Category: Kompas.com

  • 4
                    
                        Protes Para Mantan Hakim Korup Dituntut Maksimal oleh Jaksa…
                        Nasional

    4 Protes Para Mantan Hakim Korup Dituntut Maksimal oleh Jaksa… Nasional

    Protes Para Mantan Hakim Korup Dituntut Maksimal oleh Jaksa…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Menjelang pembacaan putusan, para mantan hakim menyampaikan protes mereka atas tuntutan maksimal jaksa penuntut umum (JPU).
    Para mantan hakim ini adalah Eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta dan
    Djuyamto
    , hakim yang dulu sering menangani perkara tindak pidana korupsi (Tipikor) di Pengadilan Tipikor Jakarta.
    Protes senada juga disampaikan oleh tiga terdakwa lainnya, Agam Syarif Baharudin, Ali Muhtarom, dan Wahyu Gunawan ketika membacakan duplik untuk kasus dugaan suap majelis hakim pemberi vonis lepas atau ontslag kepada tiga korporasi crude palm oil (CPO)
    Muhammad Arif Nuryanta menilai, jaksa tidak adil menuntut dengan lama pidana 15 tahun penjara.
    Menurutnya, tuntutan ini tidak adil karena terlampau tinggi jika dibandingkan dengan tuntutan hakim dalam kasus serupa. Misalnya, tuntutan terhadap eks Ketua PN Surabaya, Rudi Suparmono.
    Diketahui, Rudi Suparmono dituntut tujuh tahun penjara dalam kasus perkara pengurusan vonis bebas kepada terdakwa perkara pembunuhan Gregorius Ronald Tannur.
    “Bayangkan saja, disparitas tuntutan pidana antara terdakwa Rudi Suparmono dengan terdakwa Muhammad Arif Nuryanta,” ujar Pengacara terdakwa, Philipus Sitepu saat menyampaikan duplik dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (19/11/2025).
    Kubu Arif Nuryanta menilai, besaran tuntutan Arif dan Rudi tidak adil karena jumlah pasal yang dikenakan pada mereka.
    Arif dituntut dakwaan primer satu pasal, sementara Rudi dituntut dua pasal. Tapi, lama tuntutan justru lebih banyak Arif.
    “Rudi Suparmono dituntut dengan 2 pasal yang berbeda, yakni Pasal 5 Ayat (2) dan Pasal 12B. Namun, tuntutan pidananya hanya 7 tahun pidana penjara. Sedangkan, terdakwa Muhammad Arif Nuryanta dituntut hanya 1 pasal saja yaitu Pasal 6 Ayat (2) namun tuntutan pidananya maksimal yaitu 15 tahun pidana penjara,” kata Philipus.
    Kubu terdakwa menilai, perbedaan masa tuntutan ini tidak masuk akal dan tidak manusiawi.
    Lebih lanjut, baik Arif maupun Rudi dinilai punya peran yang kurang lebih sama. Keduanya bukan majelis hakim yang mengadili dan memutus perkara yang dipermasalahkan.
    Mereka berada dalam posisi petinggi pengadilan yang menentukan majelis hakim yang akan mengadili perkara.
    “Padahal Muhammad Arif Nuryanta dan Rudi Suparmono memiliki kesamaan dalam hal ini yaitu tidak berkapasitas sebagai majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara,” lanjut pengacara Arif.
    Pada akhirnya, Rudi divonis sesuai tuntutan, yaitu 7 tahun penjara.
    Dalam konstruksi dakwaan jaksa, baik Arif dan Rudi sama-sama dinilai berperan untuk mempengaruhi majelis hakim untuk menjatuhkan putusan seperti yang diminta oleh pihak penyuap.
    Namun, dalam kasus Arif, ia membantah berperan aktif dan justru menyalahkan Panitera Muda PN Jakarta Utara nonaktif, Wahyu Gunawan sebagai pihak yang memungkinkan suap terjadi.
    Tak hanya itu, kubu Arif Nuryanta juga protes karena jaksa tidak mempertimbangkan pengembalian uang suap sebagai hal yang meringankan tuntutan.
    Kubu terdakwa menilai, tidak dipertimbangkannya pengembalian uang di kasus suap hakim CPO akan menjadi preseden buruk ke sidang-sidang di masa depan.
    “Yang tidak dijadikan hal-hal meringankan terkait pengembalian uang yang sudah dikembalikan oleh terdakwa Muhammad Arif Nuryanta kepada negara menjadi contoh tidak baik ke depannya terhadap orang-orang yang dikenakan pasal Tipikor menjadi enggan untuk mengembalikan dugaan hasil Tipikor karena tidak diperhitungkan oleh jaksa penuntut umum,” ujar Philipus Sitepu.
    Kubu terdakwa menilai, pengembalian uang hasil korupsi ini seharusnya masuk sebagai hal-hal meringankan.
    Mereka pun menyinggung soal Pedoman Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Korupsi yang diterbitkan oleh Jaksa Agung RI.
    “(Dalam pedoman itu) secara tegas telah mengatur mengenai dasar dan acuan penuntut umum dalam menyusun tuntutan pidana yang tidak terlepas di dalamnya mengatur mengenai bagaimana menyusun kerangka hal-hal meringankan bagi diri terdakwa, khususnya bahwa apabila ada pengembalian uang kepada negara,” lanjut Philipus.
    Pihak terdakwa mengaku sangat dirugikan jika pengembalian uang suap tidak dianggap sebagai hal meringankan.
    Untuk itu, mereka memohon agar majelis hakim bisa mempertimbangkan pengembalian uang negara ini sebagai salah satu hal yang meringankan perbuatan terdakwa.
    “Kami memohon majelis hakim agar pada saatnya nanti dapat mempertimbangkan pengembalian uang hasil dugaan tipikor yang dilakukan terdakwa Muhammad Arif Nuryanta sebagai bagian hal yang dapat meringankan terdakwa dalam putusan nanti,” lanjut Philipus.
    Dalam amar dupliknya, Arif Nuryanta meminta agar ia dijatuhkan hukuman sesuai dakwaan alternatif ketiga, yaitu Pasal 5 Ayat (2), yang juga dulu dituntutkan kepada Rudi Suparmono.
    “Memohon agar majelis hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 5 Ayat (2) UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi,” kata Philipus.
    Atau, jika hakim berpendapat lain, Arif Nuryanta meminta agar ia bisa dihukum dengan hukuman yang seringan-ringannya dan seadil-adilnya.
    Protes serupa juga disampaikan oleh kubu Djuyamto.
    Ia menilai, tuntutan 12 tahun merupakan hal yang tidak adil. Kubu Djuyamto menilai, jaksa tidak punya hati nurani karena menuntut maksimal para terdakwa.
    “Bahwa JPU telah menuntut terdakwa Djuyamto terbukti melanggar Pasal 5 Ayat (2) jo Pasal 18 jo Pasal 55 UU Tipikor dengan pidana penjara selama 12 tahun dengan denda uang pengganti sebesar Rp 9,5 miliar subsider 5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan adalah tuntutan yang tidak memiliki hati nurani dan jauh dari rasa keadilan,” ujar pengacara terdakwa Djuyamto saat membacakan duplik dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (19/11/2025).
    Pengacara menyebutkan, jaksa tidak punya hati nurani karena tidak mempertimbangkan sikap kooperatif Djuyamto selama penyidikan.
    Djuyamto mengklaim, dirinya telah mengajak dua terdakwa hakim lainnya, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin untuk membuka soal jumlah uang suap yang diterimanya.
    “Sikap kooperatif terdakwa selama proses penyidikan yang ikut mendorong terdakwa yang lain khususnya saksi mahkota Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin untuk membuka kotak Pandora yang masih menjadi misteri khususnya terhadap jumlah uang yang nyata-nyata telah diterima oleh terdakwa dan rekan sesama majelis hakim perkara minyak goreng,” lanjut pengacara.
    Lebih lanjut, Djuyamto mengklaim sudah mengembalikan seluruh uang suap yang diterimanya, yaitu sekitar Rp8,05 miliar.
    Angka ini berbeda dengan uang suap yang didakwakan jaksa karena kubu meyakini kalau jumlah uang suap yang diterima Djuyamto berbeda dengan tuduhan jaksa.
    Melalui duplik ini, Djuyamto meminta agar majelis hakim memberikan putusan yang seadil-adilnya, bukan hukuman paling ringan.
    “Dan, saya selaku terdakwa, sebagaimana pledoi terdahulu tidak meminta hukuman seringan-ringannya, saya tegas meminta hukuman seadil-adilnya,” ujar Djuyamto saat menyampaikan duplik pribadi dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (19/11/2025).
    Dalam duplik pribadinya ini, Djuyamto meyakini, majelis hakim yang akan menjatuhkan hukuman padanya, Effendi, Adek Nurhadi, dan Andi Saputra, akan menjatuhkan hukuman yang menegakkan hukum dan adil.
    “Saya mengingatkan bahwa penegakan hukum yang ditugaskan ke yang mulia majelis hakim, saya percaya adalah tidak hanya sekadar menegakkan hukum tapi juga menegakkan keadilan sebagaimana dalam ketentuan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman,” lanjut Djuyamto.
    Setelah duplik selesai dibacakan, majelis hakim mengumumkan kalau vonis bagi kelima terdakwa akan dibacakan pada 3 Desember 2025.
    “Sidang kita tunda Insyaallah akan kita buka 2 minggu ke depan hari Rabu, 3 Desember 2025 dengan agenda pembacaan putusan,” ujar Ketua Majelis hakim Effendi dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (19/11/2025).
    Effendi mengatakan, tahap pemeriksaan untuk kasus dugaan suap majelis hakim pemberi vonis lepas atau ontslag kepada tiga korporasi crude palm oil (CPO) resmi ditutup setelah pembacaan duplik selesai.
    Adapun, hakim membutuhkan waktu lebih panjang untuk bermusyawarah karena dalam kasus ini ada lima terdakwa.
    “Mengingat perkara ini ada lima berkas, saksi cukup banyak, majelis sudah bersepakat kalau pembacaan putusan kami tunda dua minggu,” kata Effendi.
    Dalam kasus ini, majelis hakim penerima suap yang terdiri dari Djuyamto, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom masing-masing dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara.
    Para hakim juga dituntut untuk membayar uang pengganti sesuai total uang suap yang diterimanya.
    Djuyamto selaku ketua majelis hakim dituntut membayar uang pengganti senilai Rp 9,5 miliar subsider 5 tahun penjara.
    Sementara, dua hakim anggotanya, Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom, masing-masing dituntut untuk membayar uang pengganti Rp 6,2 miliar subsider 5 tahun penjara.
    Adapun, Eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta dituntut 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara.
    Karena menerima uang suap, Arif juga dituntut untuk membayarkan uang pengganti sesuai jumlah suap yang diterimanya, senilai Rp 15,7 miliar subsider 5 tahun penjara.
    Sementara itu, Panitera Muda PN Jakarta Utara Nonaktif Wahyu Gunawan dituntut 12 tahun penjara dengan dengan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan.
    Wahyu merupakan jembatan antara pihak korporasi dengan pihak pengadilan.
    Ia diketahui lebih dahulu mengenal Ariyanto yang merupakan pengacara korporasi CPO. Pada saat yang sama, Wahyu juga mengenal dan cukup dekat dengan Eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta.
    Karena peran aktifnya, Wahyu pun kecipratan uang suap senilai Rp 2,4 miliar.
    Tapi, jaksa menuntut agar uang suap itu dikembalikan dalam bentuk uang pengganti. Jika tidak, harta benda Wahyu akan disita untuk negara. Ia juga diancam pidana tambahan kurungan 6 tahun penjara.
    Dalam kasus ini, para terdakwa diduga telah menerima suap dengan total uang mencapai Rp 40 miliar.
    Atas suap yang diterima, Djuyamto, Ali, dan Agam memutus vonis lepas untuk tiga korporasi, yaitu Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
    Kelima terdakwa diyakini telah melanggar Pasal 6 ayat 2 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kaesang Target PSI Menang Besar di 2029: Siapkan “Isi Tas” dan Serbuan Baliho Berwajah Jokowi

    Kaesang Target PSI Menang Besar di 2029: Siapkan “Isi Tas” dan Serbuan Baliho Berwajah Jokowi

    Kaesang Target PSI Menang Besar di 2029: Siapkan “Isi Tas” dan Serbuan Baliho Berwajah Jokowi
    Tim Redaksi
    PALU, KOMPAS.com –
    Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bertekad untuk menang besar pada Pemilu 2029, khususnya di wilayah Sulawesi Tengah (Sulteng).
    Ketua Umum (Ketum) PSI
    Kaesang Pangarep
    pun memerintahkan PSI untuk menjadi pionir di Sulteng pada 2029 mendatang.
    “Saya ingin menyampaikan, di acara rakorwil perdana dari Partai Solidaritas Indonesia ini, saya ingin
    Sulawesi Tengah
    menjadi pionir dari PSI di 2029,” ujar Kaesang dalam Rakorwil PSI Se-Sulteng di Palu, Sulteng, Rabu (19/11/2025).
    “Dan saya juga ingin menegaskan, saya hadir di sini, kita bukan untuk main-main. Kita hadir di sini, DPP hadir di sini untuk mempersiapkan kita bisa menang di 2029,” sambungnya.
    Kaesang pun mengingatkan agar para kader PSI memperkuat struktur akar rumput sebelum 2029.
    Sebab, kata dia, mereka harus lolos verifikasi terlebih dahulu sebelum menjadi peserta pemilu.
    “Sebelum kita menuju 2029, kita akan menghadapi yang namanya verifikasi. Jadi saya minta tolong kepada seluruh jajaran pengurus di tingkat DPW, DPD, DPC, maupun nanti kalau sudah ada DPRT-nya, saya minta tolong strukturnya dibuat sebaik mungkin. Harus lebih baik dari partainya punyanya Pak
    Ahmad Ali
    sebelumnya (Nasdem),” kata Kaesang.
    Dalam kesempatan ini, Kaesang turut mengungkapkan harapannya, di mana pada 2029 nanti, PSI sudah bisa mengusung gubernur sendiri.
    Selain itu, dia juga meyakini PSI bakal mendapatkan jatah anggota DPR dari Sulteng.
    Lantas, apa saja strategi Kaesang untuk memenangkan PSI di 2029?
    Kaesang mengatakan, tanpa ‘isi tas’, maka elektabilitas tinggi menjadi sia-sia dalam kontestasi pemilu.
    Kaesang pun meminta agar PSI Sulteng bekerja keras agar bisa menjadi penyumbang suara dalam Pemilu 2029 mendatang.
    Lalu, terkhusus Sulteng, jika ada masalah dengan ‘isi tas’, Kaesang menyerahkan persoalan itu kepada Ketua Harian PSI Ahmad Ali.
    “Teman-teman, saya pingin Sulawesi Tengah ini menjadi salah satu penyumbang suara terbesar nanti di pemilu. Jadi saya minta tolong kerja kerasnya, jangan lupa ini juga, turun ke masyarakat,” ujar Kaesang.
    “Percuma juga punya elektabilitas tinggi, tapi enggak punya isi tas. Loh iya dong, masa isi tas enggak punya? Kalau saya kan enggak bawa tas. Yang bawa Bendum semua. Kalau ada apa-apa terkhusus Sulawesi Tengah, masalah isi tas kita ke Ayahanda kita (Ahmad Ali) ya,” sambungnya disambut tepuk tangan hadirin.
    Kemudian, Kaesang mengingatkan agar kader PSI tidak melakukan gerakan tambahan.
    Menurutnya, arahannya kerap berubah ketika sudah sampai di kader tingkat bawah.
    “Saya ingatkan sekali lagi, enggak usah ada gerakan-gerakan tambahan. Biasanya kan gitu. Saya ketika perintah ke Ketua Harian, A, ketika Ketua Harian menyampaikan ke sini, A, ketika mulai turun lagi A plus plus. Turun lagi A plus plus plus plus. Ada selalu kegiatan tambahan yang enggak begitu berguna,” ucap Kaesang.
    Kaesang pun meminta kader PSI untuk menyempurnakan struktur partai di masing-masing daerah.
    Dia mengeklaim tidak akan meminta apa-apa lagi sampai tahun 2027.
    Sementara itu, Ketua Harian PSI Ahmad Ali meminta agar baliho PSI sudah terpasang di semua kecamatan di Sulteng.
    Ali menegaskan PSI sudah membeli dua mesin cetak untuk memproduksi baliho tersebut.
    Dia memerintahkan agar baliho-baliho mulai dimasukkan ke desa-desa.
    “Semua kecamatan sudah harus terpasang baliho Partai Solidaritas Indonesia. Mesin cetak kita sudah punya dua. Saya minta bendahara untuk mengoperasikan mesin percetakan baliho, dan semua DPC paling tidak setiap kecamatan ada lima baliho ukuran 3×4 yang sudah harus terpasang, dan pelan-pelan masuk ke tiap-tiap desa,” ujar Ali.
    Ali menyampaikan bahwa format baliho harus terpampang wajah Kaesang Pangarep, Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi), dan dirinya selaku Ketua Harian PSI.
    Khusus di Sulteng ini, Ali menyatakan dirinya terkenal, sehingga wajahnya juga perlu dipampang.
    “Foto standarnya Ketua Umum, Ketua Harian, dan Pak Jokowi. Minta maaf, pengurus lain, karena yang dikenal di Sulawesi Tengah ini, Ketua Umum dan Ketua Harian, Pak Jokowi. Karena ini kampung saya,” jelasnya.
    Lalu, Ali membeberkan bahwa sosok Jokowi sangat penting bagi PSI.
    Dia kembali mengungkit bahwa Jokowi kini merupakan patron PSI.
    “Kenapa kita ingin memasang Pak Jokowi? Pak Jokowi adalah contoh hidup bagi rakyat jelata. Pak Jokowi adalah harapan bagi para politisi yang tidak berasal dari keturunan pemilik partai,” kata Ali.
    “Pak Jokowi adalah contoh hidup bukan dari yang berasal dari keluarga kaya raya, yang kemudian meniti karirnya dari bawah sampai di pucuk pemerintahan. Pak Jokowi bukan dari keluarga ningrat, tapi dia bisa meniti karier dan sampai dengan Presiden Republik Indonesia,” sambungnya.
    Ali berharap, dengan Jokowi dijadikan patron PSI, anak-anak muda ke depannya bisa melihat politik sebagai harapan.
    Dia ingin anak-anak muda berpikir bahwa menjadi pejabat tidak harus jadi orang kaya atau anak ketua partai terlebih dahulu.
    “Cukup punya konsistensi dan menanamkan nilai-nilai baik pada diri dan masyarakat, Insya Allah masyarakat akan mendorong dan partai-partai politik akan mengejar kamu,” imbuh Ali.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 3
                    
                        Ketika Kader Gerindra Menolak Budi Arie
                        Nasional

    3 Ketika Kader Gerindra Menolak Budi Arie Nasional

    Ketika Kader Gerindra Menolak Budi Arie
    Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

    Kesetiaan bukan berarti harus menjilat, melainkan juga mencegah beliau dari kesesatan yang justru dilakukan kaum penjilat itu
    .” – Leonardus Benyamin Moerdani
    LEONARDUS
    Benjamin (LB) Moerdani adalah Panglima ABRI dari tahun 1983 hingga 1988 dan pernah menjabat pula sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan periode 1988 – 1993.
    Berkat keberaniannya di medan laga seperti penumpasan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) serta Operasi Trikora di Irian Barat, Presiden Soekarno pernah menganugerahi Bintang Sakti untuk LB Moerdani.
    Peringatan yang disampaikan LB Moerdani di atas disampaikan kepada pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari Presiden Soeharto ketika itu.
    Moerdani tidak ingin Soeharto salah langkah, sama sebangun dengan para penjilat kekuasaan yang “pura-pura” setia, tetapi “menusuk” dari belakang.
    Moerdani adalah sosok yang begitu konsisten, walau akhirnya tersingkirkan oleh kekuasaan yang dibelanya dengan segenap jiwa raganya.
    Walau saat ini kita begitu sulit menemukan figur-figur seperti Moerdani, tapi sejumlah kader
    Gerindra
    di berbagai daerah mulai berani mengejahwantahkan sikap Moerdani terhadap rencana Ketua Umum
    Projo
    ,
    Budi Arie
    Setiadi yang ingin bergabung dengan Gerindra.
    Budi Arie mencari “rumah politik” baru dengan berencana bergabung ke Partai Gerindra. Bahkan keinginannya itu dia sampaikan di forum internal organisasinya, yakni di Munas ke III ProJo di Jakarta pada Sabtu, 1 November 2025 lalu.
    Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika di era Jokowi itu merasa Presiden Prabowo mempersilahkan dirinya bergabung ke Gerindra.
    Padahal, konteks pernyataan Prabowo yang juga Ketua Umum Partai Gerindra saat menghadiri Kongres PSI di Solo, 20 Juli 2025 lalu, adalah sekadar bertanya ke Budi Arie mengenai langkah lanjutan kariernya di politik.
    Jika “ke-ge-er-an” politik tersebut dianggap serius oleh Budi Arie, tentu dirinya kurang paham dengan basa-basi dalam pergaulan.
    Basa basi adalah adat sopan santun, tata krama dalam pergaulan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indoensia (KKBI), ungkapan yang digunakan hanya untuk sopan santun dan tidak untuk menyampaikan informasi.
    Jika melihat sepak terjang Budi Arie yang dianggap berbagai kalangan sebagai sosok yang oportunis, tentu penolakan sejumlah kader Gerindra adalah wajar.
    Jangan lupakan sejarah, ketika Projo dideklarasikan pada 2013, maksud pendiriannya sudah “cetho weleh-weleh”. Projo dididirikan untuk mendukung Joko Widodo dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2014.
    Di berbagai baliho, spanduk, dan atribut kampanye, kata “Projo” selalu berdampingan dengan foto Jokowi. Bahkan, diabadikan sebagai lambang resmi organisasi.
    Dalam konteks komunikasi politik, asosiasi ini bukan kebetulan, melainkan strategi simbolik yang efektif (
    Rmoljatim.id
    , 4 November 2025).
    Menjadi “lucu” ketika Jokowi sudah turun dari panggung politik nasional dan semakin menguatnya posisi politik Prabowo Subianto, tiba-tiba Budi Arie merevisi jati diri Projo.
    Projo bukan lagi akronim dari “Pro Jokowi”, melainkan menurut Budi Arie, berasal dari bahasa Sansekerta dan Kawi yang berarti “rakyat” atau “warga negara”.
    Pernyataan ini tentu sekilas terdengar seperti klarifikasi linguistik yang netral. Namun, jika ditarik ke dalam konteks politik, ia menyerupai upaya
    rebranding
    ideologis yang kaya makna. Bahkan terkesan ambigu, seperti ingin “mencari selamat”
    Penolakan kader Partai Gerindra di sejumlah daerah seperti dari Gresik, Blitar, Tulungagung, Sidoarjo dan Pati terhadap niatan Budi Arie untuk bergabung dengan Gerindra adalah realitas politik terkiwari.
    Selama ini, urusan “pindah-pindah” partai menjadi kewenangan elite partai, sementara kader di daerah hanya “manut” dan pasrah dengan kebijakan dewan pimpinan pusat partai. Praktik ini berlaku umum di semua partai politik.
    Ketika PDI Perjuangan (dulu PDI) berjaya jelang kejatuhan Orde Baru, sejumlah kader partai lain eksodus ke partai “banteng”.
    Begitu Demokrat menang di Pemilihah Presiden 2004, maka partai berlogo “mercy” pun sibuk menerima “naturalisasi” kader dari partai-partai lain.
    Pun demikian dengan kemenangan Jokowi di Pemilihah Presiden 2014, maka partai-partai pengusung Jokowi ramai dijadikan sasaran perpindahan kader partai. Kini fenomena “kutu loncat” terjadi di Partai Gerindra.
    Fenomena kutu loncat dalam partai politik adalah perilaku politikus yang sering berpindah-pindah partai tanpa alasan ideologis yang kuat. Sering kali didorong kepentingan pribadi seperti perebutan kekuasaan atau keuntungan.
    Dalam kasus niatan Budi Arie “loncat” ke Gerindra, tentu publik dengan mudah membacanya sebagai mencari “perlindungan” politik mengingat kasus situs judi online semasa dirinya menjabat Menkoinfo.
    Fenomena kutu loncat bisa terjadi karena partai politik tidak memiliki ideologi yang kuat, sehingga politikus lebih mudah “loncat” saat terjadi konflik internal atau mencari partai lain yang menawarkan peluang lebih besar.
    Kurangnya ikatan ideologis yang kuat membuat politikus tidak memiliki kesabaran untuk mengelola konflik internal dan lebih memilih “kabur”.
    Kasus Ruhut Sitompul yang “hatrick” pindah partai politik (dari Golkar ke Demokrat lalu ke PDI Perjuangan) adalah gambaran betapa partai sekelas PDI Perjuangan pun rentan dalam fondasi partai yang kokoh.
    Begitu pula Priyo Budi Santoso. Setelah lama menjadi kader Partai Golkar, Priyo yang sempat “mampir” di Partai Berkarya kini mukim di Partai Amanat Nasional.
    Ferdinand Hutahean pun kini menjadi kader banteng setelah sempat bercokol di Demokrat dan Gerindra.
    Fenomena kutu loncat dalam jangka panjang tentu akan menggerus kepercayaan publik terhadap partai politik. Publik menjadi resisten dan apatis terhadap partai dan politikus “bunglon”.
    Politikus yang sering berpindah dapat melemahkan partai dan menciptakan ketidakstabilan politik.
    Partai politik memberikan kesempatan kepada politisi “kutu loncat” untuk bergabung dengan harapan bisa mendongkrak suara partai karena dana atau tuah kepopuleran.
    Ketika “hijrah” dari Golkar ke Partai Berkarya, Priyo semula diandalkan untuk menjalankan mesin partai karena dianggap berpengalaman di partai sebelumnya.
    Di Pemilu 2019, Berkarya meraup 2.929.495 suara atau setara 2,09 persen. Sementara di Pemilu 2024, Berkarya malah tidak lolos sebagai partai peserta Pemilu.
    Sikap keterbukaan partai yang asal menerima kader “bunglon” merupakan sesuatu yang tidak elok dalam etika politik.
    Motivasi politisi seperti ini dipastikan hanya untuk kepentingan pribadi yang jelas-jelas mengabaikan prinsip etika dan norma dalam berpolitik.
    Partai yang memiliki ideologi yang kuat dan jelas sebenarnya dapat mencegah munculnya politisi “bunglon” dan tidak mudah memberikan privilege kepada politisi lain tanpa
    screening
    yang ketat demi menjaga kemurnian ideologi partai.
    Partai harus menghargai kader-kader yang loyal dan berdedikasi terhadap partai selama ini.
    Apakah Gerindra pada akhirnya akan memilih sikap yang sama dengan partai-partai lain yang “asal” menerima anggota tanpa pertimbangan?
    Apakah suara-suara penolakan sejumlah kader Gerindra di berbagai daerah menjadi pertimbangan elite Gerindra?
    Ketua DPP Gerindra, Prasetyo Hadi menyebut partainya belum final menerima atau tidak menerima permohonan bergabung dari Budi Arie.
    Sikap arus bawah tentu menjadi pertimbangan DPP Gerindra.
    “Kekuatan aksi nyata sekecil apapun lebih berarti daripada seribu kata” – Mendiang Prof Suhardi (salah satu pendiri Partai Gerindra).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Reposisi Polri: Menjaga Presiden atau Demokrasi?

    Reposisi Polri: Menjaga Presiden atau Demokrasi?

    Reposisi Polri: Menjaga Presiden atau Demokrasi?
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    REFORMASI
    Polri sudah lama digembar-gemborkan. Namun, publik melihat seperti berjalan di tempat.
    Pertanyaannya bukan lagi apakah Polri butuh reformasi, melainkan ke mana arah reformasi itu akan dibawa.
    Apakah Polri akan direposisikan untuk semakin dekat dengan presiden atau semakin dekat dengan demokrasi?
    Di sinilah titik krusial reformasi sektor keamanan saat ini: bukan semata-mata soal profesionalitas teknis, melainkan pilihan besar mengenai konfigurasi kekuasaan dalam sistem presidensial Indonesia.
    Konstitusi memberikan mandat kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Namun dalam sistem presidensial yang sehat, kekuasaan eksekutif — termasuk alat pemaksa negara — harus dikendalikan, bukan diabsorbsi.
    Dan di titik itulah persoalan reposisi Polri menjadi sangat menentukan masa depan demokrasi Indonesia.
    Tak dapat dimungkiri, Polri kini menjadi lembaga negara dengan kewenangan paling luas: dari penyelidikan, penyidikan, intelijen keamanan, pengaturan lalu lintas, pengamanan unjuk rasa, hingga penindakan terorisme dan kejahatan lintas negara.
    Semua itu berada dalam satu rantai komando yang langsung bermuara kepada presiden.
    Di atas kertas, konsentrasi kewenangan ini dimaksudkan untuk koordinasi yang efisien. Dalam praktiknya, konsentrasi kekuasaan koersif dalam satu tangan selalu menyimpan risiko.
    Dalam sejumlah negara presidensial, kekuatan polisi menjadi penanda maturitas demokrasi. Semakin polisi menjadi perpanjangan tangan presiden, semakin tipis garis pemisah antara pemerintahan dan kekuasaan atas warga negara.
    Apalagi dalam negara kesatuan yang terpusat seperti Indonesia, ketika pusat salah arah, tidak ada “polisi negara bagian” atau “polisi kota” yang dapat menjadi penyeimbang sebagaimana di sejumlah negara federal.
    Polri adalah mata, telinga, dan tangan negara — sekaligus instrumen paling menentukan antara keamanan dan penindasan.
    Tidak ada yang salah dengan kekuasaan kepolisian bila seluruh mandat dijalankan dengan pendekatan hukum dan hak asasi manusia.
    Persoalannya muncul ketika mandat diperluas tanpa pengawasan memadai. Prosedur hukum bisa berubah menjadi legitimasi kekuasaan, dan dalih keamanan dapat sewaktu-waktu menjelma menjadi justifikasi represivitas.
    Pada titik ini,
    reformasi Polri
    bukan hanya soal meningkatkan kompetensi, tetapi mendefinisikan ulang mandat: apakah Polri bertugas menjaga stabilitas pemerintahan atau menjaga kebebasan warga negara?
    Dua tugas itu seolah dapat dipadukan, tetapi sejarah politik Indonesia justru menunjukkan bahwa ketika yang dijaga adalah stabilitas kekuasaan, kebebasan warga menjadi pihak pertama yang dikorbankan.
    Dalam demokrasi, kekuasaan tanpa pengawasan selalu bermasalah. Namun, pengawasan terhadap Polri hingga saat ini belum memadai.
    Mekanisme internal berada dalam lingkup tertutup dan hirarkis; mekanisme eksternal masih lemah dan sering berhadapan dengan dinding tebal korps.
    Bahkan lembaga-lembaga negara yang seharusnya menjadi penyeimbang masih terbatasi oleh struktur hukum dan kebiasaan politik yang memosisikan Polri lebih sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif daripada sebagai institusi publik yang wajib tunduk pada pengawasan rakyat.
    Pengawasan sipil yang kuat bukan untuk melemahkan polisi, melainkan memperkuat legitimasi penegakan hukum.
    Ketika tindakan kepolisian tidak bisa ditanya, maka kepercayaan publik akan runtuh — dan saat kepercayaan itu hilang, penegakan hukum tidak lagi berdiri atas kewibawaan, melainkan atas ketakutan.
    Dalam kerangka presidensial, presiden adalah panglima eksekutif. Namun, presidensialisme tidak pernah dirancang untuk menempatkan presiden sebagai satu-satunya pusat kekuasaan.
    Presiden memang perlu memimpin Polri, tetapi tidak untuk menguasai Polri. Sayangnya, pola relasi politik selama ini membuat Polri memiliki ketergantungan struktural dan psikologis terhadap kekuasaan presiden.
    Akibatnya, institusi kepolisian kerap dianggap sebagai “penjaga pemerintahan”, bukan “penjaga republik”.
    Dalam desain demokrasi modern, presiden memegang komando administratif, tetapi Polri harus tetap berdiri dalam kerangka hukum, bukan sebagai perpanjangan kekuasaan yang sedang memerintah.
    Relasi Polri–presiden perlu didesain ulang — bukan untuk menjauhkan, tetapi untuk menyehatkan.
    Reposisi Polri bukan slogan dan bukan jargon politik. Ia adalah pekerjaan dasar untuk menghubungkan kembali kekuasaan kepolisian dengan tujuan demokrasi.
    Di dalam sistem presidensial, mustahil untuk memindahkan Polri keluar dari eksekutif — Presiden tetap menjadi pemegang komando pemerintahan.
    Namun reformasi tidak menuntut Polri menjauh dari presiden, melainkan membangun jarak sehat antara kekuasaan politik dan kekuasaan koersif.
    Di sinilah reposisi menemukan maknanya: bagaimana Polri tetap berada di bawah presiden, tetapi tidak menjadi instrumen kekuasaan presiden.
    Reposisi mengharuskan perubahan orientasi yang bersifat mendasar. Polri tidak boleh melihat dirinya sebagai perisai pemerintah, tetapi sebagai penjaga warga negara.
    Ketika polisi mengidentifikasi diri sebagai alat stabilitas kekuasaan, setiap kritik akan diperlakukan sebagai ancaman. Namun, ketika polisi mengidentifikasi diri sebagai penjaga hukum, kritik menjadi bagian dari kesehatan demokrasi.
    Karena itu, reposisi bukan hanya merombak struktur organisasi, tetapi mengubah ideologi kelembagaan: dari polisi yang mencari legitimasi kekuasaan menjadi polisi yang memperoleh legitimasi dari publik.
    Reposisi juga menuntut perubahan relasi antara Polri dan pengawasan. Selama ini pengawasan eksternal diperlakukan seperti gangguan, padahal justru di situlah wibawa dibangun.
    Kepolisian yang berani diawasi adalah kepolisian yang percaya diri akan kebenaran kewenangannya.
    Transparansi dalam penyidikan, keterbukaan dalam penanganan kekerasan, hingga mekanisme hak gugat masyarakat terhadap tindakan kepolisian bukan ancaman bagi Polri — itu adalah fondasi legitimasi Polri di mata rakyat.
    Reposisi akhirnya bermuara pada satu gagasan besar: Polri yang kuat bukan Polri yang dekat dengan kekuasaan, melainkan Polri yang dipercaya publik.
    Selama kekuasaan menjadi sumber kekuatan Polri, Polri akan selalu rapuh. Namun, ketika kepercayaan masyarakat menjadi penyangga utama, tidak ada kekuasaan yang mampu membelokkan profesionalitas kepolisian.
    Reformasi Polri hanya akan berbuah bila reposisi Polri berani disentuh — dari corong kekuasaan menjadi penopang demokrasi.
    Demokrasi tidak dapat hidup tanpa kepolisian. Namun, demokrasi juga bisa mati di tangan kepolisian. Ketika polisi digunakan untuk menjaga kekuasaan, demokrasi menjadi slogan hampa.
    Ketika polisi menjaga hak warga negara, demokrasi tumbuh tegak di atas rasa aman dan keadilan.
    Karena itu, agenda reposisi Polri bukan agenda elite, bukan agenda presiden, bukan pula agenda aktivis.
    Itu adalah agenda publik, karena menyangkut bagaimana negara melindungi rakyat dan bagaimana rakyat mempercayai negara.
    Jika reformasi Polri hanya berhenti pada perubahan struktur, pangkat, atau gaji, tanpa menyentuh orientasi kekuasaan, maka reformasi itu telah gagal, bahkan sebelum dimulai.
    Reposisi Polri adalah penentu masa depan republik: apakah Indonesia akan melahirkan presidensialisme yang demokratis, atau presidensialisme yang koersif.
    Kini pilihan berada di meja kekuasaan dan di kesadaran publik. Reformasi Polri tidak akan berubah menjadi kenyataan bila reposisi Polri tidak disentuh.
    Pertanyaannya tinggal satu: Polri akan menjaga siapa? Presiden yang berkuasa, atau demokrasi yang menyelamatkan bangsa?
    Kita membutuhkan polisi yang kuat — tetapi kekuatan itu harus ditopang hukum, bukan politik. Kita membutuhkan polisi yang berwibawa — tetapi kewibawaan itu harus bersumber dari kepercayaan publik, bukan dari ketakutan warga.
    Kita membutuhkan polisi untuk melindungi negeri — tetapi negeri ini bukan milik penguasa, melainkan milik rakyat.
    Reposisi Polri adalah jalan menuju reformasi Polri. Dan hanya dengan itu demokrasi Indonesia dapat bernapas lega.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 7
                    
                        Walk Out Massal Refly Harun Cs di Forum Komisi Reformasi Polri, Gara-gara Roy Suryo Dilarang Bicara
                        Nasional

    7 Walk Out Massal Refly Harun Cs di Forum Komisi Reformasi Polri, Gara-gara Roy Suryo Dilarang Bicara Nasional

    Walk Out Massal Refly Harun Cs di Forum Komisi Reformasi Polri, Gara-gara Roy Suryo Dilarang Bicara
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Akademisi dan pakar hukum tata negara Refly Harun bersama sejumlah tokoh masyarakat sipil melakukan
    walk out
    dari audiensi dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta, Rabu (19/11/2025).
    Keputusan itu dipicu larangan terhadap tiga peserta yang tengah berstatus tersangka kasus dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi), yakni Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauziah Tyassuma (Dr. Tifa), atau yang mereka sebut sebagai kelompok RRT, untuk berbicara dalam forum tersebut.
    Refly menjelaskan bahwa pihak panitia sejak awal telah mengundang dirinya dan 18 nama lain yang diajukan kelompok masyarakat sipil.
    Namun, menjelang pelaksanaan audiensi, muncul keberatan dari anggota Komisi Reformasi, salah satunya mantan Kapolri Jenderal (Purn) Idham Azis, terkait kehadiran peserta yang berstatus tersangka.
    “Memang kami
    walk out
    karena kan ada 18 orang yang tertera dalam undangan yang kami ajukan. Ini mereka mengundang kita,
    Refly Harun
    dan kawan-kawan, kemudian ada 18 orang yang namanya dicatatkan untuk diundang. Dan rupanya ada keberatan dari tim, yang diperkuat mantan Kapolri Idham Azis yang mengatakan kalau tersangka tidak boleh ikut, opsinya keluar,” kata Refly saat ditemui di PTIK, Rabu.
    Ia menegaskan bahwa kelompoknya memilih meninggalkan ruang audiensi sebagai bentuk solidaritas apabila RRT diminta keluar.
    Sejumlah tokoh ikut keluar dari forum bersama Refly, termasuk Said Didu, Rizal Fadila, dan Aziz Yanuar.
    Menurut Refly, panitia memberi dua opsi kepada Roy Suryo, Rismon, dan Dr. Tifa, yakni tetap berada dalam ruangan tetapi dilarang berbicara, atau keluar dari forum.
    Namun, RRT memilih opsi terakhir.
    “Mayoritas ya, memilih keluar. Karena mereka memilih keluar, kita sebelum masuk sudah solidaritas. Kalau RRT keluar, kita juga keluar,” ungkap Refly.
    Dalam kesempatan yang sama, Roy Suryo membenarkan bahwa dirinya dan dua rekannya ikut hadir atas undangan pribadi dari Refly.
    Roy membenarkan adanya opsi untuk tetap berada di ruangan tanpa bicara, tetapi mereka memilih
    walk out
    setelah berdiskusi internal.
    “Tadi kami diberikan pilihan oleh Prof. Jimly untuk tetap duduk di dalam, tapi kemudian tidak boleh bicara atau keluar. Nah, karena pilihan itu, maka kami sepakat (keluar),” tutur Roy.
    Roy juga menegaskan bahwa Refly hadir bukan sebagai kuasa hukum, melainkan sahabat yang mewakili kelompok masyarakat sipil.
    Refly mengungkapkan bahwa pertemuan dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri berawal dari diskusi pada 13 November, sehari sebelum RRT menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya.
    Dalam diskusi itu, sejumlah tokoh masyarakat sipil menilai kasus yang menjerat RRT sarat kriminalisasi terhadap kritik dan perbedaan pendapat. Mereka sepakat meminta perhatian
    Komisi Reformasi Polri
    .
    “Saya berinisiatif pada waktu itu tanpa disuruh, me-WA dan menelpon Pak Jimly (Ketua Komisi Jimly Asshiddiqie) atau langsung menelpon, kurang lebih begitu. Pak Jimly menyambut baik untuk tim ini diundang,” kata Refly.
    Nama-nama peserta pun diajukan melalui staf Komisi, meski pada awalnya RRT belum disertakan.
    Setelah jadwal ditetapkan, Refly meminta agar ketiganya ikut hadir.
    Namun, satu hari sebelum audiensi, Ketua Komisi Jimly Asshiddiqie mengirim pesan bahwa RRT tidak diperbolehkan masuk sebagai peserta karena status tersangka.
    “Saya sengaja tidak kasih tahu mereka (RRT) karena saya menganggap, ini apa-apaan.
    Ini kan lembaga aspirasi. Masa belum apa-apa sudah menghukum orang? Status tersangka itu, itu kan belum bersalah,” ungkap Refly.
    Ia menilai kasus-kasus yang menjerat RRT relevan untuk dibahas dalam konteks reformasi Polri, terlebih menyangkut isu kriminalisasi terhadap kritik publik.
    “Keyakinan kita adalah kasus ini adalah kriminalisasi, karena itu saya kira layak untuk didiskusikan, disampaikan aspirasinya kepada pihak kepolisian,” ujarnya.
    Ia mempertanyakan mengapa, di tengah desakan publik agar Polri berbenah, masih ada perkara yang dianggap menjerat warga hanya karena pendapat atau hasil penelitian.
    “Negara yang mentersangkakan atau mempidanakan orang berpendapat apalagi dengan penelitian dan lain sebagainya, itu negara yang demokrasinya sontoloyo. Nah Indonesia kan tidak ingin seperti itu harusnya, Indonesia haeus naik kelas menjadi negara demokrasi yang substantif,” terangnya.
    Menanggapi insiden
    walk out
    , Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri Jimly Asshiddiqie menyatakan menghormati sikap Refly dan kawan-kawan.
    “Saya sebagai ketua komisi menghargai sikap dari Refly Harun. Itu aktifis sejati mesti gitu, dia tegas,” kata Jimly dalam konferensi pers di PTIK, Rabu.
    Namun, ia menegaskan bahwa forum tersebut telah menyepakati bahwa tersangka tidak boleh menjadi peserta aktif.
    “Tapi kita juga mesti menghargai juga bahwa forum ini telah sepakat yang tersangka jangan, walaupun aspirasi tetap kita dengar kita bicarakan,” tegas Jimly.
    Polisi sebelumnya telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka kasus tudingan ijazah palsu Jokowi pada Jumat (7/11/2025).
    Mereka dibagi dalam dua klaster:
    Klaster pertama yakni Eggi Sudjana, Kurnia Tri Royani, M. Rizal Fadillah, Rustam Effendi, dan Damai Hari Lubis.
    Klaster kedua yakni Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauziah Tyassuma (Dr. Tifa).
    “Berdasarkan hasil penyidikan kami bagi dalam dua klaster, antara lain lima tersangka klaster pertama yang terdiri atas RS, KTR, MRF, RE, dan DHL. Klaster kedua RS, RHS, dan TT,” ujar Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Edi Suheri dalam konferensi pers di gedung Ditreskrimum Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Jumat (7/11/2025).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tangani Korupsi Pertambangan Rp 500 Miliar di Bengkulu, 8 Jaksa Diturunkan
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        19 November 2025

    Tangani Korupsi Pertambangan Rp 500 Miliar di Bengkulu, 8 Jaksa Diturunkan Regional 19 November 2025

    Tangani Korupsi Pertambangan Rp 500 Miliar di Bengkulu, 8 Jaksa Diturunkan
    Tim Redaksi
    BENGKULU, KOMPAS.com
    – Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Bengkulu menyiapkan delapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menangani kasus dugaan korupsi dalam sektor pertambangan yang merugikan negara hingga Rp 500 miliar.
    Hal ini disampaikan oleh Kepala Kejaksaan Negeri
    Bengkulu
    , Yeni Puspita, setelah menerima pelimpahan lima tersangka dan barang bukti dari Kejati Bengkulu pada Rabu (19/11/2025).
    “Mereka akan ditahan selama 20 hari terhitung sejak pelimpahan. Selanjutnya, proses penuntutan akan segera berjalan,” ungkap Yeni dalam keterangan pers di kantor Kejari Bengkulu.
    Kelima tersangka yang ditahan merupakan pimpinan perusahaan pertambangan batubara di wilayah Bengkulu.
    Mereka terdiri dari Komisaris PT Tunas Bara Jaya, Bebby Hussy; General Manager PT Inti Bara Perdana, Saskya Hussy; Direktur Utama PT Tunas Bara Jaya, Julius Soh; Marketing PT Inti Bara Perdana, Agusman; dan Direktur PT Inti Bara Perdana, Sutarman.
    Penyidik Kejati juga melimpahkan berbagai barang bukti penting, termasuk dokumen perusahaan, perhiasan, dan kendaraan mewah milik para tersangka.
    Yeni menegaskan, barang bukti ini akan menjadi bahan utama bagi JPU dalam menyusun dakwaan.
    “Barang bukti yang diserahkan mencakup dokumen, perhiasan, dan kendaraan mewah. Semua ini akan menjadi dasar JPU dalam menyiapkan berkas dakwaan terhadap lima tersangka,” kata Yeni.
    Menurut Yeni, delapan JPU tersebut akan memastikan proses penuntutan berjalan cepat, transparan, dan sesuai prosedur hukum.
    “Kami menyiapkan delapan JPU agar proses penuntutan terhadap kasus tambang Bengkulu dapat berlangsung efisien dan profesional,” tambahnya.
    Sementara itu, untuk delapan tersangka lainnya, jadwal pelimpahan masih menunggu koordinasi antara penyidik dan pihak JPU.
    Namun, Yeni memastikan bahwa pelimpahan tahap berikutnya akan dilakukan secepat mungkin.
    Dalam perkara ini, sebanyak 12 orang telah ditetapkan sebagai tersangka.
    Penyidikan oleh Kejati Bengkulu dimulai setelah ditemukan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PT Ratu Samban Mining (PT RMS) dan PT TBJ, yang keduanya berada di bawah kendali tersangka Bebby Hussie.
    Dugaan pelanggaran tersebut mencakup operasi pertambangan di luar Izin Usaha Produksi (IUP), serta kemungkinan masuk ke kawasan hutan dan tidak melakukan reklamasi.
    Kejaksaan telah menggeledah kantor perusahaan dan menyita barang bukti dari PT RSM.
    Selain itu, penyidik juga menemukan kejanggalan dalam penjualan batubara fiktif dengan manipulasi kualitas batubara.
    Kejaksaan telah menggeledah kantor Sucofindo dan Pelindo Regional II Bengkulu terkait kasus ini.
    Kejati Bengkulu mengungkapkan, hasil perhitungan auditor menunjukkan kerugian negara mencapai Rp 500 miliar, yang disebabkan kerusakan lingkungan dan penjualan batubara yang tidak sesuai ketentuan.
    Kejaksaan juga menyita sejumlah rumah mewah, harta, perhiasan, dan mobil milik para tersangka sebagai upaya untuk mengganti kerugian negara tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Motor Ramah Lingkungan Mahasiswa UPI, 2 Liter Hidrogen Bisa Tempuh 428 Kilometer
                
                    
                        
                            Bandung
                        
                        19 November 2025

    Motor Ramah Lingkungan Mahasiswa UPI, 2 Liter Hidrogen Bisa Tempuh 428 Kilometer Bandung 19 November 2025

    Motor Ramah Lingkungan Mahasiswa UPI, 2 Liter Hidrogen Bisa Tempuh 428 Kilometer
    Tim Redaksi
    BANDUNG, KOMPAS.com
    – Tim mahasiswa Program Studi Pendidikan Teknik Otomotif, Fakultas Pendidikan Teknik Industri (FPTI) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menciptakan sepeda motor FCEV (Fuel Cell Electric Vehicle) bernama Jawara.
    Kendaraan ini menggunakan
    hidrogen
    sebagai bahan bakar untuk menghasilkan listrik, sehingga menjadi salah satu inovasi ramah lingkungan yang patut dicontoh.
    Motor sport berdesain futuristik ini dapat melaju tanpa suara mesin dan tanpa asap, dengan hasil sampingan yang hanya berupa uap air.
    Salah satu anggota tim, Muhammad Zidan menjelaskan, sepeda motor ini sepenuhnya digerakkan oleh energi bersih.
    “Motor ini menggunakan bahan bakar hidrogen yang diubah menjadi listrik melalui alat bernama fuel cell. Dari hidrogen, dihasilkan energi listrik untuk menggerakkan motor,” ungkap Zidan dalam keterangannya, Rabu (19/11/2025).
    Proyek sepeda motor ini dikembangkan pada 2024 oleh sepuluh mahasiswa di bawah bimbingan dosen FPTI UPI, Sriyono.
    Zidan yang bertugas di bidang elektrika dan
    wiring harness body
    pada tim tersebut menyebutkan, proses perakitan motor memakan waktu tiga bulan, sementara tahap desain menghabiskan waktu lima bulan.
    “Sebagian besar komponen dirakit sendiri, dan 80 persen menggunakan produk dalam negeri. Hanya
    fuel cell
    yang didatangkan dari Meksiko karena belum tersedia di Indonesia,” jelasnya.
    Zidan berharap, suatu saat timnya bisa membuat
    fuel cell
    sendiri agar proyek ini benar-benar mandiri.
    Tim mahasiswa ini ingin membuktikan bahwa kendaraan ramah lingkungan bukan sekadar konsep, tetapi juga bisa diwujudkan oleh mahasiswa Indonesia.
    Selain bebas emisi gas buang, motor ini dilengkapi teknologi pintar seperti sensor hidrogen untuk mendeteksi kebocoran gas dan mematikan sistem secara otomatis (
    cut off
    ).
    Sistem Internet of Things (IoT) memungkinkan pemantauan penggunaan energi, tekanan gas, dan suhu mesin melalui ponsel.
    Motor ini juga dilengkapi GPS Tracker dan fitur tap card RFID sebagai sistem pengaman, mirip dengan kendaraan Tesla.
    Bahkan, pemilik dapat mematikan mesin dari jarak jauh hanya dengan mengirimkan pesan singkat (SMS) saat motor hilang.
    Motor hidrogen ini mampu melaju dengan kecepatan maksimum 80 km/jam dan hanya memerlukan dua liter hidrogen untuk menempuh jarak 428 kilometer.
    Ketika bahan bakar habis, motor tetap dapat berjalan menggunakan baterai cadangan dan dilengkapi dengan sistem
    regenerative braking
    yang mengubah energi pengereman menjadi daya listrik tambahan.
    Proyek ini bermula dari ajang PLN ICE 2024, di mana tim UPI berhasil menjadi salah satu dari dua tim terpilih di Indonesia yang mendapat dukungan pendanaan untuk merealisasikan rancangan menjadi unit nyata.
    “Waktu itu kami memulai dari konsep
    café racer
    yang dipadukan dengan desain motor sport. Sekarang, motor ini menjadi kebanggaan karena satu dari dua unit yang ada di Indonesia, satunya lagi di ITS,” jelas Zidan.
    Dukungan UPI terhadap proyek ini sangat besar, dengan memberikan akses laboratorium selama 24 jam penuh bagi tim, serta dispensasi akademik agar mereka dapat fokus menyelesaikan proyek tersebut tepat waktu.
    Saat ini, tim mahasiswa ini tengah menyiapkan prototipe mobil hidrogen dan mendorong terbentuknya stasiun pengisian bahan bakar hidrogen di masa depan.
    “Kendaraan hidrogen akan jadi masa depan transportasi dunia. Tapi untuk itu, kita butuh infrastruktur pendukung seperti stasiun pengisian yang aman dan mudah diakses,” pungkas Zidan.
    Tim ini juga merancang bus listrik kampus UPI (Evo 1 dan Evo 2) dengan harapan dapat terus mengembangkan teknologi otomotif berkelanjutan yang ramah lingkungan dan bersaing secara global.
    Melalui inovasi ini, UPI menegaskan komitmennya dalam mendukung Sustainable Development Goals (SDGs) poin ke-7 (Energi Bersih dan Terjangkau) serta poin ke-13 (Penanganan Perubahan Iklim), dengan mendorong pengembangan kendaraan tanpa emisi yang ramah lingkungan dan siap bersaing di era transportasi hijau masa depan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Usai Disiram Air Mendidih di Malaysia, WNI Kabur dari Lantai 29 Pakai Pipa

    Usai Disiram Air Mendidih di Malaysia, WNI Kabur dari Lantai 29 Pakai Pipa

    Usai Disiram Air Mendidih di Malaysia, WNI Kabur dari Lantai 29 Pakai Pipa
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Warga Negara Indonesia (WNI) asal Sumatera Barat yang disiksa majikan di Malaysia melarikan diri dari kondominium lantai 29 dengan merosot berpegang pada pipa.
    Informasi kronologi peristiwa penyiksaan dan upaya menyelamatkan diri yang ditempuh WNI itu disampaikan
    KBRI Kuala Lumpur
    , dilansir
    ANTARA
    , Rabu (19/11/2025).
    WNI yang disiksa dan disiram air mendidih oleh majikannya di Kuala Lumpur itu awalnya mendengar gelagat bahwa majikan hendak menyiram air mendidih ke tubuhnya lagi.
    Soalnya, WNI tersebut mengengar majikan menyalakan kompor untuk memanaskan air.
    Korban lari ke dalam kamar kedua dan menguncinya dari dalam.
    Selanjutnya, korban lalu keluar dari jendela kamar dan bersembunyi di dekat mesin AC di tepi bangunan kondominium tingkat 29.
    Melihat ada orang yang berdiri di tepi bangunan lantai 29, pihak keamanan bangunan segera menghubungi pemadam kebakaran untuk meminta bantuan penyelamatan.
    Awalnya pihak keamanan menduga korban tersebut berniat bunuh diri dengan cara melompat dari ketinggian.
    Sementara korban untuk menghindari tangkapan dari suami majikan, kemudian merosot turun melalui pipa bangunan ke tingkat 28.
    Namun, karena jendela kamar tingkat 28 saat diketuk tidak ada jawaban maka korban kembali merosot turun ke tingkat 27.
    Korban kemudian diselamatkan oleh petugas pemadam kebakaran dari jendela rumah lantai 27.
    Setelah diberi rawatan luka bakar pada punggung dan lengannya, pada malam harinya korban kemudian diantar petugas pemadam kebakaran ke balai polis (pos polisi) yang terletak di dekat kondominium tempat korban bekerja.
    Korban kemudian bertahan di balai polis menunggu perwakilan dari KBRI datang.
    Saat ini korban berada di Shelter KBRI Kuala Lumpur untuk mendapatkan pendampingan advokasi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dari Kekurangan Bacaan Jadi Tak Mau Berhenti Membaca, Murid SDN Pangkalan 1 Sambut Kiriman Buku
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        19 November 2025

    Dari Kekurangan Bacaan Jadi Tak Mau Berhenti Membaca, Murid SDN Pangkalan 1 Sambut Kiriman Buku Regional 19 November 2025

    Dari Kekurangan Bacaan Jadi Tak Mau Berhenti Membaca, Murid SDN Pangkalan 1 Sambut Kiriman Buku
    Tim Redaksi
    PANDEGLANG, KOMPAS.com
    — Kotak kardus berisi buku baru diletakkan di depan kelas 4 SDN Pangkalan 1, Kecamatan Sobang, Kabupaten Pandeglang, Banten, Rabu (19/11/2025).
    Kepala
    SDN Pangkalan 1
    , Madyani, berdiri di sampingnya sambil membuka segel perlahan.
    Semua murid menahan napas.
    Begitu tutup kardus terangkat dan warna-warni sampul buku terlihat, ruang kelas pecah oleh sorak kecil dan tawa antusias.
    Revan (10) menghampiri lebih dulu, disusul Arul (10), lalu puluhan murid lainnya.
    Tanpa komando, mereka berebut mengambil buku dan langsung mencari tempat duduk.
    Ada yang membaca sambil tertawa kecil, ada yang menunjuk gambar, ada pula yang bergantian menunjukkan halaman favorit.
    “Sebelumnya saya jarang baca buku karena enggak ada, senang, gambarnya bagus, jadi mau baca terus,” kata Arul sambil menepuk-nepuk sampul buku bergambar dinosaurus.
    Revan yang duduk tak jauh darinya sudah berganti dua buku.
    “Boleh tukar lagi?” ucapnya sambil tertawa, sambil memilih
    buku baru
    untuk dibaca.
    Suasana kelas saat itu begitu riuh dengan suara murid membaca dan suara halaman buku yang dibolak-balik.
    Saat seluruh murid kelas 4 sudah mendapatkan buku, Madyani beranjak menuju ruang kelas 5 membawa kardus yang sama.
    Begitu memasuki kelas, beberapa siswa langsung berdiri mendekat.
    Mereka mengaku penasaran karena mendengar riuh dari kelas 4.
    Tak menunggu aba-aba, anak-anak mulai berebut melihat isi kardus dan memilih buku, sama riuhnya seperti yang terjadi di kelas sebelah.
    Di antara mereka ada Fahmi (11) yang memilih buku dengan raut serius.
    “Saya suka baca, cuma enggak ada bukunya. Kadang baca buku pelajaran ulang-ulang atau koran bekas,” katanya.
    Pemandangan spontan dan riuh itu jadi bukti sederhana jika anak-anak selama ini tidak malas membaca; mereka hanya tak pernah punya bahan bacaan yang menarik.
    Kiriman buku tersebut merupakan bagian dari
    program Jagat Literasi
    dalam rangkaian peringatan 30 tahun Kompas.com.
    Buku-buku itu berasal dari donasi pembaca, setelah sebelumnya
    Kompas.com
    mengadakan kegiatan literasi dan mengajar di sekolah.
    Kepala SDN Pangkalan 1, Madyani, mengatakan momen ini sudah lama dinanti oleh sekolahnya.
    “Ini merupakan kebahagiaan bagi kami. Secara pribadi, saya sangat takjub dengan kegiatan Kompas.com. Anak-anak membaca dengan antusias sekali. Di Pangkalan 1, kami punya rutinitas wajib setiap hari Rabu baca, apa pun bukunya. Sekarang mereka makin semangat,” kata Madyani usai menerima paket buku dari Kompas.com.
    Selama ini, menurutnya, kegiatan literasi berjalan terbatas karena hanya mengandalkan buku seadanya dari dana BOS.
    Namun, kini, koleksi buku di sekolahnya bertambah.
    “Jujur kami kesulitan buku, biasanya hanya baca buku pelajaran saja. Sampai anak-anak saya sarankan baca koran di rumah,” ujarnya.
    Madyani yakin, dengan adanya buku-buku ini, anak-anak akhirnya punya bahan bacaan yang bisa dinikmati, bukan hanya dipelajari.
    Dia juga berharap murid-muridnya akan punya alasan untuk membaca karena mereka ingin, bukan karena tugas.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Warga pada 3 Kecamatan Dievakuasi akibat Erupsi Semeru, 5 Lokasi Pengungsian Disiapkan
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        19 November 2025

    Warga pada 3 Kecamatan Dievakuasi akibat Erupsi Semeru, 5 Lokasi Pengungsian Disiapkan Surabaya 19 November 2025

    Warga pada 3 Kecamatan Dievakuasi akibat Erupsi Semeru, 5 Lokasi Pengungsian Disiapkan
    Tim Redaksi
    SURABAYA, KOMPAS.com
    – Warga pada tiga kecamatan di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, dievakuasi menyusul erupsi Gunung Semeru pada Rabu (19/11/2025) sore.
    Tiga kecamatan yang dimaksud yakni Kecamatan Pronojiwo, Kecamatan Candipuro, dan Kecamatan Rowokangkung.
    Hingga Rabu malam, lima lokasi pengungsian telah disiapkan oleh tim gabungan.
    Lima lokasi pengungsian tersebut adalah Pendopo Kecamatan Candipuro, Balai Desa Oro-Oro Ombo, Balai Desa Penanggal, Gedung SDN 4 Supiturang, dan Gedung SMP 2 Pronojiwo.
    “Evakuasi masih terus dilakukan, jumlah pengungsi masih dalam pendataan,” kata Gubernur Jatim
    Khofifah Indar Parawansa
    dalam keterangannya Rabu malam.
    Dia mengaku sudah menginstruksikan BPBD Jatim dan BPBD Lumajang untuk memastikan semua warga terdampak menuju lokasi pengungsian dengan aman dan terdata dengan baik.
    “Saya memohon seluruh warga di sekitar Semeru untuk mengutamakan keselamatan. Petugas kami terus bekerja di lapangan,” ucap dia. 
    Berdasarkan laporan PVMBG, aktivitas
    Gunung Semeru
    pada pukul 14.13 WIB mengeluarkan awan panas guguran (APG) dengan jarak luncur mencapai 14 kilometer.
    Aktivitas vulkanik berlanjut hingga pukul 17.00 WIB sebelum akhirnya status dinaikkan menjadi level IV (awas).
    Awan panas guguran masih berlangsung dengan amplitudo maksimum mencapai 34 mm dan kecenderungan arah luncur ke utara.
    Khofifah mengimbau masyarakat di sekitar Gunung Semeru untuk tidak panik. “Masyarakat saya minta tenang, tidak panik, dan terus mengikuti arahan petugas,” katanya dalam keterangan resmi, Rabu malam.
    Khofifah meminta seluruh warga untuk mematuhi larangan masuk ke zona bahaya.
    “Warga segera menuju titik evakuasi atau lokasi pengungsian yang telah ditetapkan perangkat desa dan aparat keamanan,” ucap dia. 
    Dia juga mengimbau masyarakat tidak mudah percaya pada informasi selain informasi resmi dari petugas.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.