membahas situasi Ukraina.

    “Kami ingin perdamaian segera terwujud, namun tidak melalui kesepakatan yang lemah,” ujar Macron dalam konferensi pers pada hari Senin. “Presiden Putin telah melanggar perdamaian.”

    (Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

  • Sudah Dikecewakan Tak Diajak Rundingan di Arab, AS Kini Tinggalkan Ukraina di Pemungutan Suara PBB – Halaman all

    Sudah Dikecewakan Tak Diajak Rundingan di Arab, AS Kini Tinggalkan Ukraina di Pemungutan Suara PBB – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Amerika Serikat (AS) membuat langkah mengejutkan dengan memilih untuk meninggalkan Ukraina dalam pemungutan suara yang dilakukan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai invasi Rusia ke Ukraina.

    Keputusan ini semakin memperburuk hubungan antara AS dan sekutunya di Eropa.

    Pada Senin (24/2/2025) kemarin, PBB mengadakan pemungutan suara terkait tiga resolusi sebagai upaya mengakhiri perang yang sudah berlangsung selama tiga tahun ini di Ukraina.

    Resolusi tersebut disahkan dengan hasil 93 suara setuju, 8 menentang, dan 73 abstain.

    Ukraina memilih untuk mendukung resolusi ini, tetapi AS memilih abstain, sementara Rusia menolak.

    Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru, serta negara-negara Eropa lainnya, mendukung resolusi ini, kecuali Hongaria yang menentang.

    Yang mengejutkan, AS memilih untuk abstain dalam pemungutan suara tersebut.

    Sebuah langkah yang membuat Ukraina merasa terpukul dua kali.

    Sebelumnya, Ukraina merasa dikecewakan karena AS tidak mengundangnya dalam pembicaraan perdamaian dengan Rusia yang berlangsung di Arab Saudi.

    Sementara itu, Rusia mengajukan amandemen yang menyarankan untuk menangani “akar penyebab” konflik, yang akhirnya disetujui.

    Wakil Menteri Luar Negeri Ukraina, Mariana Betsa, menegaskan Ukraina memiliki hak untuk membela diri setelah invasi Rusia yang jelas melanggar Piagam PBB.

    Dalam peringatan tiga tahun invasi Rusia, Betsa menyerukan kepada negara-negara dunia untuk mendukung perdamaian yang adil dan abadi, serta berdiri teguh pada prinsip-prinsip Piagam PBB.

    Teguran dari Inggris dan Denmark

    Duta Besar Inggris untuk PBB, Barbara Woodward, memperingatkan bahwa jika Rusia dibiarkan menang, dunia akan memasuki era di mana batas-batas negara bisa digambar ulang dengan kekerasan.

    Sementara itu, Wakil Menteri Luar Negeri Denmark, Lotte Machon, menegaskan bahwa dalam perundingan perdamaian, “tidak ada yang namanya Ukraina tanpa Ukraina, tidak ada yang namanya keamanan Eropa tanpa Eropa.”

    Namun, wakil duta besar AS, Dorothy Shea, menanggapi bahwa resolusi-resolusi PBB sebelumnya yang mengecam Rusia tidak berhasil menghentikan perang.

    Menurutnya, perang ini telah menimbulkan kerugian besar bagi Ukraina, Rusia, dan negara-negara sekitarnya.

    Shea mengatakan bahwa yang dibutuhkan sekarang adalah resolusi yang menunjukkan komitmen semua negara PBB untuk mengakhiri perang secara langgeng.

    Dewan Keamanan Terkunci oleh Veto Rusia

    Di Dewan Keamanan PBB, Rusia menggunakan hak vetonya untuk memblokir amandemen Eropa terhadap resolusi AS, yang dianggap tidak efektif.

    Resolusi yang disetujui hanya berisi permintaan agar konflik segera diakhiri dan mendesak perdamaian abadi antara Ukraina dan Rusia.

    Meskipun demikian, Dorothy Shea menyebut resolusi tersebut sebagai “langkah pertama, namun langkah yang sangat penting” menuju perdamaian.

    Majelis Umum PBB kini menjadi badan yang lebih penting bagi Ukraina karena Dewan Keamanan terhalang oleh hak veto Rusia.

    Komitmen Terhadap Kedaulatan Ukraina

    Majelis Umum PBB telah mengesahkan beberapa resolusi yang menuntut Rusia untuk segera menarik pasukannya dari wilayah Ukraina.

    Resolusi terbaru ini menegaskan kembali komitmen terhadap kedaulatan Ukraina, dengan menyatakan bahwa “tidak ada perolehan wilayah yang sah melalui ancaman atau penggunaan kekuatan.”

    Resolusi ini juga menuntut de-eskalasi, penghentian permusuhan, dan penyelesaian damai perang, dengan harapan perang ini dapat berakhir tahun ini.

    (Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

  • Ancaman Kekerasan Terhadap Jurnalis Meningkat Pesat di Pakistan – Halaman all

    Ancaman Kekerasan Terhadap Jurnalis Meningkat Pesat di Pakistan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dalam perjuangan kebebasan pers dan berekspresi, Pakistan disebut menjadi salah satu negara belum ramah untuk jurnalis. 

    Dikutip dari Daily Asian Age, Selasa (25/2/2025), kekerasan terhadap jurnalis, dan bahkan juga pembunuhan, meningkat pesat di negara tersebut.

    Peningkatan terjadi di tengah kekacauan politik dan sensor media di Pakistan.

    Menurut laporan Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), Pakistan berada di peringkat kedua dalam jumlah pembunuhan jurnalis secara global.

    CPJ, yang berbasis di New York, telah mendokumentasikan enam kematian jurnalis di Pakistan pada 2024.

    Hal tersebut menjadi pengingat suram perihal nasib jurnalis dan pekerja media di negara tersebut.

    Sejarah kelam penyerangan terhadap jurnalis

    Pakistan telah lama terkenal karena permusuhannya terhadap jurnalis. Pegiat media sering menjadi sasaran kekerasan, pelecehan, dan intimidasi. 

    Negara ini menghadapi tantangan terkait ketidakstabilan politik, korupsi, dan kontrol militer. Bobroknya ketiga unsur itu berkontribusi menciptakan lingkungan yang tak ramah media.

    Jurnalis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah, operasi militer, atau elit berkuasa sering kali menghadapi ancaman. Mulai dari penyerangan fisik hingga penghilangan paksa, dan dalam banyak kasus mereka dibunuh.

    CPJ rutin memasukkan Pakistan ke dalam daftar negara di mana jurnalis menghadapi risiko tertinggi. Selama bertahun-tahun, puluhan jurnalis dibunuh atau dihilangkan, dan banyak lainnya terpaksa meninggalkan negara tersebut karena ancaman terhadap nyawa mereka. 

    Laporan pada 2024 ini merupakan indikasi nyata. Yakni, betapa sedikitnya perubahan yang terjadi pada media di Pakistan, bahkan ketika perhatian global terhadap kebebasan pers semakin meningkat.

    Laporan CPJ menyoroti meningkatnya ancaman

    Pada 2024, CPJ melaporkan enam pembunuhan jurnalis di Pakistan. Hal ini menandai tren meresahkan atas penurunan kebebasan pers secara global. 

    Laporan tahunan CPJ menyoroti bahaya yang dihadapi jurnalis di seluruh dunia. Termasuk, penangkapan sewenang-wenang, ancaman, sensor, dan, yang paling meresahkan, pembunuhan. 

    Meskipun jumlah pembunuhan jurnalis secara global menurun, situasi di Pakistan masih tetap memprihatinkan. Jurnalis yang bekerja di negara ini terus bergulat dengan kombinasi ketegangan politik, sensor media, dan impunitas sistemik. 

    Laporan CPJ mencatat bahwa banyak dari pembunuhan ini tidak terselesaikan, dan pelakunya jarang diadili. Impunitas bagi pelaku kejahatan terhadap media di Pakistan, telah menciptakan budaya ketakutan.

    Kopndisi itu menghalangi banyak orang untuk bersuara menentang korupsi, ketidakadilan, dan kekerasan oleh negara. Kurangnya akuntabilitas ini memperkuat gagasan bahwa wartawan dapat disingkirkan, dan suara mereka dapat dibungkam tanpa mendapat hukuman.

    Kerusuhan politik dan dampaknya terhadap jurnalisme

    Situasi politik di Pakistan bergejolak dalam beberapa tahun terakhir, dengan seringnya pergantian pemerintahan, pengaruh militer terhadap kepemimpinan sipil, dan sejarah protes dan kerusuhan. Ketidakstabilan politik ini berdampak buruk pada kebebasan pers, karena jurnalis seringkali terjebak dalam baku tembak antara berbagai faksi yang berebut kekuasaan. 

    Media di Pakistan sering kali digunakan sebagai medan pertempuran bagi kekuatan politik yang ingin mengendalikan narasi dan mereka yang berani menentang status quo berisiko menjadi sasarannya. Selama periode kerusuhan politik, jurnalis menjadi sasaran karena liputan mereka mengenai protes, korupsi pemerintah, dan aksi militer.

    Dalam beberapa kasus, wartawan dituduh bias atau bekerja melawan kepentingan nasional, sehingga berujung pada pelecehan atau bahkan kekerasan. Salah satu faktor utama yang mendorong penargetan jurnalis adalah meningkatnya pengaruh militer di bidang politik dan sosial Pakistan. 

    Militer, yang telah memerintah Pakistan dalam sebagian besar sejarahnya, dikenal karena kontrolnya yang ketat terhadap media dan dituduh menyensor liputan-liputan kritis. Jurnalis yang melaporkan operasi militer, seperti konflik yang sedang berlangsung di Balochistan atau situasi di sepanjang perbatasan Afghanistan, berisiko tinggi menghadapi intimidasi, penangkapan, atau hal yang lebih buruk lagi.

    Sensor media

    Faktor lain yang berkontribusi terhadap meningkatnya bahaya bagi jurnalis di Pakistan adalah meningkatnya sensor media. Selama bertahun-tahun, pemerintah Pakistan, militer, dan badan intelijen telah melakukan upaya signifikan untuk mengendalikan arus informasi dan menekan jurnalisme independen.

    Lanskap media di negara ini sangat dipengaruhi oleh kebutuhan pemerintah untuk mempertahankan citra positif, yang sering kali mengorbankan kebebasan pers. Jurnalis di Pakistan menghadapi berbagai tekanan untuk menyesuaikan diri dengan narasi resmi. Tekanan-tekanan tersebut datang dalam bentuk pembatasan hukum, ancaman, dan sensor langsung. 

    Pemerintah dan militer sering menggunakan undang-undang penodaan agama, undang-undang penghasutan, dan undang-undang anti-terorisme untuk membungkam perbedaan pendapat dan menghukum wartawan yang melaporkan hal-hal buruk tentang pihak berwenang.

    Media yang gagal mematuhi batasan sering kali ditutup, dan jurnalis yang menolak mematuhinya akan dipaksa melakukan sensor mandiri atau menghadapi konsekuensi serius.

    Otoritas Pengaturan Media Elektronik Pakistan (PEMRA) diketahui mengeluarkan perintah kepada media, mendikte apa yang boleh dan tidak boleh disiarkan. Perintah ini seringkali tidak jelas dan dapat digunakan untuk membenarkan penyensoran terhadap liputan kritis.

    Ketakutan akan dampak buruknya telah menyebabkan banyak jurnalis menghindari liputan topik-topik sensitif, seperti operasi militer, korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia. Mereka yang berani menyelidiki masalah ini berisiko menjadi sasaran otoritas negara, kelompok militan, atau unsur kriminal.

    Nasib jurnalis di lapangan

    Bagi banyak jurnalis di Pakistan, lingkungan menjadi semakin tidak bersahabat, dengan ancaman datang dari segala arah. Pekerja lepas dan reporter investigatif merupakan kelompok yang paling rentan karena mereka sering kali tidak mendapatkan perlindungan yang diberikan oleh organisasi berita besar.

    Banyak reporter yang terpaksa bekerja di bawah tekanan berat, karena mengetahui bahwa mereka bisa menjadi target berikutnya. Meski terdapat risiko, banyak jurnalis yang terus melaporkan isu-isu penting, seringkali dengan kerugian pribadi yang besar. 

    Namun, pekerjaan mereka sering kali tidak dihargai, dan pengorbanan mereka dilupakan begitu mereka dibunuh atau dibungkam. Organisasi internasional seperti CPJ telah berulang kali menyerukan perlindungan yang lebih besar bagi jurnalis dan akuntabilitas yang lebih besar bagi mereka yang bertanggung jawab atas kekerasan terhadap pers. 

    Pembunuhan jurnalis di Pakistan bukanlah satu-satunya insiden, namun merupakan bagian dari tren otoritarianisme dan penindasan media yang semakin meningkat di wilayah tersebut. Komunitas internasional mengutuk meningkatnya kekerasan terhadap jurnalis di Pakistan, dan mendesak pemerintah untuk mengambil langkah-langkah berarti dalam melindungi kebebasan pers.

    Perserikatan Bangsa-Bangsa, Reporters Without Borders (RSF), dan organisasi hak asasi manusia lainnya telah meminta Pakistan untuk menyelidiki pembunuhan jurnalis, memastikan bahwa mereka yang bertanggung jawab harus bertanggung jawab, dan menciptakan lingkungan di mana jurnalis dapat beroperasi tanpa rasa takut akan kekerasan atau sensor.

    Ada seruan untuk melakukan reformasi terhadap kerangka hukum dan kelembagaan Pakistan untuk menjaga kebebasan pers.

    Situasi di Pakistan menjadi pengingat akan pentingnya kebebasan pers dan peran jurnalisme independen dalam demokrasi yang sehat. 

    Ketika jurnalis dibungkam, masyarakat kehilangan kemampuannya untuk meminta pertanggungjawaban pihak yang berkuasa, dan korupsi, kekerasan, dan ketidakadilan tidak terkendali.

    Dalam menghadapi tantangan-tantangan ini, jurnalis di Pakistan terus menjadi mercusuar perlawanan, berdiri teguh dalam menghadapi kesulitan, bahkan ketika mereka mempertaruhkan nyawa untuk melaporkan kebenaran.

    Posisi Pakistan sebagai negara kedua yang paling mematikan bagi jurnalis pada 2024 merupakan cerminan suram dari ancaman yang terus berlanjut terhadap kebebasan pers dan keselamatan jurnalis.

    Kerusuhan politik, meningkatnya sensor media, dan kurangnya akuntabilitas atas kekerasan terhadap wartawan, berkontribusi terhadap lingkungan yang tidak bersahabat bagi pers.

    SUMBER

  • Sudah Dikecewakan Tak Diajak Rundingan di Arab, AS Kini Tinggalkan Ukraina di Pemungutan Suara PBB – Halaman all

    Trump Minta Zelensky Balikin Bantuan AS, Ukraina Menolak dan Tuntut Jaminan Suplai Militer – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Presiden Amerika Serikat  (AS), Donald Trump, meminta Ukraina untuk mengembalikan miliaran dolar bantuan untuk membantu memerangi invasi Rusia.

    “Kami berusaha mendapatkan kembali uang itu, atau setidaknya mengamankannya,” ucap Trump saat berpidato di Konferensi Aksi Politik Konservatif (CPAC) yang diadakan dekat Washington.

    “Saya ingin mereka memberi kami sesuatu sebagai imbalan atas semua uang yang telah kami keluarkan,” imbuhnya.

    “Kami meminta mineral tanah langka dan minyak—apa pun yang bisa kami dapatkan,” jelasnya.

    Komentar Trump ini muncul di tengah berlangsungnya negosiasi antara Washington dan Kyiv terkait akses terhadap tambang mineral tanah langka.

    Ukraine menolak desakan tersebut dan menuntut jaminan suplai militer untuk memerangi Rusia.

    Tanah langka adalah sumber daya mineral yang sangat dibutuhkan dalam berbagai industri.

    Lebih lanjut, Trump menginginkan akses ke mineral langka sebagai kompensasi atas bantuan yang diberikan kepada Ukraina selama konflik dengan Rusia.  

    Beberapa jam sebelum pidato Trump, sebuah sumber yang berbicara kepada AFP mengungkapkan bahwa Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, “belum siap” untuk menandatangani kesepakatan dengan Amerika Serikat mengenai akses ke tambang tanah langka.

    Zelensky Belum Siap

    Utusan khusus Trump, Keith Kellogg, yang bertemu dengan Zelensky pekan ini, mengatakan Presiden Ukraina memahami betul pentingnya kesepakatan dengan AS.  

    “Menandatangani kesepakatan dengan AS adalah hal yang krusial,” kata Kellogg.  

    Sementara itu, menurut data resmi yang dirilis oleh pemerintah AS, sejak invasi Rusia dimulai, Amerika Serikat telah memberikan lebih dari $60 miliar dalam bentuk bantuan militer kepada Ukraina.

    Angka ini menjadikannya sebagai pemberi bantuan terbesar kepada Ukraina, meskipun masih jauh dari angka yang diklaim oleh Trump.  

    Institut Kiel, sebuah lembaga riset ekonomi di Jerman, juga melaporkan bahwa sejak 2022 hingga akhir 2024, total bantuan yang diberikan oleh AS kepada Ukraina—termasuk bantuan finansial, kemanusiaan, dan militer—bernilai 114,2 miliar euro ($119,8 miliar).  

    Meskipun bantuan tersebut sangat besar, sumber Ukraina menyatakan bahwa Kyiv masih membutuhkan jaminan lebih lanjut terkait bantuan tersebut.

    Selain itu, menurut data resmi yang dilansir AFP, mantan Presiden AS Joe Biden telah menyalurkan lebih dari 500 miliar dolar AS (sekitar Rp 8,13 kuadriliun) dalam bentuk bantuan militer kepada Ukraina sejak invasi Rusia.  

    Menurut informasi yang dilaporkan oleh Reuters pada Senin (24/2/2025), Zelensky sempat menolak untuk menandatangani kesepakatan pekan lalu yang mengharuskan Ukraina menyerahkan 50 persen dari mineral penting yang dimilikinya kepada Washington.  

    Mineral-mineral yang dimaksud mencakup grafit, uranium, titanium, dan litium, yang sangat dibutuhkan dalam berbagai industri global.  

    “Saya tidak akan menandatangani kesepakatan yang harus dibayar oleh sepuluh generasi Ukraina berikutnya,” ucap Zelensky, dikutip dari CNN.

    (Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

  • Trump Tolak Sebut Putin ‘Diktaktor’ setelah Juluki Zelensky ‘Diktaktor Ukraina’ – Halaman all

    Trump Tolak Sebut Putin ‘Diktaktor’ setelah Juluki Zelensky ‘Diktaktor Ukraina’ – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, menolak untuk menyebut Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai diktaktor, julukan yang sebelumnya ia pakai untuk menyebut Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.

    Trump mengatakan ia tidak sembarangan menggunakan julukan tersebut.

    “Saya tidak menggunakan kata-kata itu dengan sembarangan,” kata Trump kepada wartawan di sela-sela pertemuan dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron di Ruang Oval, Gedung Putih, pada Senin (24/2/2025).

    Sebelumnya, wartawan bertanya apakah Trump akan menyebut Putin sebagai diktator, sama seperti ketika ia menyebut Presiden Volodymyr Zelensky ‘diktaktor’ pada 19 Februari 2025.

    Trump lalu mengatakan harapannya terhadap rencana perundingan Rusia dan Ukraina yang bertujuan mengakhiri perang.

    “Saya pikir kita akan lihat bagaimana semuanya berjalan,” katanya.

    “Ada peluang tercapainya penyelesaian yang benar-benar baik antara berbagai negara,” lanjutnya.

    Pekan lalu, Trump menyebut Zelensky seorang diktator dan mengatakan ia harus bertindak cepat jika Ukraina ingin bertahan hidup sebagai sebuah negara.

    Zelensky kemudian mengatakan dia tidak tersinggung dengan pernyataan tersebut, seperti diberitakan Pravda.

    Trump Siap Bertemu Zelensky

    Dalam konferensi pers dengan Macron, Trump mengatakan ia siap bertemu Zelensky minggu ini atau minggu depan di Gedung Putih untuk menandatangani perjanjian sumber daya mineral.

    “Faktanya, dia mungkin akan datang minggu ini atau minggu depan untuk menandatangani perjanjian (tentang sumber daya mineral). Itu akan menyenangkan. Saya ingin sekali bertemu dengannya. Kita akan bertemu di Ruang Oval,” kata Zelensky.

    Trump mengatakan AS dan Ukraina sangat dekat dengan kesepakatan akhir mengenai perjanjian logam tanah jarang dan lainnya.

    “Saya pikir mereka harus mendapatkan persetujuan dari dewan atau siapa pun yang mungkin menyetujuinya, saya yakin itu akan terjadi,” kata Trump, dikutip dari Kyiv Independent.

    Donald Trum berulang kali meminta Ukraina untuk memberikan imbalan atas bantuan senilai 500 miliar dolar yang diberikan AS kepada Ukraina sejak perangnya dengan Rusia pada tahun 2022.

    Trump mengklaim Ukraina pada dasarnya menyetujui kesepakatan sumber daya senilai 500 miliar dolar.

    Namun, Zelensky meminta AS untuk memberikan jaminan keamanan untuk Ukraina sebelum menandatangani perjanjian sumber daya.

    Permintaan Zelensky menyusul upaya Donald Trump yang mengatakan ingin menengahi perundingan Rusia dan Ukraina untuk mengakhiri perang.

    Sebelum perang berakhir, Zelensky ingin memastikan keamanan Ukraina dengan meminta jaminan keamanan dari AS, selain dari negara-negara sekutunya di Eropa.

    (Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

    Berita lain terkait Konflik Rusia VS Ukraina