Category: Liputan6.com Regional

  • Petak Umpet, Permainan yang Menyebar dari Yunani ke Nusantara

    Petak Umpet, Permainan yang Menyebar dari Yunani ke Nusantara

    Di Bali, petak umpet dikenal dengan sebutan mecalingan dan memiliki kekhasan tersendiri. Permainan ini sering dimainkan oleh anak-anak saat bulan purnama.

    Sebelum bermain, biasanya dilakukan persembahyangan kecil atau mengucapkan mantra tertentu sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur. Aturan mainnya pun disesuaikan dengan nilai-nilai budaya Bali yang kental dengan unsur spiritual.

    Sementara di Sumatera, permainan ini lebih dikenal dengan sebutan sembunyi-sembunyian dengan aturan hitungan tersendiri. Berbeda dengan daerah lain yang menggunakan hitungan biasa, anak-anak Sumatera kerap menggunakan hitungan dalam bahasa daerah atau dengan ritme tertentu.

    Pada komunitas Melayu, permainan ini menjadi lebih istimewa dengan memasukkan unsur pantun dalam proses bermain. Pemain yang bertugas mencari biasanya harus melantunkan pantun terlebih dahulu sebelum mulai berhitung.

    Meski aturannya berbeda, inti permainan tetap sama yaitu satu pemain mencari yang lain yang bersembunyi. Petak umpet tidak hanya menjadi permainan anak-anak di pedesaan, tetapi juga di perkotaan sebelum era gawai mendominasi.

    Di tengah gempuran permainan digital, petak umpet masih sesekali dimainkan dalam acara tradisional atau kegiatan outdoor anak-anak. Permainan sederhana ini telah melewati zaman, menyebar dari peradaban kuno hingga menjadi bagian dari kearifan lokal Indonesia.

    Penulis: Ade Yofi Faidzun

  • Es Legen, Kesegaran Tradisional Khas Surabaya Tak Lekang oleh Waktu

    Es Legen, Kesegaran Tradisional Khas Surabaya Tak Lekang oleh Waktu

    Es Legen juga dipercaya memiliki berbagai manfaat kesehatan, seperti meningkatkan stamina, mendinginkan tubuh secara alami, hingga membantu pencernaan, meskipun tentu manfaat ini masih banyak bersifat empiris dan turun-temurun.

    Namun demikian, minuman ini tetap menjadi pilihan utama bagi mereka yang mencari kesegaran alami yang minim proses kimia dan pengawet. Sayangnya, meskipun Es Legen masih cukup populer, keberadaan dan eksistensinya perlahan mulai terpinggirkan oleh tren minuman modern dan kekinian yang menjamur di berbagai sudut kota.

    Bubble tea, kopi kekinian, dan berbagai varian minuman dengan topping modern mulai mengambil alih perhatian generasi muda, yang tak jarang mengabaikan kekayaan kuliner lokal seperti Es Legen.

    Padahal, jika dipromosikan dan dikemas secara lebih kreatif, Es Legen memiliki potensi besar untuk menjadi ikon kuliner minuman khas Surabaya yang bisa dibanggakan di kancah nasional bahkan internasional.

    Beberapa pengusaha muda sudah mulai melirik peluang ini, dengan menjual Es Legen dalam kemasan botol modern atau menjadikannya menu utama di kafe-kafe bertema tradisional. Inisiatif-inisiatif semacam ini menjadi harapan baru agar minuman tradisional seperti Es Legen tidak hanya bertahan, tapi juga berkembang dan mendapat tempat di hati generasi masa kini.

    Pemerintah daerah bersama komunitas pecinta kuliner tradisional sepatutnya memberikan ruang dan dukungan agar minuman ini tetap lestari. Festival kuliner, lomba kreasi es legen, atau promosi melalui media sosial bisa menjadi jalan untuk memperkenalkan es legen kepada khalayak yang lebih luas.

    Surabaya sebagai kota besar yang sarat akan sejarah dan budaya, tentu memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga agar warisan semacam ini tidak punah di tengah gempuran globalisasi dan modernisasi.

    Dengan begitu, es legen tidak hanya bertahan sebagai kenangan masa kecil atau nostalgia orang tua kita, tapi juga menjadi bagian hidup yang nyata dan relevan dalam kehidupan masyarakat urban masa kini.

    Penulis: Belvana Fasya Saad

     

  • Keberangkatan Perdana Jemaah Haji Lampung Dijadwalkan 2 Mei 2025, Cek Jadwalnya di Sini

    Keberangkatan Perdana Jemaah Haji Lampung Dijadwalkan 2 Mei 2025, Cek Jadwalnya di Sini

    Di musim haji 2025 ini, Provinsi Lampung mendapatkan total kuota sebanyak 7.050 jemaah. Rinciannya, 6.627 untuk jemaah reguler, 353 kuota khusus lansia, 54 untuk petugas haji daerah (PHD), serta 16 pembimbing dari Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU).

    Ansori mengatakan, pihaknya telah mengarahkan para jemaah cadangan yang belum menyelesaikan syarat agar segera menuntaskan tahapan tersebut.

    “Mereka juga sudah menandatangani surat pernyataan bersedia tidak berangkat jika tidak masuk kuota tahun ini,” jelas dia.

    Sementara itu, persiapan di Asrama Haji Rajabasa menghadapi tantangan tersendiri. Dua gedung tidak dapat digunakan karena keterbatasan fasilitas.

    “Kami meminta panitia dan petugas menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Sambil menunggu gedung baru tujuh lantai yang dijadwalkan selesai akhir tahun ini,” ungkapnya.

    Selain itu, dia mengingatkan agar seluruh petugas memberi perhatian khusus kepada jemaah lansia dan difabel, serta memberi edukasi soal barang-barang terlarang saat keberangkatan.

  • Profil Brando Susanto, Kader PDIP Meninggal Dunia saat Acara Partai

    Profil Brando Susanto, Kader PDIP Meninggal Dunia saat Acara Partai

    Mengutip dari situs DPRD DKI Jakarta Brando Susanto merupakan kelahiran 21 September 1977 di Jakarta. Kemudian semasa hidupnya dikenal aktif dalam berorganisasi terutama berpengalaman di internal PDI-P ataupun ketika menjadi mahasiswa.

    Brando pernah menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa FISIP Universitas Parahyangan dan Ketua Koperasi Keluarga Besar Mahasiswa UNPAR. Kemudian Brando juga pernah menduduki posisi Sekjen Perhimpunan Alumni Kolase Kanisius Jakarta.

    Selain itu, ketika aktif dalam partai dia pernah menjabat sebagai Sekretaris DPC PDI Perjuangan Jakarta Utara dan Ketua DPD Taruna Merah Putih Jakarta. Adapun dalam kariernya dia terpilih sebagai Anggota DPRD Jakarta untuk Pemilu 2024.

    Pria kelahiran 1977 itu maju sebagai anggota dewan dari daerah pemilihan atau Dapil 3 Jakarta yang meliputi Tanjung Priok, Pademangan, dan Penjaringan di Jakarta Utara. Kemudian mengisi Komisi C di DPRD Jakarta untuk periode 2024-2029.

  • Tradisi Kebo-keboan, Warisan Budaya Tak Benda Asal Banyuwangi Sarat Makna

    Tradisi Kebo-keboan, Warisan Budaya Tak Benda Asal Banyuwangi Sarat Makna

    Pelaksanaan tradisi Kebo-keboan biasanya dimulai sejak pagi hari. Para peserta yang telah terpilih—biasanya laki-laki dewasa yang dianggap memiliki kesiapan fisik dan spiritual—akan memulai prosesi dengan berdandan seperti kerbau.

    Mereka mengenakan celana pendek berwarna gelap, menutupi seluruh tubuh dengan lumpur atau jelaga, dan memakai tanduk buatan dari kayu atau bambu yang dihias sedemikian rupa di kepala mereka. Wajah mereka dilukis agar terlihat garang dan menyerupai makhluk mistis, sementara beberapa di antaranya membawa alat bajak sawah sebagai atribut utama dalam pertunjukan ini.

    Setelah berdandan lengkap, para kebo tersebut akan diarak keliling desa oleh masyarakat, sembari melakukan adegan-adegan dramatik seperti membajak sawah di jalanan, mengamuk, berlari liar, bahkan kesurupan—sebuah fenomena yang kerap terjadi dan dipercaya sebagai tanda masuknya roh leluhur atau kekuatan gaib ke dalam tubuh peserta.

    Ketika kesurupan terjadi, peserta akan bertingkah di luar kesadaran, menirukan suara kerbau, berguling di tanah, dan terkadang harus ditenangkan oleh pawang atau sesepuh desa menggunakan doa-doa dan sesajen tertentu.

    Momen ini justru menjadi bagian paling sakral dan ditunggu-tunggu oleh masyarakat, karena dipercaya bahwa jika banyak peserta yang mengalami kesurupan, maka pertanda hasil panen akan melimpah dan desa akan terbebas dari bencana selama setahun ke depan.

    Selain itu, dalam tradisi ini juga terdapat iring-iringan gamelan dan kesenian tradisional khas Banyuwangi seperti musik angklung, barongan, serta penampilan tarian-tarian rakyat. Suasana desa berubah menjadi sangat meriah, namun tetap sarat dengan aura spiritual.

    Para warga, baik tua maupun muda, berkumpul sepanjang jalan, menyaksikan prosesi dengan penuh kekhusyukan sekaligus rasa penasaran. Tak jarang pula, para pengunjung dari luar daerah bahkan wisatawan mancanegara datang untuk menyaksikan langsung keunikan tradisi ini, yang menampilkan perpaduan antara seni pertunjukan, ritual magis, dan kehidupan agraris masyarakat tradisional.

    Setelah prosesi arak-arakan keliling desa selesai, para peserta akan diarahkan menuju tempat yang telah disiapkan sebagai area pembajakan sawah simbolis. Di tempat ini, mereka akan menirukan aktivitas membajak sawah secara bergiliran, sebagai simbolisasi permohonan kepada Sang Pencipta agar tanah tetap subur dan hasil pertanian melimpah.

    Pada bagian akhir, dilakukan ritual sesaji berupa penyajian hasil bumi seperti padi, jagung, buah-buahan, dan aneka makanan khas desa yang diletakkan di altar sesaji, lalu dipanjatkan doa oleh pemuka adat. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan makan bersama seluruh warga sebagai simbol kebersamaan, syukur, dan keberkahan.

    Makna dari tradisi Kebo-keboan tidak bisa dilepaskan dari filosofi kehidupan masyarakat Banyuwangi yang sangat menjunjung tinggi harmoni antara manusia, alam, dan roh leluhur. Dalam pandangan masyarakat lokal, kerbau bukan hanya hewan pekerja, tapi juga makhluk suci yang membantu manusia menjaga keseimbangan alam.

    Tradisi ini menjadi ruang simbolik untuk memperkuat hubungan spiritual antara manusia dan kekuatan gaib, sekaligus mempererat solidaritas sosial di tengah masyarakat.

    Lebih jauh lagi, Kebo-keboan juga menjadi media untuk mentransfer nilai-nilai budaya dan kearifan lokal kepada generasi muda, agar mereka tidak melupakan akar tradisi yang telah diwariskan secara turun-temurun. Dalam konteks modernisasi dan globalisasi seperti sekarang, tradisi Kebo-keboan menghadapi tantangan yang tidak sedikit.

    Arus budaya luar, perubahan gaya hidup, serta tekanan ekonomi membuat sebagian generasi muda cenderung melupakan atau bahkan menganggap tradisi ini sebagai sesuatu yang kuno dan tidak relevan.

    Namun demikian, upaya pelestarian terus dilakukan oleh pemerintah daerah, budayawan, serta masyarakat setempat melalui berbagai cara, seperti menjadikan tradisi ini sebagai bagian dari kalender pariwisata tahunan, mengadakan festival kebudayaan, serta memasukkan unsur-unsur edukatif ke dalam pertunjukan agar generasi muda tetap merasa tertarik dan terlibat.

    Keunikan dan kekayaan nilai yang terkandung dalam tradisi Kebo-keboan telah membuatnya diakui sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pengakuan ini tentu menjadi langkah penting dalam upaya pelestarian dan promosi budaya lokal agar tidak punah di tengah perkembangan zaman.

    Lebih dari sekadar pertunjukan budaya, Kebo-keboan adalah cermin dari kebijaksanaan masyarakat Banyuwangi dalam menyikapi kehidupan, menjaga hubungan dengan alam semesta, serta membangun harmoni antara manusia dan kekuatan tak kasat mata.

    Ia bukan hanya sekadar pertunjukan eksotis yang menarik bagi wisatawan, melainkan juga sebuah pengingat tentang pentingnya akar budaya dalam membentuk jati diri bangsa. Maka dari itu, menjaga keberlangsungan tradisi ini bukan hanya tugas masyarakat Banyuwangi semata, melainkan juga tanggung jawab kita bersama sebagai bangsa yang besar karena kebudayaannya.

    Penulis: Belvana Fasya Saad

     

  • Lapak PKL di Kaki Jembatan Suramadu Jadi Sarang Miras dan Prostitusi

    Lapak PKL di Kaki Jembatan Suramadu Jadi Sarang Miras dan Prostitusi

    Liputan6.com, Surabaya – Kepala Satpol PP Kota Surabaya, M Fikser membenarkan, pihaknya telah menertibkan sebanyak 129 lapak Pedagang Kaki Lima (PKL) yang tersebar di sekitar kaki Jembatan Suramadu, mulai dari sisi barat hingga timur.

    “Penertiban ini kami lakukan tidak hanya karena adanya pesta minuman keras (miras) serta indikasi kegiatan prostitusi dan narkoba, tetapi juga untuk menata kembali wilayah Kenjeran agar menjadi lebih tertib dan nyaman,” ujarnya, Senin (28/4/2025).

    Selain lapak pedagang, lanjut Fikser, petugas juga menertibkan meja kayu, kursi kayu, hingga tenda yang ditinggalkan pemiliknya di atas trotoar.

    “Ada 129 PKL yang kami tertibkan ini, penertiban ini kami sisir mulai sisi barat hingga sisi timur kaki Jembatan Suramadu,” ujar dia.

    Fikser mengungkapkan bahwa sebelum tindakan penertiban dilakukan, Satpol PP Surabaya bersama camat dan lurah setempat telah melakukan sosialisasi secara humanis kepada para PKL. 

    “Sosialisasi ini bertujuan agar pedagang memahami maksud baik kami dalam menata keberadaan PKL di sana,” imbuhnya.

    Sementara itu, Camat Kenjeran Surabaya, Yuri Widarko menyampaikan, setelah penertiban para PKL, mereka direncanakan akan direlokasi ke tempat yang telah disediakan oleh Pemkot Surabaya. Yakni, di samping SD Negeri Tambak Wedi. 

    “Saat ini, lokasi relokasi sedang dipersiapkan, termasuk penyelesaian bangunan oleh rekan Dinas Perumahan Rakyat Kawasan Permukiman serta Pertanahan (DPRKPP),” kata Yuri.

    Yuri menambahkan bahwa relokasi ini dikhususkan bagi PKL yang ber-KTP Surabaya, dengan prioritas diberikan kepada warga Tambak Wedi. Hal ini dikarenakan sebagian PKL yang berjualan di kawasan tersebut berasal dari luar Kota Pahlawan.

    “Kami prioritaskan untuk yang ber-KTP Surabaya, kami prioritaskan juga untuk warga Tambak Wedi. Karena PKL yang berjualan disini, ada yang berasal dari luar Surabaya,” imbuhnya.

    Dengan adanya penertiban ini, Yuri berharap kawasan Kenjeran Surabaya dapat tertata lebih rapi, terutama karena merupakan salah satu destinasi wisata Jembatan Suramadu. 

    “Kami tidak melarang masyarakat mencari rezeki, namun kami berharap kawasan ini dapat tertata dengan baik sehingga meningkatkan citra positif di mata masyarakat,” ujarnya.

    Pasca penertiban, Satpol PP Surabaya akan melakukan patroli rutin di kawasan tersebut guna mencegah PKL kembali berjualan di lokasi yang telah ditertibkan.

    “Yang terpenting adalah pengawasan pasca penertiban. Kami meminta bantuan Satpol PP untuk melakukan penjagaan hingga kondisi benar-benar steril,” pungkasnya.

  • Nostalgia Komik Petruk dan Susahnya Menelan Fakta ‘Banyak Anak SMP Belum Bisa Baca’

    Nostalgia Komik Petruk dan Susahnya Menelan Fakta ‘Banyak Anak SMP Belum Bisa Baca’

    Liputan6.com, Jakarta – Meja wakil rakyat di pusat tiba-tiba geger. Jauh di Buleleng Bali sana banyak anak SMP yang ternyata belum bisa membaca. Sebuah tamparan keras bagi pemerintah yang katanya mau memasuki era Indonesia Emas 2045. 

    “Penting untuk menelusuri akar masalah dari fenomena tersebut,” kata Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian. 

    Hetifah kemudian mempertanyakan faktor penyebab mengapa anak-anak SMP di Buleleng masih ada yang belum bisa baca. Apakah kurang fasilitas, kurang kualitas tenaga pengajar, atau ada masalah lainnya.

    Kemendikdasmen sebagai lembaga negara yang paling bertanggung jawab terhadap pendidikan di negara ini melalui menterinya Abdul Mu’ti mengatakan, sebagian siswa di Buleleng tidak bisa membaca lantaran mengalami disleksia hingga berkebutuhan khusus, selain juga karena faktor perekonomian keluarga. 

    Disleksia memang diartikan sebagai gangguan belajar spesifik yang memengaruhi kemampuan membaca, menulis, dan mengeja seseorang anak. dalam ilmu kedokteran, gangguan ini disebabkan oleh masalah dalam proses otak yang memproses bahasa. Penderita disleksia mungkin kesulitan untuk mengenali suara huruf dan kata, serta menghubungkannya dengan bunyi yang tepat, sehingga menyebabkan kesulitan dalam membaca dan menulis.

    Disleksia disebut-sebut tidak berkaitan langsung dengan kecerdasan seseorang, artinya tidak selalu penderitanya adalah anak bodoh. Mereka mungkin memiliki kemampuan intelektual yang normal atau bahkan di atas rata-rata, tapi masih mengalami kesulitan dalam bidang membaca dan menulis. Namun hal ini bukan lantas menjadi tameng bagi pemerintah untuk lepas tangan terhadap fakta yang terjadi hari-hari ini, -masih ada anak SMP yang belum bisa baca-, karena mungkin fenomena ini juga terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia, atau bahkan tetangga sebelah rumah kita sendiri.

    Padahal jika ditelisik lebih dalam ada satu hal penting yang kerap dianggap remeh, yang bisa membantu anak-anak disleksia meningkatkan kemampuan membaca dan menulis mereka: baca komik. Sebagai salah satu bentuk jenis bacaan, komik memang masih terperangkap dalam stigma bacaan ringan yang bersifat profan, sekadar hiburan belaka. Tak jarang ahli dan pengamat pendidikan bahkan menuding, komik sebagai media perusak karena sifatnya yang mudah merebut perhatian para siswa. 

    Banyak juga yang masih menganggap komik sebagai terbitan pornografis (cabul), non-gramatis, dan non-edukatif, yang memunculkan sifat kemalasan berpikir. Padahal sebaliknya, dari cerita bergambar itu, anak-anak dibawa untuk terpancing imajinasinya sehingga membantu anak-anak, khususnya yang mengalami disleksia, untuk memahami cerita dengan lebih baik dan membantu proses belajar membaca mereka. Sastrawan Mochtar Lubis bahkan pernah mengatakan, komik adalah salah satu alat komunikasi massa yang memberi pendidikan, baik untuk anak-anak maupun orang dewasa. 

    Menurut penelitian Ana Fauziah yang diterbitkan Universitas Negeri Jakarta (UNJ), potensi komik dapat dipetakan ke dalam sembilan arah, antara lain komik sebagai karya sastra, komik sebagai seni, komik sebagai kendali atas hak-hak komikus, komik sebagai industri bisnis yang selalu berinovasi, komik sebagai alat membentuk persepsi masyarakat, komik sebagai pengawasan institusional, komik sebagai bukti keseimbangan gender, komik sebagai representasi kaum moniritas, dan  komik mampu menampilkan beranekaragam genre. Pendapat tentang komik sebagai sastra dan seni pun mendapat respons negatif dari banyak kalangan.

    “Di Indonesia sendiri, sejarah komik cukup panjang dan beraneka warna yang sangat dipengaruhi oleh situasisosial politik. Sejarah komik Indonesia dapat ditelusuri sampai ke masa prasejarah. Bukti pertama terdapat padamonumen-monumen keagamaan yang terbuat dari batu itu,” tulis Ana.

    Kemudian lebih dekat dengan masa kini, ada wayang beber dan wayang kulit yang menampilkan tipe penceritaan dengan sarana gambar yang dapat dianggap sebagai cikal bakal komik. Wayang kulit menjadi mirip komik karena adanya kecepatan gerak yang dilakukan dalang saat mementaskan lakon.

    “Relief yang terdapat di Candi Borobudur dan di Candi Prambanan merupakan bentuk komik Indonesia yang paling awal. Borobudur mengandung sebelas bas-relief yang mencakup 1.460 adegan. Adegan-adegan dalam relief ini digunakan untuk membimbing para peziarah melakukan perenungan,” kata Ana Fauziah.

    Pada kurun tahun 1931-1954, komik Indonesia mendapat pengaruh Barat dan Cina. Komik muncul dalam media massa sebelum Perang Dunia II. Harian berbahasa Belanda, De Java Bode (1938) memuat komik karya Clinge Doorenboss yang berjudul Flippie Flink dalam rubrik anak-anak. Mingguan De Orient memuat komik petualang Flash Gordon untuk pertama kalinya. Di samping media massa berbahasa Belanda, ada pula surat kabar berbahasa Melayu yang memuat komik ‘impor’ dari Barat.

    Sedangkan komik yang dipengaruhi Cina muncul di surat kabar Sin Po berbahasa Melayu yang dimiliki Cina peranakan. Pada 1.030, Sin Po memuat komik strip karya Kho Wang Gie. Pada awal 1931, Kho Wang Gie memperkenalkan tokoh Put On yang kemudian menjadi terkenal dan role model yang ‘dicontek’ para komikus lainnya.

    Pengaruh Barat dan Cina dalam komik Indonesia tidak hanya sebatas pemuatan komik impor di media massa Indonesia, tapi juga dalam tema dan tokoh, misalnya mengadopsi tema kepahlawanan cerita Tarzan.

    “Setelah hampir dua puluh tahun dipengaruhi kebudayaan Barat dan Cina, para komikus Indonesia mulai berpikir untuk menggali ide dari sumber kebudayaan nasional,” katanya.

    Evolusi tersebut terjadi sebagai dampak kemerdekaan Indonesia secara politis di bawah presiden Sukarno. Inilah kurun di mana komik Indonesia sangat dipenuhi semangat nasionalisme (antara tahun 1954-1960), ditandai dengan munculnya komik jenis baru yang disebut ‘komik wayang’. Terbitan pertama muncul antara tahun 1954 dan 1955 dengan lahirnya Gatotkatja (terbitan Keng Po), Raden Palasarakarya Johnlo, dan seri panjang Mahabharata karya Kosasih. Dengan segera, tokoh-tokoh pewayangan menjadi pusat produksi komik, kemudian disusul tokoh-tokoh yang diambil dari cerita lisan, legenda, mite, atau cerita rakyat.

    Kejenuhan terhadap tema pewayangan menyebabkan munculnya era baru dalam sejarah komik Indonesia. Era baru ini kemudian disebut ‘Era Medan’, yang berlangsung selama kurun tahun 1960-1963. Komikus-komikus Medan mengambil cerita dan legenda Minangkabau sebagai ide, antara lain komikus Taguan Hardjo yang mengkomikkan drama daerah, seperti Telandjang Udjung Karang.

    Selanjutnya pada kurun tahun 1963-1965, tema-tema komik Indonesia bergerak dengan semangat nasionalis seperti tema perjuangan melawan imperialis—termasuk neokolonialis yaitu Inggris dan anteknya Malaysia, cita-cita kebesaran bangsa, sinkretisme agama, juga propaganda Partai Komunis. Kurun ini disebut sebagai ‘Periode Nasionalisme ala Sukarno.’

    “Setelah komik terbebas dari politisasi, pada kurun tahun 1964-1966, kisah-kisah bertema kehidupan cinta remaja mulai bermunculan, yang antara lain berisi pesan moral pengaruh barat dalam mode pakaian, norma pergaulan, dan norma sopan santun sangat berbahaya bagi remaja,” kata Ana.

    Namun karena dampak komersialisme, pesan tersebut kemudian hanya menjadi alasan bagi komikus menyajikan gambar atau adegan panas ke dalam panel. Kecenderungan itu membuat gerah para pemerhati pendidikan. Dampak dari peristiwa berdarah 1965 juga merambah dunia komik. Pengawasan ketat dilakukan terhadap semua terbitan komik, dan menyita komik-komik yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

    “Waktu itu polisi menarik komik-komik yang masuk dalam daftar hitam, salah satunya komik yang berideologikan komunis, dari peredaran,” katanya.

    Selanjutnya pertumbuhan komik sampai tahun 1967 bebas dari pengarahan yang ketat. Setelah mendapat pengaruh dari berbagai macam kebudayaan dan ideologi, komik Indonesia kemudian tumbuh dengan pilihan tema bergantung pada mode tertentu dan arus politis sesaat. Secara bergantian, komik sentimental roman remaja, cerita detektif, komik silat, komik horor, mewarnai khazanah komik Indonesia hingga pasca-reformasi. 

    Bagi anak-anak generasi 90an, komik seperti ‘mainan baru’ di tengah kejenuhan beraktivitas, selain juga bisa disebut media pergaulan satu dengan yang lainnya. 

     

  • Modus Baru Illegal Fishing di Lampung, Peralat Anak-Anak sebagai Kurir Bom Ikan

    Modus Baru Illegal Fishing di Lampung, Peralat Anak-Anak sebagai Kurir Bom Ikan

    Untuk memperkuat langkah penindakan, Polairud Polda Lampung juga menggandeng Balai Pemasyarakatan (Bapas) serta Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Lampung. Kolaborasi ini dilakukan guna memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan perikanan, termasuk destructive fishing.

    “Kami tidak hanya fokus pada penindakan, tapi juga pada upaya pencegahan. Kerusakan yang ditimbulkan akibat bom ikan ini tidak hanya merusak terumbu karang, tapi juga menyebabkan penurunan populasi ikan, keragaman hayati, hingga konflik antar nelayan,” jelas dia.

    Ia menyebut potensi kerugian negara akibat praktik ini mencapai Rp9,3 miliar.

    Selama operasi tersebut, Polairud juga mengamankan 10 pelaku dari berbagai kasus penangkapan ikan ilegal di wilayah perairan Lampung. Petugas menyita dua unit kapal, 24 detonator, 2,25 kg bahan peledak, mesin dinamo, serta dua jaring troll sebagai barang bukti.

    “Semua pelaku akan diproses hukum sesuai ketentuan. Penindakan terhadap destructive fishing adalah prioritas kami,” dia memungkasi.

     

  • Bersama Lestarikan Bumi, Wakil Bupati Luwu Apresiasi Masmindo

    Bersama Lestarikan Bumi, Wakil Bupati Luwu Apresiasi Masmindo

    Liputan6.com, Jakarta Wakil Bupati Luwu, Muh. Dhevy Bijak Pawindu, memberikan apresiasi tinggi kepada PT Masmindo Dwi Area (MDA) atas partisipasi aktifnya dalam peringatan Hari Bumi 2025 yang digelar serentak di seluruh wilayah Sulawesi Selatan.

    Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari surat edaran Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan Nomor: 005/574/DLHK, yang mengusung tema “Kekuatan Kita, Planet Kita”. Salah satu aksi nyata dalam momentum ini adalah penanaman 1.000 pohon secara serentak di berbagai kabupaten dan kota, termasuk di Kabupaten Luwu.

    Pelaksanaan penanaman pohon di Luwu melibatkan berbagai elemen, mulai dari pemerintah daerah hingga sektor swasta, di mana PT Masmindo Dwi Area tampil aktif sebagai wujud nyata komitmennya terhadap pelestarian lingkungan di sekitar wilayah operasional perusahaan.

    Dalam sambutannya, Wakil Bupati Luwu menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang mendalam kepada MDA.

    “Kami mengapresiasi kontribusi yang diberikan oleh MDA dalam kegiatan ini. Sinergi antara pemerintah dan dunia usaha menjadi kunci penting dalam menjaga kelestarian lingkungan, khususnya di Kabupaten Luwu. Kami berharap kolaborasi ini terus berlanjut, sehingga manfaatnya dapat dirasakan lebih luas oleh masyarakat,” ujar Muh. Dhevy Bijak Pawindu.

    Kepala Teknik Tambang (KTT) PT Masmindo Dwi Area, Mustafa Ibrahim, turut menegaskan komitmen perusahaan terhadap kelestarian lingkungan. Ia menjelaskan bahwa program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) MDA tidak hanya berfokus pada aspek sosial dan ekonomi, tetapi juga mengedepankan keberlanjutan lingkungan.

    “Apa yang kami tanam dan rawat hari ini diharapkan menjadi warisan hijau bagi anak cucu kita di masa depan,” ungkap Mustafa.

    Melalui kolaborasi yang erat ini, PT Masmindo Dwi Area bersama Pemerintah Kabupaten Luwu membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan dapat berjalan seiring. Upaya bersama ini diharapkan membawa dampak positif, tidak hanya untuk hari ini, tetapi juga bagi generasi yang akan datang.

     

     

    Ketua Umum Partai Demokrat sekaligus Menteri Agraria Tata Ruang dan Kepala BPN, Agus Harimurti Yudhoyono juga memberikan tanggapan pasca putusan MK dalam sengketa pilpres pada sela-sela acara Hari Bumi Sedunia, di Desa Cibedug, Kabupaten Bogor, pada …

  • Fakta Unik Ce Hun Tiau, Minuman Tradisional Kalimantan Populer

    Fakta Unik Ce Hun Tiau, Minuman Tradisional Kalimantan Populer

    Menariknya lagi, Ce Hun Tiau juga menggambarkan bagaimana masyarakat Pontianak mampu menjaga warisan kuliner dengan cara yang sangat alami dan membumi. Tidak banyak perubahan yang dilakukan terhadap resep asli dari minuman ini, bahkan di tengah maraknya inovasi minuman kekinian.

    Meski sekarang ada beberapa penjual yang mencoba menambahkan topping seperti nata de coco, selasih, atau susu evaporasi demi menarik minat generasi muda, inti dari Ce Hun Tiau tetap dipertahankan rasa manis-gurih yang berasal dari perpaduan santan dan gula, tekstur beragam yang memberikan sensasi mengunyah yang kompleks, dan tentunya kesegaran maksimal dari es serut yang melimpah.

    Minuman ini umumnya disajikan dalam mangkuk besar atau gelas tinggi, dan sering kali dinikmati sebagai pencuci mulut setelah makan siang atau sekadar cemilan sore hari.

    Dalam berbagai festival atau perayaan budaya Tionghoa di Pontianak seperti Cap Go Meh atau Imlek, Ce Hun Tiau seringkali disajikan sebagai hidangan pelengkap, menunjukkan betapa dalamnya keterkaitan antara makanan, tradisi, dan identitas dalam kehidupan masyarakat lokal.

    Ketika seseorang menikmati Ce Hun Tiau, ia tidak hanya menikmati sensasi segar dan rasa manis yang menggoda, tetapi juga sedang meneguk jejak-jejak akulturasi budaya yang telah berlangsung selama ratusan tahun di tanah Borneo ini.

    Oleh karena itu, sudah sepatutnya minuman ini terus dijaga, dikenalkan lebih luas, dan diapresiasi sebagai bagian dari kekayaan kuliner Indonesia yang tak ternilai.

    Ce Hun Tiau bukan hanya minuman, melainkan cerita hidup yang dibekukan dalam es, dilarutkan dalam santan, dan dituturkan dalam setiap sendok yang disantap dengan rasa penuh cinta terhadap tradisi dan warisan leluhur.

    Penulis: Belvana Fasya Saad