Category: Liputan6.com Regional

  • Bukit Pergasingan, Panggung Terbaik Menyaksikan Kemegahan Rinjani

    Bukit Pergasingan, Panggung Terbaik Menyaksikan Kemegahan Rinjani

    Langit terasa lebih dekat, awan tampak bisa disentuh, dan udara segar yang memenuhi paru-paru memberikan kesegaran tak tertandingi. Dari atas bukit ini, Rinjani terlihat begitu jelas, megah, dan penuh wibawa, seolah menjadi penjaga bumi Lombok dari ketinggian.

    Banyak wisatawan memilih untuk mendirikan tenda dan bermalam di puncak Bukit Pergasingan, demi bisa menyaksikan keajaiban berikutnya yang tersaji di pagi hari matahari terbit yang menembus kabut, perlahan menyinari pucuk-pucuk bukit dan pepohonan dengan cahaya emas yang hangat.

    Fenomena matahari terbit di Bukit Pergasingan bukan hanya soal cahaya pagi yang menawan, melainkan sebuah pengalaman spiritual yang menyentuh jiwa. Ketika langit mulai berubah warna dari hitam ke jingga, ketika bayangan Rinjani mulai terlihat dari balik tirai kabut pagi, dan ketika sinar pertama menimpa wajah kita yang masih dipenuhi embun tidur, semuanya terasa seperti awal yang baru.

    Banyak pengunjung duduk diam, tertegun, menatap ke arah timur sembari menikmati secangkir kopi hangat atau hanya berselimut dalam sleeping bag menyadari bahwa keindahan alam sesungguhnya tak perlu dicari terlalu jauh, karena ia telah hadir dalam kesederhanaan yang tulus dan sunyi di tempat seperti ini.

    Bukit Pergasingan juga menjadi magnet bagi para fotografer lanskap. Komposisi alam yang unik—dari pola sawah di bawah, latar belakang Rinjani, hingga langit yang berubah warna setiap jam—menjadikannya studio alam terbuka yang sempurna. Dalam satu waktu, kamu bisa menangkap berbagai nuansa keheningan pagi yang mistis, gemerlap matahari terbit yang menggugah, hingga langit malam yang penuh bintang di atas perkemahan.

    Bahkan saat kabut turun perlahan-lahan dan menyelimuti kaki bukit, suasana menjadi lebih magis, seolah kamu berada di dunia lain. Di antara suara dedaunan yang tertiup angin dan kicauan burung pagi, Bukit Pergasingan mengajarkan bagaimana keindahan bisa begitu sederhana namun menggetarkan.

    Tidak mengherankan jika tempat ini kini menjadi destinasi favorit bagi banyak orang yang ingin berpetualang tanpa harus menaklukkan medan berat. Bukit Pergasingan adalah bukti bahwa tak perlu mendaki hingga puncak Rinjani untuk bisa merasakan dekatnya langit, besarnya semesta, dan keagungan alam yang tak terhingga.

    Cukup menapaki tangga-tangga kecil di bukit ini, membuka hati, dan membiarkan keindahan menyentuh setiap lapisan kesadaran kita, maka kamu akan tahu bahwa Lombok menyimpan lebih dari sekadar pantai dan lautan; ia menyimpan kedalaman jiwa dalam bentuk lanskap dan langit.

    Penulis: Belvana Fasya Saad

  • Autopsi Ungkap Kematian Pendaki Brasil Akibat Kekerasan Tumpul dalam Waktu Singkat

    Autopsi Ungkap Kematian Pendaki Brasil Akibat Kekerasan Tumpul dalam Waktu Singkat

    Liputan6.com, Denpasar – Juliana De Souza Pereira Marins (27), pendaki asal Brasil, ditemukan tak bernyawa setelah terjatuh di Cemara Nunggal, Gunung Rinjani, pada kedalaman 600 meter. Hasil autopsi yang dilakukan tim forensik RS Bali Mandara pada Jumat (26/7/2025) pukul 22.05 Wita, mengungkap fakta bahwa kematian Juliana terjadi dalam waktu singkat akibat kekerasan tumpul yang merusak organ dalam dan menyebabkan pendarahan hebat.

    Dokter Spesialis Forensik RS Bali Mandara, dr Ida Bagus Putu Alit, menjelaskan bahwa pemeriksaan luar dan autopsi menunjukkan adanya luka lecet geser dan patah tulang di dada, punggung, dan paha korban.

    “Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa sebab kematian itu adalah karena kekerasan tumpul yang menyebabkan kerusakan organ-organ dalam dan pendarahan,” ujarnya dalam konferensi pers di RSBM, pada Jumat (27/6/2025).

    Ia menegaskan, kematian Juliana Marins terjadi dalam waktu kurang dari 20 menit setelah cedera, dengan luka terparah di area punggung yang mengganggu fungsi pernapasan. Dalam hal ini, tim forensik tidak menemukan tanda-tanda bahwa kematian terjadi dalam waktu lama setelah luka terjadi.

    “Di otak tidak ada hernia. Kemudian juga spleen (limpa) itu tidak mengkerut. Artinya masih menyimpan darah. Kalau seandainya darah itu keluar sedikit, dia akan dikeluarkan, sehingga organ itu akan mengkerut, ini tidak dapat ditemukan. Saya simpulkan tidak ditemukan adanya tanda-tanda orang ini meninggal dalam jangka waktu yang lama dari lukanya,” tambah dr. Alit.

    Hipotesis hipotermia juga disingkirkan karena tidak ditemukan luka khas akibat suhu dingin, seperti perubahan warna pada ujung jari.

    Jenazah yang disimpan dalam freezer sebelum autopsi, menurut Alit, memengaruhi perkiraan waktu kematian sebelum pemeriksaan dilakukan. Meskipun begitu, kondisi tubuh dari jenazah tetap utuh tanpa adanya tanda pembusukan.

     

    Upaya Evakuasi 8 Pekerja Terjebak di Lubang Tambang, ESDM Turunkan Alat Canggih

  • Mapag Sri, Simfoni Sakral Petani Subang Menyambut Kehadiran Dewi Padi

    Mapag Sri, Simfoni Sakral Petani Subang Menyambut Kehadiran Dewi Padi

    Tradisi ini menggambarkan hubungan antara manusia dan alam yang bersifat timbal balik, harmonis, dan penuh rasa hormat. Masyarakat Subang percaya bahwa padi bukan sekadar tanaman pangan, tetapi memiliki ruh yang harus dijaga dan dihormati.

    Kehadiran Dewi Sri menjadi simbol dari prinsip kesuburan, kesejahteraan, dan keberlanjutan. Oleh karena itu, Mapag Sri menjadi momen sakral untuk menyeimbangkan hubungan spiritual tersebut.

    Lebih dari itu, upacara ini juga menjadi sarana mempererat ikatan sosial masyarakat, karena dilakukan secara gotong royong dan menyatukan semua lapisan masyarakat tanpa memandang status sosial. Dalam suasana yang khidmat dan penuh makna, mereka bersama-sama mengamini doa yang dipanjatkan agar alam terus bersahabat dan memberi limpahan rezeki bagi generasi sekarang maupun mendatang.

    Tradisi Mapag Sri juga kerap diiringi dengan berbagai pertunjukan seni tradisional yang mencerminkan kekayaan budaya Sunda. Tarian seperti Tari Ronggeng atau Tari Buyung, serta pertunjukan wayang golek atau calung, biasanya turut menyemarakkan rangkaian upacara.

    Seni bukan hanya menjadi hiburan, tetapi juga medium untuk menyampaikan pesan-pesan moral dan spiritual kepada masyarakat. Anak-anak diajak menyaksikan dan terlibat dalam prosesi ini agar kelak mereka tumbuh dengan rasa cinta terhadap budaya leluhur mereka sendiri.

    Maka Mapag Sri bukan hanya menjadi bagian dari masa tanam dan panen, tetapi juga menjadi ruang edukasi budaya yang hidup, dinamis, dan terus berkembang. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah daerah dan komunitas budaya pun mulai mengangkat kembali tradisi ini ke ranah yang lebih luas melalui festival budaya Mapag Sri yang terbuka bagi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.

    Tujuannya jelas menjaga nyala tradisi agar tidak padam di tengah derasnya arus modernisasi. Mapag Sri bukanlah sekadar ritus warisan nenek moyang yang dilakukan secara turun-temurun, melainkan bentuk penghormatan mendalam terhadap siklus kehidupan yang terus berlangsung antara manusia, bumi, dan Tuhan.

    Dalam kesederhanaan prosesi, terkandung pemahaman yang luhur tentang pentingnya menjaga keseimbangan dan keselarasan hidup. Tradisi ini mengingatkan bahwa kesejahteraan manusia bergantung pada seberapa besar rasa hormat kita kepada alam, serta bagaimana kita menjaga budaya dan spiritualitas yang menjadi akar dari identitas bangsa.

    Maka setiap kali Mapag Sri digelar, kita seolah melihat bagaimana masyarakat Subang tidak sekadar menjemput Dewi Sri, tetapi juga menyambut kembali jati diri mereka sebagai bagian dari alam yang bijaksana dan penuh berkah.

    Penulis: Belvana Fasya Saad

     

  • Gunung Slamet, Menjaga Jantung Tanah Jawa dalam Balutan Mitos dan Misteri

    Gunung Slamet, Menjaga Jantung Tanah Jawa dalam Balutan Mitos dan Misteri

    Ramalan Jayabaya yang menyatakan bahwa Pulau Jawa akan terbelah jika Slamet benar-benar marah, bukan sekadar ungkapan menakut-nakuti, melainkan dianggap sebagai peringatan kosmis yang mengandung makna mendalam. Ramalan ini sering dikaitkan dengan kondisi geologis Jawa yang memang memiliki sesar aktif, dan Slamet berdiri di atas wilayah yang sangat dinamis secara tektonik.

    Bagi sebagian orang, ramalan tersebut bukan hanya ancaman bencana, tetapi juga metafora tentang keretakan moral atau kehancuran tatanan hidup manusia jika alam tidak lagi dihormati. Jayabaya, yang dikenal sebagai raja bijak dengan penglihatan masa depan, diyakini telah menyandikan pesan-pesan penting dalam bait-bait ramalannya, termasuk tentang peran Gunung Slamet sebagai penyeimbang energi Jawa.

    Oleh sebab itu, letusan besar yang diramalkan bukan hanya dilihat secara fisik sebagai kehancuran bumi, tetapi juga sebagai “peringatan langit” bahwa manusia telah terlalu serakah dan melampaui batas hubungan harmonis dengan alam.

    Gunung Slamet memang pernah beberapa kali menunjukkan aktivitasnya yang mengkhawatirkan. Letusan-letusan kecil hingga sedang telah terjadi berkali-kali, mengingatkan masyarakat akan potensi letusan besar yang sewaktu-waktu bisa terjadi.

    Namun, hingga kini, Slamet tetap berdiri kokoh, seperti seorang tua bijak yang masih bersabar melihat polah tingkah generasi yang tinggal di bawah kakinya. Dalam budaya lisan, Slamet juga diibaratkan sebagai tiang agung Pulau Jawa, penyangga keseimbangan yang jika rusak akan menggoyahkan segalanya.

    Maka tak heran jika banyak orang yang datang ke gunung ini bukan hanya untuk mendaki, tetapi juga untuk melakukan meditasi, bertapa, atau sekadar mencari ketenangan batin. Dalam kondisi tertentu, Slamet bahkan dipercaya menjadi titik pertemuan antara alam nyata dan alam gaib, semacam portal yang hanya terbuka bagi mereka yang benar-benar bersih hati dan niatnya.

    Bagi masyarakat Jawa, terutama yang masih memegang teguh nilai-nilai kejawen, Gunung Slamet adalah guru besar yang mengajarkan keseimbangan, kesabaran, dan keteguhan hati. Ia bukan hanya simbol dari kekuatan alam, tetapi juga perwujudan dari kearifan lokal yang terus hidup dan berkembang.

    Mitos, ramalan, dan kisah-kisah misterius yang menyelimutinya tidak lantas menjadikan Slamet sebagai sosok yang ditakuti, melainkan dihormati. Di sinilah letak daya tarik magis Gunung Slamet ia tidak hanya mencengangkan lewat keindahan dan kemegahan fisiknya, tetapi juga menggugah jiwa manusia untuk merenung tentang posisi dirinya dalam semesta yang lebih besar.

    Dalam dunia yang kian modern, kisah-kisah ini tetap mengalir dari mulut ke mulut, seolah menegaskan bahwa Gunung Slamet akan terus hidup dalam narasi besar tentang tanah Jawa, sebagai penjaga abadi yang tidak hanya tinggi menjulang, tetapi juga dalam menyimpan rahasia zaman.

    Penulis: Belvana Fasya Saad

  • 1 Muharram 1447 H di Kota Sukabumi, Merajut Persatuan Bukan Sekadar Peringatan

    1 Muharram 1447 H di Kota Sukabumi, Merajut Persatuan Bukan Sekadar Peringatan

    Senada dengan Wali Kota, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Sukabumi, Ahmad Nawawi Sadili, memberikan perspektif mendalam tentang makna Hijriah. 

    “Momentum Muharram 1447 H itu adalah Hijriah, Hijriah itu artinya berpindah, merujuk pada konsep hijrah makani (berpindah tempat) dan hijrah makani (berpindah keadaan) yang kerap disampaikan,” ungkapnya

    Namun, fokusnya bukan pada perpindahan fisik dari Kota Sukabumi, melainkan pada transformasi internal. 

    “Kita tidak hijrah meninggalkan Kota Sukabumi, tapi kita hijrah dari satu hal ke hal yang lain, dari sifat yang buruk ke sifat yang baik, itu hijrah,” imbuhnya. 

    Ia menyerukan perubahan positif dalam diri setiap individu sebagai fondasi kemajuan kolektif. Antusiasme masyarakat terlihat jelas dengan partisipasi luas. 

    Diperkirakan sekitar 2.000 orang hadir, dengan representasi minimal 25 orang dari setiap kelurahan di seluruh kecamatan, menunjukkan semangat kebersamaan yang tinggi. 

    “Peringatan ini sekaligus menjadi deklarasi makna kesatuan, mengingatkan bahwa manusia dilahirkan bukan untuk bertikai, melainkan untuk saling mengenal dan berdamai, prinsip yang akan terus menjadi landasan bagi Kota Sukabumi,” tutupnya.

  • Jathilan, Ketika Kuda Menari Hingga Arwah Menyelinap di Panggung Budaya Yogyakarta

    Jathilan, Ketika Kuda Menari Hingga Arwah Menyelinap di Panggung Budaya Yogyakarta

    Liputan6.com, Jakarta – Di balik hiruk-pikuk kota Yogyakarta yang dikenal sebagai pusat seni dan budaya Jawa, tersimpan sebuah kesenian tradisional yang bukan hanya memukau mata tetapi juga mengguncang jiwa penontonnya.

    Jathilan lebih dari sekadar pertunjukan tari biasa, Jathilan adalah perwujudan dari semangat mistik, kekuatan supranatural, serta warisan budaya yang sarat akan makna dan simbolisme.

    Tarian ini menggunakan properti berupa kuda tiruan yang terbuat dari anyaman bambu, yang disebut kuda lumping, dan dimainkan oleh para penari yang menirukan gerakan kuda dengan irama musik gamelan yang menghentak dan penuh dinamika. Meski tampak sederhana di permukaan, Jathilan menyimpan lapisan-lapisan makna yang lebih dalam, mulai dari semangat keprajuritan, pengorbanan, hingga percampuran antara dunia manusia dan dunia gaib.

    Penonton tidak hanya disuguhi gerakan-gerakan lincah dan atraktif, tetapi juga diselimuti atmosfer magis, apalagi ketika penari mengalami kesurupan atau trance, yang menjadi ciri khas tak terpisahkan dari pertunjukan ini.

    Jathilan sangat populer di wilayah Yogyakarta dan sering kali ditampilkan dalam berbagai acara, baik yang bersifat sakral seperti upacara adat, bersih desa, hingga acara hiburan rakyat atau festival budaya.

    Dalam pertunjukan Jathilan, penonton akan melihat barisan penari laki-laki maupun perempuan yang menari dengan membawa kuda lumping di bawah terik matahari atau sorotan lampu malam, mengikuti irama kendang, gong, kenong, dan suling yang berpadu menciptakan suasana yang meriah sekaligus menegangkan.

    Namun momen yang paling dinanti-nanti adalah ketika beberapa penari mulai menunjukkan tanda-tanda kesurupan. Mereka menari dengan mata nanar, tubuh gemetar, dan mulut mengucapkan kata-kata yang tidak dapat dimengerti.

    Dalam kondisi ini, mereka sering kali melakukan hal-hal yang di luar batas kewajaran, seperti makan pecahan kaca, mengunyah bunga, bahkan memakan ayam hidup sebuah fenomena yang bagi masyarakat awam tampak mengerikan, namun justru diyakini sebagai bukti kehadiran kekuatan supranatural yang merasuki tubuh sang penari.

  • 6 Orang Dikabarkan Terjaring OTT KPK di Wilayah Sumut, Diboyong ke Jakarta

    6 Orang Dikabarkan Terjaring OTT KPK di Wilayah Sumut, Diboyong ke Jakarta

    Disinggung siapa saja yang terjaring OTT, Budi mengaku belum bisa membeberkan. Pihaknya akan menyampaikan secara resmi pada Sabtu, 28 Juni 2025.

    “Untuk siapa saja dan bagaimana kondisi perkara ini, kami akan sampaikan besok,” ungkapnya.

    Informasi beredar, OTT dilakukan KPK terhadap sejumlah ASN di Pemprov Sumut. Pelaksana tugas (Plt) Dinas Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Sumut, Porman Mahulae, mengaku sudah mendengar informasi tersebut.

    Meski demikian, diakui Porman, pihaknya juga masih mencari informasi terkait OTT yang dilakukan KPK.

    “Tadi ada kawan meneruskan link pemberitaan (adanya OTT). Siapa orangnya (yang terjaring OTT) belum ada info,” ucapnya kepada wartawan.

  • Tragedi Penembakan WNA Australia di Bali, Bukti Kuat Pembunuhan Berencana dan Terorganisir

    Tragedi Penembakan WNA Australia di Bali, Bukti Kuat Pembunuhan Berencana dan Terorganisir

    “Dan semua ini didukung dengan hasil daripada scientific crime investigation. Baik itu dari DNA dari para pelaku yang ada di TKP. Baik itu GSR (Gunshot Residue) yang ditemukan pada sebo (penutup wajah) maupun bagian tubuh daripada pelaku-pelaku ini,” terang Irjen Daniel.

    Senjata api pabrikan yang digunakan ditemukan di Subak Anyelir, Tabanan. “Senjata api kami temukan di daerah aliran Subak di daerah Tabanan, di Anyelir. Jadi tidak jauh dari mobil Fortuner terparkir terakhir kali sebelum berangkat ke daerah Jawa,” ujar Kapolres Badung, AKBP M. Arif Batubara.

    DFJ ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta melalui koordinasi dengan Polres Bandara, Imigrasi, dan Bareskrim Polri. Sementara itu, TPM dan CM, yang sempat kabur ke Singapura, berhasil ditangkap berkat kerja sama dengan Kepolisian Singapura, Kamboja, dan Interpol.

    Hingga kini, motif penembakan belum terungkap. Polda Bali terus berkoordinasi dengan Australian Federal Police (AFP) untuk mengklarifikasi motif pembunuhan tersebut. Uji balistik senjata api juga sedang dilakukan di Laboratorium Forensik Mabes Polri untuk melacak asal senjata.

    “Sekarang senjata pabrikan yang nanti masih akan diuji. Tentunya melalui pengujian-pengujian laboratoris termasuk melalui uji balistik yang akan dilakukan di Puslabfor Mabes Polri. Kita tunggu saja nanti,” tegas Irjen Daniel.

    Menurut informasi yang didapat, korban ZR saat ini sudah dipulangkan ke negara asalnya untuk pemakaman. “Sudah pulang, karena akan menguburkan mayatnya”, pungkas Irjen Daniel.

    Ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana), Pasal 338 KUHP (pembunuhan), Pasal 53 KUHP (percobaan tindak pidana), dan Pasal 1 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata api. Ancaman hukuman meliputi hukuman mati, penjara seumur hidup, atau maksimal 20 tahun penjara.

  • Wulele Sanggula, Lagu Pengantar Tidur Suku Tolaki

    Wulele Sanggula, Lagu Pengantar Tidur Suku Tolaki

    Berikut adalah lirik lagu Wulele Sanggula.

    O’Wulele Sanggula ‘O Bunga Sanggula’

    O’Wulele Sanggula ‘O bunga Sanggula’

    O’Wulele Sanggula Anawai ‘Bunga Sanggulanya Putri’

    Tumbuno welande ‘Gadis perawan cantik’

    Porehu kamokole ‘Tempat duduk (singgasana Raja)’

    O’ Wulele Wekoila ‘O bunga Wekoila’

    Anawai inuangino Sangia ‘Putri pingitan dewa’

    Sangia i lahuene ‘Dewa di atas langit’

    Mokole lipuwuta ‘Raja di bumi’

    Ikitanggita i Unaaha ‘Di sana, di Unaaha’

    Petiro ano tarima sawulaa ‘Melihat gadis cantik’

    Ikitanggita i Unaaha ‘Di sana, di Unaaha’

    Pesorongano luale wasaala ‘Tempatnya para gadis cantik’

    Penulis: Ade Yofi Faidzun

  • Libur Panjang Tahun Baru Islam, Antrean Kendaraan Mengular 3 KM Menuju Sukabumi

    Libur Panjang Tahun Baru Islam, Antrean Kendaraan Mengular 3 KM Menuju Sukabumi

    Liputan6.com, Jakarta – Fenomena kemacetan panjang yang kembali melanda akses menuju Sukabumi pada libur panjang Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 Hijriah ini, khususnya di Exit Tol Bocimi ruas Parungkuda, bukan sekadar cerita rutin tentang kepadatan lalu lintas. 

    Lebih dari itu, antrean kendaraan sepanjang tiga kilometer yang mengular hingga KM 71 ini justru menyoroti pesona Sukabumi sebagai destinasi favorit, terutama saat libur 1 Muharram 1447 H yang bertepatan dengan libur sekolah.

    Sejak Jumat (27/6/2025), lonjakan volume kendaraan dari arah Bogor dan Jakarta menuju Sukabumi terpantau signifikan. Kepadatan ini memuncak di simpang tiga lampu merah Exit Tol Parungkuda, memaksa pihak kepolisian dari Satlantas Polres Sukabumi untuk memberlakukan sistem buka-tutup arus. 

    Langkah rekayasa lalu lintas ini diambil untuk mengurai antrean dan menormalkan kembali jalur arteri Sukabumi-Bogor, yang menjadi urat nadi utama bagi para pelancong.

    Ipda M. Yanuar Fajar, Kanit Turjawali Satlantas Polres Sukabumi, menjelaskan bahwa dominasi kendaraan yang datang dari Bogor dan Jakarta menunjukkan tingginya minat masyarakat untuk berlibur atau berkunjung ke Sukabumi. 

    “Kami prioritaskan kendaraan kiriman dari Bogor atau Jakarta yang mengarah ke Sukabumi dengan penarikan ataupun melakukan penguraian di setiap persimpangan,” ujar Ipda Yanuar. 

    Data dari Senkom operasional Tol Bocimi bahkan menunjukkan ekor antrean mencapai kilometer 71, mengindikasikan sejauh mana daya tarik Sukabumi mampu menyedot perhatian wisatawan.

    “Tadi informasi dari pihak Senkom bagian operasional tol Bocimi ekor terakhir di kilometer 71 atau estimasi 3 kilometer antrean,” jelasnya.

     

    Mengintip Ujian SIM C Baru di Polres Pemalang, Lebih Mudah?