Category: Kompas.com

  • Ahli Nilai Gugatan terhadap Gibran Terlambat, Pemilu Sudah Selesai

    Ahli Nilai Gugatan terhadap Gibran Terlambat, Pemilu Sudah Selesai

    Ahli Nilai Gugatan terhadap Gibran Terlambat, Pemilu Sudah Selesai
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Bhayangkara, Ida Budhiati menilai, seorang warga negara kehilangan kesempatan untuk menggugat dugaan pelanggaran dalam Pemilihan Umum (Pemilu) jika proses Pemilu sudah selesai dilaksanakan.
    Hal ini disampaikan Ida ketika dihadirkan sebagai ahli dari kubu Wakil Presiden
    Gibran Rakabuming Raka
    dan KPU RI dalam sidang lanjutan
    gugatan perdata
    terhadap riwayat pendidikan SMA Gibran.
    “Berkaitan dengan sengketa, bahwa warga negara kemudian mengetahui (ada dugaan pelanggaran) setelah pemilu berakhir, maka menurut kerangka hukum pemilu, kehilangan kesempatan untuk mengajukan komplain mengajukan sengketa,” ujar Ida, dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (15/12/2025).
    Ida mengatakan, masyarakat telah diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan ketika menemukan adanya kejanggalan saat proses Pemilu masih berlangsung.
    Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023 tentang Pemilu.
    “Warga negara itu dibuka kesempatan untuk mengajukan keberatan-keberatan atau meminta akuntabilitas dari pelaksanaan tugas pejabat administrasi negara di bidang kepemiluan,” ujar Ida.
    Namun, keberatan ini harus diajukan saat Pemilu masih berlangsung dan pada tahap yang sesuai.
    Misalnya, untuk sengketa pencalonan presiden dan wakil presiden, diajukan sebelum calon ini ditetapkan sebagai pasangan calon.
    Ida mengatakan, batas waktu ini juga harus ditaati oleh warga negara yang hendak mengajukan keberatan.
    “Dan warga negara itu harus mematuhi kapan waktunya yang disediakan UU,” imbuh dia.
    Selain itu, Ida menilai, obyek gugatan perdata ini masuk ke ranah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
    Sebab, yang digugat adalah dugaan pelanggaran yang dilaksanakan oleh KPU selaku penyelenggara negara.
    Ida menilai, meski Gibran digugat dalam kapabilitas sebagai warga negara, gugatan perdata ini tetap menjadi kewenangan PTUN untuk mengadili karena tidak terlepas dari penyelenggaraan Pemilu yang menjadi obyek PTUN.
    Sejak didaftarkan pada 29 Agustus 2025, perkara nomor 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst. ini mencantumkan beberapa tuntutan terhadap Gibran dan KPU RI.
    Pertama, kedua tergugat, Gibran dan KPU, dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum karena ada beberapa syarat pendaftaran calon wakil presiden (cawapres) yang dahulu tidak terpenuhi.
    Berdasarkan data KPU RI, Gibran sempat sekolah di Orchid Park Secondary School Singapore, tahun 2002-2004, lalu di UTS Insearch Sydney, tahun 2004-2007.
    Keduanya merupakan sekolah setingkat SMA.
    Namun, Subhan menilai, dua institusi ini tidak sesuai dengan persyaratan yang ada di undang-undang dan dianggap tidak sah sebagai pendidik setingkat SLTA.
    Atas hal ini, Subhan selaku penggugat meminta agar majelis hakim yang mengadili perkara ini menyatakan Gibran dan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum.
    Subhan juga meminta agar majelis hakim menyatakan status Gibran saat ini sebagai Wapres tidak sah.
    Gibran dan KPU juga dituntut untuk membayar uang ganti rugi senilai Rp 125 triliun kepada negara.
    “Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil kepada Penggugat dan seluruh Warga Negara Indonesia sebesar Rp 125 triliun dan Rp 10 juta dan disetorkan ke kas negara,” bunyi petitum.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ahmad Ali: Tidak Ada Loyalitas Ganda, Kader PSI Tunduk pada Kepemimpinan Kaesang

    Ahmad Ali: Tidak Ada Loyalitas Ganda, Kader PSI Tunduk pada Kepemimpinan Kaesang

    Ahmad Ali: Tidak Ada Loyalitas Ganda, Kader PSI Tunduk pada Kepemimpinan Kaesang
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Ahmad Ali menegaskan pentingnya loyalitas tunggal seluruh kader PSI kepada Ketua Umum Kaesang Pangarep.
    Penegasan tersebut disampaikan
    Ahmad Ali
    dalam Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PSI
    DKI Jakarta
    di Grand Sahid Jakarta, Minggu (14/12/2024).
    “Seluruh kader
    PSI
    DKI Jakarta harus patuh dan tunduk terhadap kepemimpinan Ketua Umum. Tidak ada loyalitas ganda dalam organisasi kita,” tegas Ahmad Ali.
    Hal yang menyatukan kader PSI dalam satu organisasi, menurutnya, adalah cita-cita bersama untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan satu komando kepemimpinan yang jelas dan tegas.
    Ahmad Ali menggunakan analogi gajah, lambang PSI, untuk menggambarkan pentingnya disiplin organisasi. Gajah dikenal sebagai hewan yang tertib dan kompak ketika berjalan berbaris.
    “Seperti itulah (kader PSI), semua harus tunduk kepada kepemimpinan Ketua Umum,” ujarnya.
    Loyalitas kepada Ketua Umum, lanjut Ahmad Ali, bukan soal kepentingan pribadi atau kelompok. Ini adalah komitmen untuk memperkuat organisasi demi tujuan yang lebih besar.
    Ia menjelaskan bahwa loyalitas tunggal sangatlah penting untuk menghindari perpecahan internal. Di PSI yang dipimpin anak muda tapi juga dihuni banyak senior, potensi terbentuknya kelompok atau faksi harus diantisipasi sejak dini.
    “Ini harus selalu kita ingatkan supaya bekerja tertib pada barisan, supaya tidak terjadi faksi di kemudian haru. Sebab, kalau sudah terjadi faksi, itu akan sulit untuk menyatukan,” katanya.
    Ahmad Ali menegaskan bahwa tugas seluruh jajaran adalah mendukung Ketua Umum untuk mewujudkan cita-cita pendiri partai, yaitu menyejahterakan rakyat Indonesia melalui PSI.
    Ia juga mengingatkan bahwa kader yang terpilih menjadi pemimpin tidak berutang kepada partai, melainkan kepada rakyat yang memilihnya. PSI lahir untuk melahirkan pemimpin yang bekerja untuk kepentingan masyarakat, bukan segelintir orang.
    Ahmad Ali menyampaikan target ambisius PSI untuk merebut kursi
    DPR RI
    dari Daerah Pemilihan (Dapil) DKI Jakarta pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2029.
    “DKI ini menjadi salah satu daerah yang sangat istimewa karena memang daerah istimewa (secara strategis). Di sinilah barometer dari PSI,” ujar Ahmad Ali.
    Karena posisi strategis tersebut, PSI memastikan kesiapan struktur di DKI Jakarta untuk menghadapi verifikasi faktual yang akan dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 2027, sekaligus kesiapan memasuki fase pertarungan elektoral 2029.
    PSI sebenarnya sudah memiliki modal kuat pada Pemilu 2024. Partai berlambang gajah ini berhasil mencapai tingkat verifikasi 100 persen di DKI Jakarta, yang artinya seluruh struktur telah terverifikasi dengan baik. Namun, PSI belum lolos
    parliamentary threshold
    karena pencapaian di daerah lain belum optimal.
    Untuk meraih kemenangan di 2029, Ahmad Ali menekankan pentingnya membangun fondasi organisasi yang solid hingga tingkat paling bawah. Rakorwil DKI Jakarta bertujuan memastikan struktur partai terbentuk sampai tingkat Dewan Pimpinan Ranting Tingkat (DPRT) bahkan hingga tingkat RT.
    Ahmad Ali mengapresiasi pelantikan pengurus DPW PSI DKI Jakarta yang telah dilakukan. Dengan struktur lengkap, ia optimistis PSI bisa mencapai target elektoral di pemilu mendatang.
    “Kemenangan hanya bisa diraih melalui soliditas bersama. Kita boleh berbeda di dalam, tapi ketika keluar harus satu suara,” katanya.
    Ahmad Ali juga menegaskan bahwa PSI didesain sebagai wadah terbuka bagi kaum pergerakan dan aktivis muda Indonesia. Partai akan membuka rekrutmen terbuka untuk tokoh-tokoh dan anak muda terbaik yang berminat terjun ke politik.
    “Insyaallah kami akan membuka diri untuk melakukan
    open recruitment
    terhadap tokoh-tokoh, anak-anak muda terbaik yang berminat untuk masuk politik,” ujar Ahmad Ali.
    Rekrutmen tersebut, lanjutnya, tidak ada pungutan biaya. PSI ingin memastikan bahwa anak muda yang memiliki pemikiran cerdas dan bermimpi menjadi politisi tidak perlu takut karena latar belakang ekonomi atau keluarga.
    “Difasilitasi oleh PSI tanpa ada pungutan biaya. Kami ingin memastikan bahwa anak-anak muda yang punya pemikiran cerdas dan bermimpi menjadi politisi tidak perlu takut. Mereka tidak perlu khawatir karena berasal dari keluarga petani, dari desa, atau bukan dari latar belakang politisi dan orang kaya,” katanya.
    PSI, menurut Ahmad Ali, disiapkan sebagai wadah untuk menghimpun dan menampung anak muda Indonesia yang punya mimpi berkontribusi membangun Indonesia melalui jalur politik.
    Ahmad Ali juga mengingatkan pentingnya sikap vokal kader PSI, termasuk yang menjadi anggota DPRD DKI Jakarta, terhadap permasalahan masyarakat. Ia merindukan sosok wakil rakyat yang berani menyuarakan aspirasi konstituen.
    “Saya merindukan anggota DPRD DKI yang seperti dulu, yang kritis terhadap permasalahan-permasalahan masyarakat. Selama beberapa bulan terakhir ini, sikap itu hilang,” ujar Ahmad Ali.
    Dukungan kepada pemerintah, menurutnya, bukan berarti menutup mulut untuk tidak menyuarakan kepentingan rakyat. Sikap konstruktif justru penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat yang dititipkan kepada PSI.
    Ahmad Ali juga meminta pengurus DPW PSI DKI Jakarta untuk menggunakan kantor partai sebagai ruang publik yang melayani kepentingan warga, bukan hanya untuk urusan internal organisasi. Seluruh pengurus pun diminta untuk kembali berinteraksi dengan masyarakat, mendengarkan keluhan mereka, dan menyuarakan aspirasi yang sebenarnya.
    “Jangan lelah mendengarkan kritik. Dengan mendengarkan masukan, kita bisa memperbaiki diri dan berkembang lebih baik,” katanya.
    Ahmad Ali menutup sambutan dengan mengajak seluruh kader PSI untuk bersatu di bawah kepemimpinan Ketua Umum
    Kaesang Pangarep
    demi mewujudkan cita-cita bersama menyejahterakan rakyat Indonesia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Meski Ruangan Belum Siap, RSUD Muda Sedia Aceh Tamiang Buka Poli Darurat

    Meski Ruangan Belum Siap, RSUD Muda Sedia Aceh Tamiang Buka Poli Darurat

    Meski Ruangan Belum Siap, RSUD Muda Sedia Aceh Tamiang Buka Poli Darurat
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyampaikan bahwa RSUD Muda Sedia Aceh Tamiang sudah membuka kembali pelayanan poliklinik darurat setelah banjir bandang dan tanah longsor melumpuhkan seluruh fasilitas pelayanan.
    Pelaksana Pelayanan RS
    Kemenkes
    Adam Malik, Ade Rachmat Yudiyanto, menjelaskan bahwa pelayanan mulai dibuka sejak Rabu (10/12/2024) meski ruangan belum siap.
    “Yang penting pelayanan tidak berhenti. Ruangan ideal belum siap, tapi kita hidupkan dulu rumah sakitnya,” ujar Ade, dikutip dari keterangan pers, Senin (15/12/2025).
    Ade mengatakan, bangunan utama rumah sakit tersebut masih rusak berat dan dipenuhi lumpur sehingga poliklinik darurat dibuka di belakang IGD.
    “Seluruh poli beroperasi secara sementara di ruang darurat belakang IGD,” jelas Ade.
    Ade menyampaikan, beberapa layanan yang mulai berjalan antara lain poli paru, rehabilitasi medik, penyakit dalam, kulit, kandungan, dan poli anak.
    Selain itu, sejumlah dokter umum dikerahkan untuk memperkuat triase IGD sekaligus membantu pemeriksaan poli.
    “Seluruh ruang pelayanan masih jauh dari standar karena bangunan lama terdampak lumpur tebal. Penataan dilakukan dengan memanfaatkan area yang paling memungkinkan digunakan,” ucapnya.
    Meja pemeriksaan, tempat duduk pasien, hingga alur antrean dirancang sederhana agar aktivitas dapat tetap berlangsung tanpa menghambat pasien.
    Meski sederhana, warga tetap berdatangan karena banyak keluhan pascabanjir, terutama infeksi kulit dan gangguan pernapasan, yang membutuhkan pemeriksaan segera.
    Ade memperkirakan situasi darurat akan berlangsung beberapa pekan hingga ruangan poli permanen selesai dibersihkan dan diperbaiki.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mahfud: Aturan Polri yang Bolehkan Polisi di 17 Lembaga Bertentangan dengan 2 UU

    Mahfud: Aturan Polri yang Bolehkan Polisi di 17 Lembaga Bertentangan dengan 2 UU

    Mahfud: Aturan Polri yang Bolehkan Polisi di 17 Lembaga Bertentangan dengan 2 UU
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pakar hukum tata negara, Mahfud MD menilai bahwa Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 yang membolehkan polisi aktif menduduki jabatan sipil 17 kementerian/lembaga bertentangan dengan dua undang-undang.
    “Perkap tersebut Perkap (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 itu bertentangan dengan dua undang-undang,” ujar Mahfud dalam kanal Youtube MahfudMD, dikutip Senin (15/12/2025).
    Pertama, Perpol tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (
    Polri
    ).
    “Di mana di dalam Pasal 28 ayat (3) (UU Polri) disebutkan bahwa yang anggota Polri yang mau masuk ke jabatan sipil itu hanya boleh apabila minta berhenti atau pensiun dari dinas Polri,” ujar Mahfud.
    Pasal 28 ayat (3) UU Polri tersebut semakin dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025.
    Putusan MK tersebut mengatur secara tegas bahwa anggota Polri harus mengundurkan diri atau mengajukan pensiun dari dinas kepolisian jika akan menduduki jabatan sipil.
    “Ketentuan terbatas ini sudah dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114 Tahun 2025,” ujar Mahfud.
    Perpol 10/2025 itu juga dinilainya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
    Dalam Pasal 19 ayat (3) UU ASN mengatur, jabatan-jabatan sipil di tingkat pusat dapat diduduki anggota TNI dan Polri sesuai yang diatur dalam UU TNI dan UU Polri.
    Mahfud menjelaskan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI telah mengatur bahwa anggota TNI boleh menduduki jabatan sipil di 14 kementerian/lembaga.
    Sedangkan dalam UU Polri, belum mengatur soal anggota polisi aktif boleh menduduki jabatan sipil di kementerian/lembaga mana saja.
    “Undang-Undang TNI sudah mengatur adanya 14 jabatan yang lalu diperluas menjadi 16, sudah mengatur bahwa TNI bisa ke situ. Tapi Undang-Undang Polri sama sekali tidak menyebut jabatan-jabatan yang bisa diduduki oleh Polri,” ujar Mahfud.
    “Dengan demikian ketentuan Perkap (Perpol 10/2025) itu kalau memang diperlukan itu harus dimasukkan di dalam undang-undang, tidak bisa hanya dengan perkap jabatan sipil itu diatur,” sambung mantan ketua MK itu.
    TRIBUNNEWS.com Ilustrasi polisi.
    Anggota Polri aktif kini resmi dapat menduduki jabatan sipil di 17 kementerian dan lembaga pemerintah.
    Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Polri.
    Berdasarkan salinan aturan yang dilihat Kompas.com dari situs peraturan.go.id, Kamis (11/12/2025), daftar kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh personel Polri diatur dalam Pasal 3 Ayat (2) Perpol tersebut.

    Pelaksanaan Tugas Anggota Polri pada kementerian/lembaga/badan/komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilaksanakan
    ,” bunyi pasal tersebut.
    Berikut 17 kementerian/lembaga yang bisa diisi polisi aktif:
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Negara yang Terlalu Terang di Statistik, Gelap di Kehidupan Nyata

    Negara yang Terlalu Terang di Statistik, Gelap di Kehidupan Nyata

    Negara yang Terlalu Terang di Statistik, Gelap di Kehidupan Nyata
    Penggerak Taman Literasi Merdeka (TLM)
    Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
    NEGARA
    ini tidak kekurangan cahaya. Setiap tahun, pemerintah menyalakan angka-angka keberhasilan dengan percaya diri, memamerkan grafik pertumbuhan ekonomi, indeks pendidikan, dan capaian pembangunan yang seolah menjadi tolok ukur kemajuan peradaban. Dari luar, semuanya tampak gemerlap. Lampu kota menyala sepanjang malam, proyek infrastruktur megah berdiri, dan laporan kinerja pemerintah diwarnai optimism yang memikat mata.
    Namun pertanyaannya sederhana dan menyakitkan: apakah cahaya itu benar-benar menyentuh kehidupan warga, atau hanya memantul di dinding birokrasi yang dingin? Di banyak tempat, kehidupan yang seharusnya menjadi pusat perhatian justru terpinggirkan. Warga yang terdampak pembangunan kehilangan tanah, komunitas lokal kehilangan ruang sosial, dan lingkungan hidup tergerus oleh proyek-proyek besar yang diumumkan sebagai “prioritas nasional”.
    Cahaya yang dipamerkan bukanlah cahaya yang menerangi jalan warga, tetapi sorot yang menyilaukan mata publik agar tidak melihat realitas pahit yang tersembunyi di balik angka dan slogan.
    Dalam logika pembangunan modern, infrastruktur dan proyek besar diperlakukan sebagai simbol kemajuan yang tak bisa diganggu. Jalan tol, gedung megah, dan kawasan industri menjadi monumen prestasi, bukan sarana untuk meningkatkan kualitas hidup secara merata. Kritik terhadap proyek-proyek ini seringkali dipandang sebagai penghalang kemajuan, bahkan dijawab dengan retorika nasionalisme yang dipoles seolah setiap penolakan adalah tindakan anti-patriotik.
    Sementara itu, warga yang kehilangan tanah atau akses terhadap sumber hidup dianggap sebagai konsekuensi “wajar” pembangunan. Dalam perspektif ini, manusia hanya menjadi variabel dalam perhitungan ekonomi, bukan subjek moral yang hidupnya harus dijaga. Negara hadir sebagai manajer besar yang sibuk mengatur ruang dan angka, tetapi absen dalam menghadirkan keadilan sosial dan empati yang nyata.
    Jika pembangunan fisik diatur oleh target, pendidikan nasional diatur oleh indikator. Kurikulum berganti nama, metode belajar dievaluasi, dan capaian diukur dalam angka yang rapi. Di permukaan, sistem ini tampak modern, ilmiah, dan progresif. Namun pendidikan yang menitikberatkan pada pengukuran dan sertifikasi sering kali gagal menumbuhkan kesadaran kritis.
    Sekolah dan universitas berfungsi lebih sebagai pabrik kepatuhan daripada laboratorium pembentukan nilai. Mahasiswa diajarkan untuk mengejar skor, guru dinilai dari kemampuan memenuhi standar administrasi, dan waktu untuk refleksi, diskusi etis, dan pengembangan empati semakin berkurang.
    Pendidikan telah menjadi mesin yang menghasilkan individu yang siap beradaptasi dengan sistem, tetapi jarang diajak mempertanyakan keadilan, keberpihakan, atau dampak sosial dari sistem itu sendiri.
    Guru dan dosen, yang seharusnya menjadi sumber cahaya moral, sering diposisikan sebagai aparatur lunak. Mereka sibuk mengisi laporan, memenuhi target akreditasi, dan mengikuti standar penilaian yang ditentukan dari pusat. Ruang untuk berinovasi, menyuarakan kebenaran, atau membimbing siswa secara personal semakin menyempit. Negara tampaknya lebih percaya pada formulir dan indikator daripada kebijaksanaan pendidik yang berpengalaman.
    Di mata negara, warga yang terlalu sadar, mahasiswa yang terlalu kritis, atau guru yang terlalu vokal dianggap sebagai potensi ancaman terhadap stabilitas. Aktivisme dan pertanyaan etis dipersempit menjadi wacana akademik yang aman. Kritik dijinakkan agar tidak mengganggu narasi keberhasilan. Semua diarahkan untuk memastikan masyarakat tetap patuh, terukur, dan mudah dikendalikan.
    Ironisnya, di saat sistem menekan kesadaran kritis, publik diajak percaya bahwa mereka hidup di negara yang adil dan transparan. Realitasnya, banyak warga tidak melihat cahaya yang dijanjikan, tetapi dipaksa menikmati sorot lampu politik yang menyilaukan. Pemerintah bangga dengan angka, tetapi tidak peduli dengan kualitas hidup di bawah angka tersebut.
    Kondisi ini menciptakan masyarakat yang terbiasa hidup dalam bayang-bayang. Kesadaran etis dan kritis dilatih untuk tunduk pada standar, bukan untuk melawan ketidakadilan. Pendidikan yang seharusnya menyalakan nurani menjadi alat reproduksi kepatuhan. Pembangunan yang seharusnya meningkatkan kualitas hidup justru memperluas jurang ketimpangan.
    Negara yang gemar memoles citra, sementara absen menghadirkan substansi moral, menciptakan paradoks: semakin banyak cahaya statistik, semakin gelap kehidupan nyata. Rakyat yang seharusnya merasakan manfaat pembangunan dan pendidikan justru terjebak dalam sistem yang menilai keberhasilan melalui angka dan indikator, bukan melalui pengalaman manusiawi sehari-hari.
    Analisis ini bukan sekadar kritik moral, tetapi panggilan politis. Negara yang sehat seharusnya bukan hanya mampu menyalakan lampu, tetapi juga menjaga agar cahaya itu menyentuh setiap ruang hidup warganya. Pendidikan tidak boleh hanya melatih kepatuhan, tetapi harus membangkitkan kesadaran kritis.
    Kebijakan publik tidak boleh hanya mengukur efektivitas dalam angka, tetapi harus menilai dampaknya terhadap kesejahteraan manusia. Di tengah gemerlap angka dan proyek besar, pertanyaan adalah apakah kehidupan warga benar-benar lebih baik, lebih adil, dan lebih bermakna ataukah mereka hanya dibiarkan terpesona oleh lampu sorot yang menyilaukan, sementara hakikat kehidupan mereka tetap gelap dan terpinggirkan?
    Negara bisa terus menyalakan lampu, memamerkan angka, dan mengumumkan proyek besar. Tetapi jika kehidupan manusia tidak diterangi secara nyata, semua cahaya itu tidak lebih dari dekorasi. Dan dekorasi tidak pernah cukup untuk memberi kehangatan, keadilan, atau makna.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pemerintah Abai Reformasi Polri

    Pemerintah Abai Reformasi Polri

    Pemerintah Abai Reformasi Polri
    Aktif sebagai Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, serta Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Indo Global Mandiri
    Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
    KEBERADAAN
    frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) menciptakan ambiguitas konseptual dan mendorong absurditas normatif dalam desain kelembagaan Polri.
    Di saat ketentuan Pasal 28 ayat (3) UU Polri secara tegas mengatur bahwa anggota Polri dapat menduduki Jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian, frasa tersebut justru membuka interpretasi kontraproduktif.
    Sebab penjelasan bahwa yang dimaksud dengan jabatan di luar kepolisian, salah satunya adalah ”yang tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri”.
    Konsekuensinya, terjadi regresi normatif dalam ketentuan Pasal a quo. Ketentuan Pasal yang sebelumnya memastikan bahwa anggota Polri harus mundur atau pensiun sebelum menduduki jabatan di luar institusi kepolisian, justru kehilangan daya paksa ketentuan karena terdapat ruang penafsiran bahwa anggota Polri masih dapat menduduki jabatan di luar ranah kepolisian selama ada penugasan Kapolri.
    Rumusan ini pada akhirnya membuyarkan semangat reformasi struktural dan memperpanjang potensi erosi profesionalisme.
    Meskipun pada bagian penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri juga terdapat penjelasan lain yang dapat melahirkan penafsiran yang tidak tunggal, bahwa yang dimaksud dengan jabatan di luar kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian, tetapi frasa tersebut paling tidak masih memiliki semangat bahwa kepolisian tidak boleh menyebar ke ranah-ranah yang bukan merupakan mandat inti lembaga penegak hukum.
    Jika frasa tersebut yang digunakan sebagai justifikasi penempatan anggota Polri di berbagai jabatan sipil, antitesis alaminya dapat mengacu kepada ruang lingkup fungsi kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Polri.
    Dengan merujuk pada batasan fungsional tersebut, maka dapat diidentifikasi secara objektif jabatan-jabatan apa yang memang tidak boleh ditempati oleh anggota Polri aktif tanpa harus memicu ambiguitas. Inilah pekerjaan rumah selanjutnya.
    Sebaliknya, frasa “tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” justru menciptakan ruang yang tidak terbatas.
    Penugasan Kapolri tidak memiliki parameter objektif, tidak dibatasi oleh fungsi kelembagaan, dan tidak melalui mekanisme kontrol sipil atau legislatif.
    Akibatnya, segala jabatan—baik yang memiliki maupun yang tidak memiliki relevansi dengan kepolisian—secara teoritis dapat “dianggap sah” untuk diisi anggota Polri hanya berdasarkan mandat Kapolri.
    Dalam kerangka permasalahan tersebut, maka Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang menyatakan bahwa frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, layak dirayakan sebagai kemenangan-kemenangan kecil dalam upaya reformasi Polri.
    Putusan ini dapat menjadi landasan, terutama bagi pemerintah dan cermin bagi institusi Polri, untuk mempercepat konsolidasi reformasi kepolisian.
    Melalui putusan tersebut, potensi penggunaan frasa tersebut sebagai justifikasi ekspansi penempatan anggota Polri di luar institusi Polri dapat dihentikan.
    Argumentasi MK telah menyentuh titik substansial dampak frasa tersebut, yakni telah mengaburkan substansi frasa “setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri.
    Menurut MK, perumusan demikian mengakibatkan ketidakpastian hukum dalam jabatan sipil yang dapat diduduki oleh anggota Polri.
    Akibat lainnya, juga dialami oleh ASN di institusi terkait, terutama terkait jenjang karier, sistem merit, dan profesionalisme birokrasi.
    Motivasi profesional birokrat juga dapat menurun (demotivasi), karena kompetisi jabatan tidak lagi didasarkan pada kualifikasi dan merit, tetapi pada penugasan institusi keamanan.
    Namun, momentum perbaikan dan penguatan reformasi Polri kurang diikuti
    political will
    yang memadai dari pemerintah.
    Putusan MK
    semestinya menjadi energi korektif yang kuat bagi pemerintah, karena argumentasi MK dalam putusannya menegaskan kembali prinsip-prinsip dasar reformasi kepolisian, serta mengembalikan reformasi Polri sesuai tracknya.
    Namun, respons pemerintah justru bergerak ke arah berlawanan ataupun tidak menularkan energi korektif serupa putusan MK.
    Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, misalnya, menyampaikan bahwa putusan MK yang melarang polisi aktif menduduki jabatan sipil tidak berlaku surut.
    Artinya, anggota Polri yang telah menjabat jabatan sipil sebelum adanya putusan MK tersebut tidak wajib mengundurkan diri.
    Pernyataan ini tentu mereduksi substansi korektif yang dimaksudkan oleh MK dalam putusannya, seperti aspek reformasi Polri, distribusi jabatan, supremasi sipil dan meritokrasi ASN.
    Dengan tidak menyambut putusan MK dengan komitmen progresif terhadap reformasi kepolisian, pemerintah dalam hal ini tidak hanya mengabaikan arah reformasi yang ditegaskan melalui putusan MK, tetapi juga memperkuat praktik deviasi yang justru hendak dikoreksi.
    Respons seperti ini mengindikasikan bahwa problem reformasi sektor keamanan tidak semata-mata persoalan hukum, tetapi terutama persoalan
    political will
    , di mana putusan lembaga yudisial tertinggi sekalipun tidak cukup kuat untuk mengubah praktik kekuasaan tanpa komitmen eksekutif yang jelas.
    Melalui putusan MK tersebut, dapat dipahami bahwa akselerasi reformasi Polri ternyata tidak dapat bertumpu semata pada kamar yudikatif, bahkan ketika yang berbicara adalah Mahkamah Konstitusi sekalipun.
    Putusan MK mampu memberikan koreksi konstitusional dan arah normatif, tetapi tidak serta-merta mengubah praktik kekuasaan tanpa dukungan politik dari cabang eksekutif.
    Kondisi ini di satu sisi sangat disayangkan, karena menunjukkan bahwa kekuatan yudisial—yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi dan pengawas deviasi regulatif—tidak cukup ampuh mendorong perubahan struktural bila tidak diikuti oleh kemauan politik pemerintah.
    Dalam konteks reformasi sektor keamanan, dalam hal ini Polri, SETARA Institute selalu menyampaikan bahwa reformasi tersebut harus berjalan dua arah.
    Tidak cukup dari internal institusi terkait, tetapi pemerintah perlu menunjukkan komitmen politik dan tindakan yang jelas untuk menopang dan mengakselerasi reformasi Polri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Peraturan Polri, Putusan MK, dan Batas Kewenangan

    Peraturan Polri, Putusan MK, dan Batas Kewenangan

    Peraturan Polri, Putusan MK, dan Batas Kewenangan
    Penulis meraih gelar Doktor Hukum dari Universitas Andalas dan saat ini berkiprah sebagai Hakim dari Peradilan Tata Usaha Negara, serta aktif sebagai akademisi dan peneliti. Selain itu, penulis juga merupakan anggota Editorial Board Journal of Social Politics and Humanities (JSPH). Tulisan yang disampaikan adalah pendapat pribadi berdasarkan penelitian, dan tidak mewakili pandangan institusi.
    Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.

    No man is above the law, and every man, whatever his rank or condition, is subject to the ordinary law of the realm
    .” — A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution
    DALAM
    tradisi negara hukum klasik, A.V. Dicey dengan tegas menyatakan bahwa “
    no man is above the law, and every man, whatever his rank or condition, is subject to the ordinary law of the realm
    .”
    Prinsip ini menegaskan bahwa kekuasaan, betapapun kuatnya, tidak pernah memiliki legitimasi untuk menghindar dari hukum, apalagi menafsirkan ulang putusan lembaga peradilan demi kepentingannya sendiri.
    Lon L. Fuller mengingatkan bahwa “
    a system of law must be addressed to the understanding of those who are bound by it
    .”
    Hukum kehilangan makna moralnya ketika ia diproduksi atau diterapkan secara manipulatif, terlebih ketika putusan pengadilan yang seharusnya memberi kepastian justru dikelola ulang melalui kebijakan administratif.
    Kemudian, Tom Ginsburg menegaskan bahwa “
    courts matter because they can serve as a commitment device, binding political actors to constitutional rules
    .”
    Dalam kerangka ini, pengadilan tidak sekadar forum penyelesaian sengketa, melainkan mekanisme pengikat yang mencegah institusi negara mengubah arah hukum sesuai kepentingan kekuasaan sesaat.
    Kajian-kajian tersebut menegaskan prinsip dasar negara hukum modern: supremasi konstitusi dan putusan pengadilan harus menjadi rujukan tertinggi bagi seluruh organ negara, termasuk institusi penegak hukum.
    Dalam hal ini, demokrasi konstitusional hanya dapat bertahan jika seluruh institusi negara tunduk pada putusan pengadilan, tanpa membuka ruang bagi penafsiran ulang yang bersifat sepihak oleh pemegang kekuasaan.
    Dalam konteks Indonesia, prinsip ini menjadi sangat relevan ketika kebijakan internal suatu lembaga negara justru memunculkan tafsir berjarak, bahkan berpotensi bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
    Polemik seputar Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi kepolisian menjadi contoh nyata bagaimana ketegangan antara kewenangan administratif dan ketaatan konstitusional kembali mengemuka.
    Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 telah memberikan garis batas yang tegas mengenai kedudukan anggota Polri dalam jabatan sipil.
    Inti putusan tersebut adalah penegasan bahwa anggota Polri yang menduduki jabatan di luar institusi kepolisian wajib mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
    Frasa dalam Undang-Undang Polri yang sebelumnya membuka ruang penugasan tanpa pengunduran diri dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena menciptakan ketidakpastian hukum.
    Putusan ini bukan sekadar koreksi normatif, melainkan penegasan prinsip konstitusional tentang pemisahan peran antara aparat keamanan dan jabatan sipil.
    Dalam negara demokratis, keberadaan aparat bersenjata di ruang-ruang sipil harus dibatasi secara ketat untuk mencegah tumpang tindih kewenangan dan konflik kepentingan.
    Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi seharusnya dipahami sebagai perintah konstitusional yang bersifat final dan mengikat, bukan sebagai opsi kebijakan yang dapat ditafsirkan ulang melalui peraturan internal lembaga.
    Dalam kerangka ini, pernyataan para pakar hukum yang menegaskan bahwa Perpol tidak dapat menggugurkan atau mengubah makna putusan Mahkamah Konstitusi menjadi sangat relevan.
    Hierarki norma hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia secara jelas menempatkan putusan Mahkamah Konstitusi di atas peraturan lembaga, termasuk peraturan kepolisian.
    Ketika garis batas konstitusional telah ditarik secara tegas oleh Mahkamah, maka ruang diskresi institusional menjadi sangat terbatas.
    Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 mengatur penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi kepolisian, termasuk penempatan pada 17 kementerian dan lembaga negara.
    Secara formal, peraturan ini menyatakan bahwa penugasan tersebut dilakukan dengan melepaskan jabatan internal kepolisian.
    Namun, persoalan utamanya bukan semata pada pelepasan jabatan struktural, melainkan pada status keanggotaan Polri itu sendiri: apakah yang bersangkutan masih berstatus anggota aktif atau telah sepenuhnya beralih menjadi warga sipil.
    Di sinilah letak problem mendasarnya. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak berhenti pada soal jabatan internal, melainkan menekankan keharusan pengunduran diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
    Artinya, status sebagai anggota Polri aktif tidak lagi dapat dipertahankan ketika seseorang menduduki jabatan sipil.
    Ketika Perpol membuka ruang bagi penugasan luas di berbagai kementerian dan lembaga, termasuk yang bersifat administratif dan regulatif, muncul kesan bahwa Polri sedang membangun tafsir administratif sendiri terhadap batasan konstitusional yang telah ditetapkan.
    Kebijakan semacam ini berisiko menimbulkan ketegangan normatif. Di satu sisi, Polri tentu memiliki kepentingan institusional untuk mendukung berbagai fungsi negara melalui penugasan personelnya.
    Namun di sisi lain, kepentingan tersebut tidak boleh mengorbankan prinsip kepastian hukum dan ketaatan pada putusan pengadilan.
    Ketika peraturan internal terkesan “mengakali” makna putusan Mahkamah Konstitusi, yang dipertaruhkan bukan hanya soal legalitas administratif, tetapi juga wibawa konstitusi itu sendiri.
    Selain itu, penempatan anggota Polri aktif di berbagai lembaga sipil juga berpotensi menimbulkan persoalan meritokrasi dan keadilan karier bagi aparatur sipil negara.
    Mahkamah Konstitusi secara eksplisit telah menyinggung potensi kerancuan dan ketidakadilan dalam pengisian jabatan sipil apabila ruang tersebut dibuka bagi aparat keamanan yang masih aktif.
    Oleh karena itu, Perpol 10/2025 seharusnya diuji secara kritis, bukan hanya dari sudut kepentingan fungsional Polri, tetapi juga dari dampaknya terhadap sistem kepegawaian sipil secara keseluruhan.
    Kritik terhadap Perpol 10/2025 tidak boleh dipahami sebagai serangan terhadap institusi Polri. Sebaliknya, kritik ini justru penting untuk menjaga profesionalisme Polri sebagai institusi penegak hukum yang seharusnya menjadi teladan dalam kepatuhan terhadap konstitusi.
    Dalam negara hukum, kepatuhan terhadap putusan pengadilan bukan sekadar kewajiban formal, melainkan fondasi legitimasi kekuasaan itu sendiri.
    Polri memiliki posisi strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Oleh karena itu, setiap kebijakan internalnya akan selalu berada dalam sorotan publik.
    Ketika kebijakan tersebut menimbulkan kesan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, kepercayaan publik berpotensi terkikis. Padahal, kepercayaan publik adalah modal utama bagi efektivitas penegakan hukum.
    Langkah yang lebih bijak adalah melakukan penyesuaian kebijakan secara terbuka dan konstitusional.
    Jika Polri menilai bahwa penugasan tertentu memang diperlukan untuk kepentingan negara, maka jalur yang ditempuh seharusnya adalah perubahan undang-undang melalui mekanisme legislasi, bukan melalui peraturan internal yang berpotensi menabrak putusan pengadilan.
    Dengan demikian, kepentingan fungsional negara dapat tetap dijaga tanpa mengorbankan prinsip supremasi konstitusi.
    Pada akhirnya, polemik Perpol 10/2025 menjadi ujian penting bagi eksistensi Indonesia sebagai negara hukum.
    Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh direduksi menjadi sekadar rujukan normatif yang bisa ditafsirkan ulang sesuai kebutuhan institusional.
    Ketaatan penuh terhadap putusan tersebut justru akan memperkuat posisi Polri sebagai institusi profesional, modern, dan sepenuhnya tunduk pada hukum.
    Dalam konteks inilah kritik yang konstruktif perlu terus disuarakan, bukan untuk melemahkan Polri, melainkan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tetap berada dalam koridor konstitusi dan demokrasi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Fadli Zon Dorong Buku Sejarah Ditulis Sebanyak-banyaknya

    Fadli Zon Dorong Buku Sejarah Ditulis Sebanyak-banyaknya

    Fadli Zon Dorong Buku Sejarah Ditulis Sebanyak-banyaknya
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Kebudayaan, Fadli Zon mendorong pihak lain untuk menulis buku sejarah sebanyak-banyaknya, untuk memperkaya referensi buku sejarah Indonesia yang sudah ada.
    “Tidak perlu ada tandingan. Tulislah
    buku sejarah
    sebanyak-banyaknya. Apalagi
    sejarah lokal
    , banyak yang belum ditulis,” kata Fadli saat ditemui di Kantor Kemendikdasmen, Jakarta, Minggu (14/12/2025).
    “Sejarah setiap kabupaten, provinsi, sejarah kota, sejarah tentang manusia, orangnya, sejarah tentang tokoh. Saya kira kita perlu sebanyak-banyaknya,” imbuhnya.
    Menurut Fadli, selama ini tidak ada larangan dari pemerintah kepada pihak yang ingin menulis buku sejarah.
    “Orang yang menulis buku apa saja, sekarang bebas kan. Jadi mau dia menulis, saya aja menulis banyak buku sejarah,” ucapnya.
    “Saya menulis buku tentang Huru-hara Mei ’98. Itu 15 kali cetak gitu ya. Jadi salah satu buku unggulan dan buku terlaris saya begitu ya. Orang bebas kan menulis. Jadi tidak ada masalah,” kata dia.
    Terkait anggapan bahwa
    penulisan sejarah
    oleh negara identik dengan praktik sentralistik ala negara otoriter, Fadli menepis tudingan tersebut. Ia menyebut pernyataan itu keliru dan paradoksal.
    “Justru kita menulis sejarah terbuka. Kalau ada tudingan kayak gitu, untuk apa ada artinya kita memfasilitasi Direktorat Sejarah dan Sejarah. Di Amerika juga mereka menulis sejarah. Bahkan diwajibkan sejarah itu,” urai Fadli.
    Ia menegaskan,
    Kementerian Kebudayaan
    hanya berperan sebagai fasilitator dalam penyusunan buku sejarah nasional tersebut. Seluruh substansi diserahkan kepada para sejarawan tanpa intervensi pemerintah.
    “Silakan bertanya pada sejarawan. Ada yang nggak intervensi? Tidak ada intervensi. Bahkan sampai proses terakhir pun,” kata dia.
    Diketahui, Kementerian Kebudayaan meluncurkan buku “Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global” yang ditulis oleh 123 sejarawan dari 34 perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
    Buku setebal 10 jilid ini diharapkan menjadi rujukan penting dalam memahami perjalanan panjang bangsa Indonesia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dari Rakyat untuk Rakyat ala Jokowi, PSI Optimistis Menang di Pemilu 2029

    Dari Rakyat untuk Rakyat ala Jokowi, PSI Optimistis Menang di Pemilu 2029

    Dari Rakyat untuk Rakyat ala Jokowi, PSI Optimistis Menang di Pemilu 2029
    Tim Redaksi
     
    TANGERANG, KOMPAS.com
    – Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menargetkan menjadi partai pemenang dalam Pemilihan Umum 2029 mendatang. Target ambisius itu disampaikan Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat (DPP)
    PSI
    Ahmad Ali
    dalam Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) DPW PSI Banten di Mercure Serpong Alam Sutera, Tangerang, Banten, Minggu (14/12/2024).
    Ahmad Ali menegaskan, optimisme PSI untuk meraih kemenangan pada 2029 bukan sekadar lolos
    parliamentary threshold
    . Partai berlambang gajah ini, bahkan menargetkan posisi sebagai salah satu kekuatan politik yang diperhitungkan di Indonesia.
    “Optimisme kami untuk lolos di 2029 itu tidak hanya lolos parlemen, tapi insyaallah bisa menjadi bagian dari pemenang
    Pemilu 2029
    . PSI diciptakan untuk menjadi pemenang Pemilu 2029,” ujar Ahmad Ali disambut tepuk tangan peserta rakorwil.
    Untuk mewujudkan target tersebut, PSI tengah gencar melakukan konsolidasi organisasi di seluruh Indonesia. Rakorwil di Banten merupakan bagian dari rangkaian persiapan menjelang Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang dijadwalkan pada akhir Januari 2025.
    Ahmad Ali menjelaskan, konsolidasi struktural hingga tingkat Dewan Pimpinan Cabang (DPC) menjadi prioritas DPP PSI pascakongres. Langkah ini dilakukan untuk memastikan partai siap menghadapi verifikasi faktual yang akan dilaksanakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 2027.
    “Sebelum rakernas, tentunya kami ingin memastikan bahwa DPP telah melaksanakan konsolidasi struktural sampai dengan tingkat DPC. Ini merupakan tugas yang harus dilaporkan oleh DPP setelah kongres selesai,” kata Ahmad Ali.
    Pembentukan struktur lengkap dari Dewan Pimpinan Wilayah (DPW), DPD, hingga DPC di seluruh Indonesia dinilai krusial agar kader lebih siap menghadapi verifikasi. Dengan konsolidasi yang disiapkan jauh hari, PSI optimistis tidak akan ada keraguan secara struktural saat verifikasi berlangsung.
    Ahmad Ali juga menyoroti pencapaian PSI di Banten pada Pemilu 2024. Menurutnya, di provinsi ini seharusnya sudah menghasilkan satu kursi DPR RI, tapi belum terwujud karena dukungan dari daerah lain belum optimal.
    Meski begitu, ia yakin bahwa dengan konsolidasi yang lebih matang, PSI akan tampil lebih kuat pada 2029. Kunci kemenangan terletak pada kerja sama dan soliditas di bawah kepemimpinan Ketua Umum PSI
    Kaesang Pangarep
    .
    Dalam upaya meraih kemenangan 2029, PSI mengusung spirit kuat dengan menempatkan mantan Presiden RI ketujuh
    Joko Widodo
    (
    Jokowi
    ) sebagai patron partai.
    “Di PSI, kami memiliki salah satu tokoh utama yang menurut saya menjadi patron bangsa ini. Menurut saya, beliau adalah presiden terbaik yang pernah dilahirkan bangsa ini, yaitu Pak Presiden Joko Widodo,” kata Ahmad Ali.
    Positioning
    Jokowi sebagai patron bukan untuk mendompleng popularitas, melainkan untuk memberikan harapan kepada masyarakat. PSI ingin menunjukkan bahwa partai ini berkomitmen melahirkan pemimpin-pemimpin dari kalangan rakyat biasa, bukan dari
    dinasti politik
    atau keturunan kekuasaan.
    Ia menekankan, Jokowi adalah contoh nyata bahwa seseorang tidak perlu berasal dari keluarga berada atau dinasti politik untuk menjadi pemimpin. Cukup dengan dicintai rakyat dan mendekat kepada rakyat, seseorang bisa terpilih menjadi pemimpin.
    “Pak Jokowi adalah contoh hidup. Dia adalah pemimpin yang lahir dari rakyat. Dia bukan keturunan raja atau keturunan politisi atau keturunan orang berkuasa, tapi dia lahir dari rakyat,” ungkap Ahmad Ali.
    PSI mendesain dirinya untuk melahirkan pemimpin yang benar-benar mengerti kebutuhan rakyat. Ahmad Ali menegaskan bahwa kader PSI yang terpilih menjadi pemimpin tidak berutang kepada partai, tetapi kepada rakyat Indonesia yang telah memberikan kepercayaan.
    “Untuk itu, ketika saudara dipilih, maka mengerti lah. Berikanlah karya terbaik kalian terhadap rakyat Indonesia,” tegas Ahmad Ali.
    Lebih lanjut, ia menekankan bahwa PSI tidak dibangun untuk kepentingan segelintir orang atau kelompok tertentu. Partai ini dibesarkan untuk menampung tokoh-tokoh terbaik dan anak muda terbaik yang ada di berbagai daerah.
    “PSI dibangun, dibesarkan, dan kemudian kami undang tokoh-tokoh terbaik, anak-anak muda terbaik yang ada di provinsi Banten untuk mengisi, menjadikan mereka sebagai anggota legislatif, tokoh-tokoh menjadi kepemimpinan daerah di daerah ini,” ujarnya.
    Bagi Ahmad Ali, yang terpenting bukan siapa yang menjadi anggota DPR dari PSI, melainkan apakah rakyat Indonesia bisa sejahtera melalui partai tersebut.
    Dalam konsolidasi di Banten, Ahmad Ali memberikan arahan khusus terkait pendekatan kultural yang harus dilakukan kader PSI. Ia mengakui bahwa Banten merupakan provinsi yang memiliki karakter religius kuat sehingga pendekatan harus disesuaikan dengan kondisi lokal.
    Mengutip pepatah “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, Ahmad Ali menginstruksikan seluruh kader PSI di Banten untuk mendatangi para kiai dan ulama. Namun, pendekatan ini bukan untuk kepentingan politik praktis atau menjadikan mereka sebagai basis politik.
    “Saya minta, datangilah para kiai atau ulama. Bertanyalah kepada mereka ketika ada permasalahan-permasalahan. Jadikanlah mereka sebagai guru-guru kalian. Namun, jangan memanfaatkan mereka untuk kepentingan politik,” tegas Ahmad Ali.
    Menurutnya, pendekatan kepada tokoh agama dimaksudkan agar kader PSI bisa belajar dan meminta nasihat ketika menghadapi berbagai persoalan di lapangan. Pemisahan antara dunia politik dan tokoh agama justru akan menciptakan kesenjangan informasi yang berbahaya.
    Ia mencontohkan, jika para kiai, pendeta, dan orang-orang bijak berdiam diri serta tidak peduli terhadap politik, hal ini akan memberi kesempatan kepada pihak yang tidak bertanggung jawab untuk berkuasa. Oleh karena itu, PSI mendorong kader untuk menjadikan tokoh agama sebagai tempat berguru, bukan sebagai basis politik.
    “Jangan jadikan PSI sebagai rumah untuk satu kelompok hanya karena punya keinginan untuk memenangkan satu kontestasi. Terus kemudian kita terjebak pada politik identitas,” katanya.
    PSI, menurut Ahmad Ali, tetap akan menjadi partai yang menjadi rumah untuk semua orang Indonesia. Partai sadar bahwa Indonesia dihuni oleh begitu banyak keragaman.
    Di akhir sambutannya, Ahmad Ali mengapresiasi DPW PSI Banten yang telah mengumpulkan donasi sebesar Rp 250 juta untuk membantu korban bencana di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Dana tersebut akan disalurkan untuk kebutuhan pokok masyarakat yang terdampak musibah.
    “Jangan mengira bahwa uang tersebut tidak ada arti apa-apa. Saya yakin, (bantuan tersebut) paling tidak bisa mengurangi, menghibur teman-teman, saudara-saudara kita yang sedang tertimpa musibah bencana,” kata Ahmad Ali.
    Ia juga menyampaikan bahwa Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep sedang dalam perjalanan kemanusiaan ke Aceh untuk menyalurkan bantuan secara langsung.
    Ahmad Ali menceritakan, pada malam sebelum rakorwil, ia bertemu dengan Gubernur Aceh selama kurang lebih dua jam. Gubernur Aceh menyampaikan terima kasih atas perhatian PSI yang telah memberikan bantuan sejak awal bencana terjadi.
    Meski bantuan tersebut tidak dipublikasikan secara luas karena instruksi Ketua Umum, Gubernur Aceh sengaja datang untuk mengapresiasi langsung kepada Ahmad Ali dan pimpinan PSI.
    Ahmad Ali menutup sambutannya dengan harapan agar Ketua Umum PSI diberikan kekuatan oleh Allah SWT dan bisa kembali dengan selamat ke Jakarta setelah menjalankan misi kemanusiaan di Aceh.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Jembatan Gantung Putus di Purworejo, Warga Terperosok ke Sungai, Polisi Turun Tangan
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        14 Desember 2025

    Jembatan Gantung Putus di Purworejo, Warga Terperosok ke Sungai, Polisi Turun Tangan Regional 14 Desember 2025

    Jembatan Gantung Putus di Purworejo, Warga Terperosok ke Sungai, Polisi Turun Tangan
    Tim Redaksi
    PURWOREJO, KOMPAS.com
    – Sebuah jembatan gantung yang menghubungkan Desa Tanjunganom dengan Desa Sidomulyo, Kecamatan Butuh, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, dikabarkan putus dan viral di media sosial, Minggu (14/12/2025).
    Peristiwa tersebut pertama kali ramai diperbincangkan setelah diunggah akun Instagram @
    purworejo
    .terkini.
    Video tersebut telah ditonton sebanyak 21 ribu kali dan mendapatkan beragam komentar.
    Dalam video yang beredar, tampak sejumlah warga tengah melintasi
    jembatan gantung
    di area persawahan.
    Beberapa saat kemudian, bagian jembatan terlihat tidak stabil hingga akhirnya mengalami kerusakan serius.
    Pada unggahan tersebut disebutkan bahwa jembatan diduga putus akibat kelebihan beban.
    Sejumlah warga pun terlihat terperosok ke dalam sungai.

    Jembatan penghubung Desa Tanjunganom–Sidomulyo Kecamatan Butuh dikabarkan putus, diduga karena kelebihan beban
    ,” tulis akun @purworejo.terkini dalam keterangannya.
    Akun tersebut juga mengimbau masyarakat agar lebih berhati-hati dan sementara waktu mencari jalur alternatif jika hendak melintas.
    Kapolsek Butuh, Iptu Irfan Sofar, saat dikonfirmasi membenarkan terjadinya peristiwa jembatan gantung yang putus tersebut.
    Jembatan putus terjadi sekitar pukul 07.44 WIB.
    Begitu menerima laporan dari masyarakat, jajaran Polsek Butuh bersama Unit Reskrim, Unit Identifikasi, Unit 3 Satreskrim Polres Purworejo, Inafis, serta Pamapta Polres Purworejo langsung mendatangi lokasi kejadian untuk melakukan pemeriksaan dan olah tempat kejadian perkara (TKP).
    “Benar telah terjadi kejadian putusnya tali penahan jembatan gantung,” ujar Iptu Irfan.
    Jembatan tersebut membentang di atas Sungai Bedono dan disangga oleh tiang besi setinggi kurang lebih delapan meter.
    “Situasi sudah kondusif dan penanganan di lokasi telah selesai dilakukan. Kami mengimbau masyarakat agar lebih berhati-hati dan memperhatikan kondisi sarana umum sebelum digunakan,” tuturnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.