Patuhi Putusan MK, Hentikan Pembelokan Tafsir
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
PUTUSAN
Mahkamah Konstitusi (MK) idealnya menjadi garis finis perdebatan, bukan garis start negosiasi politik.
Ketika MK menghapus dasar hukum penugasan anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil, publik berharap babak baru tata kelola pemerintahan tanpa rangkap jabatan segera dimulai.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya: setelah putusan dibacakan, bukan kepatuhan yang mengemuka, melainkan penafsiran.
Pemerintah menyatakan
putusan MK
tidak berlaku surut sehingga polisi aktif yang sudah menduduki jabatan sipil tidak perlu mundur. Tafsir ini tentu terasa nyaman bagi pejabat—tetapi jauh lebih nyaman daripada bagi konstitusi.
Kita seperti menyaksikan negara tunduk pada hukum hanya ketika hukum tidak mengusik kenyamanan kekuasaan.
Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 jelas dan terang: anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
MK menutup celah “penugasan Kapolri” yang selama ini dipakai untuk menempatkan anggota Polri aktif di jabatan sipil tanpa memutus status keanggotaannya. Ini bukan sekadar urusan teknis penempatan pejabat. Ini adalah pilar demokrasi.
Birokrasi sipil seharusnya berjalan dalam logika pelayanan publik, bukan logika komando. Ketika pejabat bersenjata aktif bertugas di pejabat sipil, maka garis pembatas antara negara koersif dan negara administratif perlahan melebur. Demokrasi tidak berubah dalam sekejap, tetapi berubah perlahan—setiap kali celah dibiarkan.
Putusan MK mengembalikan desain dasar kelembagaan: Polri adalah penegak hukum, bukan mitra politik eksekutif dalam mengelola kekuasaan administratif. Norma ini bukan sekadar batang tubuh undang-undang, tetapi etika kekuasaan dalam negara hukum.
Polemiknya tajam ketika pemerintah menyatakan
putusan MK tidak berlaku surut dan hanya mengikat pengangkatan polisi aktif ke jabatan sipil setelah putusan diterapkan.
Artinya, pejabat Polri aktif yang sudah menjabat jabatan sipil boleh tetap duduk, kecuali jika Polri menarik mereka.
Secara retoris, tafsir ini terdengar hukumiah. Namun, secara substansi, ini melahirkan paradoks: bagaimana mungkin fondasi hukum bagi rangkap jabatan dinyatakan inkonstitusional, tetapi jabatan yang berdiri di atas fondasi inkonstitusional itu dianggap sah untuk dilanjutkan?
Bila dasar hukumnya runtuh, konsekuensinya semestinya mengikuti.
Illegal foundation cannot create legal consequences.
Ya, putusan MK memang berlaku
pro futuro
. Namun,
pro futuro
tidak berarti membiarkan pelanggaran norma ketika pelanggaran itu diketahui.
Sama seperti seseorang tidak diperbolehkan terus mengendarai mobil tanpa SIM hanya karena ia sudah telanjur mengendarainya sebelum aturan ditegakkan.
Tafsir pemerintah yang memperlunak dampak putusan MK adalah bentuk “kepatuhan nominal”—taat pada bunyi putusan, tetapi menghindari konsekuensinya.
Jika tafsir pemerintah dibiarkan, dampak putusan MK akan mengecil jauh di bawah bobot yang seharusnya. Birokrasi sipil akan tetap dipimpin oleh personel Polri aktif tanpa kepastian batas otoritas; garis komando akan bercampur dengan garis administrasi.
Pejabat sipil tunduk pada UU ASN, sementara pejabat Polri tunduk pada mekanisme etik internal kepolisian.
Situasi ini menciptakan ruang abu-abu: siapa yang sesungguhnya mengawasi siapa? Model akuntabilitas menjadi kabur, sementara sentralitas kewenangan cenderung berpindah perlahan ke institusi bersenjata.
Lebih jauh, orientasi kebijakan publik dapat melenceng secara diam-diam dari logika pelayanan menjadi logika penegakan.
Ketika pejabat yang berangkat dari kultur koersif menduduki lingkup administratif, perspektif keamanan berpotensi mendominasi urusan yang sejatinya bertumpu pada tata kelola sipil: ketenagakerjaan, kesejahteraan sosial, perizinan usaha, pendidikan, hingga kesehatan.
Birokrasi akan mengelola masyarakat seolah-olah masyarakat adalah objek pengawasan, bukan subjek pelayanan.
Sejarah menunjukkan bahwa demokrasi tidak merosot dalam satu kehancuran besar, melainkan dalam sejumlah kecil kelonggaran yang terasa biasa.
Membiarkan anggota Polri aktif tetap memimpin jabatan sipil berarti menormalkan pengecualian, dan pengecualian yang dinormalkan perlahan berubah menjadi praktik.
Jika pengecualian itu tidak dihentikan sekarang, kekuasaan koersif bisa menjelma kekuatan administratif yang sah secara praktik, meski tidak sah secara konstitusional.
Dengan kata lain, konsekuensi tidak langsung dari tafsir pemerintah bukan hanya kelanjutan rangkap jabatan, melainkan pergeseran desain negara: dari tata kelola sipil yang sehat menjadi tata kelola yang bertumpu pada logika kepolisian.
Dan pergeseran itu hampir selalu terjadi tanpa gejolak—karena berlangsung dengan cara yang tampak legal, tapi substansinya melemahkan prinsip negara hukum.
Indonesia sudah memiliki pembelajaran penting dalam hubungan sipil–militer. UU TNI mengatur secara limitatif jabatan sipil yang boleh diduduki prajurit aktif, dan semangat desainnya adalah pengecilan ruang, bukan pembukaan peluang.
Namun yang terjadi pada Polri justru sebaliknya: polanya bukan pembatasan, melainkan penormalan. Tafsir pemerintah terhadap putusan MK seakan menyiratkan: “Kita patuh, tetapi nanti dulu.”
Inilah preseden yang berbahaya. Bila tafsir pemerintah ditegakkan, maka putusan MK tidak lagi memutus persoalan—ia hanya menunggu diinterpretasi sesuai kebutuhan kekuasaan.
Padahal, prinsip
final and binding
justru diciptakan agar MK menjadi rem terakhir, bukan hiasan dalam sistem ketatanegaraan.
Jika pemerintah ingin menunggu revisi UU Polri terlebih dahulu sebelum menarik anggota Polri dari jabatan sipil, maka untuk apa MK bersusah payah membatalkan frasa penugasan? Putusan MK dibiarkan hidup, tetapi tidak bekerja.
Kepatuhan konstitusional ukurannya bukan sekadar “apakah negara menjalankan putusan MK”, tetapi “kapan negara menjalankannya”.
Hukum seringkali mengganggu kenyamanan. Namun, itulah tujuan hukum: mengekang kekuasaan, bukan memanjakannya.
Ketika pemerintah bertanya, “Kalau yang sudah menjabat bagaimana?”, konstitusi menjawab dengan sederhana: apakah jabatan itu berdiri di atas norma yang sah? Jika tidak, maka melanjutkannya adalah pilihan politik, bukan pilihan hukum.
Demokrasi membutuhkan teladan. Ketika lembaga tertinggi penafsir konstitusi sudah mengeluarkan putusan, maka tugas cabang kekuasaan lain adalah mengeksekusi, bukan menyeleksi dampaknya.
Kepatuhan setengah hati tidak pernah menghasilkan negara hukum; ia hanya menghasilkan negara yang memilih kapan hukum harus ditaati.
Pada tahap ini, semua mata tertuju pada Presiden Prabowo Subianto. Tidak ada lembaga lain yang memiliki otoritas dan legitimasi untuk memerintahkan transisi jabatan secara sistemik.
Penarikan anggota Polri aktif dari jabatan sipil dapat dilakukan secara bertahap, dengan tenggat yang jelas, tanpa menciptakan kevakuman pemerintahan.
Komisi Percepatan Reformasi Polri dapat menjadi mesin penggerak, bukan sekadar forum diskusi. Transisi adalah jantung reformasi. Bila Komisi hanya terjebak pada penyusunan daftar lembaga mana yang boleh diisi Polri, maka reformasi akan berakhir hanya sebagai agenda teknokratis, bukan koreksi demokratis.
Yang ditunggu publik bukan pidato, bukan konferensi pers—melainkan keputusan eksekusi. Supremasi konstitusi hanya berarti apabila negara memilih kewajiban hukum di atas kenyamanan politik.
Putusan MK seharusnya dibaca sebagai peluang langka untuk memperbaiki desain demokrasi Indonesia, bukan sebagai beban yang harus ditangguhkan hingga tidak lagi terasa.
Dengan menegaskan jabatan sipil hanya dapat diisi setelah anggota Polri mengundurkan diri atau pensiun, MK memberikan kesempatan kepada negara untuk mengembalikan batas-batas yang selama ini dilanggar secara senyap.
Namun tafsir pemerintah yang membiarkan pejabat yang terlanjur menjabat tetap berada di kursi kekuasaan justru mengubah kesempatan koreksi menjadi perpanjangan status quo.
Jabatan sipil yang seharusnya diisi oleh mereka yang terikat kultur pelayanan publik tetap dipimpin oleh sosok yang mengemban identitas koersif, dan publik diminta mempercayai bahwa hal itu hanyalah persoalan administratif.
Kesempatan yang diberikan MK sebenarnya bukan sekadar kesempatan untuk mematuhi hukum, tetapi untuk mengoreksi arah negara.
Presiden memiliki ruang legitimasi politik untuk menunjukkan keberanian: menarik anggota Polri dari jabatan sipil secara terukur, menetapkan masa transisi yang manusiawi, dan memastikan birokrasi kembali ke tangan pejabat yang tunduk pada mekanisme akuntabilitas sipil.
Bila kesempatan ini digunakan, negara mengambil langkah maju dalam menguatkan demokrasi. Namun, jika kesempatan ini dibiarkan berlalu, sejarah akan mencatat bahwa pemerintah memilih kemudahan politik, alih-alih kedisiplinan konstitusional.
Yang menjadi penentu bukan isi putusan MK, melainkan respons negara atas putusan itu. Demokrasi selalu diuji pada momen ketika hukum mengusik kenyamanan kekuasaan.
Di titik seperti inilah bangsa dapat melihat siapa yang benar-benar siap menegakkan konstitusi: mereka yang bersuara keras tentang konstitusi, atau mereka yang berani mengambil tindakan ketika hukum menuntut koreksi yang tidak populer.
Kesempatan untuk menunjukkan keteladanan ada di depan mata, dan keberanian untuk mengambilnya akan menentukan arah republik ini—apakah melangkah maju atau kembali berjalan di tempat dengan janji reformasi yang hanya menjadi wacana tanpa tindakan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Category: Kompas.com
-
/data/photo/2023/09/11/64fe8285acaaa.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
5 Benang Kusut Persoalan PPPK Jadi PNS Nasional
Benang Kusut Persoalan PPPK Jadi PNS
Mahasiswa Magister FIA UI
TUNTUTAN
untuk mengangkat tenaga kontrak – dahulu tenaga honorer, saat ini Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) – menjadi tenaga tetap (Pegawai Negeri Sipil) adalah kisah yang tidak ada habisnya dalam birokrasi kita.
Belakangan, isu ini kembali mencuat tatkala DPR RI membuka wacana peralihan status PPPK menjadi PNS dalam revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 (
Kompas.com
, 31/10/25).
Telah menjadi rahasia umum bahwa mandeknya penyelesaian penataan tenaga honorer berakar dari praktik nepotisme serta politik balas budi dalam proses rekrutmen tenaga non-ASN.
Fenomena ini sebelumnya juga disinggung oleh Rini Widyantini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi II DPR RI (5/3/2025).
Ia menyampaikan bahwa pegawai non-ASN muncul salah satunya akibat ketidakdisiplinan instansi di dalam rekrutmen terutama karena Pilkada. Kepala daerah cenderung melakukan perekrutan tenaga honorer sebagai imbas dari proses pemenangan Pilkada. Hal ini juga berlaku kepada kementerian/lembaga dalam skala lebih kecil.
Dalam kesempatan sama, Rini juga menyoroti bahwa “pelarangan rekrutmen tenaga honorer pada peraturan yang lalu tidak dilengkapi dengan sanksi yang kuat”.
Akibatnya, seperti menimba air dengan ember bocor, meskipun telah dilakukan berbagai upaya penataan dan pengangkatan tenaga honorer secara bertahap menjadi pegawai tetap, praktik rekrutmen tenaga honorer baru terus berulang di waktu yang sama.
Pemerintah sebenarnya telah berulang kali berupaya menyelesaikan problematika penataan tenaga honorer melalui berbagai kebijakan dan regulasi.
Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2005 yang mengatur mekanisme pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS secara bertahap.
Namun, regulasi tersebut belum sepenuhnya mampu menyelesaikan persoalan tenaga honorer sehingga menjadi warisan bagi pemerintahan berikutnya.
Pada era Jokowi, kebijakan penataan tenaga non-ASN dilakukan melalui UU Nomor 20 Tahun 2023 yang secara tegas, dalam pasal 66, menyatakan bahwa penataan pegawai non-ASN atau sebutan lainnya wajib diselesaikan paling lambat Desember 2024, serta melarang instansi pemerintah untuk mengangkat pegawai non-ASN.
Sebagai tindak lanjut dari amanat undang-undang tersebut, Kementerian PAN-RB kemudian merumuskan kebijakan rekrutmen PPPK yang diperuntukkan hanya untuk tenaga non-ASN yang telah bekerja di instansi pemerintah.
Meskipun penataan tenaga non-ASN melalui pengangkatan menjadi PPPK telah terlaksana, kebijakan ini justru memunculkan permasalahan baru di kemudian hari.
Hal tersebut disebabkan oleh manajemen PPPK yang belum memiliki jenjang karier, jaminan pensiun, serta mekanisme mutasi kerja yang setara dengan PNS.
Kondisi ini menimbulkan rasa ketidakadilan di kalangan PPPK dan mendorong munculnya tuntutan agar status mereka dapat diubah secara otomatis menjadi PNS.
Tuntutan tersebut tercermin dalam petisi berjudul “Jadikan PPPK Menjadi PNS Demi Keadilan dan Kepastian Karier” di platform Change.org, yang hingga artikel ini ditulis telah ditandatangani oleh 13.547 orang.
Berlawanan dengan petisi tersebut, muncul pula “Petisi Tolak Pengalihan PPPK Menjadi PNS di Indonesia” yang sudah sudah memperoleh 12.232 tanda tangan.
Reformasi birokrasi yang bergulir sejak era reformasi telah melahirkan prinsip
meritokrasi
dalam penyelenggaraan manajemen ASN. Namun, tanpa keberanian dan komitmen politik yang kuat, sistem merit hanya akan menjadi jargon kosong.
Perjalanan panjang kebijakan penataan tenaga honorer yang telah dilakukan sejak 2005, tapi masih menyisakan polemik hingga hari ini, menunjukkan pemerintah belum sepenuhnya mengambil langkah berani.
Selama ini, pemerintah cenderung memilih solusi jangka pendek guna menghindari gejolak politik, ekonomi, dan sosial.
Hal ini tampak dari berbagai kebijakan yang justru menurunkan standar kompetensi dalam proses rekrutmen ASN melalui jalur khusus tenaga non-ASN.
Misalnya, penetapan formasi afirmasi sehingga seleksi hanya menjadi formalitas; peniadaan
passing grade;
hingga penerbitan regulasi baru yang berulang untuk melonggarkan aturan.
Kondisi ini seakan menunjukkan tunduknya kebijakan pemerintah pada jerat kepentingan di balik pengangkatan tenaga non-ASN.
Padahal, jika pemerintah berkomitmen mewujudkan visi tata kelola pemerintahan kelas dunia, maka dibutuhkan keberanian untuk menerapkan rekrutmen berbasis kompetensi melalui proses seleksi yang objektif dan kompetitif.
Kita patut mengambil pelajaran dari Vietnam tentang bagaimana mengambil kebijakan yang berani demi tujuan jangka panjang.
Pada 2025, pemerintah Vietnam melakukan reformasi besar-besaran dengan memangkas sekitar 15–20 persen aparatur negara.
Menurut Pemerintah Vietnam, badan atau lembaga negara tidak boleh menjadi tempat berlindung yang aman bagi para pejabat yang tidak kompeten. (
Kompas.id
, 18/2/2025)
Restrukturisasi birokrasi besar-besaran tersebut diperkirakan akan memberikan dampak yang signifikan terhadap ekonomi politik Vietnam. (Nguyen Khac Giang, 2025).
Meskipun sistem politik Vietnam berbeda dengan Indonesia yang menganut sistem multi-partai, komitmen dan keseriusan pemerintah Vietnam dalam meningkatkan efisiensi pemerintahan serta mengurangi hambatan birokrasi patut menjadi contoh yang layak ditiru, mengingat dampaknya yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah perlu melakukan kajian komprehensif terhadap keberlanjutan skema PPPK dalam sistem kepegawaian nasional.
Konsep PPPK yang saat ini dijalankan telah melenceng jauh dari desain awalnya, yang sejatinya dimaksudkan sebagai mekanisme untuk merekrut talenta unggul dari luar pemerintahan melalui sistem kontrak yang fleksibel.
Momentum revisi UU ASN perlu dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menata kembali manajemen kepegawaian.
Jika pemerintah ingin mempertahankan keberadaan PPPK dalam kerangka UU ASN, maka diperlukan desain ulang terhadap skema PPPK, terutama dari aspek pengadaannya yang berbasis pada kebutuhan jabatan tertentu yang sesuai dengan karakteristiknya — bukan melalui rekrutmen massal yang menyamaratakan seluruh jabatan dapat diisi oleh PPPK seperti dilakukan saat ini.
Paling penting, pelaksanaan rekrutmen PPPK harus dikembalikan pada filosofi awal untuk menarik talenta profesional dari luar instansi pemerintah.
Selanjutnya, untuk memastikan terpenuhinya prinsip keadilan, desain manajemen PPPK yang baru turut memasukkan aspek pemberian jaminan pensiun serta peluang pengembangan karier yang disesuaikan dengan karakteristik kepegawaian PPPK.
Sebaliknya, apabila pemerintah ingin menerapkan sistem kepegawaian tunggal yang hanya mengenal PNS, maka kebijakan tersebut harus diiringi dengan komitmen dan kedisiplinan tinggi dalam penyelenggaraan seleksi PNS yang berbasis sistem merit.
Ide mengangkat PPPK menjadi PNS tanpa tes merupakan bentuk pengabaian terhadap sistem merit yang telah dibangun dengan susah payah.
Pemerintah harus berani mengambil langkah tegas dengan menerapkan standar kompetensi yang jelas, sekaligus memastikan adanya mekanisme seleksi yang dapat menilai secara adil pengalaman berharga PPPK yang selama ini telah berkontribusi terhadap kinerja organisasi.
Pemerintah dapat mengadaptasi langkah strategis yang telah ditempuh oleh Vietnam dalam upaya memangkas
red tape
dan menciptakan birokrasi yang lincah, yakni dengan berani mengurangi pegawai yang tidak memiliki kompetensi atau tidak menunjukkan kinerja memadai.
Apabila terdapat PPPK yang tidak lulus seleksi, maka pemerintah harus berani mengambil keputusan untuk memberhentikan pegawai tersebut secara profesional, tanpa memandang pengaruh politik yang mungkin mendukungnya.
Sebagai bentuk penghargaan atas dedikasi PPPK yang telah lama mengabdi, tapi belum lulus seleksi, guna menghindari gejolak berkepanjangan, pemerintah dapat menyediakan pemberian pesangon yang layak.
Kebijakan seperti ini jauh lebih menguntungkan dalam jangka panjang dibandingkan mempertahankan pegawai yang tidak memenuhi kriteria maupun standar kompetensi.
Proses rekrutmen merupakan tahap awal yang menentukan kualitas birokrasi. Pasalnya, manajemen kepegawaian mencakup siklus panjang mulai dari perencanaan kebutuhan, rekrutmen, pengembangan kompetensi, pemberian kompensasi baik finansial maupun nonfinansial, hingga pemenuhan hak atas jaminan pensiun.
Kesalahan dalam proses rekrutmen akan berdampak fatal – bukan hanya menurunkan kinerja organisasi, tetapi juga membebani anggaran negara yang seharusnya dapat dialokasikan untuk kepentingan publik yang lebih produktif.
Persis seperti apa yang dikatakan oleh Jim Collins dalam bukunya
Good to Great
(2014), orang yang tepat merupakan aset terpenting organisasi.
Transformasi menuju organisasi yang hebat dimulai dengan upaya mencari dan menempatkan orang yang tepat. Sebab, sisi yang hebat sekalipun akan menjadi sia-sia tanpa kehadiran orang-orang hebat di dalamnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/04/24/6809b81647e60.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
10 DK PBB Setujui Ide Trump, Pengiriman Pasukan Perdamaian ke Gaza Tunggu Titah Prabowo Nasional
DK PBB Setujui Ide Trump, Pengiriman Pasukan Perdamaian ke Gaza Tunggu Titah Prabowo
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Kementerian Pertahanan (Kemenhan) menegaskan bahwa pengiriman pasukan perdamaian ke Gaza, Palestina, masih menunggu instruksi Presiden Prabowo Subianto.
Hal ini disampaikan merespons Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyetujui rancangan pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengenai mekanisme keamanan dan pemerintahan di
Gaza
dengan pengerahan pasukan internasional.
“Seluruh keputusan tetap berada pada arahan Presiden,” ujar Kepala Biro Informasi Pertahanan Kemenhan Kolonel TNI Arm Rico Ricardo Sirait saat dikonfirmasi, Rabu (19/11/2025).
Hanya saja, Rico menekankan bahwa pemerintah Indonesia bersikap siap sesuai kapasitas dan pengalaman panjang dalam misi perdamaian.
Sambil menunggu keputusan
Prabowo
, pemerintah kini fokus pada penyiapan internal di Kemhan dan TNI, mulai dari pemetaan kebutuhan pasukan hingga kesiapan logistik dan kemampuan yang diperlukan untuk operasi stabilisasi yang kompleks.
“Menhan juga sudah menegaskan, Indonesia bisa terlibat apabila terpenuhi salah satu dari dua landasan, yaitu adanya mandat langsung dari PBB atau persetujuan dari Amerika Serikat sebagai pihak yang mendorong pembentukan pasukan stabilisasi internasional di bawah rencana yang saat ini sedang dibahas,” kata dia.
Di sisi lain, Rico mengonfirmasi bahwa belum ada penetapan jadwal pemberangkatan
pasukan perdamaian
ke Gaza.
“Walaupun PBB sudah mengadopsi resolusi yang membuka peluang pengerahan pasukan internasional, keputusan politik nasional tetap menjadi faktor penentu,” ucap Rico.
Oleh karena itu, seluruh mekanisme dan rencana sementara masih dibahas secara internal di Kemenhan dan TNI sambil menunggu keputusan Prabowo terkait waktu, bentuk kontribusi, dan skema keterlibatan Indonesia.
Dewan Keamanan PBB
pada Senin (17/11/2025) menyetujui rancangan pemerintahan Presiden AS Donald Trump mengenai mekanisme keamanan dan pemerintahan di Gaza.
Langkah ini dinilai krusial karena menegaskan dukungan internasional untuk menstabilkan Gaza setelah dua tahun perang.
Resolusi yang diajukan AS mengesahkan pembentukan pasukan stabilisasi internasional untuk mengamankan Gaza, menyetujui pembentukan otoritas transisi di bawah pengawasan pemerintahan Trump, serta membuka peluang bagi terbentuknya negara Palestina merdeka di masa depan.
Pemungutan suara ini memberi dukungan internasional bagi rencana gencatan senjata 20 poin Trump dan memperkuat momentum gencatan senjata rapuh yang sebelumnya dimediasi Washington bersama sejumlah sekutu.
Keputusan tersebut menjadi langkah penting bagi upaya AS menguraikan masa depan Gaza setelah perang Israel-Hamas menghancurkan sebagian besar wilayah dan menewaskan puluhan ribu orang.
Resolusi ini mengatur pembentukan Dewan Perdamaian sebagai otoritas transisi yang akan dipimpin Trump, namun struktur lengkapnya belum dibentuk.
Mandat luas diberikan kepada pasukan stabilisasi internasional untuk mengawasi perbatasan, menjaga keamanan, dan melaksanakan demiliterisasi, dengan otorisasi yang berlaku hingga akhir 2027.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/11/19/691d16f73dd15.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
2 Curhat Panjang Lebar, Seorang Bapak Baru Sadar Ngobrol dengan Gibran Nasional
Curhat Panjang Lebar, Seorang Bapak Baru Sadar Ngobrol dengan Gibran
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Seorang bapak yang sedang berobat di RSUD Kepulauan Seribu baru menyadari dirinya berbincang dengan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Momen menggelitik itu terjadi ketika Gibran melakukan kunjungan kerja di
Pulau Pramuka
untuk meninjau RSUD Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Selasa (18/11/2025).
Mulanya, bapak tersebut curhat bahwa matanya yang kanan terasa tidak nyaman setelah ia mengonsumsi buah melon dan pepaya.
“Makan buah, melon sama pepaya. Malamnya makan itu langsung terasa mata kanan saya,” kata bapak tersebut, berdasarkan video yang diperoleh
Kompas.com.
Tiba-tiba, ia berucap kembali dan baru menyadari dengan siapa dia berbincang sedari tadi.
“Ini Pak Gibran ya? Aduh..,” kata dia lalu menjabat tangan Gibran.
“Saya dengar dari suaranya,” imbuh dia.
Gibran lalu mengecek keadaan bapak tersebut.
Ia melihat kedua kaki bapak itu tampak bengkak karena ada riwayat
diabetes
.
Wapres menyarankan bapak tersebut untuk menghindari makanan manis.
“Oh riwayat (diabetes) kakinya bengkak? Kiri dan kanan? Oh habis makan ini ya manis, harus dihindari, Pak. Sudah tes darah?” tanya Gibran.
“Sudah, kalau gula darah enggak terlalu tinggi, 200, atau 170, pernah 300an dulu,” jawab bapak itu.
Bapak tersebut lalu curhat kembali dan mengaku sudah mual minum obat setiap hari.
“Saya sebenarnya sudah enek minum obat,” ujar dia.
“Oh jangan, Pak. Harus diminum setiap hari. Ini berarti lagi kumat? Yang mata kiri atau kanan? Ini Bapak pakai KIS?” tanya Gibran.
Bapak tersebut mengaku mendapatkan undangan dari puskesmas setempat untuk berobat di
RSUD Kepulauan Seribu
.
Menutup pembicaraan, Gibran lalu berpesan agar bapak tersebut kembali dicek gula darahnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/10/03/68dfb1d6e64d5.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Puan soal KUHAP Baru: Prosesnya Berjalan Hampir 2 Tahun, Banyak Masukan dari 2023
Puan soal KUHAP Baru: Prosesnya Berjalan Hampir 2 Tahun, Banyak Masukan dari 2023
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
– Rapat Paripurna DPR RI Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025-2026 menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
Ketua
DPR
RI,
Puan Maharani
menjelaskan bahwa RUU
KUHAP
itu sudah dibahas oleh
Komisi III DPR
RI sejak tahun 2023.
“Tadi seperti yang disampaikan dalam rapat paripurna oleh ketua Komisi III bahwa proses ini sudah berjalan hampir dua tahun,” ujar
Puan
, di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa (18/11/2025), dikutip dari video
Tribunnews
.
Puan juga menegaskan bahwa pembahasan RUU tersebut sudah melibatkan banyak pihak untuk memberi masukan sebagai bentuk dari partisipasi yang bermakna (meaningful participation).
“Sudah dari kurang lebih menerima 130 masukan, kemudian sudah muter-muter di beberapa banyak wilayah Indonesia, Yogya (Yogyakarta), Sumatera, Sulawesi, dan lain-lain sebagainya,” kata Puan, dikutip dari
Antaranews
.
“Kemudian, sudah banyak sekali masukan terkait dengan hal ini dari tahun 2023. Jadi porsesnya itu sudah panjang,” ujarnya lagi.
Diketahui,
Koalisi Masyarakat Sipil
untuk Pembaruan KUHAP merasa pihaknya dicatut dalam pembahasan
RUU KUHAP
yang berlangsung di Komisi III DPR RI.
Lebih lanjut, Puan menyebut, KUHAP yang baru itu mengganti penggunaan KUHAP lama yang sudah berusia 44 tahun.
Oleh karena itu menurut dia, masalah-masalah hukum yang terjadi dalam 44 tahun terakhir tidak bisa diselesaikan jika RUU KUHAP tidak disahkan.
Puan menjelaskan, sudah banyak hal-hal yang diperbaharui dalam RUU
KUHAP baru
tersebut. Salah satunya, pembaruan sistem hukum yang mengikuti perkembangan zaman saat ini.
Namun, sehari sebelum
RUU KUHAP disahkan
, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP mengatakan bahwa namanya dicatut terkait pembahasan RUU tersebut. Sebab, merasa aspirasi mereka tidak dibacakan sebagaimana mustinya di rapat DPR.
Koalisi tersebut terdiri dari Yayasan Lembaga Bantun Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Lembaga Bantuan Hukum APIK, Lokataru Foundation, Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas, dan AJI.
“Manipulasi Partisipasi Bermakna, Pencatutan Nama Koalisi dan Kebohongan DPR: Presiden Mesti Tarik Draf RUU KUHAP!” demikian bunyi siaran pers dari Koalisi pada Senin, 17 November 2025.
Dalam keterangan tersebut, mereka menyebut bahwa proses rapat Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP hanya berlangsung dua hari yakni 12 dan 13 November 2025.
Kemudian, dalam dua hari tersebut, Pemerintah dan Komisi III DPR RI membahas masukan pasal yang diklaim berasal dari masukan masyarakat sipil.
“Sebagian masukan yang dibacakan dalam rapat Panja tersebut ternyata tidak akurat dan bahkan memiliki perbedaan substansi yang signifikan dengan masukan-masukan yang kami berikan melalui berbagai kanal, antara lain melalui rapat dengar pendapat umum (RDPU) atau melalui penyerahan draf RUU KUHAP tandingan atau dokumen masukan lainnya kepada DPR dan Pemerintah,” kata Koalisi.
Bukan hanya membacakan aspirasi yang tidak akurat, Koalisi merasa telah dimanipulasi karena dalam rapat tersebut dimasukkan sejumlah pasal bermasalah atas nama mereka.
“Kami menilai Rapat Panja tersebut seperti orkestrasi kebohongan untuk memberikan kesan bahwa DPR dan Pemerintah telah mengakomodir masukan. Padahal ini adalah bentuk meaningful manipulation dengan memasukan pasal-pasal bermasalah atas nama koalisi atau organisasi masyarakat sipil,” ujar Koalisi.Koalisi pun menjabarkan sejumlah usulan yang disebut pihak DPR sebagai usulan Koalisi Masyarakat Sipil.
Ada pasal 222 draf RKUHAP soal perluasan alat bukti berupa pengamatan hakim, dan juga usulan penjelasan Pasal 33 ayat (2) draf RKUHAP mengenai definisi intimidasi yang terbatas pada penggunaan atau menunjukkan senjata atau benda tajam lainnya saat pemeriksaan.
“Tidak ada yang pernah mengajukan masukan tersebut atas nama koalisi, termasuk dalam draf tandingan versi Koalisi Masyarakat Sipil maupun dokumen masukan lainnya,” kata Koalisi.
Menurut catatan Koalisi, YLBHI disebut pihak DPR mengusulkan pasal baru untuk draf RKUHAP mengenai Perlindungan Sementara.
“YLBHI tidak pernah memberikan masukan redaksional atau usulan pasal baru mengenai Perlindungan Sementara dengan mekanisme yang ada dalam Draf RKUHAP terbaru,” ujar Koalisi.
Tak hanya ada keberatan dari Koalisi Masyarakat Sipil, proses pengesahan RUU KUHAP juga akan berujung pada pelaporan sejumlah anggota Komisi III DPR ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan, mengatakan pengaduan tersebut diajukan karena Koalisi melihat proses pembahasan yang tertutup dan tidak melibatkan publik secara substansial.
“Laporan atau pengaduan ini kami tempuh karena dalam proses panjang pembahasan KUHAP ini, setidak-tidaknya sejak bulan Mei 2025 lalu, kami tidak melihat proses ini dilandasi atau berbasis partisipasi publik yang bermakna,” ujar Fadhil dalam konferensi pers pada Minggu, 16 November 2025.
Dia mencontohkan undangan yang diterima Koalisi pada 8 Mei 2025, adalah diskusi informasi, namun kemudian diklaim sebagai rapat dengar pendapat umum (RDPU).
“Padahal dalam undangan, dalam perihal undangan dalam komunikasi tidak disebut sebagai RDPU,” tegasnya.
Kemudian, Wakil Ketua YLBHI, Arif Maulana menyebut bahwa Panja RUU KUHAP DPR RI telah mengabaikan ketentuan perundangan-undangan dalam proses legislasi.
“Para anggota Panja (RUU KUHAP) ini kami nilai melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, khususnya dalam konteks penyusunan legislasi,” ujarnya.
Koalisi menegaskan bahwa para anggota Komisi III diduga telah melanggar kode etik, AUPB, serta ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan dalam memproses RUU KUHAP.
Selain itu, pengaduan juga diajukan karena Revisi KUHAP ini tidak meaningful participation. Padahal, masyarakat sipil seharusnya mempunyai tiga hak: right to heard, right to consider, dan right to be explained.
Respons penolakan juga datang dari mahasiswa dari sejumlah universitas yang melakukan aksi demonstrasi saat pengesahan RUU KUHAP di DPR RI pada Selasa, 18 November 2025.
Mereka menyatakan akan melanjutkan tuntutan demonstrasi ke gugatan uji formil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, mereka menilai bahwa proses pembentukan undang-undang tersebut cacat prosedural dan manipulatif, serta tidak memenuhi unsur partisipasi publik yang bermakna.
Fitrah Aryo, Ketua BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) menyebut akan segera mengkaji kembali draf RUU KUHAP yang disahkan oleh DPR RI.
“Dugaan manipulasi dalam partisipasi bermakna ini menjadi celah bagi kami untuk mengkaji lebih dalam rencana gugatan uji formil ke Mahkamah Konstitusi,” kata Aryo kepada wartawan di lokasi, Selasa.
Aryo menyoroti adanya kecacatan prosedural dalam penyusunan RKUHAP yang dinilai sengaja memanipulasi masyarakat.
Manipulasi itu dilakukan oleh banyaknya organisasi masyarakat sipil yang namanya dicatut seolah-olah mengusulkan sejumlah pasal.
“Kalau UU TNI itu dibahas secara sembunyi-sembunyi, RKUHAP ini dibahas secara manipulatif. Ratusan organisasi, elemen masyarakat sipil dicatut namanya seakan bekerja sama, padahal itu partisipasi semu atau tokenisme,” ujarnya.
Menurut Aryo, dalam teori partisipasi publik, ada tiga syarat
meaningful participation
yaitu hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk dijelaskan.
“Yang pertama hak untuk didengar, iya dilakukan. Tapi hak untuk dipertimbangkan dan hak untuk dijelaskan itu tidak terpenuhi, usulan masyarakat enggak pernah dipertimbangkan dengan serius. Apalagi (hak) dijelaskan, ini katanya ada yang diakomodir ada yang tidak. Tapi, enggak dijelasin kan, mana yang enggak bisa diakomodasi, apa alasannya?” katanya.
Selain itu, Aryo mengungkapkan bahwa draf resmi RKUHAP baru dikeluarkan oleh DPR RI pada Selasa pagi, tepat sebelum pengesahan.
“Draf yang selama ini mungkin kita kritik adalah draf lama. Mereka menyembunyikan draf tersebut dan ketika hari pengesahan, ternyata mereka punya draf baru yang tentu perlu kita pelajari kembali,” ujarnya.
Oleh karena itu, mahasiswa akan fokus membedah draf final tersebut untuk memastikan apakah pasal-pasal krusial masih memuat ancaman yang sama sebelum resmi mendaftarkan gugatan ke MK.
Sebelum Ketua DPR RI Puan menegaskan perihal proses pembahasan RUU KUHAP yang telah dilakukan sejak 2023 dan telah melibatkan banyak pihak, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman membantah bahwa pihaknya telah mencatut nama Koalisi Masyarakat Sipil dalam pembahasan RUU KUHAP.
“Kami tegaskan enggak ada catut mencatut. Kami justru berupaya mengakomodir masukan masyarakat sipil,” kata Habiburokhman dalam keterangan tertulisnya pada Senin malam.
Habiburokhman menyatakan Koalisi LSM itu menyampaikan bahwa pihaknya dicatut oleh pihak DPR pada empat hari setelah pembahasan tingkat pertama sudah selesai dan tidak menyampaikan aspirasinya saat pembahasan pada 12 dan 13 November 2025.
“Jadi kritikus seharusnya aktif, enggak boleh malas, jadi kalaupun ada kekeliruan bisa langsung diselesaikan saat itu sebelum pengesahan,” ujarnya.
Kemudian, dia menjelaskan bahwa aspirasi dari masyarakat sipil kemudian dibahas dan dirumuskan dalam draf norma. Sebab, DPR mengelompokkan masukan berdasarkan klaster yang punya kemiripan saran demi mengakomodir suara masyarakat sipil.
Oleh karena itu, menurut Habiburokhman, pasti redaksionalnya tidak sama persis dengan usulan kelompok manapun.
“Tentu redaksi norma terakhir tidak sama persis dengan usulan kelompok manapun, karena itu penggabungan pendapat banyak pihak,” kata Habiburokhman.
Dia pun memberikan contoh usulan yang diakomodir maksimal, antara lain usulan organisasi disabilitas pimpinan Yenny Rosa Damayanti dkk; usulan larangan penyiksaan dari Universitas Indonesia melalui Taufik Basari; usulan perluasan praperadilan dari Madinah Rahmawati ICJR; usulan dari pelbagai organisasi advokat mengenai imunitas advokat dan penguatan kewenangan advokat; usulan AJI mengenai penghapusan larangan peliputan dan banyak lagi.
“Yang jelas hampir 100 persen isi KUHAP baru merupakan masukan dari masyarakat sipil ke Komisi III,” ujar Habiburokhman.
Perihal pelibatan masyarakat sipil kembali ditegaskan Habiburokhman dalam konferensi pers pada 18 November 2025.
Bahkan, dia mengklaim bahwa isi KUHAP baru, 99,9 persen masukan dari masyarakat sipil.
“Prinsipnya ya, 100 persen lah, ya, mungkin 99,9 persen KUHAP baru ini merupakan masukan dari masyarakat sipil, ya,” kata Habiburokhman.
“Terutama dalam penguatan peran advokat dan hak tersangka sebagai mekanisme untuk mengontrol agar aparat penegak hukum tidak melakukan kesewenang-wenangan, ya. Jadi itu yang soal pencatutan,” ujarnya lagi.
Habiburokhman juga mengungkapkan, setidaknya sekitar 100 kelompok hadir untuk ikut serta selama perumusan dan pembahasan. Beberapa di antaranya juga menamakan dirinya sebagai Koalisi Masyarakat Sipil yang menandakan bagian masyarakat sipil.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/11/19/691cfb56beb8e.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
9 Hargai Sugiri Sancoko, Plt Bupati Ponorogo Pilih Tetap Tinggal di Rumah Dinas Wabup Surabaya
Hargai Sugiri Sancoko, Plt Bupati Ponorogo Pilih Tetap Tinggal di Rumah Dinas Wabup
Tim Redaksi
PONOROGO, KOMPAS.com
– Plt Bupati Ponorogo Lisdyarita memilih tetap tinggal di rumah dinas wakil bupati di Jalan Trunojoyo, Kelurahan Tambakbayan, Ponorogo, meski sudah resmi menggantikan sementara tugas Bupati nonaktif Sugiri Sancoko.
Ia juga tetap menggunakan kantor dinas wakil bupati dan tidak berencana menempati gedung Pringgitan dalam waktu dekat.
“Tidak ada pindahan. Kami tetap pakai
rumah dinas
dan kantor lama. Kami ingin di sini dulu sampai semuanya jelas, sekaligus menghargai Pak Giri,” ujarnya saat ditemui di Gedung Krida Praja, Selasa (17/11/2025).
Lisdyarita
yang akrab disapa Bunda Rita mengatakan, Pringgitan hanya akan digunakan jika ada kebutuhan mendesak, seperti menerima tamu dari luar daerah atau agenda khusus pemerintahan.
Penggunaan itupun hanya terbatas pada area depan pendopo.
“Di Pringgitan tidak ada kegiatan sama sekali. Yang dipakai nanti hanya bagian depan. Tidak sampai ke belakang. Paling halaman dan ruang tamu depan saja,” imbuhnya.
Di sisi lain, Bunda Rita memastikan kondisi keluarga Bupati nonaktif
Sugiri Sancoko
tetap baik.
Ia menyebut istri Sugiri, Susilowati, bersama ketiga anaknya berada dalam keadaan sehat dan tengah tinggal sementara di rumah pribadi mereka di Desa Bajang, Kecamatan Balong.
Sebelumnya, Bupati
Ponorogo
Sugiri Sancoko terjaring OTT KPK dalam kasus suap jual beli jabatan. Status Sugiri saat nonaktif sebagai Bupati Ponorogo.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/11/18/691c8f12e02c0.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Ratusan Prajurit TNI Dikerahkan Redam Tawuran Tallo Makassar Makassar 18 November 2025
Ratusan Prajurit TNI Dikerahkan Redam Tawuran Tallo Makassar
Tim Redaksi
MAKASSAR, KOMPAS.com
– Ratusan prajurit TNI dikerahkan untuk memperkuat pengamanan di lokasi tawuran antarwarga di Kecamatan Tallo, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (18/11/2025) malam.
Pengamanan diperketat karena tawuran di wilayah tersebut tidak kunjung reda sejak pertama pecah pada Senin (17/11/2025) dini hari.
Bahkan warga sempat menyerang polisi yang hendak membubarkan tawuran.
“Betul, kita kerahkan satu SSK (Satuan Setingkat Kompi) dari Batalyon Kavaleri Mendagiri dan satu SST (Satuan Setingkat Peleton) dari Kodim 1408/BS
Makassar
,” jelas Kependam XIV/Hasanuddin, Kolonel Kav Budi Wirman.
Budi mengatakan ratusan prajurit akan ditempatkan di sejumlah titik rawan tawuran hingga situasi benar-benar aman.
“(Disiagakan) sampai ada perintah lanjut, sambil yakinkan kondisi kondusif,” ujarnya.
Tawuran antarwarga di kawasan pekuburan Beroanging sudah berlangsung sejak Senin dini hari.
Kericuhan kembali pecah pada Selasa (18/11/2025) setelah seorang warga, Nursam alias Civas (40), tewas diduga terkena senapan angin di bagian kepala.
Tawuran susulan membuat massa semakin beringas dan membakar tujuh rumah serta dua motor warga.
Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin meminta kepolisian segera mengungkap aktor di balik rangkaian tawuran yang terus berulang.
“Saya sudah melakukan koordinasi dengan Polrestabes, saya sudah bicara dengan Pak Dansat Brimob untuk segera memastikan orang-orang yang terlibat itu, karena ini sudah merupakan tindakan kejahatan harus diproses lebih lanjut lagi,” kata Munafri.
Menurutnya, pelaku pemicu tawuran adalah orang yang sama dan kerap mengajak warga bentrok.
“Masa enggak ketahuan ini orang-orangnya dan itu-itu saja kan yang bermain di situ,” ujarnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/11/10/691151730e301.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/11/19/691d1eec0c34d.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/11/18/691c1bf206860.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2022/01/14/61e15513ab48d.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)