Sesumbar Roy Suryo soal Ijazah Palsu, Kubu Jokowi Anggap Tak Buktikan Apa-apa
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Kesangsian Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) dan
Roy Suryo
dkk terhadap ijazah Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) masih terus bergulir hingga digelarnya gelar perkara khusus oleh Bareskrim Polri, Rabu (9/7/2025).
Gelar perkara khusus ini digelar atas permintaan TPUA yang meragukan hasil penyelidikan Bareskrim Polri yang sebelumnya menyatakan
ijazah Jokowi
asli.
TPUA selaku pemohon memboyong sejumlah ahli digital forensik untuk membuktikan kalau ijazah Jokowi palsu, antara lain, Roy Suryo, Rismon Sianipar, Eggy Sudjana, dan Tifauzia Tyassuma.
Sementara, Jokowi diwakili oleh kuasa hukumnya,
Yakup Hasibuan
. Gelar perkara juga dipantau oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Sebelum mengikuti gelar perkara, Roy sempat memberikan presentasi singkat di hadapan awak media dan mengutarakan keyakinannya bahwa ijazah Jokowi 99,9 persen palsu.
“Saya bersama dokter Rismon nanti akan menjelaskan secara teknis. Intinya nanti akan saya sampaikan seperti ini, ini ringkasannya. Jadi, judulnya adalah analisis teknis ijazah dan skripsi 99,9% palsu,” ujar Roy saat konferensi pers di Lobi Bareskrim Polri, Rabu.
Kesimpulan ini Roy ambil setelah menganalisis ijazah Jokowi yang beredar di sosial media alias melalui medium digital.
Ada dua versi ijazah Jokowi yang dianalisis Roy dan kawan-kawan. Pertama, dari unggahan Politikus PSI Dian Sandi.
Ijazah Jokowi
yang terlihat warnanya ini sempat diklaim Sandi adalah ijazah asli Jokowi.
Lalu, ijazah kedua adalah tampilan fotokopi ijazah Jokowi yang diperlihatkan Bareskrim Polri dalam konferensi pers pada Kamis (22/5/2025) lalu.
Dalam analisisnya, Roy menggunakan dua metode atau alat, yaitu
error level analysis
(ELA) dan
face recognition
.
Pada proses analisis ini, Roy menggunakan ijazah UGM miliknya sebagai pembanding.
Ia mengatakan, berdasarkan hasil analisis ELA, ijazah Jokowi tidak lagi terlihat detail di dalam kertas ijazah yang dianggap sebagai suatu
error
.
“Kalaupun ELA itu
full
Itu masih akan tetap kelihatan ijazahnya. Lihat, teman-teman bisa lihat. Ini masih ada bekas-bekasnya Tulisan-tulisannya masih ada. Logonya pun juga masih ada,” kata Roy menunjukkan gambar analisis ijazahnya.
Roy menilai, ketiadaan logo dan pas foto di hasil analisis ELA pada ijazah Jokowi menguatkan dugaan terjadinya pemalsuan.
Selain itu, berdasarkan analisis
face recognition
, foto Jokowi di ijazahnya dinilai tidak cocok dengan foto Jokowi saat ini.
Menurut dia, foto di ijazah itu dinilai mirip dengan sosok berinisial DBU yang kerap disinggung orang-orang.
“Tapi, foto Joko Widodo yang ada di ijazah kemudian yang ada sekarang adalah not match. Tidak sama foto di ijazah. Tidak sama dengan aslinya sekarang,” kata Roy.
Roy dkk juga melakukan analisis terhadap tampilan di muka ijazah, misalnya perbedaan pada letak huruf dan penulisan gelar dekan yang menandatangani ijazah.
Kala itu, Dekan Fakultas Kehutanan UGM dijabat oleh Achmad Sumitro.
Roy mengatakan, di ijazah Jokowi yang tertulis terbit tahun November 1985, nama Sumitro sudah disematkan gelar Profesor.
“Padahal yang benar, Profesor Achmad Sumitro baru mengucapkan pidato guru besarnya pada bulan Maret 86,” kata Roy lagi.
Sementara itu, Yakup Hasibuan yang mewakili Jokowi menilai TPUA tidak berhasil membuktikan adanya kecacatan dalam proses penyelidikan yang dilakukan Bareskrim.
“Mereka tidak berhasil menunjukkan di mana cacatnya penyelidikan Bareskrim,” kata Yakup saat konferensi pers di Lobi Bareskrim Polri, Rabu.
Lebih lanjut, analisis Roy dkk dinilai tidak bisa diterima karena objek analisisnya berbeda dengan yang menjadi sampel Bareskrim.
Ahli digital forensik yang dihadirkan kubu Jokowi, Joshua Sinambela, beralasan bahwa analisis Roy Suryo dkk hanya berdasar pada ijazah Jokowi yang gambarnya dilihat secara digital.
Sementara, yang dipermasalahkan adalah ijazah asli alias fisik atau analog.
“Karena ijazah ini adalah produk analog makanya ahli digital forensik tidak ada hubungannya. Nah jadi, apa yang dilakukan oleh ahli dari pihak pelapor itu sama sekali tidak berdasar,” kata Joshua.
Joshua menegaskan, seorang ahli forensik atau digital semestinya tidak berhak untuk memeriksa produk analog.
“Jadi sebagai ahli digital forensik kita hanya berhak memeriksa dokumen-dokumen digital. Bukan produk analog,” jelas Joshua.
Yakup menegaskan, meski ada perbedaan objek analisis, pihaknya tidak akan memperlihatkan ijazah asli Jokowi kepada TPUA.
Alasannya, menunjukkan ijazah Jokowi tidak akan menyelesaikan permasalahan karena pihak TPUA bersikeras mau menganalisis ijazah asli Jokowi ini meski sudah diperlihatkan secara langsung.
“Tadi saya sampaikan juga pada saat gelar khusus. kalau kita tunjukkan pun (ijazah asli), walaupun kami juga tidak ada kewajiban hukum ya, kalau kita tunjukkan pun apakah anda (TPUA) punya otoritas untuk menentukan ini asli atau tidak,” kata Yakup.
Ia mengaskan, saat ini sudah banyak pihak yang menyatakan ijazah Jokowi asli, tetapi TPUA masih terus meragukannya.
Yakup pun mempertanyakan mengapa TPUA merasa percaya diri melakukan analisis sendiri, sedangkan Pusat Laboratoritum Forensik (Puslabfor) Polri juga sudah mengambil kesimpulan terkait keaslian ijazah Jokowi.
“UGM yang mengeluarkan (ijazah) sudah menyatakan ini asli. KPU yang memverifikasi sudah mengatakan ini asli. Mereka (TPUA) lapor polisi. Mereka (penyelidik) juga bilang ini asli identik, tidak ada dugaan tindak pidana,” kata Yakup.
“Jadi, menurut mereka ini Puslabfor tidak benar. Apa iya semua dokumen itu keaslian yang harus melalui verifikasi mereka dulu? Jadi lebih percaya mana? Puslabfor atau laboratorium Roy Suryo?” imbuh dia.
Komisioner Kompolnas Choirul Anam mengatakan, Kompolnas dilibatkan dalam gelar perkara khusus dan diberikan kesempatan untuk bertanya soal proses penyelidikan kasus ijazah Jokowi.
“Jadi kalau mereka mengambil barang dari UGM misalnya, mengambil bukti dari UGM, (kami bertanya) mana berita acaranya, mana dokumentasinya dan sebagainya, termasuk juga mekanisme kerja di labfornya,” ujar Choirul Anam.
Para pihak pengawas eksternal ini juga sempat bertanya terkait dengan standar operasi prosedur (SOP) yang digunakan penyelidik
“Ada yang agak mepet dengan simbol UGM-nya, ada yang agak jauh gitu ya A-nya. Oh, itu ada penjelasannya. Dan dijelaskan dengan cukup baik, dijelaskan dengan bukti cukup baik, dan menurut kami penjelasan itu masuk akal,” kata Anam.
Selain mendapatkan penjelasan dari para penyelidik, Anam mengatakan, sejumlah dokumentasi proses penyelidikan juga ditampilkan dalam gelar perkara khusus.
“Kami tidak hanya diberikan penjelasan informatif, tapi kami ditunjukkan buktinya, kami ditunjukkan bukti prosesnya, dokumentasi prosesnya, kami juga ditunjukkan alat yang digunakan, juga itu bisa kami terima,” lanjutnya.
Setelah proses pendalaman ini selesai, Biro Pengawas Penyidikan (Wassidik) Polri akan mengambil suatu kesimpulan.
Hingga kini, baik Wassidik maupun Divisi Humas Polri belum menyebutkan kapan kesimpulan ini akan dibacakan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Category: Kompas.com
-
/data/photo/2025/06/05/6841270303848.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Uang Bulanan Ratusan Juta tapi Masih Ngontrak: Potret Cuci Uang Kasus Judol Kominfo
Uang Bulanan Ratusan Juta tapi Masih Ngontrak: Potret Cuci Uang Kasus Judol Kominfo
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com —
Fakta mencengangkan terungkap dalam sidang kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait praktik perlindungan
situs judi online
(
judol
) agar tidak diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (
Kominfo
) atau kini Kementerian
Komdigi
.
Terdakwa Darmawati, yang merupakan istri dari terdakwa Muhrijan alias Agus, mengaku menerima uang bulanan dalam jumlah fantastis, hingga ratusan juta rupiah.
Pengakuan tersebut disampaikan Darmawati saat menjalani pemeriksaan sebagai terdakwa di ruang sidang tiga Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Rabu (9/7/2025).
Dalam kesaksiannya, Darmawati menyebut, bahwa sebelum tahun 2024, ia rutin menerima uang bulanan dari suaminya, yang disebut bekerja di bidang ekspor-impor.
“Ke saya sekitar Rp 500 juta,” ujarnya di hadapan majelis hakim.
Namun, saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) mempertegas jumlah uang yang diterima, Darmawati merevisi keterangannya.
“Ya Rp 300 juta sampai Rp 400 juta,” tambahnya.
Meski mengaku menerima uang ratusan juta setiap bulan saat itu, Darmawati menyebut ia dan suaminya masih tinggal mengontrak.
“Masih mengontrak,” ujar Darmawati.
Fakta ini menjadi bagian dari dugaan pencucian uang yang menjerat Darmawati dalam klaster keempat kasus besar judol Kominfo.
Ia didakwa sebagai penampung aliran dana hasil tindak pidana terkait perlindungan situs judol.
Kasus ini sendiri terbagi ke dalam empat klaster besar, sesuai dengan peran masing-masing kelompok terdakwa:
1. Klaster Koordinator:
2. Klaster Eks Pegawai Kominfo:
3. Klaster Agen Situs Judol:
4. Klaster TPPU (Penampung Uang):
Atas perbuatannya, Darmawati dijerat dengan Pasal 3, Pasal 4, atau Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Ketiga pasal tersebut pada intinya mengatur ancaman pidana terhadap setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, mentransfer, membelanjakan, menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana.
Jaksa menilai, fakta penerimaan uang dalam jumlah besar tanpa penjelasan sumber yang sah, serta kondisi hidup yang tidak mencerminkan tingkat pemasukan tersebut (seperti masih mengontrak rumah), menjadi indikasi kuat bahwa dana tersebut disamarkan melalui pola konsumsi pribadi.
(Reporter: Baharudin Al Farisi | Editor: Akhdi Martin Pratama)
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/07/09/686e622ccedc5.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kakek di Lumajang Perkosa Anak Tetangganya Usia 5 Tahun
Kakek di Lumajang Perkosa Anak Tetangganya Usia 5 Tahun
Tim Redaksi
LUMAJANG, KOMPAS.com
– Seorang kakek berusia 71 tahun di Kabupaten
Lumajang
, Jawa Timur memperkosa tetangganya yang berusia 5 tahun.
Kakek itu berinisial S, warga Kecamatan Jatiroto, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Ia diduga memperkosa korban empat kali. Mirisnya, aksi bejat ini tidak hanya dilakukan di dalam rumah S.
Kapolres Lumajang AKPB Alex Siregar mengatakan, dua dari empat kali tindakan asusila ini dilakukan tersangka di luar ruangan.
Namun, lokasinya masih di sekitar rumah tersangka dan korban.
“Pelaku melakukan aksi pelecehan terhadap korban dua kali di kamar. Dua kali juga di luar ruangan, tapi masih di sekitar rumah tersangka,” ucap Alex di Mapolres Lumajang, Rabu (9/7/2025).
Aksi bejat ini berawal ketika kakek S melihat korban sedang bermain di halaman rumahnya. Kemudian, ia memanggil korban dan mengajaknya masuk ke rumah.
Saat itulah kakek ini melancarkan aksi bejatnya terhadap korban di dalam kamarnya.
“Modusnya, pelaku mengajak korban ke kamar, kemudian di sanalah aksi pelecehan dilakukan,” kata Alex.
Menurut Alex, tidak ada iming-iming atau ancaman dari tersangka kepada korban.
Usia korban yang masih kecil membuatnya tidak mengetahui apa yang tengah dilakukan pelaku.
“Iming-iming tidak ada karena usianya juga masih 5 tahun jadi tidak tahu apa yang sedang dialami,” ucap dia.
Aksi kejahatan
pedofilia
ini terbongkar setelah korban bercerita ke temannya yang kemudian disampaikan ke orangtua korban.
Dari laporan tersebut, orangtua korban mengonfirmasi hingga akhirnya terbongkar aksi bejat kakek tersebut.
Atas perbuatannya, pelaku dijerat Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatur tentang tindak pidana persetubuhan terhadap anak.
“Pelaku terancam hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara,” kata Alex.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/07/09/686e7ab832e4b.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Muat Konten Pornografi dan LGBT, 3 Film Gagal Lulus Sensor LSF, Termasuk “Kramat Tunggak”
Muat Konten Pornografi dan LGBT, 3 Film Gagal Lulus Sensor LSF, Termasuk “Kramat Tunggak”
Tim Redaksi
SEMARANG, KOMPAS.com
—
Lembaga Sensor Film
(LSF) Republik Indonesia mencatat sebanyak tiga film dinyatakan tidak mendapatkan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) selama periode 2024 hingga pertengahan 2025.
Ketiganya dinilai memuat unsur yang bertentangan dengan norma hukum dan budaya di Indonesia, seperti
pornografi
,
LGBT
, kekerasan ekstrem, hingga tindakan kanibalisme.
Ketua Subkomisi Publikasi LSF Nusantara, Husnul Khatim Mulkan, mengungkapkan bahwa dari tiga film tersebut, dua merupakan film impor dan satu merupakan film produksi dalam negeri berjudul “
Kramat Tunggak
.”
“Dari tiga film yang tidak lolos sensor itu, dua filmnya impor (dari luar negeri), dan satu dari Indonesia,” ujar Husnul usai kegiatan Literasi Layanan Penyensoran Film dan Iklan Film di Hotel Horison Ultima, Semarang, Rabu (9/7/2025).
Menurutnya, film pertama yang tidak lolos sensor mengangkat tema pasangan LGBT dan menampilkan konten pornografi secara berlebihan. Kandungan tersebut dinilai melanggar norma-norma yang berlaku di Indonesia.
Film kedua disebut mengandung unsur sadisme dan kanibalisme, yakni menampilkan adegan pembunuhan berantai di mana pelaku kejahatan memakan daging korbannya. Selain itu, film ini juga memuat banyak adegan seksual eksplisit.
“Kandungan sadismenya cukup tinggi, selain itu juga pornografinya yang cukup banyak,” jelas Husnul.
Sementara film ketiga, yakni “Kramat Tunggak”, dinyatakan tidak sesuai dengan acuan tema dan dinilai mengandung unsur pornografi, sehingga turut dinyatakan tidak lulus sensor.
“Tidak bisa untuk dilanjutkan karena memang tidak sesuai dengan aturan-aturan hukum maupun norma yang berlaku di Indonesia,” tegasnya.
Husnul menjelaskan bahwa sesuai Permendikbud Nomor 14 Tahun 2019, film dan iklan film di Indonesia diberi klasifikasi usia: Semua Umur, 13+, 17+, dan 21+.
LSF tetap memberikan ruang bagi film dengan konten dewasa, selama penyesuaian dilakukan dan konten tidak melanggar hukum atau kesusilaan.
Ia mencontohkan, satu film bertema LGBT pernah lolos sensor setelah melalui revisi terhadap dialog dan diklasifikasikan hanya untuk penonton usia 21 tahun ke atas.
Lebih jauh, LSF mendorong pelaku industri film melakukan sensor mandiri sebagai bentuk tanggung jawab sebelum mengajukan film untuk ditinjau. Dalam mendukung proses itu, LSF telah menyediakan layanan daring e-SIAS (Sistem Informasi Aplikasi Sensor).
“Dengan aplikasi ini, semua proses sensor bisa dilakukan secara online. Surat tanda lulus sensor atau STLS paling lambat kami keluarkan dalam tiga hari,” ujar Husnul.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/07/09/686e7a594c115.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
17 Alat Bantu Pernapasan di RSUD Soekarno Bangka Hilang, 3 Orang Ditangkap Polisi
17 Alat Bantu Pernapasan di RSUD Soekarno Bangka Hilang, 3 Orang Ditangkap Polisi
Tim Redaksi
PANGKALPINANG, KOMPAS.com
– Kasus hilangnya belasan alat kesehatan (alkes) jenis
ventilator
milik
RSUD Soekarno
Bangka Belitung mulai mengerucut pada terduga pelaku.
Kepala Bidang Humas
Polda Bangka Belitung
Kombes Fauzan Sukmawansyah mengatakan, sebanyak tiga terduga pelaku telah diamankan guna proses hukum lebih lanjut.
“Informasi yang kami terima barusan, Ditreskrimum berhasil mengungkap kasus yang sempat viral, yakni dugaan hilangnya alat kesehatan jenis ventilator di rumah sakit provinsi,” kata Fauzan dalam keterangannya, Rabu (9/7/2025) malam.
Fauzan menuturkan, mulai terungkapnya kasus ini setelah penyidik melakukan olah TKP dan pengecekan di rumah sakit, termasuk melakukan pemeriksaan terhadap beberapa pihak.
Penyidik kemudian melakukan penangkapan terhadap sejumlah orang yang dicurigai melakukan aksi pencurian alat bantu pernapasan pasien gawat darurat itu.
“Untuk pelaku yang diamankan ini berjumlah tiga orang. Saat ini sudah berada di Mapolda untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut,” ungkap Fauzan.
“Untuk perkembangan lainnya akan disampaikan kembali. Sementara berikan waktu penyidik untuk bekerja menyelesaikan kasus ini,” ucap Fauzan.
Sebelumnya, dilaporkan bahwa RSUD Soekarno mengalami kehilangan 17 unit ventilator yang hingga kini belum ada kejelasan mengenai penyebabnya.
Tim inspektorat daerah telah melakukan pemeriksaan, tetapi hingga saat ini belum ada pihak yang dinyatakan bertanggung jawab.
Polda Bangka Belitung telah melakukan penyelidikan terhadap kasus dugaan hilangnya alat kesehatan itu.
Penyelidikan dilakukan oleh Subdit III Ditreskrimum Polda usai menerima laporan ke Mapolda pada 3 Juli 2025.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/07/09/686e814cb7636.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
DLHK Sulsel Rekomendasikan Sanksi untuk PT Tiara Tirta Energi, Diduga Rusak Lingkungan di Luwu
DLHK Sulsel Rekomendasikan Sanksi untuk PT Tiara Tirta Energi, Diduga Rusak Lingkungan di Luwu
Tim Redaksi
LUWU, KOMPAS.com
—
Dinas Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (DLHK) Provinsi
Sulawesi Selatan
merekomendasikan sanksi administratif terhadap
PT Tiara Tirta Energi
, perusahaan pengelola pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) yang beroperasi di Kecamatan Bastem, Kabupaten
Luwu
.
Rekomendasi tersebut disampaikan melalui surat resmi kepada Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Luwu, berdasarkan hasil verifikasi lapangan bersama DPRD Luwu dan DLH setempat terhadap aktivitas pembangunan PLTMH Salu Noling.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala DLHK
Sulsel
, Kasman, menjelaskan bahwa tim gabungan menemukan sejumlah pelanggaran teknis yang berpotensi merusak lingkungan.
“Beberapa temuan utama antara lain pembangunan saluran penghantar atau waterway yang tidak dibuat secara terasering, sehingga berpotensi menyebabkan longsor. Selain itu, material hasil pemotongan bukit ditempatkan di area yang berbatasan langsung dengan Sungai Noling, menyebabkan penyempitan alur sungai sepanjang sekitar tiga kilometer,” kata Kasman dalam suratnya.
Kasman juga menyoroti lemahnya langkah mitigasi lingkungan oleh perusahaan. Tidak ditemukan sistem penahan sedimen maupun kantong tanah di sekitar aliran sungai.
Selain itu, pemantauan kualitas air belum dilakukan melalui laboratorium yang teregistrasi dan terakreditasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup.
“Pemantauan kualitas air juga belum dilakukan melalui laboratorium yang teregistrasi dan terakreditasi,” tegasnya.
DLHK Sulsel juga mencatat adanya indikasi pengambilan material pasir secara ilegal, tanpa kerja sama dengan pihak berizin.
Dokumen UKL-UPL perusahaan yang tertanggal 29 September 2017 pun belum diperbarui, meski telah terjadi perubahan kegiatan usaha.
Berdasarkan Pasal 506 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, kewenangan menjatuhkan sanksi administratif berada pada Bupati Luwu sebagai pejabat berwenang. Hal ini juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
DLHK Sulsel merekomendasikan agar DLH Luwu memberikan sanksi administratif berupa Paksaan Pemerintah kepada PT Tiara Tirta Energi, dengan isi sebagai berikut:
“DLHK Sulsel meminta agar rekomendasi ini segera ditindaklanjuti dan hasilnya dilaporkan kepada provinsi sesegera mungkin,” ujar Kasman.
Sebelumnya, warga dari Desa Lange dan Bolu di Kecamatan Bastem telah memprotes aktivitas perusahaan yang dinilai melanggar rekomendasi DPRD Luwu dan berdampak buruk terhadap lingkungan sekitar.
Yotan Matande (44), mantan Kepala Desa Lange, menyatakan bahwa ketegangan sempat terjadi saat warga mendatangi lokasi untuk menyampaikan surat rekomendasi penghentian kegiatan.
“Kamis (17/4/2025) sekitar pukul 08.00 Wita, kami datang menyampaikan rekomendasi penghentian kegiatan. Tapi belum sempat selesai, salah satu tenaga kerja asing dari perusahaan justru menyalip kami menggunakan motor,” ungkap Yotan saat dikonfirmasi, Minggu (20/4/2025).
Setelahnya, warga menemukan bahwa area tambang galian C di lokasi masih tetap dikelola oleh perusahaan, meski DPRD telah merekomendasikan penghentian sementara kegiatan tersebut.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/07/09/686e814cb7636.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
DLHK Sulsel Rekomendasikan Sanksi untuk PT Tiara Tirta Energi, Diduga Rusak Lingkungan di Luwu
DLHK Sulsel Rekomendasikan Sanksi untuk PT Tiara Tirta Energi, Diduga Rusak Lingkungan di Luwu
Tim Redaksi
LUWU, KOMPAS.com
—
Dinas Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (DLHK) Provinsi
Sulawesi Selatan
merekomendasikan sanksi administratif terhadap
PT Tiara Tirta Energi
, perusahaan pengelola pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) yang beroperasi di Kecamatan Bastem, Kabupaten
Luwu
.
Rekomendasi tersebut disampaikan melalui surat resmi kepada Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Luwu, berdasarkan hasil verifikasi lapangan bersama DPRD Luwu dan DLH setempat terhadap aktivitas pembangunan PLTMH Salu Noling.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala DLHK
Sulsel
, Kasman, menjelaskan bahwa tim gabungan menemukan sejumlah pelanggaran teknis yang berpotensi merusak lingkungan.
“Beberapa temuan utama antara lain pembangunan saluran penghantar atau waterway yang tidak dibuat secara terasering, sehingga berpotensi menyebabkan longsor. Selain itu, material hasil pemotongan bukit ditempatkan di area yang berbatasan langsung dengan Sungai Noling, menyebabkan penyempitan alur sungai sepanjang sekitar tiga kilometer,” kata Kasman dalam suratnya.
Kasman juga menyoroti lemahnya langkah mitigasi lingkungan oleh perusahaan. Tidak ditemukan sistem penahan sedimen maupun kantong tanah di sekitar aliran sungai.
Selain itu, pemantauan kualitas air belum dilakukan melalui laboratorium yang teregistrasi dan terakreditasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup.
“Pemantauan kualitas air juga belum dilakukan melalui laboratorium yang teregistrasi dan terakreditasi,” tegasnya.
DLHK Sulsel juga mencatat adanya indikasi pengambilan material pasir secara ilegal, tanpa kerja sama dengan pihak berizin.
Dokumen UKL-UPL perusahaan yang tertanggal 29 September 2017 pun belum diperbarui, meski telah terjadi perubahan kegiatan usaha.
Berdasarkan Pasal 506 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, kewenangan menjatuhkan sanksi administratif berada pada Bupati Luwu sebagai pejabat berwenang. Hal ini juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
DLHK Sulsel merekomendasikan agar DLH Luwu memberikan sanksi administratif berupa Paksaan Pemerintah kepada PT Tiara Tirta Energi, dengan isi sebagai berikut:
“DLHK Sulsel meminta agar rekomendasi ini segera ditindaklanjuti dan hasilnya dilaporkan kepada provinsi sesegera mungkin,” ujar Kasman.
Sebelumnya, warga dari Desa Lange dan Bolu di Kecamatan Bastem telah memprotes aktivitas perusahaan yang dinilai melanggar rekomendasi DPRD Luwu dan berdampak buruk terhadap lingkungan sekitar.
Yotan Matande (44), mantan Kepala Desa Lange, menyatakan bahwa ketegangan sempat terjadi saat warga mendatangi lokasi untuk menyampaikan surat rekomendasi penghentian kegiatan.
“Kamis (17/4/2025) sekitar pukul 08.00 Wita, kami datang menyampaikan rekomendasi penghentian kegiatan. Tapi belum sempat selesai, salah satu tenaga kerja asing dari perusahaan justru menyalip kami menggunakan motor,” ungkap Yotan saat dikonfirmasi, Minggu (20/4/2025).
Setelahnya, warga menemukan bahwa area tambang galian C di lokasi masih tetap dikelola oleh perusahaan, meski DPRD telah merekomendasikan penghentian sementara kegiatan tersebut.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/07/09/686df7e3726c0.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
10 Saat DPR Semprot MK gara-gara Aturan Pemilu Diutak-atik Nasional
Saat DPR Semprot MK gara-gara Aturan Pemilu Diutak-atik
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –Mahkamah Konstitusi
(MK) menjadi sasaran kritik tajam dalam rapat kerja
Komisi III DPR
RI pada Rabu (9/7/2025).
Para anggota dewan mengecam
putusan MK
yang memisahkan pemilu nasional dan daerah mulai 2029. Mereka menilai putusan itu menimbulkan kegaduhan dan menunjukkan inkonsistensi MK.
Padahal rapat yang turut diikuti oleh Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) itu sebenarnya beragendakan pembahasan anggaran.
Anggota Fraksi Partai Nasdem,
Rudianto Lallo
mengatakan, MK saat ini tengah menjadi perbincangan hangat karena telah membuat putusan yang kontroversial dan bahkan menabrak konstitusi.
“MK ini kemudian yang paling banyak didiskusikan hari ini karena ada putusan kontroversi soal pengujian UU. Ya tentu kita berharap MK menjadi penjaga konstitusi kita. Mudah-mudahan tidak ada lagi putusan-putusan yang menjadi polemik di masyarakat,” kata Rudianto di Kompleks Parlemen, Senayan.
Dia pun menyinggung proses legislasi di DPR yang melibatkan waktu panjang dan harus menjaring aspirasi publik. Namun, hasil kerja itu bisa langsung berubah drastis oleh satu putusan MK.
“Kalau tiba-tiba satu pasal dianggap bertentangan tetapi justru amar putusan MK ini bertentangan, ini juga problem konstitusi kita. Nah ini
deadlock
jadinya,” ujar dia.
Nada serupa dilontarkan anggota Fraksi PKB,
Hasbiallah Ilyas
. Dia menyindir dominasi sembilan hakim konstitusi dalam mengubah arah sistem pemilu yang disusun oleh ratusan anggota legislatif.
“Jangan 500 orang ini, Pak, kalah dengan 9 hakim. Ini bikin undang-undang KUHAP saja sudah berapa lama kita belum selesai sampai hari ini. Tolong agak lebih bijaklah,” kata Hasbiallah.
Dia juga mengkritisi inkonsistensi aturan pemilu dari waktu ke waktu yang dinilai menimbulkan kebingungan di masyarakat.
“Misalnya pemilu, berapa kali setiap pemilu itu diubah. Dari tahun 2009 diubah, sekarang diubah lagi, ini yang bikin jadi kegaduhan di masyarakat,” ujar Hasbiallah.
Berkaca dari persoalan ini, Hasbiallah pun mendorong agar proses seleksi calon hakim konstitusi lebih ketat ke depannya.
“Menurut saya perlu diseleksi lebih optimal lagi, jangan sampai adanya MK ini keluar dari norma yang ada,” kata dia.
Dari Fraksi Demokrat, Andi Muzakir juga menyuarakan kekhawatiran soal inkonsistensi MK karena akan berdampak buruk bagi sistem ketatanegaraan.
“Saya hanya satu, Pak, konsisten dalam mengambil keputusan. Jangan setiap periode berubah lagi putusannya. Jadi tidak ada konsistensi dalam mengambil putusan. Tahun ini serempak, berikutnya dipisah. Tidak ada konsistensi. Mau dibawa ke mana negara ini?” ujar dia.
Wakil Ketua Komisi III Dede Indra Permana Soediro turut mengingatkan MK agar menjalankan tugas sebagai penguji, bukan pembentuk norma hukum.
“Sedikit masukan juga kepada MK bahwa sesuai dengan tugas yang sudah ada, bahwa MK adalah penguji norma, bukan membentuk (norma),” kata politikus PDI-P itu.
Menanggapi banyak kritik, Sekretaris Jenderal MK Heru Setiawan menegaskan bahwa putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 telah dibacakan dan MK hanya tinggal menunggu DPR menindaklanjutinya.
“
Putusan MK
kan sudah diucapkan, kami tinggal menunggu kewenangan DPR untuk menindaklanjuti. Kami tunggu. Karena DPR juga punya kewenangan,” ujar Heru.
Dia pun enggan berkomentar lebih jauh mengenai kritik yang diarahkan ke lembaganya ataupun terhadap putusan pemisahan pemilu nasional dan daerah.
Sebagai informasi, melalui putusan tersebut, MK memutuskan agar pemilu nasional dan daerah dilaksanakan secara terpisah mulai 2029.
Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.
Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menyampaikan bahwa Mahkamah mempertimbangkan pembentuk undang-undang yang belum melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019.
Selain itu, MK melihat DPR maupun pemerintah sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan Pemilu.
“Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” ujar Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
Meski begitu, MK tidak menentukan secara pasti tenggat waktu pelaksanaan pemilu nasional dan daerah.
MK hanya mengusulkan agar pemilu daerah digelar paling cepat dua tahun setelah pemilu nasional, dan paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden.
Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Taufik Basari menyatakan bahwa putusan pemisahan pemilu nasional dan daerah menimbulkan dilema konstitusional. Pasalnya, pelaksanaan maupun pengabaian putusan MK tersebut akan sama-sama melanggar konstitusi.
“Melaksanakan atau tidak melaksanakan putusan MK akan sama-sama melanggar konstitusi,” ujar Taufik.
Dia mengacu pada Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945 yang menyebut pemilu harus dilaksanakan lima tahun sekali, serta Pasal 18 Ayat (3) yang menegaskan DPRD dipilih melalui pemilu.
“Inilah yang saya sebut sebagai dilematis
constitutional deadlock
. Dimakan masuk mulut buaya, tidak dimakan masuk mulut harimau,” ucap Taufik.
Sementara itu, Peneliti Politik BRIN Devi Darmawan menilai sikap MK yang langsung menetapkan
pemilu dipisah
menunjukkan ketidakpercayaan terhadap DPR.
“Hal ini menunjukkan sebenarnya ada ketidakpercayaan dari Mahkamah Konstitusi ini kepada kinerja parlemen,” kata Devi dalam diskusi daring.
Menurut Devi, DPR dan pemerintah selama ini lambat merevisi UU Pemilu, sehingga MK mengambil sikap tegas yang tidak memberi pilihan lain.
Namun, dia mengingatkan agar MK tetap berada dalam koridor sebagai penguji konstitusionalitas, bukan pembentuk norma.
“Kalau seperti sekarang berkesan seolah-olah MK agak lebih mendominasi dalam pembuatan peraturan Undang-Undang, khususnya yang terkait dengan sistem kepemiluan,” ucap Devi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/07/09/686dded6a6bb4.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/07/09/686e004956707.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/07/08/686c61994cb67.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)