Category: Liputan6.com Regional

  • Lema, Kuliner Fermentasi Suku Rejang dari Bengkulu

    Lema, Kuliner Fermentasi Suku Rejang dari Bengkulu

    Lema dapat diolah menjadi berbagai hidangan. Beberapa cara pengolahan yang umum adalah ditumis dengan bumbu atau dimasak dengan kuah santan.

    Rasa asam dari lema memberikan sensasi segar ketika dipadukan dengan santan yang gurih. Makanan ini biasanya disajikan sebagai lauk pendamping nasi.

    Penyebaran lema tidak hanya terbatas di Kabupaten Lebong. Makanan ini juga dapat ditemukan di daerah lain di Bengkulu yang dihuni oleh Suku Rejang, seperti Rejang Lebong, Kepahiang, Bengkulu Utara, dan Bengkulu Tengah.

    Lema tidak hanya menjadi makanan sehari-hari, tetapi juga sering disajikan dalam acara adat Suku Rejang. Beberapa contoh acara adat tersebut adalah bekejai (upacara perkawinan), kedurai agung (ungkapan syukur), dan tradisi misai niat.

    Penulis: Ade Yofi Faidzun

  • Remaja Asal Bogor Tenggelam di Pantai Cisolok Sukabumi Ditemukan Meninggal Dunia

    Remaja Asal Bogor Tenggelam di Pantai Cisolok Sukabumi Ditemukan Meninggal Dunia

    Puluhan personel dari berbagai instansi turut serta dalam operasi ini, di antaranya Pos SAR Sukabumi, Polair Polres Sukabumi, Polsek Cisolok, Koramil Cisolok, Balawista, SAKA SAR Kabupaten Sukabumi, Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi, CIC Rescue, dan pihak keluarga korban. 

    “Peralatan yang digunakan meliputi Rescue Carrier, perahu rubber boat, drone, palsar air, dan Aqua Eye,” jelasnya. 

    Kronologi kejadian, sebelumnya korban remaja terseret ombak dan tenggelam pada Jumat (27/6) sekitar pukul 16.30 WIB. Saat itu, korban sedang bermain air di tepi pantai, tiba-tiba datang ombak besar yang menyeretnya ke tengah laut hingga hilang. 

    Terkini, jasad korban telah diserahkan ke pihak keluarga. Kondisi gelombang tinggi dengan ketinggian 2-3 meter di sekitar lokasi menjadi salah satu faktor penghambat dalam pencarian. Meskipun cuaca kondisi cerah.

  • Wayang Timplong, Kesenian Wayang Asli Nganjuk yang Terancam Punah

    Wayang Timplong, Kesenian Wayang Asli Nganjuk yang Terancam Punah

    Selain disebut wayang timplong, orang Nganjuk juga menyebutnya dengan nama wayang kricik karena saat dimainkan menimbulkan bunyi kricik-kricik. Banyak pula yang menyebutnya dengan nama wayang gung karena kesan bunyi kempul pada gamelan.

    Berakar dari wayang klithik, beberapa orang memasukkan wayang timplong sebagai salah satu varian wayang klithik. Namun, ada pula yang beranggapan berbeda karena menganggap keduanya memiliki beberapa perbedaan mendasar.

    Wayang timplong dibuat dari kayu sengon laut atau mentaos. Tak seperti wayang kulit, bentuk wayang timplong yang pipih tampil tanpa ukiran. Adapun bagian tangannya terbuat dari kulit binatang.

    Sebagai penekanan wajah dan karakter, wajah wayang timplong ditandai dengan pemberian warna hitam dan putih. Dalam satu pagelaran terdapat sekitar 70 tokoh wayang. Jumlah tersebut meliputi beberapa tokoh, binatang, dan senjata. Namun yang pakem tokohnya ada sembilan, yakni tokoh Ksatria (prajurit), Satria Muda, Putri Sekartaji, Ratu (Putri), Panji, Satrio Sepuh, Patih, Tumenggung, dan Ratu (Kediri, Majapahit, Jenggala).

    Tokoh-tokoh wayang timplong tak memiliki penokohan khusus, kecuali Panji, Sekartaji, dan Kilisuci. Sedangkan tokoh lainnya hanya sebagai pemeran biasa. Selain itu, terdapat dua Panakawan, yakni Kedrah dan Gethik Miri.

    Wayang timplong dimainkan oleh seorang dalang dengan dibantu lima orang panjak atau pemain gamelan. Pagelaran wayang timplong tidak ada pesinden untuk mengiringi pementasan.

     

  • Akhir Tragis Penumpang KMP Wira Artha yang Terjun ke Laut

    Akhir Tragis Penumpang KMP Wira Artha yang Terjun ke Laut

    Dengan ditemukannya jenazah Sukati, operasi pencarian resmi dihentikan. Seluruh unsur yang terlibat dalam operasi SAR dikembalikan ke kesatuan masing-masing.

    “Jenazah korban juga sudah diserahkan kepada pihak keluarga untuk proses selanjutnya,” terang dia.

    Rezi menuturkan, insiden itu bermula ketika salah satu penumpang KMP Wira Artha melapor ke awak kapal bahwa anggota keluarganya melompat ke laut sekitar pukul 02.30 WIB.

    Menanggapi laporan tersebut, pihak kapal segera melakukan upaya pencarian mandiri.

     Namun, karena korban tak kunjung ditemukan, insiden itu dilaporkan ke otoritas pelabuhan melalui KSOP Bakauheni dan diteruskan ke Basarnas untuk bantuan lebih lanjut.

    “Sejak saat itu, tim SAR gabungan bersama TNI/Polri, pihak kapal, serta nelayan sekitar langsung terjun melakukan pencarian dan penyisiran di wilayah sekitar lokasi kejadian,” tuturnya.

    Laporan dari nelayan yang menemukan jasad di sekitar Pulau 3 menjadi titik terang dari pencarian selama tiga hari tersebut. 

  • 4 Jenis Nasi Timur Tengah yang Populer di Indonesia

    4 Jenis Nasi Timur Tengah yang Populer di Indonesia

    3. Nasi Kabsah

    Nasi kabsah merupakan hidangan berbahan dasar beras basmati. Hidangan ini memiliki ciri khas rasa rempah sedang dengan campuran tomat dan penggunaan jeruk nipis yang dikeringkan.

    Nasi kabsah biasanya disajikan dengan lauk daging kambing atau ayam, kemudian dilengkapi topping kismis, acar, dan potongan bawang. Hidangan ini berasal dari Arab Saudi dan telah dikenal di Indonesia. Nasi kabsah banyak dijumpai di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Palembang.

    4. Nasi Bukhari

    Nasi bukhari merupakan hidangan berbahan dasar beras basmati. Hidangan ini memiliki ciri khas campuran pasta tomat dan parutan wortel dengan rasa rempah yang ringan.

    Nasi bukhari biasanya disajikan dengan lauk daging ayam atau daging kambing, kemudian dilengkapi topping kismis, kacang pinus, dan almond yang menambah tekstur dan kelezatan. Hidangan ini berasal dari Arab Saudi dan telah menjadi bagian dari kuliner Indonesia. Nasi bukhari populer di beberapa daerah, terutama saat menjelang Hari Raya Idul Fitri dan di daerah dengan komunitas Arab atau keturunan Arab seperti Banjarnegara, Jakarta, dan Jember.

    Penulis: Ade Yofi Faidzun

  • Bakso Ikan Ekor Kuning, Cita Rasa Gurih dari Laut Karimunjawa

    Bakso Ikan Ekor Kuning, Cita Rasa Gurih dari Laut Karimunjawa

    Sensasi makan bakso ikan di pinggir pantai, ditemani angin laut dan suara deburan ombak, adalah pengalaman yang tak mudah dilupakan. Bakso Ikan Ekor Kuning bukan hanya sekadar sajian pengisi perut, tetapi juga menjadi simbol kecintaan masyarakat Karimunjawa terhadap laut dan tradisi mereka.

    Makanan ini merepresentasikan gaya hidup yang bersahaja namun penuh rasa syukur atas karunia alam. Tidak hanya disukai oleh warga lokal, bakso ini juga mulai menjadi incaran wisatawan yang ingin mencicipi rasa autentik pulau.

    Beberapa warung makan bahkan menjadikan menu ini sebagai sajian andalan, dan beberapa pengusaha kuliner kreatif di luar Karimunjawa mulai tertarik untuk mengangkat Bakso Ikan Ekor Kuning ke panggung kuliner nasional. Hal ini tentu menjadi angin segar bagi promosi kuliner lokal dan potensi ekonomi masyarakat kepulauan.

    Dalam dunia yang kian tergerus oleh homogenisasi rasa dan produk instan, bakso ikan ini menjadi perlawanan kecil namun berarti terhadap arus globalisasi kuliner, menyuarakan pentingnya mempertahankan cita rasa lokal yang khas dan otentik.

    Balik semangkuk bakso sederhana, tersimpan cerita tentang laut yang penuh berkah, tangan-tangan terampil para nelayan dan ibu-ibu pembuat bakso, serta semangat melestarikan tradisi dalam balutan rasa yang menggugah.

    Bagi siapa saja yang pernah berkunjung ke Karimunjawa, mencicipi bakso ini bisa menjadi cara sederhana namun mendalam untuk menyatu dengan pulau, laut, dan kehidupan yang tenang namun kaya makna.

    Dan bagi mereka yang belum sempat datang, semangkuk Bakso Ikan Ekor Kuning bisa menjadi undangan untuk menjelajah lebih jauh ke pulau-pulau kecil yang menyimpan sejuta keajaiban rasa dan cerita.

    Penulis: Belvana Fasya Saad

     

  • Ce Hun Tiau, Simfoni Manis Menyegarkan dari Pontianak yang Tak Pernah Gagal Menggoda Lidah

    Ce Hun Tiau, Simfoni Manis Menyegarkan dari Pontianak yang Tak Pernah Gagal Menggoda Lidah

    Dalam konteks ini, Ce Hun Tiau lahir dari proses panjang adaptasi bahan lokal ke dalam resep-resep warisan Tionghoa. Nama Ce Hun Tiau sendiri berasal dari dialek Hakka atau Teochew, yang merujuk pada salah satu bahan utamanya, semacam mie atau jelly dari tepung beras yang dulunya sering digunakan.

    Seiring waktu, nama tersebut tetap digunakan, meski komposisi bahan telah mengalami transformasi mengikuti selera dan ketersediaan bahan lokal. Kehadiran Ce Hun Tiau di Pontianak tak hanya terbatas di warung kaki lima atau pasar malam, tetapi juga telah menjalar ke restoran-restoran modern, bahkan menjadi oleh-oleh ikonik yang dikemas dalam bentuk beku atau instan.

    Masyarakat Pontianak sendiri memiliki kedekatan emosional dengan minuman ini, menjadikannya bagian dari momen-momen kebersamaan, seperti buka puasa, acara keluarga, hingga sajian saat hari besar keagamaan. Di tengah arus modernisasi yang kadang menggerus warisan tradisional, Ce Hun Tiau tetap bertahan sebagai simbol rasa dan identitas kota.

    Bahkan, di era media sosial, visual dari Ce Hun Tiau yang berwarna-warni dan menggoda menjadi konten yang kerap viral, menarik perhatian generasi muda untuk kembali mencicipi dan melestarikan kekayaan kuliner ini. Maka tak heran jika Ce Hun Tiau bukan hanya digemari karena rasa manis dan kesegarannya, tetapi juga karena kisah dan nilai budaya yang terkandung di dalamnya.

    Ia adalah bentuk nyata dari bagaimana makanan bisa menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara identitas dan kenikmatan. Di tengah derasnya inovasi kuliner yang kadang melupakan akar tradisi, Ce Hun Tiau tetap berdiri teguh sebagai warisan rasa Pontianak yang patut dibanggakan dan dijaga eksistensinya.

    Sebab, setiap sendok Ce Hun Tiau bukan hanya tentang manisnya gula merah atau gurihnya santan, tetapi tentang warisan, tentang rumah, dan tentang rasa yang menyatukan.

    Penulis: Belvana Fasya Saad

  • Parende, Kuah Ikan yang Menggugah Selera Khas Buton

    Parende, Kuah Ikan yang Menggugah Selera Khas Buton

    Proses pembuatannya diawali dengan ikan dibersihkan dan direndam air jeruk nipis. Kemudian, bumbu halus ditumis hingga harum.

    Selanjutnya, air dimasukkan dan didihkan bersama rempah utuh. Terakhir, ikan dimasukkan setelah kuah mendidih dan rebus selama 10-15 menit dengan api sedang.

    Parende biasanya disajikan hangat dalam mangkuk. Masyarakat Buton biasa menikmatinya dengan kasoami atau nasi putih. Parende mudah ditemui di berbagai rumah makan di Baubau. Harga satu porsi berkisar antara Rp30.000 hingga Rp35.000.

    Parende tetap menjadi hidangan populer di Buton. Masyarakat setempat menjaga keaslian resep turun-temurun sebagai bukti kekayaan kuliner berbasis hasil laut di Sulawesi Tenggara.

     

    Penulis: Ade Yofi Faidzun

  • Bejat, Pria di Pemalang Lecehkan Bocah Perempuan sekaligus Ibunya

    Bejat, Pria di Pemalang Lecehkan Bocah Perempuan sekaligus Ibunya

    Kapolres Pemalang mengatakan, atas perbuatan tersebut, keluarga korban merasa tidak terima dan melaporkan kejadian tersebut ke Polres Pemalang.

    “Tersangka beserta sejumlah barang bukti sudah diamankan, dan saat ini masih terus dilakukan pemeriksaan intensif terhadap tersangka,” ujarnya.

    Kapolres Pemalang mengatakan, tersangka dikenakan pasal 15 (1) huruf g jo pasal 6 UU RI nomor 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual atau pasal 82 UU RI nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU RI No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dengan ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun.

    Dari kejadian ini, Eko mengimbau masyarakat agar bersama-sama mencegah kasus kekerasan seksual dan kasus pencabulan terhadap anak di wilayah hukum Polres Pemalang.

    “Selain melakukan pengawasan melekat, harap luangkan waktu untuk berkomunikasi dan mendengar keluh dari setiap anggota keluarga,” dia berharap.

    “Apabila mengalami, mendapati atau menemukan korban serta melihat hal- hal yang mencurigakan, agar segera laporkan kejadian kekerasan seksual tersebut melalui layanan call center Polri 110,” kata dia.

  • Gabing, Jejak Rasa Tradisi Lampung dalam Batang Kelapa Muda Kaya Rempah

    Gabing, Jejak Rasa Tradisi Lampung dalam Batang Kelapa Muda Kaya Rempah

    Lebih dari sekadar kuliner, Gabing merepresentasikan nilai-nilai keberlanjutan dan pemanfaatan maksimal dari sumber daya alam yang tersedia. Dalam tradisi pertanian dan perkebunan kelapa masyarakat Lampung, batang pohon kelapa muda yang biasanya tidak digunakan dalam proses ekonomi, diolah menjadi makanan yang lezat dan mengenyangkan.

    Proses ini mencerminkan filosofi lokal yang menekankan pada anti-pemborosan dan penghormatan terhadap hasil bumi. Selain itu, Gabing juga mencerminkan hubungan emosional yang kuat antara masyarakat dan lingkungan sekitarnya sebuah bentuk kedekatan yang semakin jarang ditemukan di era serba instan seperti sekarang.

    Kuliner ini secara tidak langsung mengajarkan kepada generasi muda bahwa warisan budaya tidak hanya terdapat pada kesenian dan upacara adat, tetapi juga dalam cara kita mengolah dan menghargai makanan.

    Namun, meskipun Gabing memiliki potensi besar untuk dikenal lebih luas, eksistensinya kini perlahan mulai tergeser oleh makanan cepat saji dan tren kuliner instan.

    Hanya di beberapa desa atau rumah tangga yang masih melestarikan tradisi ini sebagai bagian dari keseharian mereka, terutama di daerah pedesaan yang masih mempertahankan pola hidup tradisional.

    Oleh karena itu, penting kiranya untuk mengangkat kembali kuliner seperti Gabing ke panggung kuliner nasional bahkan internasional, agar generasi muda tak kehilangan jejak rasa yang telah diwariskan oleh leluhur mereka.

    Promosi melalui festival kuliner, media sosial, hingga program pariwisata berbasis budaya bisa menjadi jembatan yang menyatukan kembali generasi kini dengan warisan rasa masa lampau. Gabing adalah wujud nyata dari kuliner yang tidak hanya mengenyangkan perut, tetapi juga menyentuh hati dan memperkaya identitas budaya bangsa.

    Penulis: Belvana Fasya Saad