Prabowo Cek Perbaikan Jalan di Lembah Anai yang Putus Akibat Banjir dan Longsor
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Presiden RI Prabowo Subianto turut mengecek pembangunan infrastruktur jalan pasca bencana banjir dan longsor di Sumatera Barat.
Dari siaran YouTube Sekretariat Presiden pada Kamis (18/12/2025), Prabowo mengecek perbaikan jalan yang putus di
Lembah Anai
, Tanah Datar,
Sumatera Barat
.
Setibanya di lokasi, Prabowo langsung diberi penjelasan soal jalanan yang putus oleh petugas dari Kementerian Pekerjaan Umum (PU).
Sejumlah alat berat ekskavator juga ada di sekitar lokasi sedang mengeruk tanah di sekitar lokasi.
Prabowo juga melihat kondisi jalan yang terdampak banjir dan longsor sambil mendapat penjelasan dari stakeholder terkait.
Sambil keliling mengecek jalan, Prabowo juga menyapa masyarakat yang berada di lokasi untuk melihat kepala negara.
Sebelum meninjau jalan, Prabowo memulai kegiatannya di Sumatera Barat dengan mengunjungi Posko Pengungsi SD 05 Kayu Pasak Palembayan, Agam.
Di posko, Prabowo menyapa dan berbincang dengan para warga. Ia juga menghibur anak-anak serta mengapresiasi petugas yang telah bekerja keras untuk membantu warga.
Kedatangan Prabowo di posko itu disambut antusias warga. Ada pula warga yang menangis menceritakan soal kondisinya saat bertemu Prabowo.
Prabowo mengungkap, pemerintah setiap hari selalu memikirkan cara untuk memperbaiki keadaan pasca bencana Sumatera.
“Saudara-saudara tidak sendiri. Kita semua memikirkan tiap hari bagaimana kita bisa memperbaiki keadaan saudara-saudara,” kata Prabowo dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden.
Prabowo meminta warga bersabar. Ia mengatakan semua pihak akan mengatasi ini bersama-sama.
“Terima kasih yang sabar. Kita bersama-sama akan mengatasi ini semua,” lanjut Prabowo.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Category: Kompas.com
-
/data/photo/2025/12/17/6942d73f4e6df.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
2 Hidup dari Gaji UMP di Jakarta: Bertahan, Berhemat, dan Menunda Mimpi Megapolitan
Hidup dari Gaji UMP di Jakarta: Bertahan, Berhemat, dan Menunda Mimpi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Gaji setara Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta atau yang dulu dikenal sebagai UMR sekitar Rp 5 juta kerap terdengar cukup di atas kertas.
Tetapi bagi banyak pekerja, angka itu lebih sering menjadi batas antara bertahan hari ini dan menunda mimpi untuk esok hari.
Bagi sebagian orang, upah setara UMP Jakarta bukan lagi soal hidup layak, melainkan bagaimana bisa terus berjalan hingga akhir bulan.
Pengalaman itu tercermin dari kisah para pekerja muda dengan latar belakang berbeda, tetapi dipertemukan oleh realitas yang sama yakni mengelola hidup di Jakarta.
Sari Kartika (25), misalnya, bekerja sebagai sales promotion girl (SPG). Perempuan yang sudah menilah ini telah dua tahun bekerja dengan gaji sekitar Rp 5,3 juta per bulan, setara UMP Jakarta.
“Pengeluaran terbesar biasanya untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari, seperti makan, belanja bulanan, dan transportasi. Karena sudah menikah, pengeluaran jadi lebih terasa dibanding waktu masih lajang,” ujar Sari saat ditemui di rumah kontrakannya, Kamis (17/12/2025).
Sari tinggal bersama suaminya di rumah kontrakan dengan biaya sewa yang ditanggung bersama.
Untuk transportasi, ia menyesuaikan dengan jadwal kerja, kadang menggunakan motor, kadang transportasi umum.
Meski tak merinci angka, Sari mengakui ongkos transportasi cukup menggerus penghasilan.
Ia dan suaminya masih bisa menabung, meski jumlahnya terbatas.
“Masih, tapi tidak banyak. Tabungan itu biasanya hasil gabungan saya dan suami. Kalau hanya dari gaji saya sendiri, rasanya sulit untuk nabung besar,” kata dia.
Menjelang akhir bulan, pola hidup mereka berubah. Pengeluaran diperketat, belanja ditunda, keinginan ditekan.
“Menjelang akhir bulan biasanya sudah mulai lebih hemat. Kami jadi lebih selektif belanja, menahan keinginan yang bukan kebutuhan utama,” ujar Sari.
Ia mengaku jarang berutang, tetapi menunda kebutuhan sudah menjadi hal lumrah. Hiburan menjadi hal pertama yang dikorbankan.
“Kami jarang banget liburan jauh. Biasanya cukup di rumah atau keluar sebentar yang tidak banyak keluar biaya,” tutur dia.
Dengan kondisi itu, Sari menilai hidupnya berada di antara “cukup” dan “bertahan”.
“Karena belum punya anak, masih terasa cukup kalau digabung dengan gaji suami. Tapi kalau nanti punya anak, saya merasa UMR pasti berat,” ucap Sari.
Berbeda dengan Sari, Dilla (23) masih lajang. Ia bekerja sebagai personal assistant di Jakarta Selatan dengan gaji sekitar Rp 6 juta per bulan, sedikit di atas UMR.
Sebagai perantau dari Serang, Banten, Dilla menanggung seluruh biaya hidup sendiri di Jakarta.
Ia tinggal di kos kawasan Kemang dengan biaya Rp 2,2 juta per bulan. Menurutnya, angka itu mahal, tetapi sepadan dengan lokasi dan fasilitas.
“Pos terbesar tentu tempat tinggal atau kos. Pos kedua paling besar adalah biaya makan sehari-hari,” ujar Dilla.
Untuk transportasi, ia mengandalkan ojek online karena jarak kos ke kantor cukup dekat. Biayanya sekitar Rp 400.000–Rp 500.000 per bulan.
Dilla berusaha menyisihkan tabungan sejak awal gaji masuk, meski jumlahnya terbatas.
“Bisa, tapi mepet banget. Nabungnya pelan-pelan,” kata dia.
Menjelang akhir bulan, hidupnya berubah menjadi mode bertahan. Ia membawa bekal, berhenti membeli kopi, dan mengurangi hangout.
“Lumayan struggle. Aku harus benar-benar ngatur supaya bisa bertahan sampai gajian,” ucap Dilla.
Saat ditanya seberapa sering gajinya habis sebelum waktunya, jawabannya singkat.
“Setiap bulan,” tutur dia.
Bagi Dilla, gaji setara UMR belum bisa disebut layak.
“Menurut aku, untuk hidup layak, mengandalkan
gaji UMR
itu tidak cukup di Jakarta. Di atas Rp 10 juta baru bisa dibilang layak, apalagi kalau mau menabung lebih banyak,” kata Dilla.
Muhammad Iqbal (23) bekerja sebagai QC Staff. Ia sudah delapan bulan bekerja di Jakarta, setelah empat tahun merantau sejak kuliah di Depok. Gajinya setara UMR, sedikit di atasnya.
Pengeluaran terbesarnya adalah kos Rp 1,5 juta per bulan (termasuk listrik) dan makan. Biaya transportasi sekitar Rp 200.000 per bulan untuk bensin motor.
Iqbal mengaku selalu menyisihkan tabungan dan dana darurat.
“Karena kita enggak tahu kebutuhan mendesak itu datang kapan,” kata dia.
Ia pernah berada di fase sulit di awal bekerja, bahkan sempat berutang ke sepupu dan mengirit makan. Namun pengalaman itu mengajarkannya cara mengelola gaji.
“Sejauh ini saya tidak pernah merasa gaji UMR habis sebelum waktunya. Tergantung cara kita manage dan gaya hidup,” ujar Iqbal.
Bagi Iqbal, UMR masih memungkinkan hidup layak selama masih lajang.
“Saya masih bisa bertahan hidup layak di ibu kota, mengirim ke orang tua dan menabung,” tutur dia.
Namun ia mengakui, hiburan menjadi hal yang paling sering dikorbankan.
Perencana keuangan Rista Zwestika CFP WMI menjelaskan, UMP DKI Jakarta 2025 sekitar Rp 5,39 juta per bulan. Namun angka itu belum mencerminkan biaya hidup riil.
“Survei BPS dan sejumlah lembaga menunjukkan bahwa biaya hidup rata-rata rumah tangga di Jakarta jauh lebih tinggi (BPS: sekitar Rp 14,8 juta per bulan untuk rumah tangga), sehingga UMP hanya menutup sebagian kebutuhan dasar,” ujar Rista saat dihubungi.
Menurut dia, bagi pekerja lajang yang sangat hemat, UMR masih memungkinkan untuk bertahan, tetapi dengan banyak kompromi.
Ia memaparkan alokasi realistis penghasilan Rp 5 juta per bulan: hunian 30 persen, makan 25 persen, transportasi 10 persen, tagihan 8 persen, kesehatan 5 persen, tabungan 10 persen, dan sisanya untuk kebutuhan fleksibel.
Dalam praktiknya, Rista kerap menemui pola hidup
paycheck-to-paycheck
, kerja sampingan, ketergantungan pinjaman konsumtif, serta minimnya perlindungan dan investasi jangka panjang.
“Tidak siap krisis PHK, sakit, atau kejadian besar memaksa jual aset atau pinjam mahal. Tidak ada investasi atau persiapan pensiun meningkatkan risiko kemiskinan di usia tua,” jelas dia.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF, M. Rizal Taufikurahman, menegaskan
UMR Jakarta
secara nominal terlihat tinggi, tetapi belum mencerminkan standar hidup layak.
“Struktur biaya hidup didominasi pengeluaran non-makanan terutama perumahan dan transportasi yang bersifat wajib dan sulit dikompresi,” kata Rizal.
Menurut dia, bagi pekerja lajang UMR mungkin cukup untuk bertahan. Namun bagi pekerja berkeluarga, ruang finansialnya sangat sempit.
“Dalam konteks ini, UMR lebih berfungsi sebagai batas minimum bertahan hidup, bukan jaminan hidup layak,” ujar Rizal.
Ia menilai kenaikan UMR kerap kalah cepat dari inflasi biaya hidup perkotaan, seperti sewa hunian, ongkos komuter, dan harga pangan.
Akibatnya, setiap kenaikan upah habis untuk menutup pengeluaran rutin. Jika kondisi “cukup tapi rapuh” ini meluas, fondasi ekonomi kota menjadi tidak kokoh.
“Konsumsi rumah tangga tetap berjalan, tetapi bersifat defensif dan minim tabungan,” ujar dia.
Menurut Rizal, solusi tidak bisa berhenti pada penyesuaian upah.
“Pemerintah perlu memprioritaskan pengendalian biaya hidup pada pos pengunci, terutama hunian terjangkau, transportasi publik, dan stabilisasi harga pangan,” kata Rizal.
Cerita Sari, Dilla, dan Iqbal menunjukkan bahwa Rp 5 juta di Jakarta bukan sekadar angka.
Mereka adalah spektrum pengalaman yakni antara bertahan dengan kompromi, cukup dengan disiplin, atau lelah oleh kenyataan.
Satu benang merahnya sama yakni UMR Jakarta sering kali cukup untuk hari ini, tetapi belum tentu untuk masa depan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/12/18/694380a2d9ea6.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Bencana, Hak Warga, dan Kewajiban Negara
Bencana, Hak Warga, dan Kewajiban Negara
Pemerhati masalah hukum dan kemasyarakatan
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
SETIAP
kali bencana alam terjadi: kebakaran permukiman, banjir bandang, tanah longsor, atau gunung meletus, ruang publik segera dipenuhi satu diksi yang berulang-ulang diucapkan oleh pejabat negara: “bantuan”.
Pemerintah memberikan bantuan, pejabat menyerahkan bantuan, dan negara menyalurkan bantuan kepada masyarakat terdampak bencana. Laksana Sinterklaas yang berbaik hati kepada anak-anak dengan membagi-bagi coklat.
Pemerintah melalui aparatnya adalah pelayan masyarakat sebagai pemilik negara. Pemerintah (Presiden) bukan pemilik negara yang kemudian berbuat baik kepada masyarakat dengan memberikan bantuan.
Sekilas, diksi tersebut terdengar wajar, bahkan terkesan empatik. Namun, jika dikaji lebih dalam dari perspektif konstitusi, penggunaan kata bantuan justru menyimpan persoalan serius.
Diksi bantuan mengaburkan hak warga negara dan kewajiban konstitusional negara. Diksi tersebut bahkan dipolitisasi untuk pencitraan.
Dalam kerangka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, relasi antara negara dan warga negara tidak pernah dibangun atas dasar belas kasihan, melainkan atas dasar hak dan kewajiban.
Ketika konstitusi menyebut hak, maka secara simultan melekat kewajiban negara. Sebaliknya, ketika konstitusi menetapkan kewajiban warga, di sana terdapat hak negara. Keduanya tidak dapat dipisahkan.
Persoalannya, paradigma ini (kewajiban negara dan hak warga negara) sering kali hilang dalam praktik kebijakan kebencanaan. Terutama dalam mengurangi dampak bencana yang menimpa masyarakat.
UUD 1945 secara tegas menempatkan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab atas perlindungan dan kesejahteraan rakyat.
Pasal 28H ayat (1) menjamin hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Pasal 34 ayat (3) menegaskan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak.
Dalam konteks bencana, ketentuan konstitusional ini memiliki makna yang sangat konkret. Masyarakat yang kehilangan rumah akibat kebakaran, yang terendam banjir bandang, atau yang harus mengungsi akibat letusan gunung berapi bukanlah penerima belas kasihan negara, melainkan pemegang hak konstitusional.
Mereka berhak atas: perlindungan keselamatan jiwa, layanan kesehatan, tempat tinggal sementara yang layak, pemulihan sosial dan ekonomi, serta jaminan keberlanjutan hidup pascabencana.
Bukan justru memperdebatkan bantuan yang ada serta menolak bantuan dari luar negeri. Semua itu bukan bantuan. Semua itu adalah hak warga negara.
Masalahnya, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga cermin cara berpikir kekuasaan. Ketika negara menggunakan diksi bantuan, terdapat tiga bahaya laten.
Pertama, hak warga negara direduksi menjadi pemberian sukarela. Bantuan mengandung makna opsional, seolah-olah negara boleh memberi atau tidak memberi. Padahal, dalam negara hukum, pemenuhan hak adalah kewajiban yang mengikat.
Kedua, kewajiban konstitusional negara berubah menjadi kebaikan hati penguasa. Negara tampil sebagai pihak yang “bermurah hati”, bukan sebagai institusi yang menjalankan mandat konstitusi.
Akibatnya, kegagalan negara sering dimaklumi sebagai keterbatasan, bukan dikritik sebagai kelalaian.
Ketiga, bahasa bantuan melanggengkan relasi kuasa yang timpang. Rakyat diposisikan sebagai objek yang patut berterima kasih, bukan sebagai subjek hukum yang berhak menuntut akuntabilitas.
Dalam jangka panjang, paradigma ini berbahaya bagi demokrasi dan negara hukum.
Negara Indonesia bukanlah negara dermawan yang boleh memberi atau tidak memberi. Indonesia adalah negara hukum yang berorientasi pada kesejahteraan (
welfare state
).
Dalam negara seperti ini, kehadiran negara dalam situasi bencana bukan pilihan moral, melainkan keharusan hukum.
Ketika negara lambat mengevakuasi warga, gagal menyediakan hunian sementara, atau abai terhadap pemulihan korban bencana, masalahnya bukan sekadar teknis atau administratif. Itu adalah masalah konstitusional.
Sayangnya, dengan terus menggunakan bahasa bantuan, kegagalan negara sering tertutup oleh narasi empati simbolik: penyerahan paket sembako, kunjungan pejabat, dan konferensi pers penuh janji.
Padahal yang dibutuhkan masyarakat terdampak bukan simbol, melainkan pemenuhan hak secara sistematis dan berkelanjutan.
Sudah saatnya bahasa kebijakan kebencanaan diubah. Negara harus mulai menyebut secara jujur apa yang sedang ia lakukan: memenuhi hak warga negara. Perubahan diksi ini bukan soal semantik, tetapi soal kesadaran konstitusional.
Dengan paradigma hak dan kewajiban: negara dipaksa untuk bekerja berdasarkan standar, masyarakat memiliki dasar moral dan hukum untuk menuntut, dan bencana tidak lagi menjadi panggung pencitraan, melainkan ujian tanggung jawab negara.
Bencana memang tidak dapat dicegah sepenuhnya. Namun, penderitaan akibat kelalaian negara sesungguhnya dapat dan harus dicegah. Di sinilah konstitusi seharusnya berbicara paling lantang.
Negara yang besar bukanlah negara yang pandai memberi bantuan, tetapi negara yang setia menunaikan kewajiban konstitusionalnya kepada rakyat terutama saat rakyat berada dalam kondisi paling rentan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/12/17/6942a863580f7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
4 Ketua Komisi Reformasi Polri Ungkap 3 Pihak yang Bisa Batalkan Perpol 10/2025 Nasional
Ketua Komisi Reformasi Polri Ungkap 3 Pihak yang Bisa Batalkan Perpol 10/2025
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie menyebut bahwa Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 hanya bisa dibatalkan oleh tiga pihak.
Diketahui,
Perpol 10/2025
mengatur soal anggota polisi aktif boleh menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga.
Adapun pihak pertama yang bisa membatalkan Perpol 20/2025 adalah Polri itu sendiri.
“Kan bisa Polri itu melihat evaluasi, ya udah dicabut sama dia, boleh, misal gitu, iya kan. Tapi ini kan tidak bisa dipaksa, orang dia yang udah neken,” ujar Jimly di Kantor Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu (17/12/2025), dikutip dari
Kompas TV
.
Pihak kedua yang bisa membatalkan Perpol 10/2025 adalah Mahkamah Agung (MA). Jimly menjelaskan, MA memiliki kewenangan
judicial review
.
“Menguji peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Kalau ada yang mengatakan ‘Ini Perpol bertentangan dengan undang-undang’ ehh bawa ke Mahkamah Agung aja,” ujar Jimly.
Menurut Jimly, ada kesalahan dalam Perpol tersebut di bagian menimbang dan mengingat. Sebab dalam bagian menimbang dan mengingat Perpol itu, tidak ada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025.
“(Bagian) Menimbangnya itu, tidak ada sama sekali menyebut putusan MK. (Bagian) Mengingatnya pun tidak sama sekali menyebut putusan MK,” ujar Jimly.
“Artinya yang dijadikan rujukan Perpol itu adalah undang-undang yang belum mengalami perubahan dengan putusan MK. Maka ada orang menuduh ‘Ohh ini bertentangan dengan putusan MK’ ya eksplisit memang begitu, mengingatnya enggak ada, artinya putusan MK yang mengubah undang-undang enggak dijadikan rujukan,” sambungnya menegaskan.
Sedangkan pihak terakhir yang bisa membatalkan Perpol yang mengatur polisi bisa menjabat di 17 kementerian/lembaga adalah Presiden.
“Presiden, pejabat atasan punya kewenangan menerbitkan perpres (peraturan presiden) atau PP (peraturan pemerintah), yang PP itu misalnya itu mengubah materi aturan yang ada di perpol, itu boleh. Nah itu lebih praktis,” kata Jimly.
Diketahui, anggota Polri aktif kini resmi dapat menduduki jabatan sipil di 17 kementerian dan lembaga pemerintah.
Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Polri.
Berdasarkan salinan aturan yang dilihat Kompas.com dari situs peraturan.go.id, Kamis (11/12/2025), daftar kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh personel Polri diatur dalam Pasal 3 Ayat (2) Perpol tersebut.
”
Pelaksanaan Tugas Anggota Polri pada kementerian/lembaga/badan/komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilaksanakan,
” bunyi pasal tersebut.
Berikut 17 kementerian/lembaga yang bisa diisi polisi aktif:
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2024/10/28/671ecade8fc30.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Aktivisme Gen Z : Demokrasi Siber dalam Arus Deras Informasi
Aktivisme Gen Z : Demokrasi Siber dalam Arus Deras Informasi
Akademisi dan Peneliti
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
RUANG
demokrasi Indonesia hari ini semakin ditentukan oleh denyut layar gawai. Di sanalah generasi Z menemukan medan politiknya sendiri. Mereka bukan sekadar penonton pasif atas kebijakan negara, melainkan aktor yang aktif memproduksi wacana, membangun tekanan publik, dan dalam beberapa kasus memengaruhi arah keputusan pemerintah.
Aktivisme generasi ini tumbuh di tengah arus informasi yang deras, cepat, dan sering kali bising. Fenomena tersebut menandai babak baru
demokrasi siber
yang patut dibaca secara kritis dan reflektif. Generasi Z adalah generasi yang lahir ketika internet tidak lagi menjadi kemewahan. Media sosial bukan hanya alat komunikasi, tetapi ruang hidup yang membentuk identitas, relasi sosial, hingga kesadaran politik.
Tidak mengherankan jika ekspresi aktivisme mereka banyak bermula dari dunia digital. Isu isu publik hadir dalam bentuk video singkat, utas, meme, atau siaran langsung. Politik mengalami pergeseran bentuk dari pidato formal menjadi narasi visual yang emosional dan mudah dibagikan. Dalam konteks ini, aktivisme tidak lagi selalu dimulai dari ruang rapat atau mimbar demonstrasi, melainkan dari
linimasa
.
Di Indonesia, aktivisme Gen Z terlihat jelas dalam berbagai momentum politik. Penolakan terhadap sejumlah rancangan undang undang, kritik atas kebijakan pendidikan, hingga isu lingkungan dan keadilan sosial menemukan gaung luas melalui media sosial. Anak anak muda menjadi produsen narasi tandingan yang menyaingi bahasa resmi negara. Mereka mengurai pasal pasal kebijakan dalam bahasa populer, menyederhanakan isu kompleks, lalu menyebarkannya secara masif.
Tekanan publik yang terbentuk di ruang digital kerap memaksa elite politik untuk merespons, setidaknya di level wacana. Fenomena ini menunjukkan bahwa demokrasi siber telah membuka pintu partisipasi yang lebih luas.
Bagi Gen Z, berpendapat tidak harus menunggu ruang formal. Setiap akun adalah mimbar, setiap unggahan adalah pernyataan politik. Hal ini memberi peluang bagi kelompok yang selama ini terpinggirkan dari proses pengambilan keputusan untuk bersuara.
Namun, perlu diakui bahwa demokrasi yang bergerak cepat juga membawa risiko. Arus informasi yang terlalu deras sering kali mengaburkan batas antara data, opini, dan emosi. Di tingkat global, aktivisme Gen Z bahkan menunjukkan daya tekan yang melampaui batas negara.
Gerakan iklim yang digerakkan oleh anak muda berhasil mendorong isu lingkungan menjadi agenda utama banyak pemerintahan. Solidaritas lintas negara terbangun melalui kampanye digital yang saling terhubung. Isu konflik kemanusiaan, ketidakadilan rasial, hingga kebebasan berekspresi menjadi perhatian publik global berkat mobilisasi generasi muda di ruang siber.
Ini menandakan bahwa politik tidak lagi sepenuhnya terikat pada teritori, melainkan pada jaringan. Meski demikian, romantisasi aktivisme digital perlu dihindari. Tidak semua yang viral berujung pada perubahan kebijakan. Banyak gerakan berhenti pada ledakan atensi sesaat tanpa strategi lanjutan.
Tantangan terbesar aktivisme Gen Z adalah menerjemahkan energi digital menjadi kerja advokasi yang berkelanjutan. Negara bekerja dengan prosedur, regulasi, dan kompromi, sementara ruang digital bergerak dengan logika kecepatan dan emosi. Ketegangan antara dua dunia ini sering membuat tuntutan publik kehilangan daya dorong saat memasuki ruang institusional.
Masalah lain yang tak kalah serius adalah kualitas deliberasi. Algoritma media sosial cenderung memperkuat pandangan yang seragam dan menyingkirkan nuansa. Aktivisme berisiko terjebak dalam polarisasi dan simplifikasi berlebihan. Isu kompleks direduksi menjadi hitam putih, kawan lawan, benar salah. Dalam jangka panjang, kondisi ini justru dapat melemahkan demokrasi karena ruang dialog menyempit.
Demokrasi yang sehat membutuhkan perbedaan pandangan yang diperdebatkan secara rasional, bukan sekadar adu viralitas. Refleksi penting juga perlu diarahkan pada etika aktivisme. Siapa yang berbicara atas nama siapa. Apakah suara yang paling keras benar benar mewakili kelompok terdampak.
Dalam beberapa kasus, aktivisme digital rawan menjadi panggung performatif yang lebih mementingkan citra daripada substansi. Ketika isu publik diperlakukan sebagai konten, ada risiko penderitaan nyata direduksi menjadi komoditas perhatian. Di sinilah kedewasaan politik diuji, terutama bagi generasi muda yang sedang belajar mengelola kekuatan barunya.
Namun, di balik berbagai tantangan tersebut, terdapat praktik praktik baik yang layak dicatat. Sejumlah kelompok Gen Z di Indonesia mulai membangun pola aktivisme hibrida. Mereka menggabungkan kampanye digital dengan kajian kebijakan, diskusi publik, dan kerja sama dengan organisasi masyarakat sipil.
Pendekatan ini menunjukkan kesadaran bahwa perubahan kebijakan membutuhkan lebih dari sekadar tekanan massa. Dibutuhkan argumentasi yang solid, data yang kuat, serta kesediaan berdialog dengan pembuat kebijakan.
Ke depan, peran Gen Z dalam demokrasi Indonesia akan semakin signifikan seiring dengan perubahan demografi pemilih. Tantangannya bukan lagi soal keberanian bersuara, melainkan soal kapasitas mengelola suara tersebut secara bertanggung jawab. Pendidikan literasi digital dan politik menjadi kunci agar partisipasi tidak terjebak dalam euforia sesaat. Negara dan institusi pendidikan memiliki tanggung jawab untuk tidak memandang aktivisme muda sebagai ancaman, melainkan sebagai energi korektif bagi demokrasi.
Pada akhirnya, aktivisme Gen Z adalah cermin dari demokrasi kita sendiri. Ia memperlihatkan harapan sekaligus kegelisahan. Di satu sisi, ada semangat partisipasi yang hidup dan kreatif. Di sisi lain, ada risiko dangkalnya deliberasi di tengah arus besar informasi.
Demokrasi siber bukan tujuan akhir, melainkan ruang antara yang menuntut kedewasaan kolektif. Jika mampu dikelola dengan etika, literasi, dan strategi yang matang,
suara Gen Z
tidak hanya akan ramai di linimasa, tetapi juga bermakna dalam kebijakan publik yang lebih adil dan berpihak pada masa depan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/12/16/69416eb59f4df.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
1 KPK Gelar OTT di Banten, 5 Orang Diamankan Nasional
KPK Gelar OTT di Banten, 5 Orang Diamankan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di wilayah Banten pada Rabu (17/12/2025) malam.
Juru Bicara
KPK
,
Budi Prasetyo
, mengatakan, penyidik mengamankan lima orang dalam operasi senyap tersebut.
“Benar, ada kegiatan penyelidikan tertutup. Sampai dengan semalam, tim mengamankan sejumlah lima orang di wilayah
Banten
,” kata Budi dalam keterangannya, Kamis (18/12/2025).
Meski demikian, Budi belum mengungkapkan identitas lima orang yang sudah diamankan penyidik.
Dia mengatakan, saat ini kelima orang tersebut masih dilakukan pemeriksaan.
“Siapa saja yang diamankan, terkait apa, kami akan sampaikan pada kesempatan berikutnya,” ujarnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2021/05/31/60b4de5fce787.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
7 Jakarta di Bawah Ancaman Tiga Siklon: Begini Langkah Pemprov Menjaga Kota Megapolitan
Jakarta di Bawah Ancaman Tiga Siklon: Begini Langkah Pemprov Menjaga Kota
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Jakarta berada dalam ancaman dampak tidak langsung dari tiga siklon tropis yang terpantau di sekitar wilayah Indonesia.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bersama Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) meningkatkan kewaspadaan.
Selain itum sejumlah langlah antisipatif dipersiapkan untuk menghadapi potensi cuaca ekstrem hingga 22 Desember 2025.
Kepala BMKG Teuku Faisal Fathani menyebutkan, saat ini terpantau Siklon Tropis Bakung, Bibit Siklon Tropis 93S, dan Bibit Siklon Tropis 95S.
Berdasarkan pantauan Tropical Cyclone Warning Center (TCWC) Jakarta, ketiga siklon tersebut masih berada di sekitar wilayah Indonesia dan belum masuk ke daratan.
Kemunculan tiga siklon ini berdampak pada peningkatan potensi hujan dan angin kencang di sejumlah wilayah, termasuk Jakarta.
“Kami akan pantau terus dinamikanya, harapannya tidak masuk hingga mendekat lagi yang akan mempengaruhi curah hujan,” kata Faisal, dikutip dari Antara.
BMKG memprakirakan Jakarta berpotensi hujan sedang disertai angin kencang pada 17–18 Desember 2025, dan kondisi ini diperkirakan berlanjut 19–22 Desember 2025.
Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menginstruksikan Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (Distamhut) merapikan pohon-pohon tua.
“Saya sudah meminta kepada Dinas Pertamanan untuk pohon-pohon tua semuanya kita rapikan,” kata Pramono di Cilincing, Jakarta Utara, Selasa (16/12/2025).
Meski begitu, Pramono mengakui cuaca, terutama angin kencang, sulit diprediksi. Penanganan
pohon rawan tumbang
telah dilakukan, tapi dampak cuaca ekstrem tidak bisa dihindari sepenuhnya.
“Maka sebenarnya hampir di semua daerah sudah dilakukan, tapi memang terkadang tidak mencukupi. Dan kita tidak tahu angin puting beliung yang kemarin bisa di Ancol, kemudian juga di Sunda Kelapa, itu kan kita tidak tahu arahannya di sana,” lanjutnya.
Pemprov memastikan koordinasi dengan BMKG terus dilakukan untuk memantau perkembangan cuaca.
Dinas SDA DKI Jakarta menyiapkan berbagai langkah antisipatif menghadapi potensi banjir akibat hujan ekstrem.
“Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta melakukan berbagai upaya antisipatif sebagai upaya
mitigasi banjir
,” ujar Sekretaris Dinas SDA Nugraharyadi, Rabu (17/12/2025).
Upaya mitigasi meliputi optimalisasi pompa, sistem polder, dan pemeliharaan badan air agar berfungsi maksimal saat puncak hujan, terutama di wilayah rawan genangan.
Dinas SDA menyiagakan 612 pompa stasioner di 211 lokasi dan 590 pompa mobile di lima wilayah Jakarta.
“Pompa mobile digunakan untuk menjangkau lokasi banjir atau genangan yang tidak bisa dijangkau pompa stasioner,” kata Nugraharyadi.
Selain itu, pengerukan sungai, kali, waduk, situ, dan embung dilakukan di 1.996 titik dengan volume total 856.886 meter kubik. Pengerukan terbanyak di Jakarta Timur (850 titik), disusul Jakarta Utara, Barat, Pusat, dan Selatan.
Dinas SDA menggunakan 260 alat berat dan 457 dump truck untuk pengerukan.
Sejumlah waduk, situ, dan embung dibangun atau direvitalisasi, termasuk Waduk Aseni, Embung Giri Kencana, Embung Bambu Hitam, Embung Jagakarsa, dan Embung Pemuda.
Selain itu, 52 sistem polder telah dibangun dari target 70, berfungsi memompa air dari wilayah yang tidak bisa mengalir secara gravitasi.
Untuk antisipasi banjir rob, pompa dan pintu air disiagakan di titik strategis: Pintu Air Marina, Pompa Muara Angke, Pompa Ancol, Rumah Pompa Waduk Pluit, dan Polder Kamal.
Satuan Tugas SDA, atau Pasukan Biru, siap dikerahkan jika terjadi banjir akibat hujan ekstrem maupun rob. Mereka melakukan pemantauan rutin agar kondisi tetap terkendali.
Pemprov DKI mengimbau warga tetap waspada terhadap potensi genangan dan banjir. Masyarakat bisa memantau melalui
bpbd.jakarta.go.id/gelombanglaut
, Aplikasi JAKI, atau menghubungi 112 saat darurat.
“Masyarakat diimbau agar tetap berhati-hati dan waspada terhadap potensi genangan,” ujar Nugraharyadi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/12/18/694389fdf0b29.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/02/692e6337dcf86.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/16/694164c26c754.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)