Buntut Tambang di Raja Ampat, DPR Dorong Revisi UU Kuatkan Pengawasan IUP
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Wakil Ketua Komisi VI DPR Fraksi Golkar
Nurdin Halid
mengatakan DPR akan mendorong penguatan regulasi serta pengawasan terhadap izin tambang, khususnya di kawasan konservasi.
Dia mendesak agar dilakukan revisi undang-undang terkait
izin usaha pertambangan
(IUP) agar lebih berpihak pada
pelestarian alam
dan masyarakat adat.
“Kami akan kawal kebijakan ini lewat fungsi legislasi dan pengawasan. Jangan sampai ada kompromi terhadap kerusakan lingkungan dengan alasan investasi,” ujar Nurdin dalam keterangannya, Rabu (18/6/2025).
Nurdin pun menggarisbawahi pentingnya pelibatan masyarakat adat dan komunitas lokal dalam proses pembangunan di kawasan strategis seperti Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Menurutnya, pembangunan harus partisipatif dan inklusif, tidak hanya menguntungkan pihak luar.
Maka dari itu, Nurdin menyatakan dukungan penuh terhadap keputusan Presiden Prabowo Subianto yang mencabut empat IUP di wilayah Raja Ampat.
“Kami di DPR menyambut baik keputusan ini.
Raja Ampat
adalah kekayaan hayati dunia yang tidak tergantikan. Tidak boleh lagi ada aktivitas tambang yang merusak kawasan tersebut,” tuturnya.
Nurdin menambahkan, keputusan Prabowo itu merupakan bentuk tanggung jawab terhadap keberlanjutan ekonomi masyarakat lokal.
Pasalnya, kata dia, kehadiran industri tambang di wilayah sensitif seperti Raja Ampat hanya memberikan manfaat jangka pendek dan berisiko tinggi merusak potensi ekonomi jangka panjang yang berbasis pariwisata dan ekosistem laut.
“Alih-alih menambang, kita harus mendorong ekonomi biru, pelestarian laut, dan pengembangan wisata berbasis komunitas. Itulah arah kebijakan yang seharusnya diutamakan di Raja Ampat,” jelas Nurdin.
Sementara itu, terkait tidak dicabutnya izin tambang PT Gag Nikel di Raja Ampat, Nurdin menjelaskan bahwa keputusan pemerintah dilakukan berdasarkan pertimbangan menyeluruh.
Menurutnya, PT Gag Nikel yang merupakan anak usaha PT Antam beroperasi di luar kawasan Geopark Global UNESCO dan dinilai telah menjalankan tata kelola lingkungan dengan baik sesuai hasil evaluasi Kementerian ESDM.
“Yang paling penting ke depan adalah pengawasan ketat. Evaluasi terhadap operasional PT Gag Nikel harus dilakukan berkala agar tidak terjadi kerusakan lingkungan, apalagi mendekati kawasan geopark global,” kata Nurdin.
“Pengoperasian PT Gag Nikel harus membawa kenyamanan dan kesejahteraan bagi warga lokal. Jangan sampai mereka justru menjadi tamu di tanah sendiri,” imbuhnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Category: Kompas.com
-
/data/photo/2025/06/17/68510d3dc2423.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Panas Tegang Sidang Tom Lembong: Rini Soemarno Tak Hadir, Pengacara Walk Out
Panas Tegang Sidang Tom Lembong: Rini Soemarno Tak Hadir, Pengacara Walk Out
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Sorot mata
Ari Yusuf Amir
kecewa saat tak mendapati batang hidung mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Mariani Soemarno muncul di persidangan.
Ari adalah mantan pengacara pasangan calon presiden dan wakil presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar pada pemilihan presiden 2024.
Kali ini, ia duduk membela Menteri Perdagangan (Mendag) 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, koleganya pada tim pemenangan Anies-Muhaimin.
Bagi pihaknya, Rini adalah saksi kunci. Keterangannya dinilai turut menentukan nasib
Tom Lembong
yang dijerat korupsi importasi gula.
Kekecewaan Ari terus berlipat ketika mendengar jaksa penuntut umum menyatakan hendak membacakan keterangan Rini yang tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP) ke penyidik.
Ari protes. Keterangan saksi yang sah menjadi alat bukti, menurutnya, adalah kesaksian yang disampaikan di muka sidang.
“Demikian keterangan saksi dalam BAP hanya dapat menjadi alat bukti keterangan apabila saksi tersebut hadir dan memberikan keterangan di persidangan ini,” ujar Ari di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (17/6/2025).
Ari juga menyebut, banyak keterangan saksi yang berubah ketika diperiksa di muka persidangan.
Menurutnya, hal itu terjadi lantaran mereka menjalani proses pemeriksaan di penyidikan sendirian.
Pihaknya pun menolak jaksa membacakan keterangan Rini. Sebab, pengacara tidak memiliki kesempatan menggali keterangan dari Rini.
“Kenapa yang lain bisa dihadirkan, kenapa saksi ini tidak bisa dihadirkan? Kenapa saksi lain disumpah yang ini tidak disumpah waktu pemeriksaan?” tanya Ari.
Menyadari amarah pengacara Tom Lembong beranjak naik, Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika mencoba tetap tenang.
Ia memahami kubu Tom Lembong menolak sikap jaksa yang tidak menghadirkan Rini dan memilih hanya membacakan keterangannya di penyidikan.
Namun, Dennie merasa majelis hakim perlu mendengarkan keterangan Rini di dalam BAP untuk dibacakan.
Persoalan keberatan pengacara Tom Lembong menurutnya bisa dituangkan dalam pleidoi.
“Kami juga sudah mendengar tadi tentunya nilainya adalah lain dengan saksi yang langsung dihadirkan di persidangan,” ujar Dennie.
Mendengar ini, Ari semakin kecewa. Ia bahkan mempertanyakan fungsi kehadiran kuasa hukum di persidangan.
“Kalau majelis hakim berpendapat bahwa itu tetap dibacakan lalu untuk apa kami hadir di sini?” ujar Ari.
Sementara itu, jaksa berdalih Pasal 162 KUHAP menyatakan bahwa saksi yang sudah diperiksa di penyidikan meninggal dunia atau berhalangan secara sah tidak dapat hadir di sidang, maka keterangannya bisa dibacakan.
Selain itu, jika keterangan itu diberikan di bawah sumpah, maka nilainya juga disamakan dengan keterangan yang disumpah.
“Keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi yang di bawah sumpah,” tutur jaksa.
Mendengar ini, Ari semakin berang.
Hakim Dennie pun mencoba menengahi dan meminta jaksa menjelaskan lebih gamblang alasan Rini dipanggil empat kali tidak hadir.
Menurut jaksa, Rini kali ini kembali tidak hadir karena tengah mengikuti acara keluarga di Jawa Tengah.
“Dari surat tersebut saksi, ada acara di Jawa Tengah. Di surat-surat sebelumnya pun saksi sedang berada di luar negeri,” kata jaksa.
Mendengar ini, pengunjung sidang, beberapa merupakan simpatisan Tom Lembong yang ikut gusar seiring kekecewaan Ari, tak lagi bisa menahan diri.
Mereka menyoraki jaksa karena mendengar Rini hanya tengah mengikuti acara keluarga di Jawa dan tidak menghadiri sidang Tom Lembong.
“Wuuu!” teriak pengunjung sidang.
Sementara itu, Ari masih melihat ketidakhadiran Rini dan keterangannya yang hanya dibacakan, ganjil.
Menurutnya, Rini bisa saja diperiksa di waktu lain.
Ari mencoba bersikukuh pada pendapatnya bahwa batang hidung Rini harus hadir di muka sidang.
Situasi lalu menjadi semakin tegang saat jaksa memotong pertanyaan Ari.
“Saya belum selesai,” kata Ari berang.
“Kenapa tadi saya ngomong saya disetop kenapa begitu mereka ngomong mereka tidak disetop. Kita gantian ngomongnya. Kita sudah capek dengan keadilan di negara ini!” kata Ari marah.
Menghadapi ketegangan itu, Hakim Dennie tampak beberapa kali mencoba berunding dengan dua anggotanya.
Akhirnya, ia tetap memutuskan untuk mendengar keterangan Rini di tahap penyidikan.
Sikap majelis hakim pun membuat Ari kecewa dan memutuskan untuk meninggalkan ruang sidang.
“Kalau begitu kami izin keluar, silakan nikmati keadilan yang kalian miliki,” ujar Ari.
Kecuali Ari, tim pengacaranya mulai berdiri dan meninggalkan sidang.
Sementara Tom Lembong yang duduk di kursi terdakwa tampak memahami kemarahan kuasa hukumnya.
Pengacara senior itu akhirnya memuntahkan seluruh keluh kesah yang selama ini ditahan.
Menurutnya, persidangan tidak mendudukkan pengacara terdakwa dan jaksa dengan setara, sejak awal.
Hal ini di antaranya terlihat dari kursi jaksa yang lebih mewah dari pengacara.
Kursi penuntut itu terbuat dari kayu dengan busa empuk pada tempat duduk dan punggung.
Ukurannya lebih besar dan elegan dengan ukiran di bagian atas.
Sementara, kursi pengacara tampak lebih mirip seperti kursi hajatan.
“Sebelum ini dimulai saya mau mengingatkan ya, seringkali dalam persidangan ini tidak ada kesetaraan. Contoh kecil saja bagaimana anda lihat kursi-kursi jaksa penuntut umum seperti itu, kursi-kursi kami seperti ini?” protes Ari kecewa.
Tidak hanya itu, pihaknya juga harus menyiapkan sendiri screen proyektor di persidangan.
Menurutnya, pengacara tidak mendapat bantuan teknis di persidangan.
“Ketika ingin menghadirkan ini (screen) harus kami kerjakan sendiri,” kata Ari.
Setelah itu Ari bersama rombongan pengacara Tom Lembong meninggalkan ruang sidang.
Langkahnya meninggalkan arena sidang diiringi ungkapan kecewa para pendukung Tom Lembong kepada majelis hakim.
Adapun majelis hakim menjelaskan kursi pengacara berbeda karena kursi kayu seperti yang diduduki jaksa terbatas.
Selain itu, pengacara juga meminta kursi dalam jumlah banyak.
“Kami adakan kursi seperti itu karena kursi yang seperti ini (kursi jaksa) jumlahnya sangat terbatas. Kalau pun ini nanti dibagi, nanti mungkin jumlahnya tidak bisa sebanyak yang sekarang ini,” ujar Hakim Dennie.
Setelah tim kuasa hukum keluar, persidangan tetap berjalan.
Tom Lembong diminta duduk di muka sidang seorang diri, tanpa didampingi pengacara.
“Saya ikut penilaian dan keputusan Yang Mulia bapak-bapak majelis hakim,” ujar Tom.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/06/17/685170e566776.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
8 Dugaan Pencabulan Adik Bahar bin Smith Terungkap Saat Sang Kakak Dengar Teriakan Korban Megapolitan
Dugaan Pencabulan Adik Bahar bin Smith Terungkap Saat Sang Kakak Dengar Teriakan Korban
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Adik kandung Bahar bin Smith yang berinisial S diduga dicabuli. Kejadian ini terungkap setelah kakak korban, Zein, mendengar teriakan seorang perempuan memanggil namanya.
“Pelapor mendengar suara teriakan seorang wanita yang memanggil nama pelapor, kemudian pelapor langsung mendatangi sumber suara dan melihat bahwa adik kandung pelapor, yaitu saudari S, sedang dicabuli oleh terlapor,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi, Selasa (17/6/2025).
Zein berusaha menyelamatkan adiknya dan terlibat baku hantam dengan pelaku di lokasi kejadian. Setelah insiden tersebut, ia mendatangi rumah pelaku.
Namun, saat membuka pintu rumah pelaku, terjadi aksi dorong-dorongan. Pelaku kemudian mengambil sebilah pisau dan mencoba menusuk leher Zein.
“Ketika pelapor membuka pintu rumah terlapor, sempat terjadi dorong-dorongan. Lalu terlapor memegang pisau, ini barang buktinya, kemudian langsung mengarahkan pisau tersebut ke bagian leher pelapor,” jelas Ade.
Zein berhasil menepis serangan tersebut dengan tangan kanannya, namun mengalami luka robek akibat terkena pisau yang digunakan pelaku.
Polisi telah menangkap dua pelaku terkait kasus ini, yakni YLK dan EKK. Proses penyelidikan masih berlangsung untuk mengungkap lebih jauh dugaan
pencabulan
tersebut.
“Kasus ini sudah terungkap, masih perlu dilakukan pengembangan, pendalaman, dan kasus ini akan diusut secara atau diproses secara tuntas,” kata Ade.
Sebelumnya, telah terjadi aksi pencabulan dan pengeroyokan terhadap adik Bahar bin Smith di Gang Sate, Kelurahan Pondok Benda, Pamulang, Tangerang Selatan, pada Senin (16/6/2025) dini hari sekitar pukul 02.30 WIB.
Laporan itu dibuat karena Zein mengaku dibacok saat berusaha melindungi adiknya dari upaya pemerkosaan.
“Sudah selesai, tadi sore bada ashar laporannya sudah diserahkan dan sudah diterima pihak polisi,” ujar kuasa hukum Zein, Ikhwan Tuan Kota saat dihubungi
Kompas.com,
Senin (16/6/2025).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/06/17/68511924b641c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
4 Tangis Marcella Saat Akui Bikin Isu Negatif soal RUU TNI hingga Prabowo Nasional
Tangis Marcella Saat Akui Bikin Isu Negatif soal RUU TNI hingga Prabowo
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Di sebuah ruangan konferensi pers Gedung Bundar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus)
Kejaksaan Agung
, Jakarta, wajah
Marcella Santoso
muncul di layar.
Melalui tayangan video, suara Marcella terdengar lirih, pelan, namun penuh penyesalan.
Ia bukan sedang membela diri. Sebaliknya, perempuan yang kini menyandang status tersangka dugaan
perintangan penyidikan
itu memilih mengakui perbuatannya.
Ia berbicara tentang konten-konten yang pernah dibuat dan disebarkannya, konten yang secara langsung menyasar institusi Kejaksaan Agung dan sejumlah tokoh penting di dalamnya.
“Antara lain, terkait dengan isu kehidupan pribadi Bapak Jaksa Agung, isu Jampidsus, isu Bapak Dirdik,” kata Marcella, dalam video yang diputar Selasa (17/6/2025).
Pengakuannya bukan hanya soal Kejaksaan saja. Marcella juga menyebut narasi yang menyerang pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
“Dan bahkan, terdapat juga isu pemerintahan Bapak Presiden Prabowo seperti petisi RUU TNI dan juga Indonesia Gelap,” lanjutnya.
Marcella tidak menyebut secara perinci isi dari konten-konten tersebut.
Namun, dalam pernyataannya yang terekam kamera, ia mengaku menyesal.
Ia juga menyebut bahwa ada konten yang diproduksi timnya tanpa pemeriksaan lebih lanjut dari dirinya.
“Bahwa saya sangat menyesali dan sangat menyadari bahwa apa pun dan bagaimanapun ceritanya, baik itu kelalaian saya yang tidak mengecek ulang isi konten, ataupun kelalaian dan luputnya saya mengecek dan meneliti kembali serta fokus terhadap apa yang saya sampaikan,” kata dia.
Namun demikian, Marcella menekankan bahwa tak ada kebencian pribadi terhadap institusi kejaksaan maupun pemerintahan.
“Bahwa saya sejujurnya tidak pernah merasa ada ketidaksukaan atau kebencian secara pribadi, baik dengan institusi, ataupun dengan pemerintahan, ataupun dengan personal,” ucapnya.
Marcella bahkan mengeklaim pernah menyampaikan pujian terhadap kinerja para penyidik.
“Karena di dalam chat saya dan institusi, masukkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP). Salah satu itu terdapat percakapan antara saya dan rekan saya. Dan, saya sampaikan bahwa ada baiknya juga APH ini seperti Bapak Febrie (Jampidsus),” katanya.
Permintaan maaf disampaikannya di akhir pernyataan, disertai suara bergetar dan isak.
“Saya sebagai manusia, saya hanya bisa meminta maaf. Saya hanya mendoakan bahwa rasa sakit, rasa ketidaknyamanan yang dialami oleh pihak-pihak yang terkait dan terdampak akan dipulihkan,” ujar Marcella.
Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, menyatakan bahwa penyidik Jampidsus tidak masuk lebih dalam ke isu konten dari institusi lain.
Namun, karena konten-konten itu ditemukan dalam barang bukti elektronik, pertanyaan tetap diajukan.
“Kemudian, untuk institusi lain, kami tidak masuk di wilayah itu. Tapi, karena di barang bukti elektronik ada, ini kami tanyakan, apa maksud dia membuat konten Indonesia Gelap,
konten negatif
? Apa kaitan dengan RUU TNI, ini kami tidak tahu, tapi yang tahu mereka yang bersangkutan,” kata Qohar.
Namun dalam konferensi pers, tidak satu pun konten yang dimaksud diperlihatkan secara terbuka kepada publik.
Pihak kejaksaan juga menyatakan bahwa narasi-narasi negatif itu ditujukan untuk menggiring opini yang menyesatkan.
“Itu (narasi negatif) adalah dengan maksud dan tujuan untuk menggagalkan penyidikan dan penuntutan. Dengan maksud dan tujuan memuat opini publik dan opini di masyarakat, ke majelis hakim, bahwa apa yang dilakukan penyidik itu adalah tidak benar,” ujar Qohar.
Dalam perkara ini, Marcella tak sendirian. Kejaksaan telah menetapkan empat orang sebagai tersangka kasus perintangan penyidikan.
Modusnya melibatkan penyebaran konten negatif hingga pengorganisasian aksi massa.
Salah satu tersangka adalah Ketua Cyber Army, M Adhiya Muzakki. Dia disebut memimpin 150 buzzer dan menerima Rp 864,5 juta dari Marcella untuk menyebarkan narasi-narasi tersebut.
Tersangka lain adalah Tian Bahtiar. Eks Direktur Pemberitaan JakTV itu diduga menerima Rp 487 juta dari Marcella untuk memberitakan konten yang dinilai menjatuhkan institusi kejaksaan.
Marcella bukan satu-satunya advokat yang terlibat dalam perkara ini. Ia terjerat bersama pengacara bernama Junaedi Saibih.
Keduanya disangka menyelenggarakan seminar dan aksi unjuk rasa yang ditujukan agar dapat diliput dan diangkat ke ruang publik oleh jaringan buzzer mereka.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/06/17/6850de2496bae.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Deretan Usul Peradi untuk KUHAP yang Baru: Batasi PK hingga Hapus Penyadapan
Deretan Usul Peradi untuk KUHAP yang Baru: Batasi PK hingga Hapus Penyadapan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Perhimpunan Advokat Indonesia (
Peradi
) mengusulkan penghapusan sejumlah aturan di dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kewenangan tersebut diusulkan dihapus karena, menurut mereka, berpotensi disalahgunakan aparat.
Usulan itu disampaikan saat rapat lanjutan yang membahas revisi KUHAP bersama Komisi III DPR RI dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (17/6/2025).
Berikut beberapa usulan yang disampaikan Peradi:
Wakil Ketua Umum Peradi Sapriyanto Refa mengatakan, ketentuan
penyadapan
telah diatur di dalam UU sektoral seperti UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Penyadapan, terang dia, merupakan bagian dari upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum, yang berpotensi disalahgunakan. Oleh karena itu, ia berpandangan, ketentuan serupa tak perlu lagi diatur di dalam KUHAP yang sifatnya lebih umum.
“Bentuk-bentuk upaya paksa ini ada beberapa upaya paksa. Ini mengusulkan dalam upaya paksa yang dimiliki ini untuk tindak pidana umum yang ada di dalam KUHAP ini penyadapan ini harus dihilangkan karena kami khawatir penyadapan ini akan disalahgunakan oleh penyidik dalam mengungkap sebuah tindak pidana,” kata Sapriyanto dalam rapat, Selasa.
Ketentuan Peninjauan Kembali (PK), menurut Peradi, sebaiknya hanya dapat dilakukan paling banyak dua kali dan hanya boleh diajukan oleh terpidana.
Saat ini, PK yang masuk ke dalam upaya hukum luar biasa, bisa diajukan lebih dari satu kali untuk perkara pidana. Di luar perkara
a quo
, seperti perdata, tata usaha negara, dan agama, PK hanya bisa diajukan satu kali.
Hal ini berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan Pasa 268 ayat (3) KUHAP. Belakangan, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 yang mengesampingkan putusan MK, karena dianggap bertentangan dengan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UU MA.
“Kami berharap
peninjauan kembali
tidak dibatasi waktu dan hanya diajukan paling banyak dua kali, ini berkaitan dengan rasa keadilan. Bisa saja ketika dia mengajukan novum yang pertama yang menganggap ini belum menguntungkan, lalu kemudian dia menemukan novum baru lagi itu bisa saja menghasilkan sesuatu rasa keadilan bagi mereka,” ucap Sapriyanto.
Sapriyanto menyoroti lamanya proses hukum akibat banyaknya alasan yang diperbolehkan untuk mengajukan PK. Menurutnya, kondisi itu bisa memperpanjang penanganan perkara dan menghambat kepastian hukum.
Oleh karena itu, Peradi mengusulkan agar PK dibatasi hanya dua, dengan alasan ditemukan novum (bukti baru) dan adanya putusan yang saling bertentangan.
Di sisi lain, mereka menegaskan bahwa hak untuk mengajukan PK seharusnya hanya diberikan kepada terpidana, bukan kepada penuntut umum.
“Dan peninjauan kembali hanya milik terpidana, bukan penuntut umum,” tegas Sapriyanto.
Peradi juga mengusulkan agar bukti petunjuk dan keterangan ahli tidak lagi dimasukkan sebagai alat bukti dalam pembuktian perkara pidana dalam
RKUHAP
.
“Terkait alat bukti, kami hanya mengajukan empat alat bukti, yakni keterangan saksi, bukti surat, bukti elektronik, dan keterangan terdakwa,” kata Sapriyanto.
Bukti petunjuk sebagaimana Pasal 184 KUHAP adalah alat bukti sah.
Definisi “petunjuk” sebagaimana Pasal 188 ayat (1) KUHAP adalah suatu perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Menurutnya, bukti petunjuk sebaiknya dihapus karena dianggap berbahaya dan rawan disalahgunakan.
Dia menjelaskan, bukti petunjuk kerap dijadikan sebagai pelengkap keyakinan hakim ketika alat bukti lain tidak mampu secara eksplisit menunjukkan siapa pelaku tindak pidana.
Selain bukti petunjuk, Peradi juga mengusulkan agar keterangan ahli tidak lagi dimasukkan dalam kategori alat bukti.
Menurut Sapriyanto, selama ini posisi ahli dalam proses peradilan pidana dinilai tidak netral dan justru kerap menguntungkan salah satu pihak.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/06/17/685188468d713.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
3 Pemilik PT Surya Gemilang Multindo Akui Sudah Serahkan Aset Senilai Lebih dari 7 Miliar untuk Jaminan Pengembalian Uang Ganti Rugi Surabaya
Pemilik PT Surya Gemilang Multindo Akui Sudah Serahkan Aset Senilai Lebih dari 7 Miliar untuk Jaminan Pengembalian Uang Ganti Rugi
Tim Redaksi
SURABAYA, KOMPAS.com
– Pemilik
PT Surya Gemilang
Multindo, Merlisnawati, mengungkapkan bahwa pihaknya telah menyerahkan
jaminan aset
sebagai pengembalian
ganti rugi
kepada korban yang totalnya mencapai lebih dari Rp7 miliar.
Pernyataan ini disampaikan dalam pertemuan mediasi yang melibatkan Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji, dan Wakil Bupati Sidoarjo, Mimik Idayana, serta para korban dan kuasa hukum mereka.
“Sesuai pernyataan dari pak Deni Irawan kemarin untuk menyerahkan list hari ini, Selasa, 11 Juni 2025, kita sudah datang dan sudah kita penuhi juga, ya.”
“Tadi nilainya sekitar 7 M lebih, ya,” ujar Merlisnawati, yang akrab disapa Lisna, saat ditemui awak media di Rumah Dinas Wakil Bupati Sidoarjo, Selasa (17/6/2025).
Lisna menjelaskan bahwa aset-aset yang diserahkan akan melalui proses appraisal atau penghitungan ulang untuk memastikan tidak ada selisih dalam nominal.
“Tinggal nunggu tanggapan dari mereka (pihak korban). Tinggal nunggu update-nya aja. Katanya nanti ada appraisal ulang dari nilai-nilai jaminan yang kami sudah serahkan. Ya, mudah-mudahan cepat selesai semua urusannya,” imbuhnya.
Dia menambahkan bahwa semua urusan para korban yang hadir di Rumah Dinas Wabup pada Selasa lalu sudah ditangani kuasa hukum Mimik Idayana.
Namun, bagi korban lain yang ingin melapor, mereka akan dihadapkan secara pribadi dengan pengacara PT Surya Gemilang Multindo.
“Jadi, apabila yang
korban cessie
tadi, yang mereka datang semua di kantor bupati tadi, memang sudah jadi ranahnya sana (pengacara tim Mimik). Namun, apabila yang ada baru melapor, nanti kita tangani sendiri nanti di sini,” ujarnya.
Lisna mengakui bahwa proses jual-beli rumah cessie biasanya memakan waktu cukup lama.
Namun, pihak perusahaan berkomitmen bertanggung jawab dan mengganti seluruh kerugian korban.
“Memang kalau rumah cessie itu sebenarnya memang agak sulit dan agak lama, karena memakan prosesnya itu panjang, karena cessie itu kan pengalihan piutang,” tuturnya.
Sebagai penutup, Lisna mengungkapkan bahwa akan ada pertemuan lebih lanjut untuk memastikan jumlah nilai aset sebagai uang ganti rugi bagi para korban.
“Nanti ada pertemuan lagi, pasti ada pertemuan berikutnya untuk mengerucut berapa nilai-nilainya, gitu,” pungkasnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/06/06/684262f9109c6.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Urus Saja Rakyat, Tak Perlu Cawe-cawe Penulisan Sejarah Nasional
Urus Saja Rakyat, Tak Perlu Cawe-cawe Penulisan Sejarah Nasional
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
ADA
satu adigium di dalam penulisan sejarah yang sering dikutip di seluruh dunia. Bunyinya, “
History is written by the victors
” atau sejarah ditulis oleh para pemenang.
Kabarnya, jika kita merujuk kepada buku sejarah, tak terlalu jelas siapa yang pertama kali mengucapkan kalimat tersebut.
Belakangan dalam beberapa kajian terbaru di Amerika Serikat, pencetus pertama kalimat tersebut mengerucut kepada dua tokoh, yang dalam perjalanan sejarah di masa lampau ternyata saling bermusuhan.
Pertama, Herman Gering, salah satu tangan kanan Adolf Hitler. Pada pengadilan tribunal Nuremberg, Herman Gering memang tercatat pernah mengatakan “
Der Sieger wird immer der Richter und der Besiegte stets der Angeklagte sein
,” yang berarti “
The victor will always be the judge, and the vanquished the accused.
”
Lebih kurang dalam bahasa Indonesia memiliki arti bahwa “pemenang akan selalu menjadi hakim, sementara yang kalah akan menjadi terdakwa”.
Kedua, Winston Churcill. Dalam sebuah pernyataan yang bernada candaan di hadapan
House of Common
pada 23 Januari 1948, Churcill tercatat mengatakan “
For my part, I consider that it will be found much better by all parties to leave the past to history, especially as I propose to write that history myself
”.
Lebih kurang artinya, “Menurut saya, akan jauh lebih baik bagi semua pihak untuk membiarkan masa lalu menjadi sejarah, terutama karena saya sendiri yang mengusulkan untuk menulis sejarah itu.”
Namun lebih dari itu, dalam penelusuran sejarah, istilah senada acapkali muncul di dalam diskusi masyarakat di masa lalu.
Peneliti Ken Hirsch menemukan kepingan dialog di dalam masyarakat Perancis pada 1848 yang berbunyi “
histoire est juste peut-être, mais qu’on ne l’oublie pas, elle a été écrite par les vainqueurs
”.
Dalam bahasa Inggris memiliki arti bahwa “
The history is right perhaps, but let us not forget, it was written by the victors.
”
Pun Ken menemukan di dalam dialog masyarakat Italia pada 1852, berbunyi “
La storia di questi avvenimenti fu scritta dai vincitori
” di mana dalam bahasa Inggris berarti “
The history of these events was written by the winners
”.
Namun, kata Ken, pernyataan yang beragam itu muncul dalam bahasa yang jauh lebih elegan sebagaimana dikenal hari ini melalui mulut tokoh besar Revolusi Perancis, yakni Maximilien Robespierre.
Bunyinya, “
Vanquished, his history written by the victors
”. Lebih kurang berarti bahwa sejarah pihak yang kalah ditulis oleh para pemenang.
Di sini tentu saya tidak ingin memperpanjang daftar pengucap pertama adigium tersebut. Selain bukan bidang saya secara keilmuan, saya sejatinya juga kurang tertarik untuk memperpanjang cerita kronologis-etimologis dari adigium tersebut.
Saya di sini lebih memilih untuk fokus kepada pesan yang tersimpan di balik adigium tersebut, dikaitkan dengan perkembangan kontemporer di Indonesia saat ini.
Poin pertama yang ingin saya sampaikan adalah bahwa sejarah Indonesia tidak akan berubah secara faktual historis, sekalipun ditulis ulang di dalam bahasa kekuasaan.
Dengan kata lain, pemerintah sebaiknya tidak perlu membagi fokus antara mengurus rakyat dan menulis ulang sejarah nasional Indonesia.
Karena secara moral dan substansial, mengurus rakyat jauh lebih “wajib” ketimbang menulis ulang sejarah versi pemerintah sendiri yang notabene juga hanya untuk kepentingan pemerintah sendiri.
Biarkan sejarawan dan para ilmuwan yang akan mengurusnya, karena mereka memang secara moral dan substansial bertugas untuk menulis itu semua.
Kata seorang kolega akademisi di luar negeri tentang negaranya, bahwa tak perlu semua negara termasuk negaranya harus diseragamkan tentang sejarah. Menurut dia, negerinya bukan “negeri Hitler” atau “negeri Stalin”, di mana segala sesuatunya harus berdasarkan versi pemerintah.
Hal tersebut sangat perlu saya sampaikan di sini karena pernyataan pemerintah terkait dengan sejarah nasional belakangan sudah mulai melenceng terlalu jauh.
Jangan sampai ambisi pemerintah untuk menulis ulang sejarah nasional dengan bahasa kekuasaan justru memunculkan preseden buruk di negeri ini untuk masa-masa mendatang.
Cukup mengkhawatirkan untuk membayangkan sepuluh tahun dari sekarang, katakanlah ketika gerbong kekuasaan mulai bergeser ke pusat yang lain, hal yang sama juga dilakukan nantinya atau kejadian berulang merujuk penguasa yang baru.
Apa jadinya negeri ini jika sejarahnya diacak-acak secara politik setiap kali terjadi pergantian kekuasaan.
Poin kedua saya adalah bahwa terlepas apapun bentuk keberatan pemerintah atas beberapa titik di dalam sejarah nasional, bahkan jika benar sekalipun keberatan tersebut, tugas pemerintah hanya menyampaikan keberatan tersebut kepada publik.
Lalu biarkan ahli sejarah dan sejarahwan serta para cerdik pandai yang akan mengurusnya. Bahkan jika pada akhirnya tidak ditemukan titik kesamaan antarpara sejawaran dan ahli sejarah serta cerdik pandai, maka biarkanlah tetap seperti itu, karena akan jauh lebih baik seperti itu dibandingkan dengan ditulis ulang menggunakan bahasa kekuasaan.
Apalagi jika keberatan pemerintah atas satu atau dua keping peristiwa sejarah hanya berdasarkan satu sudut sempit di satu sisi dan apalagi jika memiliki “modus” yang kurang baik di sisi lain, tentu akan jauh lebih berbahaya bagi negeri ini dan fatal bagi eksistensi ilmu sejarah di kampus-kampus nasional.
Lihat saja, betapa berbahayanya pernyataan Menteri Kebudayaan
Fadli Zon
yang menafikan validitas pemerkosaan massal di tahun 1998.
Karena hasil temuan tim pencari fakta sudah sangat jelas dipaparkan selama ini bahwa peristiwa tersebut benar-benar terjadi dan korban-korbannya sudah diungkapkan secara jelas pula.
Ucapan tersebut setali tiga uang dengan bahaya yang tersimpan di balik ambisi pemerintah yang ingin menulis ulang sejarah versi “pelat merah”.
Dan dalam konteks itu pula mengapa di awal tulisan ini saya harus memulainya dengan adigium di atas.
Potensi distorsinya akan sangat tinggi jika kekuasaan sudah mulai berusaha “cawe-cawe” di dalam penulisan sejarah nasional negara.
Pasalnya, di dalam kekuasaan, tak ada bahasa “ilmiah” yang bisa dipegang secara objektif, tanpa ada kepentingan di baliknya.
Akan selalu ada “udang” di balik “batu”, jika bahasa kekuasaan sudah mulai memasuki ranah yang tak perlu dimasuki itu. Jika tak demikian, bukan kekuasaan namanya toh.
Sehingga, kita sebagai anak bangsa sebaiknya jangan pernah mau terprovokasi untuk diajak mencampuradukkan antara kepentingan kekuasaan dengan penulisan sejarah nasional yang sejatinya harus ditulis secara ketat dan ilmiah oleh para pihak yang kompeten, yakni sejarawan dan ilmuwan.
Karena itu, dalam hemat saya, sekaligus sebagai usulan baik saya kepada pemerintah, langkah terbaik yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah terkait dengan sejarah nasional adalah mencontoh sikap dan tindakan dari negara besar lain, terutama Amerika Serikat.
Jika memang pemerintah memiliki data dan informasi yang selama ini belum mampu diakses publik, terutama oleh ahli sejarah dan sejarawan, maka “release” data tersebut, layaknya CIA, misalnya, merilis data yang mereka miliki setelah 50 tahun waktu berlalu.
Lalu biarkan ilmuwan dan sejarawan yang menjadikannya serpihan-serpihan ilmiah sejarah nasional Indonesia.
Dan poin ketiga, saya tidak mau naif dalam hal ini, jadi saya akan menghormati para pihak yang ingin menulis ulang sejarah, tapi bukan dengan mengatasnamakan pemerintah atau negara.
Usul saya, ada cara lain yang juga tak kalah elegannya untuk para pihak di dalam pemerintahan agar bisa terlibat di dalam dinamika dan proses penulisan sejarah nasional Indonesia, yakni menulis kepingan sejarah atas nama sendiri.
Sebagaimana diketahui, Fadli Zon sebagai salah satu anak bangsa pilihan (karena diangkat menjadi salah satu menteri), bukan sebagai pejabat negara, menuliskan versinya sendiri atas satu atau dua peristiwa di dalam perjalanan sejarah nasional yang menurutnya kurang bisa ia terima.
Hal semacam ini juga lazim dilakukan oleh pejabat-pejabat tinggi pemerintah di mana pun di dunia ini. Namun lagi-lagi tidak mengatasnamakan pemerintah atau negara, tapi mengatasnama diri sendiri (biasanya setelah tak lagi menjabat).
Memang tidak akan menjadi versi resmi pemerintah, karena sebaiknya tidak ada istilah “versi resmi pemerintah” di dalam penulisan sejarah. Hal itu toh memang tak diperlukan.
Namun setidaknya keresahan para pihak di dalam pemerintahan secara orang perorang terhadap satu atau dua kepingan sejarah nasional tidak pernah dilarang untuk disampaikan kepada publik melalui cara-cara yang baik.
Apalagi tokoh-tokoh sekelas Fadli Zon dan kawan-kawan diyakini memiliki sumber daya berlimpah untuk menerbitkan ribuan eksemplar buku, tanpa harus membawa-bawa nama pemerintah dan negara.
Dengan cara itu, Fadli Zon dan kawan-kawan bisa mempertahankan thesisnya soal peristwa pemerkosaan massal 1998 atau versi lain pemberontakan Madiun, atau apapun, misalnya.
Saya yakin, jika thesis Fadli Zon tak kuat, maka para sejarawan dan publik akan menelanjanginya. Namun jika benar, saya juga yakin, publik dan sejarawan akan mengafirmasi dan mengapresiasi.
Dan lagi-lagi, dialektika semacam itu akan berlangsung objektif dan mulus, karena tidak ada dinding negara dan kekuasaan yang harus dihadapi.
Lain cerita kalau sudah mengatasnamakan negara atau pemerintah, maka dialektika ilmiah sudah nyaris tidak ada lagi di satu sisi dan adigium bahwa “
history is written by the victors
” akan berlaku di sisi lain.
Oleh karena itu, di sini saya harus mengulangi lagi, negara dan pemerintah tak perlu “cawe-cawe” di dalam penulisan ulang sejarah.
Sebagai bagian dari rakyat biasa saya dengan kerendahan hati hanya berharap agar pemerintah fokus saja kepada janji-janji politik yang sudah terlanjur dinyanyikan selama masa kampanye. Itu sudah.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2020/01/16/5e20393c96320.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/06/18/6852353633a2d.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/06/13/684be5bb4b45a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/06/17/68511e7b3dad1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)