BGN Minta Dapur MBG Tak Gunakan Makanan Produk Perusahaan Besar
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Nanik Sudaryati Deyang, meminta Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) untuk tidak menggunakan produk makanan olahan pabrikan dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Nanik bilang, program MBG diarahkan untuk memberdayakan usaha mikro dan kecil, perseroan perorangan, koperasi, koperasi desa atau kelurahan Merah Putih, hingga badan usaha milik desa (BUM Desa), sehingga manfaatnya tidak hanya dirasakan dari sisi gizi masyarakat, tetapi juga berdampak langsung pada penguatan ekonomi rakyat.
“Jangan lagi pakai biskuit, roti dari perusahaan besar. Semua makanan harus diproduksi warga sekitar dapur, baik itu UMKM, maupun oleh ibu-ibu PKK,” kata Nanik dalam keterangan resmi, Sabtu (13/12/2025).
Ketentuan ini merujuk pada Pasal 38 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 115 Tahun 2025 yang menegaskan bahwa penyelenggaraan program tersebut harus mengutamakan pemanfaatan produk dalam negeri serta melibatkan pelaku usaha lokal.
Ketua Pelaksana Harian Tim Koordinasi Kementerian/Lembaga untuk Pelaksanaan Program MBG itu mencontohkan kerja sama yang bagus di Depok, Jawa Barat, di mana roti dibuat oleh ibu-ibu orangtua siswa sekolah.
Mereka juga membuat bakso rumahan, nugget homemade, rolade homemade, dan sebagainya.
Semua memang harus memiliki
izin PIRT
(Produksi Pangan Industri Rumah Tangga). PIRT adalah izin edar bagi produk makanan atau minuman olahan yang diproduksi industri rumah tangga atau UMKM.
PIRT diterbitkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atas rekomendasi Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). Izin berlaku untuk produk makanan dan minuman dengan risiko rendah hingga menengah.
Karena itu, Nanik meminta kepada Pemerintah Kota Probolinggo untuk memberikan kemudahan dalam pengurusan izin PIRT.
“Tolong Pak Wali, Bu Wawali, Dinkes, dipermudah izin PIRT-nya, untuk usaha kecil agar mereka bisa memasok dapur-dapur SPPG,” kata Nanik.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Category: Kompas.com
-
/data/photo/2025/12/13/693cbbfa93e5f.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Ketika Seskab Teddy Tertinggal Rombongan Prabowo…
Ketika Seskab Teddy Tertinggal Rombongan Prabowo…
Tim Redaksi
ACEH TAMIANG, KOMPAS.com –
Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke pengungsian Karang Baru, Aceh Tamiang, menyisakan cerita unik.
Dalam kunjungan itu, Sekretaris Kabinet (Seskab)
Teddy Indra Wijaya
sempat tertinggal rombongan Presiden Prabowo yang sudah melaju lebih dahulu ke Takengon, Aceh Tengah, sebagai tempat kunjungan kedua pada Jumat (12/12/2025).
Teddy saat itu menghampiri masyarakat, baik ibu-ibu maupun anak-anak, yang memanggil namanya.
“Pak Teddy, Pak Teddy,” kata mereka, bersahut-sahutan.
Panggilan itu sontak membuat Teddy merapat untuk menyapa dan bersalaman dengan warga.
Masyarakat juga minta Teddy untuk berfoto bersama guna mengabadikan momen.
Tanpa disadari, mobil yang seharusnya ia tumpangi sudah berjalan cukup jauh.
Eks ajudan Prabowo ini lalu menumpang mobil wartawan, yang berada dalam iring-iringan Presiden Prabowo di bagian belakang demi bergerak ke Takengon.
Saat masuk ke mobil itu, Teddy tetap membuka pintu untuk menyapa warga dengan melambaikan tangan sepanjang jalan ketika ada yang memanggilnya.
Ia duduk di kursi paling depan, dekat pintu agar lebih mudah menyapa.
“Ayo, Pak. Semangat Pak, ya,” ucap Teddy menyemangati.
Teddy mengakui, dirinya ketinggalan rombongan karena memilih menghampiri warga yang teriak memanggil untuk bersalaman.
“Iya, manggil. Enggak enak kalau disamperin, harus disamperin,” seloroh Teddy.
“Mereka disapa saja sudah cukup senang,” jelas dia.
Dalam kunjungan di
Aceh Tamiang
, Presiden Prabowo berjanji mengawal proses pemulihan di Aceh Tamiang hingga anak-anak di Serambi Mekkah dapat segera kembali bersekolah.
“Pesan saya, anak-anak harus tabah dan tetap semangat. Kita akan bergerak cepat supaya anak-anak bisa cepat kembali sekolah,” kata Prabowo.
Prabowo menegaskan bahwa pemerintah bekerja keras menangani bencana di Sumatera serta mengawal pemulihan pascabencana.
Ia pun meminta maaf jika ada berbagai hal yang belum tertangani secara sempurna.
“Saya minta maaf kalau masih ada yang belum (tertangani). Kita sedang bekerja keras. Kita tahu kondisi di lapangan sangat sulit, jadi kita atasi bersama-sama. Mudah-mudahan kalian cepat pulih dan cepat kembali normal,” kata Prabowo.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/12/12/693bb6c3f1e16.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Permintaan Maaf dan Janji Prabowo Saat Temui Pengungsi di Aceh…
Permintaan Maaf dan Janji Prabowo Saat Temui Pengungsi di Aceh…
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Presiden RI Prabowo Subianto menyampaikan permintaan maafnya kepada para pengungsi korban bencana banjir bandang dan tanah longsor ketika menemui pengungsi di Aceh, Jumat (12/12/2025).
Prabowo meminta maaf apabila kebutuhan masyarakat korban banjir bandang dan tanah longsor belum terpenuhi, termasuk aliran listrik yang belum sepenuhnya menyala di kabupaten tersebut.
“Pemerintah akan turun akan membantu semuanya, saya minta maaf kalau masih ada yang belum, kita sedang bekerja keras, mungkin listrik yang belum ya, listrik,” kata Prabowo kepada korban pengungsian di Aceh Tamiang, Jumat.
Memastikan aliran listrik diusahakan menyala, Prabowo kemudian bertanya kepada Bupati Aceh Tamiang Armia Fahmi terkait kesiapannya.
Armia pun menjawab bahwa listrik di Kabupaten Aceh Tamiang sudah menyala secara bertahap.
“Sudah mulai, Pak,” jawab Armia Fahmi.
“Sudah mulai, oke,” balas Prabowo.
Prabowo mengakui, kondisi di lapangan terkadang menyulitkan proses penanganan.
Namun, ia memastikan bahwa pemerintah akan terus berusaha.
“Kita berusaha kita tahu di lapangan sangat sulit, keadaannya sulit jadi kita atasi bersama, saya kira itu saja, ya. Mudah-mudahan kalian cepat pulih, cepat kembali, cepat normal,” ujar Prabowo.
Ketika mengunjungi posko pengungsian di Takengon, Aceh Tengah, Prabowo menjanjikan
hunian sementara
(huntara) maupun hunian tetap (huntap) kepada korban banjir dan tanah longsor di Sumatera.
“Ada nanti hunian sementara. Kemudian hunian tetap yang kita sudah siapkan,” kata Prabowo.
Prabowo meminta masyarakat turut bersabar karena pembangunan hunian butuh waktu.
Saat ini, pembangunan huntara dan huntap tengah disiapkan bersama dengan anggarannya.
“Kita rencanakan, kita alokasikan anggaran. Tapi butuh waktu. Jadi kami mohon kesabaran, saya tidak bisa mengerjakan semua begitu cepat,” ucap Prabowo.
“Kita sudah bekerja dengan sebaik-baiknya. Saya minta ketabahan dan kesabaran semua. Pasti kita akan bantu. Tenang saja,” imbuh dia.
Kepala Negara juga menyatakan pemerintah menyiapkan rencana memperbaiki seluruh jembatan yang rusak akibat banjir serta jalan-jalan yang tertimpa longsor.
“Kami sudah siapkan rencana semua jembatan akan kita perbaiki, jalan-jalan longsor akan kita tembus, listrik akan kita hidupkan semuanya, dan kalau masih ada kekurangan kita akan kejar atasi bersama, ya,” tutur dia.
Namun, Prabowo menekankan bahwa implementasi rencana ini tidak secepat kilat sehingga ia meminta semua pihak bersabar.
Prabowo juga mengaku sudah menyiapkan rencana untuk mengganti semua rumah yang hanyut akibat banjir bandang dan tanah longsor di Sumatera.
“Kita sudah kerahkan puluhan helikopter, puluhan pesawat, ya kita akan atasi ini bersama. Dan kita sudah siapkan juga rencana untuk mengganti semua rumah yang hanyut,” kata Prabowo.
Masih dalam kunjungannya di Aceh, Prabowo meminta agar alam harus dijaga bersama-sama dan mengingatkan semua pihak agar tidak menebang pohon sembarangan.
“Kita sekarang harus waspada, hati-hati. Kita harus jaga lingkungan kita, alam kita harus kita jaga, kita tidak boleh tebang pohon sembarangan,” kata Prabowo.
Pesan itu pun disampaikannya tidak terkecuali untuk pemerintah daerah (pemda). Ia meminta pemda lebih mengawasi hal tersebut.
“Saya minta pemerintah daerah lebih waspada, lebih awasi. Kita jaga alam kita dengan sebaik-baiknya, saya kira itu pesan,” ucap dia.
Prabowo meminta para korban untuk tabah dan tetap semangat.
Ia memastikan pemerintah akan berusaha memenuhi kebutuhan.
Ia ingin anak-anak di daerah terdampak bencana bisa kembali bersekolah.
“Anak-anak yang tabah, yang semangat, kita cepat kembali supaya anak-anak semua cepat sekolah semuanya,” ujar Prabowo.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/11/10/691151730e301.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
3 Kritis Integritas: Pembangkangan Polri atas Putusan MK Nasional
Kritis Integritas: Pembangkangan Polri atas Putusan MK
Penyuluh Antikorupsi Sertifikasi | edukasi dan advokasi antikorupsi. Berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya integritas dan transparansi di berbagai sektor
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
DI TENGAH
upaya memperkuat supremasi hukum di Indonesia, keputusan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menerbitkan Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 menjadi sorotan tajam.
Langkah ini muncul setelah Mahkamah Konstitusi (MK) secara tegas melarang anggota Polri aktif menjabat di kementerian dan lembaga sipil.
Tindakan yang seolah tak mengindahkan keputusan MK ini menggugah pertanyaan mendalam tentang komitmen institusi penegak hukum dalam menjaga integritas dan netralitasnya.
Pembangkangan terhadap putusan MK bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi juga ancaman terhadap prinsip dasar negara hukum.
Dengan tetap mengizinkan anggota Polri menjabat di instansi sipil, Kapolri tidak hanya merendahkan kewibawaan hukum, tetapi juga berpotensi memicu konflik kepentingan.
Situasi ini mengaburkan batas antara kekuasaan sipil dan aparat, di mana polisi seharusnya menjadi penegak hukum yang independen, justru terjerat dalam kebijakan politik sipil.
Tindakan pemerintah dalam menanggapi situasi ini sangat krusial. Di saat masyarakat mendesak agar integritas hukum ditegakkan, langkah berani untuk menarik anggota Polri dari jabatan sipil dan menghentikan implementasi Perpol 10/2025 menjadi penting dan mendesak.
Hanya dengan mematuhi putusan MK dan menjalankan prinsip-prinsip profesionalitas, kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian dapat dipulihkan, serta memastikan bahwa Indonesia tetap berkomitmen pada supremasi hukum, bukan pada kekuasaan semata.
Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 yang mengizinkan anggota Polri aktif menjabat di 17 kementerian dan lembaga sipil terasa seperti tamparan bagi integritas institusi negara.
Aturan ini muncul hanya sebulan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) secara tegas melarang praktik semacam itu melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan bahwa anggota Polri hanya boleh menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.
Putusan MK tersebut bukanlah hal sepele. MK membatalkan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Alasan utamanya adalah untuk menjaga netralitas Polri sebagai penegak hukum, mencegah konflik kepentingan, dan menghindari politisasi institusi kepolisian.
Sebelum putusan ini, polisi aktif sering ditempatkan di posisi strategis sipil, seperti di kementerian atau lembaga negara, yang menurut para pemohon uji materi termasuk aktivis hak asasi manusia, merusak prinsip pemisahan kekuasaan.
Pakar hukum tata negara pun menilai putusan ini berlaku serta merta, mengharuskan polisi aktif yang sedang menjabat segera mundur.
Namun, respons Kapolri justru sebaliknya. Perpol baru tersebut secara eksplisit mengatur bahwa anggota Polri dapat bertugas di 17 instansi sipil, termasuk Kementerian Kehutanan, Kementerian Hukum dan HAM, hingga lembaga seperti Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Intelijen Negara (BIN), KPK.
Ini bukan hanya kontradiktif dengan putusan MK, tapi juga mengabaikan seruan dari DPR RI yang mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk menarik polisi dari jabatan sipil demi menghormati keputusan konstitusi.
Tidak salah jika banyak masyarakat beranggapan bahwa tindakan ini merupakan bentuk pembangkangan hukum yang jelas, yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap Polri dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga konstitusi.
Jika keputusan MK, yang seharusnya final dan mengikat, tidak dianggap serius, maka persepsi publik terhadap institusi tersebut bisa runtuh.
Pertanyaan yang muncul adalah, untuk apa adanya Mahkamah Konstitusi jika putusannya tidak dihormati?
Di sisi lain, pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM berargumen bahwa putusan MK tidak berlaku surut. Artinya, larangan hanya untuk pengangkatan baru, sementara yang sudah menjabat boleh tetap.
Pendapat ini didukung oleh sebagian kalangan, termasuk dari Nahdlatul Ulama (NU), yang melihatnya sebagai cara untuk menghindari kekacauan administratif mendadak.
Namun, argumen ini lemah secara hukum. Putusan MK bersifat final dan mengikat, dan prinsip non-retroaktif biasanya tidak berlaku untuk isu konstitusional yang menyangkut prinsip dasar negara.
Jika dibiarkan, ini bisa menjadi preseden berbahaya: lembaga eksekutif bisa mengabaikan MK dengan dalih interpretasi sendiri.
Menurut saya, tindakan Kapolri mencerminkan masalah lebih rumit dan ruwet dalam
reformasi Polri
. Reformasi polri juga tampaknya tak berdaya. Benarlah adanya bahwa reformasi Polri itu sekadar
omon-omon
di warung kopi.
Indonesia bukan negara polisi, tapi negara hukum di mana supremasi konstitusi harus diutamakan.
Dengan membiarkan anggota Polri tetap menjabat di instansi sipil, Kapolri tidak hanya melemahkan netralitas Polri, tapi juga menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum.
Tentu saja hal Ini bisa memicu konflik kepentingan, di mana polisi yang seharusnya independen justru terlibat dalam kebijakan sipil, potensial menimbulkan korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Inilah yang menjadi kekhawatiran saya.
Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi, Presiden Prabowo memiliki peran sentral dalam memastikan kepatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Tanggung jawab ini tidak hanya bersifat otoritatif, tetapi juga mencerminkan kewajiban moral untuk menjaga agar seluruh lembaga negara, termasuk Polri, tunduk pada konstitusi.
Dalam konteks ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mendesak pemerintah untuk menarik personel Polri dari jabatan sipil. Tindakan ini diharapkan dapat menghormati dan menegakkan keputusan MK yang telah ada.
Langkah yang seharusnya diambil oleh pemerintah bukanlah mempertahankan Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 (Perpol 10/2025), melainkan melakukan penataan transisi yang sesuai dengan hukum. Beberapa langkah penting yang dapat dilakukan antara lain:
Pertama, menghentikan sementara implementasi Perpol 10/2025 sampai proses harmonisasi dengan putusan MK selesai. Langkah ini akan memberikan waktu yang cukup bagi pemerintah untuk mengevaluasi dan menyesuaikan regulasi yang ada guna mematuhi keputusan MK.
Kedua, segera menarik anggota Polri aktif dari jabatan sipil yang jelas bertentangan dengan putusan MK. Hal ini esensial untuk menghindari konflik kepentingan dan memastikan bahwa penegakan hukum tetap profesional dan bebas dari intervensi.
Ketiga, melakukan audit transparan terhadap seluruh bentuk penugasan personel aktif di luar struktur kepolisian. Dengan adanya audit ini, publik akan mendapatkan gambaran jelas tentang penggunaan sumber daya Polri dan menjamin keadilan dalam penugasan.
Keempat, membangun mekanisme transisi yang memungkinkan jabatan-jabatan yang ditinggalkan diisi oleh unsur Aparatur Sipil Negara (ASN) atau pejabat sipil lain. Ketersediaan layanan publik tidak boleh terganggu selama masa transisi ini.
Mekanisme yang baik akan memastikan kelangsungan pelayanan masyarakat tanpa menyalahi ketentuan hukum.
Langkah-langkah ini tidak hanya menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjaga integritas konstitusi, tetapi juga merupakan bentuk upaya untuk mencegah erosi terhadap prinsip profesionalitas dan netralitas Polri.
Dengan mengedepankan kepatuhan terhadap hukum, pemerintah dapat memperkuat legitimasi institusinya di hadapan publik, serta menciptakan kepercayaan yang lebih besar terhadap lembaga-lembaga negara
Pelanggaran terhadap konstitusi tidak selalu terjadi secara frontal. Sering kali ia berlangsung lewat regulasi teknis, keputusan administratif, atau penafsiran yang memelintir makna putusan peradilan.
Dalam kasus ini, Perpol 10/2025 menjadi contoh bagaimana aturan internal dapat menggeser batas-batas konstitusional secara perlahan, tapi signifikan.
Ketika MK telah mengeluarkan putusan final, yang dibutuhkan bukanlah perdebatan panjang, melainkan kepatuhan. Mengabaikannya berarti membiarkan marwah negara hukum terkikis sedikit demi sedikit.
Polri membutuhkan kepercayaan publik untuk menjalankan tugasnya. Kepercayaan itu hanya dapat bertahan jika institusi kepolisian menunjukkan komitmen terhadap prinsip dasar negara hukum.
Indonesia bukan negara polisi. Indonesia adalah negara hukum. Karena itu, langkah apa pun yang berpotensi mengaburkan batas antara kekuasaan sipil dan aparat harus dihentikan.
Tugas negara hari ini bukan hanya memperkuat supremasi hukum, tetapi juga memastikan bahwa tidak ada lembaga yang berdiri di atas konstitusi.
Dalam setiap langkah kita menuju keadilan, sangat jelas bahwa hukum harus menjadi penuntun, bukan sekadar aturan yang bisa diabaikan.
Ketika lembaga-lembaga negara mulai mengabaikan putusan hukum, kita bukan hanya menghadapi ancaman terhadap integritas institusi, tetapi juga mengorbankan kepercayaan masyarakat yang telah dibangun dengan susah payah.
Masyarakat berhak mendapatkan penegakan hukum yang adil dan bijaksana, serta aparat yang mampu menjaga netralitasnya dalam setiap keputusan.
Pada akhirnya, saatnya bagi kita semua untuk bersuara, menantang setiap bentuk pembangkangan hukum yang merusak fondasi konstitusi.
Marilah kita bergerak bersama, mendorong pemerintah dan lembaga terkait untuk kembali pada prinsip-prinsip yang mendasar, demi masa depan yang lebih baik dan berkeadilan. Polisi kembalilah mengayomi bukan menguasai.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/12/12/693c3c78ec7fd.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
6 Pengeroyok Mata Elang di Kalibata hingga Tewas adalah Anggota Yanma Mabes Polri Megapolitan 12 Desember 2025
6 Pengeroyok Mata Elang di Kalibata hingga Tewas adalah Anggota Yanma Mabes Polri
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Polisi mengungkap bahwa enam pelaku pengeroyokan mata elang atau
debt collector
yang menewaskan dua orang di TMP Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, pada Kamis (11/12/2025), merupakan anggota Satuan Pelayanan Markas (Yanma) Mabes Polri.
Adapun pengeroyokan ini memicu kerusuhan di sekitar lokasi, termasuk pembakaran lapak dan kios pedagang di Kalibata.
“Adapun keenam tersangka tersebut anggota satuan pelayanan markas di Mabes Polri,” tutur Karo Penmas Polda Metro Jaya Brigjen Trunoyudo dalam konferensi pers, Jumat (12/12/2025) malam.
Adapun identitas keenam pelaku adalah Brigadir IAM, Bripda JLA, Bripda RGW, Bripda IAB, Bripda BN, dan Bripda AM.
Keenam anggota Polri ini dijerat Pasal 170 ayat 3 KUHP tentang pengeroyokan yang mengakibatkan korban meninggal, dan juga diduga melanggar Kode Etik Profesi Polri.
Keenamnya juga dinyatakan melanggar kode etik profesi Polri dengan level berat.
“Berdasarkan alat bukti telah cukup melanggar kode etik profesi polri,” kata Trunoyudo.
Adapun sidang Komisi Kode Etik dijadwalkan berlangsung pada Rabu, 17 Desember 2025.
Menurut Trunoyudo, polisi telah melakukan langkah-langkah intensif sejak kejadian, termasuk olah TKP, pemeriksaan 12 saksi, pengecekan rekaman CCTV, pendataan kerugian warga, pengamanan lokasi, serta pendampingan keluarga korban.
“Polri berkomitmen untuk serius mengungkap kasus kriminal kepada siapa pun dan tidak pandang bulu. Kami akan menjalankan proses penegakan hukum secara transparan, profesional, dan proporsional,” ungkap Trunoyudo.
Sebelumnya, dua pria yang diduga debt collector atau mata elang dianiaya hingga satu di antaranya meninggal dunia di Jalan Raya Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (11/12/2025).
Peristiwa bermula ketika kedua pria tersebut menghentikan seorang pengendara sepeda motor. Melihat hal itu, lima orang dari sebuah mobil yang berada di belakang turun untuk membantu pengendara motor tersebut.
“Nah, setelah diberhentiin, tiba-tiba pengguna mobil di belakangnya membantu,” kata Kapolsek Pancoran Komisaris Mansur, saat dikonfirmasi, Kamis.
Berdasarkan kesaksian warga, kelima orang itu kemudian memukuli dua pria tersebut dan menyeret mereka ke pinggir jalan.
Kematian salah satu mata elang memicu kemarahan rekan-rekannya, yang kemudian meluapkan amarah dengan merusak serta membakar lapak dan kios pedagang di sekitar lokasi pengeroyokan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/12/12/693c3c78ec7fd.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
6 Polisi Langgar Kode Etik Berat Usai Keroyok Mata Elang di Kalibata Megapolitan 12 Desember 2025
6 Polisi Langgar Kode Etik Berat Usai Keroyok Mata Elang di Kalibata
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Enam anggota Polri berinisial JLA, RGW, IAB, IAM, BN, dan AN, dinyatakan melanggar kode etik berat setelah terlibat dalam pengeroyokan dua mata elang (matel) di area parkir Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (11/12/2025).
“Berdasarkan alat bukti telah cukup melanggar
kode etik
profesi polri,” ujar Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Jumat (12/12/2025).
Keenamnya berasal dari satuan pelayanan markas di Mabes Polri. Mereka juga dijerat Pasal 170 ayat (3) KUHP tentang pengeroyokan yang mengakibatkan korban meninggal dunia.
“Enam tersangka tersebut anggota satuan pelayanan markas di Mabes Polri,” ujar Trunoyudo.
Enam anggota Polri itu sebelumnya ditangkap setelah penyidik melakukan pemeriksaan dan pendalaman terhadap kasus pengeroyokan yang menewaskan dua matel berinisial MET dan NAT.
“Polri telah melakukan pengejaran para pelaku dari hasil penyelidikan intensif, dan kemudian sampai saat ini mengamankan enam orang terduga pelaku untuk penyidikan,” kata Trunoyudo.
Kronologi Pengeroyokan
Sebelumnya, dua pria yang diduga debt collector atau mata elang dianiaya hingga satu di antaranya meninggal dunia di Jalan Raya Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (11/12/2025).
Peristiwa bermula ketika kedua pria tersebut menghentikan seorang pengendara sepeda motor. Melihat hal itu, lima orang dari sebuah mobil yang berada di belakang turun untuk membantu pengendara motor tersebut.
“Nah, setelah diberhentiin, tiba-tiba pengguna mobil di belakangnya membantu,” kata Kapolsek Pancoran Komisaris Mansur, saat dikonfirmasi, Kamis.
Berdasarkan kesaksian warga, kelima orang itu kemudian memukuli dua pria tersebut dan menyeret mereka ke pinggir jalan.
Akibat pengeroyokan itu, kedua pria tersebut tewas.
Kematian mata elang itu memicu kemarahan rekan-rekannya, yang kemudian meluapkan amarah dengan merusak serta membakar lapak dan kios pedagang di sekitar lokasi pengeroyokan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/12/05/6932e09e1b4c3.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2015/06/30/1420471011-fot0149780x390.JPG?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/09/6938199f5f1ad.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)