Etika dan moralitas menjadi inti dari setiap ajaran yang disampaikan oleh Sunan Drajat. Ia dikenal sering menggunakan tembang atau syair sebagai medium dakwah, salah satu yang terkenal adalah pitutur luhur berupa falsafah hidup Jawa.
Makna dari petuah ini sangat dalam yaitu berikan tongkat kepada yang buta (bimbingan kepada yang tidak tahu), berikan makanan kepada yang lapar, pakaian kepada yang telanjang, dan tempat berteduh kepada mereka yang kehujanan.
Ajaran ini merupakan manifestasi langsung dari prinsip tauhid sosial, yakni bahwa keimanan kepada Tuhan mesti tercermin dalam kepedulian terhadap sesama. Dalam pandangan Sunan Drajat, tidak ada ibadah yang lebih utama selain menolong orang lain.
Oleh karena itu, ajaran-ajarannya selalu mengandung nilai-nilai kasih sayang, kerja sama, dan empati. Ia pun menolak kekerasan dalam menyebarkan Islam, dan lebih memilih jalan kelembutan, kebijaksanaan, dan keteladanan dalam bertutur kata dan bersikap.
Keberadaan Sunan Drajat juga berhasil menciptakan tatanan sosial baru di wilayah Lamongan dan sekitarnya. Ia tidak hanya dihormati oleh kalangan Muslim, tetapi juga oleh masyarakat lintas agama yang menyaksikan langsung kontribusi sosialnya yang besar.
Bahkan, ia seringkali menjadi penengah dalam konflik antarkelompok dan menjadi penasihat para penguasa lokal dalam menjalankan pemerintahan yang adil dan bijaksana. Tradisi-tradisi lokal yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan secara perlahan ia luruskan tanpa menghilangkan jati diri budaya masyarakat. Inilah mengapa dakwahnya diterima luas, karena ia memahami betul bahwa agama yang datang bukan untuk merusak, tetapi menyempurnakan nilai-nilai luhur yang sudah hidup dalam budaya masyarakat.
Peninggalannya tidak hanya berupa mushola atau pesantren, tetapi juga sistem nilai yang hidup hingga kini, menjadikan Paciran sebagai simbol dakwah sosial yang humanis dan menyentuh hati.
Warisan Sunan Drajat masih terus dikenang hingga hari ini. Makamnya yang terletak di daerah Paciran, Lamongan, menjadi salah satu situs ziarah penting bagi umat Islam di Jawa Timur.
Namun lebih dari sekadar tempat ziarah, kompleks makam tersebut juga menjadi pusat pembelajaran nilai-nilai sosial-keagamaan yang diwariskan oleh beliau. Para pengunjung yang datang bukan hanya untuk berdoa, tetapi juga untuk merenungkan kembali makna dari kehidupan yang saling menolong dan menjunjung tinggi etika.
Di tengah dunia modern yang kerap kali kehilangan arah moral, ajaran Sunan Drajat terasa begitu relevan bahwa keberagamaan sejati bukan diukur dari banyaknya ibadah ritual, melainkan dari seberapa besar manfaat kita bagi orang lain. Bahwa etika dan kepedulian sosial adalah jembatan terbaik menuju keberkahan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.
Dengan demikian, Sunan Drajat bukan hanya seorang penyebar Islam, tetapi juga seorang pemimpin spiritual, pendidik, dan reformis sosial yang menginspirasi. Namanya harum bukan karena kekuasaan atau kemegahan, tetapi karena ketulusan dan kebijaksanaan dalam mengabdi pada masyarakat.
Ia adalah simbol bahwa kemuliaan sejati terletak dalam pengabdian kepada sesama manusia, dan bahwa agama jika diajarkan dengan cinta dan kebaikan akan menjadi kekuatan transformatif yang membawa kesejahteraan bagi seluruh umat.
Di tengah zaman yang kian individualistis, ajaran dan keteladanan Sunan Drajat adalah suluh yang tak pernah padam, menerangi jalan kemanusiaan yang luhur dan penuh kasih.
Penulis: Belvana Fasya Saad