Tuding Ijazah Jokowi Palsu, Dokter Tifa: Tak Mungkin KKN Awal 1985, tapi Tahun Itu Wisuda
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Dokter Tifauzia Tyassuma atau akrab disapa
dokter Tifa
mempertanyakan waktu pelaksanaan kuliah kerja nyata (KKN) Presiden ke-7 Indonesia Joko Widodo dan kelulusan yang terjadi pada tahun yang sama.
Ia lantas membuat analisis untuk mencocokkan dokumen
ijazah
dengan perilaku, pernyataan, atau pendapat yang pernah disampaikan oleh Jokowi.
Tujuannya untuk mengidentifikasi adanya ketidaksesuaian, seperti inkonsistensi, inkoherensi, atau bentuk inapropriasi lainnya.
“Seperti misalnya inkonsistensi itu pada KKN (kuliah kerja nyata). Bareskrim mengatakan, KKN itu terjadi pada akhir 1983. Ternyata, yang bersangkutan mengatakan awal tahun 1985,” kata dokter Tifa di
Polda Metro
Jaya, Jumat (11/7/2025).
Temuan tersebut dikaitkan dengan tanggal wisuda Jokowi yang tercantum dalam ijazah, yakni pada November 1985.
“Inkoheren dengan KKN awal 1985. Sebab, tidak mungkin kalau mahasiswa UGM itu awal 1985 baru KKN, lalu November 1985 juga sudah wisuda,” ujar dia.
Dokter Tifa
menjelaskan, ketidakcocokan dalam data tersebut menjadi dasar dari obyek penelitiannya terhadap dugaan
ijazah palsu
tersebut.
“Di situlah saya berperan untuk melakukan itu. Dan kemudian penelitian saya ini juga tidak cuma terhadap perilaku yang terlihat pada video maupun media-media,” ungkap dia.
“Tapi juga pada pernyataan-pernyataan verbal, tapi juga pada data sains. Jadi, kita ini tidak boleh menafikan ya sekarang ini dunia digital itu data yang ada pada digital itu adalah bagian dari data sains,” tambah dia.
Untuk diketahui, Jokowi melaporkan tudingan ijazah palsu ke Polda Metro Jaya, Rabu (30/4/2025). Laporan tersebut teregistrasi dengan nomor LP/B/2831/IV/2025/SPKT/
POLDA METRO
JAYA.
Dalam kronologi yang disampaikan Jokowi saat membuat laporan, terdapat lima nama. Mereka adalah Roy Suryo Notodiprojo, Rismon Hasiholan Sianipar, Eggi Sudjana, Tifauzia Tyassuma, dan Kurnia Tri Royani.
Kendati demikian, terlapor dalam perkara ini masih dalam penyelidikan karena memerlukan pembuktian dalam proses penyelidikan.
Subdit Keamanan Negara Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya menerima barang bukti dari Jokowi berupa satu buah flashdisk berisi 24 tautan video YouTube dan konten dari media sosial X, fotokopi ijazah beserta print out legalisirnya, fotokopi sampul skripsi, serta lembar pengesahan.
Dalam kasus ini, Jokowi menjerat dengan Pasal 310 KUHP dan/atau Pasal 311 KUHP, serta Pasal 35 juncto Pasal 51 ayat (1), Pasal 32 ayat (1) juncto Pasal 48 ayat (1), dan/atau Pasal 27A juncto Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Terlepas dari itu, Polda Metro Jaya kini juga menangani sejumlah laporan lain terkait kasus serupa.
Secara keseluruhan, termasuk laporan yang melibatkan Presiden Jokowi maupun laporan lainnya, setidaknya terdapat dua objek perkara yang sedang diselidiki, yaitu pencemaran nama baik dan penghasutan, serta penyebaran berita bohong.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Category: Kompas.com
-
/data/photo/2025/07/11/6870981a40dd7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
3 Tuding Ijazah Jokowi Palsu, Dokter Tifa: Tak Mungkin KKN Awal 1985, tapi Tahun Itu Wisuda Megapolitan
-
/data/photo/2025/07/09/686e5e499c4f5.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Serangan Balik Jaksa Jawab Pembelaan Tom Lembong, Bantah Ada Politisasi Kasus
Serangan Balik Jaksa Jawab Pembelaan Tom Lembong, Bantah Ada Politisasi Kasus
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kasus dugaan korupsi importasi gula yang menjerat Menteri Perdagangan (Mendag) 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, masih bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat.
Terbaru, dalam sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan tanggapan jaksa atau replik atas pleidoi Tom Lembong, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membantah adanya politisasi.
Tom Lembong
sebelumnya mengungkap dua sinyal dari penguasa akibat dirinya bergabung dalam Tim Kampanye Nasional (Timnas) Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
Ia menyebut, dua sinyal tersebutlah yang membuatnya terancam pidana lewat kasus dugaan korupsi importasi gula.
“Sinyal dari penguasa sangat jelas. Saya bergabung ke oposisi, maka saya terancam dipidana,” ujar Tom Lembong saat membacakan pleidoi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (9/7/2025) malam.
Sinyal pertama adalah saat surat perintah penyidikan (sprindik) kasus impor gula yang diterbitkan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Setelah itu, ia menangkap sinyal kedua dari penguasa saat Tom Lembong ditangkap dan dibui atas kasus dugaan korupsi importasi gula.
“Sinyal itu sangat jelas saat saya ditangkap dan dipenjara dua minggu setelah penguasa mengamankan kekuasaannya dengan pelantikan resmi di DPR RI,” ujar Tom Lembong.
JPU membantah pernyataan Tom Lembong.
Jaksa mengatakan, pernyataan terkait adanya politisasi dalam kasus impor gula itu tidak berdasar dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya dalam persidangan.
“Atas dasar fakta hukum terhadap materi pembelaan terdakwa yang menyatakan perkara korupsi yang dituduhkan kepada terdakwa, termasuk penetapan sebagai tersangka adalah bentuk kriminalisasi dan politisasi adalah sangat tidak benar, dan tidak berdasar serta hanya merupakan klaim sepihak dari terdakwa yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya dalam persidangan,” kata Jaksa dalam sidang replik di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (11/7/2025).
Jaksa mengatakan, penyidikan dan penuntutan dari Kejaksaan Agung dalam kasus tersebut dilakukan secara profesional melalui serangkaian tahapan penyelidikan dan penyidikan.
Penyidikan yang dilakukan mulai dari pemeriksaan saksi-saksi, ahli, dan pengumpulan barang bukti dilakukan sesuai ketentuan Pasal 184 KUHP.
“Sehingga penetapan tersangka dalam perkara ini telah dilakukan secara profesional, proporsional, dan transparan,” tuturnya.
Jaksa mengatakan, majelis hakim praperadilan telah menyatakan bahwa penetapan tersangka Tom Lembong sesuai dengan prosedur dan putusan Mahkamah Konstitusi terkait persyaratan penetapan tersangka.
Jaksa mengakui bahwa dalam kasus ini, Tom Lembong tidak pernah menerima keuntungan dari kasus impor gula.
“Bahwa dalam perkara a quo berdasarkan fakta persidangan, terdakwa tidak diperkaya ataupun diuntungkan,” kata Jaksa.
Namun, Jaksa menyebut bahwa Tom Lembong telah memperkaya orang lain atau korporasi.
“Namun, perbuatan terdakwa dalam memberikan penugasan kepada PT PPI, Inkopkar, Inkoppol, dan Puskopol, serta pemberian persetujuan impor kepada 8 pabrik gula rafinasi dan PT Kebun Tebu Mas yang dilakukan secara melawan hukum telah memperkaya atau memberi keuntungan kepada orang lain atau korporasi,” ujar Jaksa.
Jaksa meminta hakim pada Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat untuk menolak pleidoi atau nota pembelaan Tom Lembong.
“Menyatakan pembelaan yang diajukan terdakwa dan penasihat hukum terdakwa tidak dapat diterima,” kata Jaksa.
Jaksa juga meminta hakim untuk tetap mengabulkan surat tuntutan Penuntut Umum yang telah dibacakan pada persidangan sebelumnya, pada hari Jumat, 4 Juli 2025.
“Menghukum terdakwa sebagaimana telah kami nyatakan dalam surat tuntutan Penuntut Umum,” ujarnya.
Jaksa menuntut Tom Lembong dihukum 7 tahun penjara dan denda Rp 750 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Tindakan Tom Lembong dinilai merugikan keuangan negara sebesar Rp 578 miliar, termasuk memperkaya para pengusaha gula swasta.
Usai sidang, Tom Lembong menilai replik yang disampaikan jaksa masih tetap dalam upaya untuk memutarbalikkan aturan.
“Ya, balik lagi, tetap bersikeras untuk memutarbalikkan peraturan. Aturan mengatakan, dilarang bawa masuk ke dalam pesawat korek api, terus saya dipidanakan karena bawa masuk ke dalam pesawat, korek telinga,” kata dia.
“Kalau saya lihat dalam repliknya hari ini, kalau jaksa sudah masuk lubang, malah gali makin dalam, bukannya keluar dari lubang,” sambungnya.
Terkait jaksa yang membantah bahwa kasus impor gula tersebut bukan bagian dari politisasi, Tom mengatakan bahwa selama menjalani 20 kali persidangan, tidak ada satu pun keterangan dari saksi atau ahli yang membuktikan tuduhan jaksa kepadanya.
Karenanya, Tom menilai kasus dugaan korupsi yang dialamatkan kepadanya sulit disebutkan hanya sebatas proses hukum.
“Jadi sulit kalau kita mau simpulkan bahwa ini murni soal hukum atau keadilan. Berarti harus ada faktor lain, harus ada motivasi lain, ya kan,” ucap dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/05/22/682f1422bd57e.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
9 Saat Wujud Ijazah Jokowi Dipertanyakan… Megapolitan
Saat Wujud Ijazah Jokowi Dipertanyakan…
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Dokter
Tifauzia Tyassuma
, yang akrab disapa
Dokter Tifa
, memenuhi undangan klarifikasi di
Polda Metro
Jaya sebagai saksi terlapor dalam kasus dugaan
ijazah palsu
Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo, Jumat (11/7/2025).
Dalam kesempatan itu, polisi menyodorkan 68 pertanyaan berkait dengan penelitian
dokter Tifa
terhadap
ijazah
Jokowi.
Waktu pemeriksaan tidak begitu lama, berkisar tiga jam.
Selama pemeriksaan, dokter Tifa menolak menjawab sejumlah pertanyaan.
Pasalnya, dokter Tifa meminta agar ijazah Jokowi dihadirkan dalam pemeriksaannya sebagai saksi terlapor.
“Nah, itu ternyata 68 pertanyaan yang saya lihat itu adalah ya kurang lebih menyoal tentang penelitian saya terkait dengan ijazah itu. Nah, sebelum saya menjawab, tentu saja ijazah itu harus dihadirkan, kan gitu ya,” kata Tifa.
“Itu juga ya, mungkin mempersingkat proses tanya jawab saya, karena memang ijazahnya enggak ada. Lalu, kita tidak perlu harus berpanjang lebar,” tambah dia.
Menurut dia, jika ijazah Jokowi diperlihatkan, maka dirinya akan menjawab seluruh pertanyaan penyidik.
“Tapi kita enggak bisa menjawab kalau tidak ada ijazahnya. Kalau ada ijazahnya di depan meja ini, ya kita berbincang-bincang tentang ijazah tersebut. Dan itu akan relevan dengan pertanyaan yang diajukan,” lanjut dia.
Terlepas dari itu, dokter Tifa mengaku menjawab beberapa pertanyaan di luar tudingan
ijazah palsu Jokowi
.
Dengan begitu, dokter Tifa harus menelan rasa kecewa.
Mentalnya yang sudah siap menjalani pemeriksaan selama berjam-jam ini pupus karena wujud asli ijazah Jokowi tidak diperlihatkan.
Padahal, Tifa mengaku ingin menyampaikan apa yang dia yakini sebagai sebuah kebenaran terkait tudingan ijazah Jokowi palsu.
“Saya sebetulnya hari ini pun juga siap untuk diperiksa berjam-jam. Saya sudah siap mental,” tegas Tifa.
Dokter Tifa menganggap pemeriksaannya ini sebagai saksi terlapor sia-sia karena ijazah Jokowi tidak dihadirkan.
Dalam kesempatan ini, dokter Tifa memaparkan analisisnya terkait tudingan ijazah palsu yang dialamatkan Jokowi.
Analisis tersebut difokuskan pada upaya mencocokkan dokumen ijazah dengan perilaku, pernyataan, atau pendapat yang pernah disampaikan oleh Jokowi.
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi adanya ketidaksesuaian, seperti inkonsistensi, inkoherensi, atau bentuk inapropriasi lainnya.
“Seperti misalnya inkonsistensi itu pada KKN (kuliah kerja nyata). Bareskrim mengatakan, KKN itu terjadi pada akhir 1983. Ternyata, yang bersangkutan mengatakan awal tahun 1985,” kata Tifa.
Temuan tersebut, dikaitkan dengan tanggal wisuda Jokowi yang tercantum dalam ijazah, yakni pada November 1985.
“Inkoheren dengan KKN awal 1985. Sebab, tidak mungkin kalau mahasiswa UGM itu awal 1985 baru KKN, lalu November 1985 juga sudah wisuda,” ujar dia.
Dokter Tifa menjelaskan, ketidakcocokan dalam data tersebut menjadi dasar dari obyek penelitiannya terhadap dugaan ijazah palsu tersebut.
“Di situlah saya berperan untuk melakukan itu. Dan kemudian penelitian saya ini juga tidak cuma terhadap perilaku yang terlihat pada video maupun media-media,” ungkap dia.
“Tapi juga pada pernyataan-pernyataan verbal, tapi juga pada data sains. Jadi, kita ini tidak boleh menafikan ya sekarang ini dunia digital itu data yang ada pada digital itu adalah bagian dari data sains,” tambah dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/07/11/687109a062cba.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Tiga Pelaku Komplotan Jambret Rp 300 Juta di Depok Masih Buron Megapolitan 11 Juli 2025
Tiga Pelaku Komplotan Jambret Rp 300 Juta di Depok Masih Buron
Tim Redaksi
DEPOK, KOMPAS.com –
Polisi memburu pria berinisial I dan dua orang tidak dikenal (OTK) yang kabur dalam aksi komplotan jambret senilai Rp 300 juta di depan Bengkel Final Gear, Jalan Parung Ciputat, Bojongsari, Kota
Depok
.
“Ada tiga pelaku lagi yang kami berkomitmen untuk (tangkap) demi mengungkap kasus ini secara terang benderang,” kata Kapolsek Bojongsari Komisaris Fauzan Thohari, dalam jumpa pers, Jumat (11/7/2025).
Fauzan menyampaikan, insiden yang terjadi pada Kamis (10/7/2025) bermula saat korban berinisial U berangkat ke bank untuk mengambil uang Rp 300 juta.
Proses transaksi di bank berlangsung sekitar dua jam sebelum korban kembali ke rumahnya di daerah Pengasinan, Sawangan, menggunakan mobil Toyota Rush.
“Pada saat melintas di depan Polsek Parung, ada pengendara sepeda motor memberitahu bahwa ban mobil bocor,” ungkapnya.
Hal itu tentu membuat korban dan seorang saksi yang bersamanya di mobil mencari lokasi untuk menepi. Korban memilih memberhentikan kendaraannya di depan bengkel.
“Korban bersama saksi turun dari mobil yang aman. Sesaat setelah turun mobil, seorang security berteriak ‘maling, maling!’ karena melihat ada pelaku mengambil tas dari dalam mobil,” ujar Fauzan.
Teriakan itu membuat warga setempat langsung mengejar dan menangkap dua pelaku berinisial N (29) dan R (58).
Kedua pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polsek Bojongsari dan dikenakan Pasal 363 KUHP dengan ancaman maksimal tujuh tahun penjara.
Adapun barang bukti yang diamankan meliputi satu unit motor Suzuki Satria FU Nopol B 4880 TAH, satu unit Yamaha Jupiter MX Nopol B 3359 KLC, dua tas selempang, satu unit ponsel Samsung, satu unit ponsel Oppo, dompet hitam, satu buah BPKB dan STNK motor Satria, dua buah KTP pelaku, satu unit ponsel Nokia, satu unit ponsel Redmi, satu jam tangan, dan dua kartu ATM.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/07/11/6870be23074a3.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Fortuner Tabrakan Beruntun di Utan Kayu, Polisi Curigai Pelat Dinas Bodong Megapolitan 11 Juli 2025
Fortuner Tabrakan Beruntun di Utan Kayu, Polisi Curigai Pelat Dinas Bodong
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Polisi tengah menelusuri asal-usul pelat dinas yang terpasang pada mobil Toyota Fortuner yang terlibat dalam
kecelakaan beruntun
di Jalan Jenderal Ahmad Yani, tepatnya di depan Halte Transjakarta Utan Kayu,
Jakarta
Timur, Jumat (11/7/2025).
“Ya, itu kami sedang telusuri, itu pelat dinas dari mana,” ujar Kepala Unit Kecelakaan Lalu Lintas (Kanit Laka Lantas) AKP Darwis saat dikonfirmasi, Jumat.
Darwis menjelaskan, pelat dinas tersebut diduga kuat tidak digunakan oleh pihak yang berwenang atau bukan berasal dari instansi resmi.
“Kemungkinan ada juga orang yang suka pakai. (Misal) sebenarnya bukan mobil dinas, tetapi pakai pelat dinas,” ungkapnya.
Ia menambahkan, hingga kini pengemudi dan penumpang Fortuner belum dapat dimintai keterangan karena masih menjalani perawatan di rumah sakit.
“Tapi kami sebagai polisi kan menelusuri itu pelat itu benar apa enggak. Nah, kalau memang enggak benar, bukan mobil dinas yang sebenarnya, berarti ada pelanggaran,” tuturnya.
Meski demikian, menurut Darwis, fokus utama kepolisian saat ini tetap pada penanganan kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan korban luka.
“Tapi untuk peristiwa laka itu kan pasti lebih berat peristiwa lakanya, daripada hanya sekedar pelat nomor,” tambah dia.
Sebelumnya, sebuah kecelakaan beruntun terjadi di Jalan Jenderal Ahmad Yani, tepat di depan Halte Transjakarta Utan Kayu,
Jakarta Timur
, Jumat pagi. Insiden ini diduga melibatkan mobil berpelat dinas.
Saksi mata, Misgad (51), mengatakan kecelakaan bermula ketika mobil Toyota Fortuner berpelat merah melaju dengan kecepatan tinggi dan menerobos lampu merah.
“Lampu merah kan berhenti, begitu (kendaraan lain) berhenti, Fortuner ini malah kenceng, akhirnya nabrak, ‘jederr!’,” ujar Misgad saat ditemui di lokasi kejadian.
Misgad mengaku tidak mengetahui pelat merah tersebut berasal dari instansi mana, namun menyebut nomor pelatnya adalah 7452-00.
Ia juga menyebutkan ada dua orang di dalam mobil tersebut, yang seluruhnya mengalami luka.
“Mobil dinas sih katanya, tapi saya enggak tahu (dinas mana). Luka parah orangnya, yang satu sadar satu enggak sadar,” jelas dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/07/11/6870f48551903.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Minta Polisi Periksa Kerabat Diplomat Kemlu, Kriminolog UI: Orang Terdekat Wajib Dicurigai Megapolitan 11 Juli 2025
Minta Polisi Periksa Kerabat Diplomat Kemlu, Kriminolog UI: Orang Terdekat Wajib Dicurigai
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Kriminolog Universitas Indonesia, Haniva Hasna, meminta polisi memeriksa kerabat terdekat diplomat muda Kementerian Luar Negeri (Kemlu), ADP (39), yang ditemukan tewas di kamar kosnya.
Menurut Haniva, kerabat terdekat merupakan pihak yang terakhir berkomunikasi dengan ADP sebelum ia ditemukan meninggal dunia.
“Karena dalam setiap kali ada kejahatan atau pembunuhan, orang yang pertama kali wajib dicurigai adalah orang terdekat,” ujar Haniva kepada
Kompas.com,
Jumat (11/7/2025).
Haniva menilai, kerabat terdekat dapat memberikan informasi penting mengenai kondisi atau masalah yang dihadapi ADP sebelum meninggal.
Informasi ini juga dinilai krusial untuk membangun kronologi maupun mengidentifikasi penyebab kematian.
“Sehingga dari sini bisa diketahui sebenarnya, beberapa hari terakhir atau beberapa bulan terakhir ini (aktivitas ADP),” ungkapnya.
Selain kerabat, Haniva juga mendorong polisi agar memeriksa ponsel milik ADP.
“Jadi (periksa ponsel) sangat penting itu, kan bisa menjadi alat bukti, dan ponsel itu kan (benda) yang paling dekat jaraknya (dengan ADP),” ucapnya.
Haniva menambahkan, ponsel bisa menjadi kunci untuk mengungkap penyebab kematian.
Ia juga mengingatkan jika ponsel tidak bisa dibuka atau data di dalamnya sudah terhapus, perlu dicurigai kemungkinan adanya intervensi pihak lain.
“Kita harus curiga, apakah di ponselnya ternyata sudah terhapus semua, berarti kalau sudah terhapus semua, berarti ya semakin meyakinkan kalau ada pihak lain,” kata Haniva.
“Dan kalau hal itu terjadi, ini bisa merupakan rekayasa,” lanjut dia.
Sebelumnya diberitakan, ADP ditemukan tewas di kamar kosnya di kawasan Cikini,
Menteng
,
Jakarta
Pusat, pada Selasa (8/7/2025).
Saat pertama kali ditemukan, ADP dalam posisi tergeletak di atas kasur. Kepala korban tampak terlilit lakban kuning, sementara tubuhnya tertutup selimut berwarna biru.
Dari hasil olah tempat kejadian perkara (TKP), polisi menyita sejumlah barang bukti, di antaranya gulungan lakban, kantong plastik, dompet, bantal, sarung celana, serta pakaian yang dikenakan korban.
Selain itu, ditemukan pula sejumlah obat-obatan ringan di dalam kamar, seperti obat sakit kepala dan obat lambung. Namun, belum ada indikasi bahwa obat-obatan tersebut berkaitan dengan penyebab kematian korban.
Polisi juga menemukan sidik jari ADP pada permukaan lakban yang melilit kepalanya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/07/11/68711ce8174df.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/07/11/68712b774bba7.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/07/11/687098c60bd5a.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)