Category: Liputan6.com Regional

  • BMKG Ingatkan Potensi Gelombang Tinggi di Perairan Jabar, Ketinggian Capai 4 Meter

    BMKG Ingatkan Potensi Gelombang Tinggi di Perairan Jabar, Ketinggian Capai 4 Meter

    Liputan6.com, Bandung – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprakirakan gelombang tinggi hingga 4 meter berpeluang terjadi di sejumlah perairan di Jawa Barat.

    Gelombang tinggi tersebut berpotensi terjadi pada Selasa, 1 Juli 2025 pukul 07.00 WIB hingga Jumat, 4 Juli 2025 pukul 07.00 WIB.

    “Pola angin di wilayah Jakarta dan Jawa Barat bagian utara umumnya bergerak dari Timur Laut-Tenggara dengan kecepatan angin berkisar 8-20 knot,” kata Prakirawan BMKG, Rangga Setya Pratama dalam keterangan tertulis pada Senin, 1 Juli 2025.

    Sedangkan di wilayah Jawa Barat bagian selatan, angin dengan kecepatan berkisar 8-20 knot umumnya bergerak dari Timur Laut-Tenggara. 

    “Kecepatan angin tertinggi terpantau di Perairan Kepulauan seribu, Perairan Cirebon, Perairan Sukabumi, Perairan Cianjur, dan Perairan Garut yang juga dapat berkontribusi terhadap tinggi gelombang,” ungkap Rangga.

    Menurut pengamatan BMKG, gelombang setinggi 1,25 meter hingga 2,5 meter berpeluang terjadi di Perairan Kepulauan Seribu bagian utara, Perairan Indramayu, dan Perairan Bekasi-Karawang.

    Sementara gelombang tinggi berkisar 2,5 meter hingga 4 meter berpeluang terjadi di Perairan Sukabumi, Perairan Tasikmalaya, Perairan Cianjur, dan Perairan Garut.

    Rangga mengingatkan gelombang dengan tinggi mencapai 1,25 meter dengan kecepatan angin mencapai 15 knot berisiko terhadap keselamatan perahu nelayan.

    “Kapal Tongkang apabila kecepatan angin mencapai 16 knot dan tinggi gelombang mencapai 1,5 meter,” ucapnya.

    Selain itu, gelombang dengan ketinggian mencapai 2,5 meter dan kecepatan angin hingga 21 knot berisiko terhadap keselamatan kapal ferry.

     

    Penulis: Arby Salim

     

     

  • Jawa Barat Berpotensi Diguyur Hujan Deras pada 1-6 Juli 2025, Ini Penyebabnya

    Jawa Barat Berpotensi Diguyur Hujan Deras pada 1-6 Juli 2025, Ini Penyebabnya

    Potensi hujan sedang hingga lebat/sangat lebat disertai kilat atau petir dan angin kencang yang dapat terjadi pada skala lokal dan durasi singkat terdapat di sebagiaan wilayah berikut:

    Selasa, 1 Juli 2025: Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Sukabumi

    Rabu, 2 Juli 2025: Kabupaten Karawang dan Kabupaten Subang

    Kamis, 3 Juli 2025: Kabupaten Bogor dan Kabupaten Majalengka

    Jumat, 4 Juli 2025: Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang, Kabupaten Cianjur, Kabupaten dan Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Majalengka

    Sabtu, 5 Juli 2025: Kabupaten Garut

    Minggu, 6 Juli 2025: Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Majalengka, dan Kabupaten Garut

    BMKG mengimbau untuk waspada dan antisipasi dini terhadap potensi terjadinya cuaca ekstrem. 

    “Tetap tenang namun tetap waspada terhadap potensi bencana hidrometerologi yang sewaktu-waktu dapat terjadi,” tulis BMKG.

     

    Penulis: Arby Salim 

  • Pudduk: Napas Persaudaraan dari Tradisi Cium Hidung Sumba

    Pudduk: Napas Persaudaraan dari Tradisi Cium Hidung Sumba

    Selain sebagai ungkapan kasih sayang, pudduk juga berfungsi sebagai ritual perdamaian. Ketika terjadi perselisihan antarindividu atau kelompok, tradisi ini menjadi simbol rekonsiliasi. Dalam pelaksanaannya, pudduk tidak dilakukan secara sembarangan. Ada tata cara tertentu, terutama terkait dengan status sosial pelakunya.

    Dalam beberapa kasus, inisiatif melakukan pudduk harus datang dari pihak dengan status sosial lebih rendah sebagai bentuk penghormatan. Masyarakat Sumba juga menggunakan pudduk sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang lebih tua. Berbeda dengan budaya maori di Selandia Baru yang mengenal hongi (gesekan hidung), pudduk di Sumba lebih menekankan pada sentuhan langsung hidung ke hidung.

    Tradisi ini tidak terbatas pada kalangan tertentu, melainkan dapat dilakukan oleh siapa saja dalam masyarakat Sumba. Baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun dewasa, semua dapat terlibat dalam ritual pudduk sesuai dengan konteks yang tepat.

    Penulis: Ade Yofi Faidzun

  • Viral Video Buaya Serang Lansia di Tanggamus Lampung, Warga Melawan Pakai Bambu dan Batu

    Viral Video Buaya Serang Lansia di Tanggamus Lampung, Warga Melawan Pakai Bambu dan Batu

    Kapolsek Semaka, AKP Sutarto, saat dikonfirmasi membenarkan insiden penyerangan buaya terhadap warga. Sutarto bilang, peristiwa nahas itu terjadi pada Senin (30/6/2025) sekitar pukul 12.00 WIB di Sungai Way Semaka.

    “Korban diketahui bernama Wasim, usia 80 tahun. Saat ditemukan dan dievakuasi oleh petugas dan warga, korban sudah dalam keadaan meninggal dunia,” ungkap Sutarto.

    Proses evakuasi dilakukan secara bersama-sama oleh personel Polsek Semaka dan Polsek Wonosobo dengan dibantu masyarakat sekitar. Dari hasil pemeriksaan awal, korban mengalami luka akibat gigitan buaya, terutama di bagian punggung, yang diduga mencapai tiga titik luka.

    Saat ini, jenazah korban telah dibawa ke Puskesmas Sudimoro untuk proses visum. Pihak keluarga disebut telah menerima insiden itu sebagai musibah dan sedang mempersiapkan pemakaman.

    “Pihak keluarga menerima kejadian ini sebagai takdir dan akan segera mengurus proses pemakaman,” tutup kapolsek.

     

  • Kisah Fahmi, Pahlawan Kecil Simbol Kemanusiaan di Tengah Bencana Banjir Bandang Pohuwato

    Kisah Fahmi, Pahlawan Kecil Simbol Kemanusiaan di Tengah Bencana Banjir Bandang Pohuwato

    Liputan6.com, Pohuwato – Banjir bandang yang menerjang Desa Tuweya, Kecamatan Wanggarasi, Kabupaten Pohuwato pada Jumat malam, 21 Juni 2025, menyisakan luka mendalam. Dua nyawa melayang, belasan hewan ternak mati, puluhan rumah hancur, dan ratusan jiwa kehilangan tempat tinggal.

    Di antara puing dan lumpur yang membenamkan harapan, hadir sosok tak terduga: Fahmi, seorang bocah sembilan tahun, yang menunjukkan bahwa kepedulian tidak mengenal usia.

    Bukan relawan, bukan aparat, Fahmi hanyalah siswa kelas 3 SD Negeri 5 Wanggarasi. Namun kehadirannya di tengah lokasi bencana sejak pagi membuat banyak orang terdiam. Bukan karena tangis atau ratapannya, melainkan karena tindakannya yang sunyi, tulus, dan nyata.

    Ia membersihkan lumpur dari ruang kelas sekolah, mengangkat ember berisi air, menyusun kembali meja dan kursi yang hancur. Tak ada yang menyuruhnya, tak ada imbalan. Ia hanya tahu bantu semampu yang bisa.

    “Fahmi ikut bantu sejak pagi. Rumahnya memang tidak terdampak langsung, tapi dia langsung datang ke sini dan membantu warga,” kata Kepala Desa Tuweya, Daud Adam, di lokasi pengungsian.

    Saat banyak orang menanti bantuan datang, Fahmi memilih bergerak. Saat kamera para wartawan sibuk menyorot tumpukan bantuan logistik, lensa mereka akhirnya beralih pada Fahmi yang tengah duduk di tepi jalan, menyantap sebungkus nasi dengan tangan penuh lumpur.

    Ia tidak mengeluh, tidak bertanya mengapa bencana ini datang. Ia hanya melakukan apa yang menurutnya benar.

    Nilai-nilai kemanusiaan itu gotong royong, empati, ketulusan bukan dia pelajari dari buku atau ruang kelas. Ia menyerapnya dari keseharian: dari orang tuanya yang bekerja serabutan, namun tak pernah abai ketika tetangga membutuhkan bantuan. Ia tumbuh di lingkungan yang menjadikan peduli sebagai kebiasaan, bukan kewajiban.

    “Orang tuanya sederhana, tapi mereka selalu ada kalau warga butuh pertolongan. Fahmi hanya mengikuti teladan itu,” tambah Daud.

    Fahmi tak mengenal istilah “pengabdian”, namun apa yang ia lakukan hari itu lebih lantang dari seribu pidato pejabat. Ia tak membawa nama organisasi, tak mengenakan rompi relawan, tak berbicara tentang harapan ia adalah harapan itu sendiri.

    Di tengah retorika dan simpati yang kerap hanya menjadi konsumsi media sosial, Fahmi hadir sebagai tamparan. Ia tidak menuntut. Tidak menyalahkan. Ia hanya bergerak, diam-diam, tapi berdampak.

    Kisah Fahmi bukan kisah sedih. Ia bukan korban. Ia adalah pelajaran. Tentang bagaimana menjadi manusia: bukan dari jabatan, bukan dari gelar, tapi dari kemauan untuk membantu meskipun kecil, dan bertindak meskipun sendiri.

    Mungkin dunia tak akan mencatat namanya. Tapi bagi warga Tuweya, Fahmi telah menyalakan kembali api kemanusiaan yang nyaris padam.

    Dan untuk kita semua yang kadang terlalu sibuk berbicara tanpa bertindak—Fahmi adalah pengingat, bahwa kemanusiaan tidak butuh panggung.

  • Intip, Rekomendasi Pantai Cantik di Surabaya

    Intip, Rekomendasi Pantai Cantik di Surabaya

    1. Pantai Kenjeran Lama

    Pantai Kenjeran Lama merupakan salah satu pantai paling legendaris di Surabaya dan menyimpan daya tarik utamanya yaitu suasana tradisional yang masih kental lengkap dengan aktivitas nelayan, pasar ikan, dan tempat makan yang menyajikan hidangan laut segar.

    Pengunjung bisa menikmati pemandangan laut, jembatan Kenjeran, serta menyaksikan matahari terbit atau terbenam. Keunikan lainnya adalah adanya pagoda dan vihara Sanggar Agung di dekatnya yang menambah unsur budaya dan religi.

    2. Pantai Segara Surabaya

    Pantai ini masih tergolong destinasi baru dan belum terlalu ramai sehingga cocok bagi mereka yang ingin menikmati ketenangan. Terletak di daerah Kenjeran, Pantai Segara menawarkan keindahan alam alami dengan ombak yang cukup tenang.

    Tempat ini sering dijadikan lokasi swafoto karena memiliki latar langit terbuka dan laut lepas yang menawan terutama saat senja. Lokasinya yang strategis juga membuat masyarakat mudah mengunjungi pantai ini.

     

  • Nasi Liwet Sunda, Sajian Gurih yang Menyimpan Filosofi Rasa dan Kebersamaan

    Nasi Liwet Sunda, Sajian Gurih yang Menyimpan Filosofi Rasa dan Kebersamaan

    Liputan6.com, Jakarta – Di tengah gemuruh zaman yang semakin cepat dan kian menyisihkan waktu untuk berkumpul, Nasi Liwet Sunda hadir sebagai penanda pentingnya melambat sejenak, merenung lewat cita rasa, dan merayakan kebersamaan lewat santap bersama.

    Nasi liwet bukan sekadar nasi gurih yang dimasak dengan santan dan rempah-rempah, melainkan sebuah sajian yang penuh dengan keunikan rasa, makna, dan nilai-nilai kultural yang mendalam. Setiap suapan nasi liwet seakan membawa kita menyusuri keseharian masyarakat Sunda yang sederhana, hangat, dan penuh penghargaan terhadap alam serta kehidupan.

    Wangi semerbak dari daun salam, serai, dan lengkuas yang dimasak bersamaan dengan santan dan beras, seolah mengundang indera untuk masuk ke dalam ruang kenangan, tempat aroma dan rasa tidak hanya dinikmati tetapi juga dikenang.

    Keunikan utama dari nasi liwet Sunda terletak pada rasa gurih alaminya yang muncul bukan hanya dari santan, tetapi juga dari perpaduan rempah-rempah lokal yang dipilih dengan teliti dan dimasak secara perlahan.

    Proses memasaknya tidak terburu-buru. beras yang sudah dicuci bersih ditanak bersama santan, daun salam, batang serai, irisan bawang merah, dan sedikit garam, lalu dimasak hingga tanak dengan api kecil agar bumbu meresap sempurna ke setiap butir nasi.

    Hasilnya adalah nasi yang lembut, wangi, dan memiliki rasa gurih yang halus namun mendalam. Tidak seperti nasi uduk atau nasi kuning yang cenderung lebih pekat atau tajam rasa rempahnya, nasi liwet Sunda menyajikan rasa yang lebih kalem namun justru itulah kekuatannya—ia tidak mendominasi, melainkan menyatu dengan harmoni rasa dari lauk-pauk yang menyertainya.

    Kelezatan nasi liwet Sunda juga tidak bisa dilepaskan dari keberagaman lauk-pauk yang menyertainya. Sajian ini biasanya disandingkan dengan ikan asin goreng, tahu dan tempe, sambal terasi, lalapan segar seperti daun kemangi, mentimun, dan kol, serta tak ketinggalan telur dadar iris atau jengkol balado.

  • Jew, Rumah Bujang Suku Asmat

    Jew, Rumah Bujang Suku Asmat

    Menariknya lagi, struktur dan rangka jew sama sekali tidak menggunakan paku besi. Suku Asmat mengandalkan tali rotan sebagai pengikat sambungan antar kayu dari struktur rangka jew. Meski demikian, kekuatan bangunan jew tidak perlu diragukan lagi.

    Ukuran panjang jew bervariasi menyesuaikan jumlah tungku yang ada di dalamnya. Hingga zaman modern, semua ukuran dan proses pembangunan jew masih diatur dalam tradisi kehidupan suku Asmat. Bahkan, hampir setiap aspek kehidupan suku Asmat berkaitan dengan keberadaan jew.

    Terdapat beberapa aturan terkait rumah tradisional ini, salah satunya posisi jew harus dibangun menghadap matahari terbit atau sejajar aliran sungai. Sementara itu, posisi rumah warga berada di samping atau bagian belakang jew.

    Posisi jew dianggap sebagai penanda, simbol lingkaran hidup, cara berkomunikasi, dan kebersamaan hidup suku Asmat. Terdapat beberapa benda keramat yang disimpan di dalam jew, seperti tombak, panah berburu, hingga noken (sejenis tas anyam khas Papua).

    Jew biasanya digunakan sebagai tempat berkumpul bagi para pemuka adat dan pimpinan desa suku Asmat. Mereka mengadakan rapat desa, menentukan strategi perang, pesta adat, menyambut tamu, dan menggelar segala kegiatan bersifat tradisi di sini.

    Para laki-laki suku Asmat juga menjadikan jew sebagai rumah inisiasi terkait cara berperang, memainkan ltifa, mencari ikan, hingga mempelajari kisah tentang leluhur. Dalam bahasa Asmat, jew berarti roh atau spirit, sehingga rumah bujang ini diartikan sebagai sukma atau jiwa yang menghidupkan dan menggerakkan kehidupan suku Asmat.

    Jew dapat digunakan oleh seluruh penduduk, terutama kaum pria yang dianggap sebagai pemimpin keluarga. Sementara itu, kaum perempuan hanya boleh masuk ke dalam jew ketika ada pesta atau ritual adat.

    Penulis: Resla

  • Apa Itu Hantu Kopek, Kisah Mistis Populer di Kalangan Masyarakat Melayu

    Apa Itu Hantu Kopek, Kisah Mistis Populer di Kalangan Masyarakat Melayu

    Liputan6.com, Bandung – Cerita mistis selalu memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat terutama di wilayah yang masih kuat memegang tradisi dan budaya lisan. Kisah mistis seperti ini bukan hanya menjadi hiburan tetapi juga warisan cerita turun-temurun.

    Adapun salah satu sosok mistis yang populer di kalangan masyarakat Melayu baik di Indonesia maupun Malaysia adalah Hantu Kopek. Sosok ini sering muncul dalam cerita rakyat terutama di daerah Sumatera dan Semenanjung Malaya.

    Hantu Kopek digambarkan sebagai perempuan tua bertubuh besar dengan payudara menjuntai panjang yang disebut “kopek” dalam bahasa Melayu. Sosok ini konon memiliki kemampuan gaib untuk menyesatkan manusia terutama anak-anak.

    Menurut sejumlah cerita dikisahkan bahwa korban yang melihat hantu ini akan merasa bingung arah, tersesat, atau tiba-tiba hilang kesadaran lalu ditemukan di tempat yang jauh dari lokasi awal.

    Dalam cerita rakyat, Hantu Kopek sering dianggap sebagai makhluk penunggu hutan, kebun, atau tempat-tempat sepi yang jarang dijamah manusia. Banyak masyarakat dulu mempercayai bahwa jika seseorang tersesat tanpa sebab bisa jadi sedang “dibawa” oleh makhluk tersebut.

    Kemudian melalui kisah mistis ini, beberapa orang tua zaman dahulu sering memberi nasihat agar tidak keluar rumah sembarangan saat malam atau waktu maghrib terutama kepada anak-anak.

    Meskipun kisah ini menyeramkan, masyarakat juga menganggap cerita Hantu Kopek sebagai bagian dari nilai moral. Kisah ini dijadikan peringatan agar anak-anak tidak bermain terlalu jauh dan orang dewasa dapat berhati-hati saat bepergian sendiri.

  • Kololi Kie, Ritual untuk Menenangkan Gunung Gamalama oleh Masyarakat Ternate

    Kololi Kie, Ritual untuk Menenangkan Gunung Gamalama oleh Masyarakat Ternate

    Ritual kololi kie mencakup ziarah ke makam leluhur dan ulama besar Kesultanan Ternate. Kegiatan ini juga diiringi pembacaan doa oleh keturunan kesultanan.

    Puncak acara berupa persembahan sajen dari hasil bumi seperti pisang, kelapa, dan beras ketan di titik-titik strategis sekitar gunung. Prosesi ini dipimpin jou se gapi, pemangku adat tertinggi masyarakat Ternate.

    Dalam pelaksanaannya, pemilihan waktu didasarkan pada perhitungan kalender tradisional Ternate yang mempertimbangkan fase bulan dan musim. Biasanya ritual dilakukan pada bulan-bulan tertentu yang dianggap suci dalam tradisi setempat.

    Masyarakat Ternate memandang Gunung Gamalama merupakan entitas spiritual yang memiliki kekuatan. Kepercayaan ini berakar pada sejarah panjang interaksi masyarakat dengan gunung yang telah beberapa kali meletus.

    Penulis: Ade Yofi Faidzun