Cerita Siska, “Single Parent” yang Bertahan dari Teror Pinjol Ilegal
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Di sebuah kamar kontrakan, sebuah ruang kecil yang menjadi saksi bagaimana hidup Siska (bukan nama sebenarnya) berubah drastis.
Di dalam kontrakan tersebut, perempuan berusia 32 tahun itu pernah menghabiskan malam-malam panjang tanpa tidur. Hanya menatap ponselnya yang bergetar puluhan kali setiap jam.
Setiap getaran adalah ancaman. Setiap nada dering adalah ketakutan.
Dan semua itu bermula dari keputusan yang ia ambil dalam keadaan terdesak.
Siska yang merupakan orangtua tunggal harus menafkahi keluarga dari hasil membantu di warung milik tetangganya.
Uang yang ia dapatkan hanya cukup untuk membeli beras satu liter dan sebungkus mi.
Sementara, slip tagihan listrik sudah menumpuk, ditemani pesan WhatsApp dari ibu kos yang mulai menagih kontrakan dua bulan tertunggak.
Sebagai orangtua tunggal, ia hidup dari hari ke hari. Tak ada suami, tak ada keluarga lain yang bisa rutin membantu.
Yang ada hanya seorang anak kecil yang masih membutuhkan biaya sekolah.
Dalam tekanan seperti itu, pikirannya buntu.
Siska kembali mengingat momen yang membuatnya akhirnya menekan tombol “ajukan pinjaman”.
“Kebutuhan rumah tuh numpuk, listrik mau diputus, kontrakan nunggak dua bulan. Ya akhirnya saya nekat cari pinjaman biar bisa nutup dulu yang mendesak,” kata Siska kepada
Kompas.com,
Senin (1/12/2025).
Saat itu, kontrakan menjadi hal paling genting.
Keputusan itu, bagi Siska, seperti mencari udara di tengah tenggelam.
Dengan ponselnya, ia mulai menjelajah aplikasi. Lalu matanya terpaku pada sebuah iklan yang berseliweran di Instagram.
“Lagi
scroll
HP sambil rebahan, muncul tuh iklan yang bilang
‘langsung cair, tanpa ribet’
. Saya klik karena penasaran,” kata dia.
Di titik itu, ia belum mengenal perbedaan antara
pinjol
legal dan ilegal. Yang ia lihat hanya satu hal: solusi instan.
Prosesnya mudah, malah terlalu mudah.
“Prosesnya cepet banget. Enggak pake foto KTP yang ribet, cuma
selfie
sama isi-isi data,” jelas dia.
Pinjaman pertama cair: Rp 1 juta.
“Buat bayar kontrakan dan sebagian buat beli sembako,” ujar dia.
Namun, yang tampak sebagai pertolongan, justru membuka pintu ke jurang yang jauh lebih gelap.
Dalam tujuh hari, kondisi berubah. Tagihan datang dengan jumlah yang membuatnya terpaku. Bunga, biaya administrasi, dan potongan lain membuat nilai pengembalian melonjak.
“Tiba-tiba pas mau bayar kok jumlahnya lebih besar,” kata Siska.
Rasanya seperti pukulan bertubi-tubi.
Dalam putus asa, ia mengikuti saran teman yang justru semakin menjerumuskannya.
“Terus ada temen bilang,
‘udah, minjem lagi di aplikasi lain buat nutup yang pertama’.
Dari situ lah mulai gali tutup lubang,” kata dia.
Hari demi hari, aplikasi lain datang menghampiri. Satu jadi dua, dua jadi lima.
“Enggak kerasa. Tiap mau jatuh tempo saya minjam yang lain terus,” kata dia.
Siska sempat mencoba berhenti, namun tekanan yang datang dari para penagih membuatnya merasa tak punya pilihan.
“Pernah, Mas. Tapi begitu satu jatuh tempo, mereka neleponin terus. Jadi saya panik lagi. Ya sudah minjem lagi. Rasanya kayak lingkaran setan,” ucap dia.
Apa yang awalnya terasa sebagai solusi, berubah menjadi mimpi buruk.
Dalam hitungan hari, ponsel Siska menjadi alat penyiksa.
Nomor tak dikenal muncul terus menerus—dalam negeri, luar negeri, hingga nomor yang baru dibuat.
“Nelepon sampai 60 kali sehari pernah, kadang dari nomor luar negeri. WA juga
spam,”
kata dia.
Percakapan-percakapan itu masih membekas dalam kepalanya. Bahkan kini, suara notifikasi saja bisa membuat tubuhnya kaku.
Namun, yang paling menghancurkan adalah teror visual dan ancaman kriminalisasi.
“Pernah tuh mereka kirim foto KTP saya yang mereka edit-edit, bilang saya mau ditangkap polisi. Terus ada yang bilang mau dateng ke rumah. Saya sampe gemeteran baca pesannya,” ujar dia.
Tak hanya dirinya yang menjadi sasaran. Para penagih itu menyasar keluarganya, bahkan tetangganya.
“Mereka juga sebar berita ke tetangga, bilang saya kabur bawa uang,” kata Siska.
Tekanan psikologis itu berdampak langsung pada kesehatan fisik.
Dan ada satu kalimat yang tak akan pernah ia lupakan sepanjang hidupnya. Kala para penagih mengancam keselamatan anak semata wayangnya.
“Waktu mereka ngomong mau ngejemput paksa anak saya. Padahal anak saya masih SD. Saya langsung nangis kejer,” ujar dia.
Dalam situasi itu, Siska pernah merasa dikepung dari segala sisi. Ia tak tahu harus melarikan diri ke mana.
Ia akhirnya menceritakan semuanya kepada sang adik, orang pertama yang ia percaya.
“Dia kaget banget dan marahin saya, tapi Dia bilang kita cari jalan sama-sama,” kata Siska.
Dari pengakuan itu, Siska mulai merasakan titik terang. Untuk pertama kalinya, ia tak lagi memikul beban itu sendirian.
Malam itu, ia dan adiknya berbicara panjang—tentang ketakutan, rasa malu, dan rasa bersalah yang terus menghantuinya.
Adiknya mencoba menenangkannya, memastikan bahwa apa yang terjadi bukan sepenuhnya kesalahannya, dan bahwa ada jalan keluar meski tampak gelap.
Dukungan itulah yang mendorongnya mencari pertolongan lebih jauh.
“Adik saya akhirnya nyuruh saya lapor ke lembaga bantuan. Baru dari situ saya mulai ngerti kalau saya bukan satu-satunya korban,” katanya.
Meski begitu, trauma yang tersisa sangat dalam. Hingga kini, membuka ponsel pun terasa seperti menghadapi monster yang siap menerkam.
“Dua bulan penuh saya matiin HP siang malam. Keluar rumah pun lihat-lihat dulu. Trauma banget,” ucap dia.
Dalam beberapa tahun terakhir, Pengacara Publik LBH Jakarta, Alif Fauzi melihat pola yang terus berulang.
Banyak korban meminjam bukan untuk kebutuhan konsumsi, melainkan untuk menutup tagihan dari aplikasi sebelumnya.
Situasi ini menyerupai pola yang dialami korban judi online, sebuah lingkaran yang tidak pernah benar-benar berhenti.
Dalam kasus pinjol, cara kerjanya bahkan lebih terstruktur dan eksploitatif.
“Ini menguatkan adanya praktik yang eksploitatif dalam penyelenggaraan
pinjaman online
. Secara posisi hukum, ini juga menunjukkan ketiadaan perlindungan hukum bagi warga negara yang menghadapi masalah pinjaman online,” ujar dia.
Bagi Alif, para peminjam ini tidak tepat bila dianggap sebagai debitur yang lalai atau ceroboh.
Mereka lebih tepat dipahami sebagai pihak yang terperangkap dalam sistem yang tidak memberikan ruang aman.
“Betul bisa (
korban pinjol
), sejauh ini praktik pengambilan data berbasis pada aplikasi yang terinstal (medium ICT/ITE), dan secara sistematis dipindahtangankan kepada pihak
debt collector
atau pihak aplikasi yang tidak terdaftar,” jelas Alif.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa mereka bukan hanya berhadapan dengan utang yang menumpuk.
Mereka juga menjadi sasaran perdagangan data, menjadi korban dari mekanisme digital yang merugikan, dan terjebak dalam situasi yang tidak didukung oleh regulasi yang melindungi.
Menurut Alif, kelompok yang paling mudah terpapar masalah pinjol tidak pernah berubah dari tahun ke tahun.
Perempuan, terutama ibu rumah tangga, masih menjadi pihak yang paling rentan.
“Sejauh ini perempuan atau ibu rumah tangga masih menjadi kelompok paling rentan terkena masalah pinjaman online,” kata Alif.
Beban mengurus keluarga, memenuhi kebutuhan anak, hingga memastikan makanan selalu tersedia membuat mereka berada dalam posisi yang rawan.
Alif menyampaikan, banyak korban datang dalam kondisi mental yang sudah tertekan.
Tidak sedikit ibu rumah tangga yang bahkan takut menyentuh ponsel karena telah menerima ratusan pesan ancaman dari penagih.
Ketika membahas alasan awal seseorang meminjam melalui aplikasi pinjol, Alif melihat polanya hampir selalu sama.
Tekanan ekonomi menjadi faktor paling kuat. Banyak orang terpaksa mencari dana cepat untuk memenuhi kebutuhan makan, membayar kontrakan, biaya sekolah anak, modal usaha yang terhambat, atau sekadar menutup kewajiban harian.
“Selain itu, ada juga karena data pribadinya digunakan untuk mengajukan aplikasi pinjaman online,” kata Alif.
Dalam berbagai kasus, para korban berharap dapat menyelesaikan kebutuhan darurat. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Temuan LBH juga menunjukkan bahwa banyak korban pertama kali terpapar pinjol melalui panggilan telepon yang tidak pernah mereka minta.
“Belakangan banyak aplikasi pinjaman online yang menawarkan pinjaman online melalui telepon dengan nomor yang tidak dikenal,” jelas Alif.
Setelah itu, tekanan dari debt collector memperkuat lingkaran jebakan yang mulai menjerat mereka.
“Biaya admin, denda, dan penetapan bunga tidak sesuai standar/regulasi yang ada,” kata Alif.
Cerita Siska bukan satu-satunya. Di balik iklan “cair cepat tanpa ribet”, ada ribuan korban lain yang hidup dalam tekanan, teror, dan ancaman.
Sebagian kehilangan pekerjaan.
Sebagian kehilangan keluarga.
Sebagian kehilangan keberanian untuk bertemu dunia.
Dan sebagian, seperti Siska, sedang berusaha kembali berdiri dari kehancuran emosional dan finansial.
Pinjol ilegal bekerja dengan pola yang sama: memanfaatkan kesulitan ekonomi, memudahkan pinjaman, lalu menjebak dengan bunga, biaya tersembunyi, akses kontak, dan teror sistematis.
Bagi banyak perempuan, terutama orangtua tunggal dan pekerja informal, jerat ini terasa tak terhindarkan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Category: Kompas.com
-
/data/photo/2022/04/16/625af161087b7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Cerita Siska, "Single Parent" yang Bertahan dari Teror Pinjol Ilegal Megapolitan 4 Desember 2025
-
/data/photo/2025/12/04/693117e8a5ef2.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Hakim Perintahkan JPU Hadirkan Ammar Zoni di Persidangan Megapolitan 4 Desember 2025
Hakim Perintahkan JPU Hadirkan Ammar Zoni di Persidangan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Majelis Hakim meminta kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menghadirkan terdakwa kasus narkoba, Ammar Zoni dalam sidang secara langsung di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Ketua Majelis Hakim Dwi Elyarahma Sulistiyowati menyoroti frasa “belum dapat dipenuhi” dalam surat dari Dirjen Pemasyarakatan.
Surat itu merupakan tanggapan atas permintaan untuk memindahkan
Ammar Zoni
dan lima terdakwa lain dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Nusakambangan ke Lapas Narkotika Kelas 2A Jakarta.
“Di poin pertamanya: ‘Permohonan pemindahan sementara belum dapat dipenuhi. Jadi majelis hakim setelah bermusyawarah, kami memberikan waktu kepada (jaksa) penuntut umum untuk mengkoordinasikan kembali ya,’ ujar Elyarahma dalam sidang di PN Jakarta Pusat, Kamis (4/12/2025).
Ia bilang, sidang lanjutan untuk kasus Ammar Zoni dan kawan-kawan dijadwalkan pada Kamis (11/12/2025).
Sehingga JPU diminta melakukan persiapan dengan berkoordinasi bersama Kementerian Imipas.
Hakim Elyarahma berpandangan masih ada peluang belum bisa dipenuhi menjadi bisa dipenuhi.
“Silakan untuk dikoordinasikan lagi. Karena di sini bunyinya ‘belum dapat dipenuhi’, kita enggak tahu, enggak tahu ke depannya tiba-tiba bisa dipenuhi ya alhamdulillah kan seperti itu. Silakan dikoordinasikan kembali,” tutur Elyarahma.
Mendengar pernyataan Ketua Majelis Hakim itu, JPU kemudian bertanya apakah sidang lanjutan tetap digelar secara hybrid atau offline.
Hakim Elyarahma menyatakan, selama belum ada penetapan baru dari Majelis Hakim, maka Ammar Zoni dan kawan-kawan harus hadir langsung dalam persidangan.
“Selama belum dikeluarkan penetapan baru secara online, kami masih berpegangan dengan penetapan yang sebelumnya. Nanti kalau secara online pasti kami akan keluarkan lagi. Artinya kan yang offline tidak berlaku,” tutur Elyarahma.
“Tapi karena kami belum keluarkan, berarti kita masih berpedoman dengan yang offline. Seperti itu. Karena kami dalam membuat penetapan juga kami membaca-baca permohonan seperti ini, baru kami mempertimbangkan bagaimana ke depannya,” tambahnya.
Sebelumnya, Ammar Zoni batal mengikuti sidang lanjutan di PN Jakarta Pusat, secara langsung pada hari ini.
JPU menyatakan, batalnya kehadiran Ammar karena ditolak oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan
Kementerian Imigrasi
dan Pemasyarakatan (Imipas).
Untuk menghadirkan Ammar secara langsung, harus didahului pemindahan dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Nusakambangan ke lapas di Jakarta.
Hal tersebut juga berlaku bagi lima terdakwa lain dalam kasus yang sama, yaitu Asep bin Sarikin, Ardian Prasetyo bin Arie Ardih, Andi Muallim, Ade Candra Maulana, dan Muhammad Rivaldi.
“Permohonan pemindahan sementara narapidana Asep alias Cecep bin Sarikin dan kawan-kawan dari Lapas Khusus Kelas 2A Karanganyar Nusakambangan Jawa Tengah ke Lapas Narkotika Kelas 2A Jakarta, Daerah Khusus Jakarta, belum dapat dipenuhi,” ujar JPU dalam persidangan.
Dengan demikian, permohonan persidangan bagi Ammar Zoni dan lima terdakwa lainnya dapat dilakukan di tempat mereka menjalani pidana atau melalui telekonferensi yang akan difasilitasi oleh Lapas Nusakambangan.
Hal tersebut juga mempertimbangkan aspek keamanan, efisiensi pelaksanaan, dan efektivitas waktu.
“Selanjutnya dari kami berharap agar persidangan perkara tetap dilanjutkan. Mengenai teknis pemeriksaan apakah secara online atau offline, kami kembalikan kepada Yang Mulia Majelis Hakim untuk memutuskan,” lanjut JPU.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/12/03/69302fe1b3b6a.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Cerita Rino Pilih Jualan Koran di Lampu Merah daripada Mengemis Megapolitan 4 Desember 2025
Cerita Rino Pilih Jualan Koran di Lampu Merah daripada Mengemis
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Pria bernama Rino (40) menjual koran di lampu merah perempatan Tugu Tani, Jakarta Pusat.
Saat pengendara berhenti, ia langsung bangkit dari trotoar, menggenggam beberapa eksemplar
koran
yang mulai lecek di tangannya.
Langkahnya cepat. Tubuhnya melenggang di antara barisan kendaraan.
Ia mengetuk kaca mobil yang sedikit terbuka, lalu merentangkan koran ke arah pengendara memperlihatkan tajuk utama yang terpampang besar di halaman depan.
Sesekali ia mencoba mendekati pengendara motor yang berhenti di garis depan.
Namun, sebagian besar pengendara hanya merespons dengan gelengan kepala, isyarat tangan menolak, atau memilih memalingkan wajah ke layar ponsel.
Ketika lampu kembali hijau, suara klakson dan deru mesin kembali menguasai udara, ia mundur pelan ke tepi jalan.
Ia membungkuk, merapikan kembali dagangannya yang terlipat-lipat, lalu menunggu siklus berikutnya.
Selama tiga jam
Kompas.com
melakukan pengamatan, Rabu (3/12/2025), tak satu pun koran yang dijual
Rino
laku terjual.
Masih duduk di trotoar, Rino menatap jauh ke arah gedung-gedung tinggi yang berdiri megah di sekitar kawasan
Tugu Tani
.
Hujan yang sempat turun sebelumnya membuat permukaan jalan masih basah.
Kakinya yang telanjang tampak kedinginan, sesekali ia menggerakkannya untuk mengusir gemetar.
Ia mengenakan kaus coklat kusam yang robek di beberapa bagian dan celana selutut yang warnanya hampir pudar.
“Saya dari zaman Presiden Megawati sudah jualan di sini. Kurang lebih sudah 20 tahun,” ujar Rino saat dihampiri Kompas.com tersenyum samar.
Selama dua dekade itu, ia tidak pernah berpindah lokasi. Tugu Tani adalah tempatnya bertahan hidup.
Dulu, katanya, ia bisa menjual puluhan eksemplar koran hanya dalam beberapa jam. Pagi hari adalah waktu panen.
Sopir kantor, pekerja swasta, hingga pegawai negeri, hampir semua mengambil satu eksemplar saat melintas. Namun sekarang situasinya terbalik.
“Sekarang 10 koran saja sehari susah laku,” tutur Rino lirih.
Rino tidak memiliki agen tetap. Tiap pagi ia mengumpulkan modal seadanya untuk membeli koran dari berbagai penerbit.
“Biasanya saya beli paling 20 eksemplar. Kadang cuma punya uang Rp 20 ribu,” ucapnya.
Untuk setiap koran Kompas yang ia ambil, modalnya kini Rp 8.000 dengan harga jual Rp 12.000, dan Rino hanya mendapatkan keuntungan sekitar Rp 4.000 per eksemplar.
Jika tidak laku, koran itu dibawa pulang. Sebagian ia kumpulkan hingga setengah bulan lalu dijual kiloan tentu dengan harga jauh di bawah modal.
Rino tertawa kecil saat ditanya apakah ia pernah mencoba pekerjaan lain.
“Pernah tiga tahun jaga toko. Tapi saya enggak sanggup, soalnya penghasilannya nggak harian,” katanya.
Bagi Rino, pekerjaan harus memberikan makan hari itu juga. Jika tidak, ia tak bisa membawa apa pun untuk keluarganya.
Ia tinggal di wilayah Pasar Gembong, Jakarta Pusat. Ia memiliki tiga orang anak yang masih membutuhkan biaya sehari-hari.
Namun ia tak menjelaskan lebih jauh tentang kondisi keluarganya.
Dalam perbincangan, Rino mengatakan bahwa ia berusaha bertahan hidup dengan cara apa pun yang halal.
Ia mengaku tak ingin menjadi tunawisma di sudut kota, atau mengemis kepada pengendara seperti yang kerap ia lihat dilakukan sebagian orang lain yang bernasib serupa.
“Kalau saya cuma duduk minta-minta, saya malu. Saya masih sehat, masih bisa jalan, masih bisa usaha. Walaupun susah, lebih baik saya jualan koran. Ini kerjaan jujur,” ucapnya.
Lebih jauh, ia menyebut bertahan sebagai pedagang koran adalah satu-satunya cara agar ia tetap merasa menjadi bagian dari masyarakat meski penjualan merosot, konsumen makin jarang melirik, dan kehadirannya di jalan sering dianggap mengganggu.
“Kalau enggak kerja begini, saya jadi apa? Jadi gelandangan? Enggak lah. Saya masih punya harga diri,” kata Rino menegaskan.
Kemunduran dunia koran cetak pastinya sangat terasa bagi Rino.
“Sudah 10 tahun terakhir makin susah, sejak orang-orang mulai pakai HP pintar,” tutur dia.
Hidup di jalanan pun membuatnya tak terlepas dari kejar-kejaran dengan Satpol PP.
Penertiban menjadi risiko yang hampir pasti hadir dalam pekerjaannya.
“Kalau ada penertiban ya kita bingung, lari-larian. Tapi saya nggak pernah dibawa paling lari kecil-kecil saja,” katanya sambil terkekeh kecil.
Perubahan kebiasaan masyarakat menjadi tantangan terbesar pedagang koran jalanan.
Kompas.com menghubungi Dayat Hidayah (40), seorang pekerja kantoran di Gondangdia yang masih berlangganan koran fisik.
“Rasanya ada yang kurang kalau tidak buka koran di pagi hari,” katanya.
Dayat mengakui bahwa ia juga membaca berita melalui ponsel, tetapi koran lebih memberinya fokus dan kedalaman.
“Kalau di ponsel baru baca dua paragraf sudah ada notifikasi. Kalau koran, saya bisa duduk tenang, lebih paham isinya,” ujarnya.
Ia kemudian menyinggung nasib pedagang koran seperti Rino.
“Saya kasihan lihat mereka. Kadang saya sengaja beli satu dari mereka biar bisa bantu,” tutur Dayat.
“Saya pesimis koran bisa kembali seperti dulu. Mungkin akan tetap ada, tapi jumlahnya kecil,” lanjutnya.
Ignatius Haryanto, peneliti media Universitas Multimedia Nusantara, mengamini kondisi tersebut. Oplah koran kini relatif kecil.
Bahkan banyak media besar hanya mampu mencetak kurang dari 20.000 eksemplar per hari sangat jauh dari masa kejayaan yang bisa mencapai 500.000eksemplar harian.
“Orang ingin cepat mendapatkan informasi. Kalau menunggu koran terbit besok, dianggap ketinggalan zaman,” tutur Ignatius.
Di sisi lain, menurutnya, media tetap mempertahankan versi cetak karena ada kelompok pembaca loyal, berita cetak lebih terstruktur dan terverifikasi, dan koran dianggap memiliki kredibilitas lebih tinggi.
Namun digitalisasi jelas mengubah cara penyebaran berita. Media harus menyeimbangkan keduanya agar tetap relevan.
“Digital dianggap ancaman, tapi juga harus dimanfaatkan,” ujarnya.
Dalam regulasi ketertiban umum, pedagang koran di jalan raya juga termasuk dalam kategori yang harus ditertibkan.
Kasatpol PP Jakarta Pusat, Purnama Hasudungan Panggabean menjelaskan bahwa hal tersebut diatur dalam Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
“Semua termasuk di Perda 8 Tahun 2007. Kita halau dan kita tertibkan,” tegas Purnama.
Ia menyebut, larangan mencakup menjadi pedagang asongan di jalan raya, menyuruh orang lain berjualan secara liar, dan memberi uang atau membeli dari pedagang liar.
Dalam konteks ini, pedagang koran seperti Rino berada dalam posisi rentan antara melanggar aturan atau kehilangan mata pencaharian.
Di tengah kenyataan yang terus menyulitkan, Rino mengaku tetap memiliki kebahagiaan kecil dari pekerjaannya.
“Saya suka baca koran. Saya selalu baca dari koran sisa,” ujarnya sambil tersenyum.
Ia membaca tentang politik, kriminal, olahraga, hingga hiburan. Meski bukan pelanggan resmi, ia menikmati informasi yang ia jual.
Di trotoar yang menjadi tempatnya menunggu rezeki, Rino membuka lembar demi lembar berita sambil menunggu pengendara berhenti.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/12/04/69312c7514efa.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/11/28/692975fac9267.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/08/01/688c4e922a9b2.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/04/6930fe2bcacad.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/04/69312e097f427.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2022/04/17/625bf55f0f3f8.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/04/69312948d017c.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)