Komdigi Kirim Genset ke Aceh untuk Percepat Pemulihan Jariang Internet
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengirim lebih banyak genset ke Aceh untuk memulihkan jaringan telekomunikasi dan internet pascabencana banjir dan tanah longsor.
Wakil Menteri Komunikasi dan Digital
Nezar Patria
mengatakan pengiriman
genset
diperlukan mengingat jaringan listrik milik PLN belum sepenuhnya pulih.
“(Kendala utama) masih soal listrik. Dan ini kita sudah coba pecahkan dengan cara mengirimkan lebih banyak genset, sambil menunggu rekan-rekan PLN memperbaiki jaringan kelistrikan yang ada di sana,” kata Nezar di Kantor Komdigi, Jakarta Pusat, Jumat (19/12/2025).
Nezar memastikan tower Base Transceiver Station (BTS) akan kembali pulih ketika jaringan listrik normal.
Kendati demikian, ia tidak ingin menitikberatkan masalah kepada PLN, mengingat pemulihan pascabencana perlu dikerjakan bersama.
Oleh karena itu, genset-genset dikirim dan diaktifkan. Di sisi lain, jaringan fiber optik yang sempat terputus disambung kembali.
“Kita tidak mau menunggu, kita lakukan yang terbaik. Sementara untuk jaringan infrastruktur digitalnya sendiri, jaringan infrastruktur telekomunikasinya, kita juga ada kabel-kabel fiber optik yang tadinya terputus akibat longsor, terputus di jembatan, itu sudah mulai dilakukan penyambungan kembali,” beber dia.
Nezar mengungkapkan pihaknya bersama operator seluler akan berupaya meningkatkan persentase pemulihan demi mencapai titik yang paling optimal, yakni 100 persen.
Adapun sejauh ini,
jaringan telekomunikasi
yang pulih di wilayah tersebut baru mencapai 73 persen.
Artinya, stabilitas jaringan telekomunikasi baru sekitar 73 persen dalam 24 jam. Jaringan dikatakan pulih 100 persen jika stabil selama 24 jam penuh setiap hari.
“Itu sudah sekitar 73 persen, ya, di
Aceh
untuk perbaikan jaringan telekomunikasi. Nah, itu artinya uptime untuk semua BTS sudah 73 persen di wilayah-wilayah yang sudah normal pasokan BBM dan juga listriknya,” imbuh dia.
Lebih lanjut ia menjelaskan ada sejumlah wilayah yang menjadi fokus pemulihan. Wilayah tersebut meliputi Aceh Tamiang, Bener Meriah, Aceh Tengah, hingga Gayo Lues.
Dirinya pun sudah berkoordinasi dengan operator seluler untuk memberikan perhatian ekstra, sekaligus mengirimkan tenaga kerja untuk memperbaiki sesegera mungkin.
“Nah, ini kita terus meningkatkan, terutama di daerah-daerah yang saya sebutkan tadi, yaitu Aceh Tamiang, Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Kita memberikan perhatian di sana. Juga untuk Aceh Utara, kita terus memonitor walaupun sudah ada peningkatan uptime dari BTS yang ada di sana,” jelas Nezar.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Category: Kompas.com Nasional
-
/data/photo/2025/12/03/69304bc93b7de.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Komdigi Kirim Genset ke Aceh untuk Percepat Pemulihan Jariang Internet
-
/data/photo/2025/12/16/694162d27ea8b.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Mendagri Tito Sebut Mualem Tak Tahu soal Surat Bantuan ke PBB
Mendagri Tito Sebut Mualem Tak Tahu soal Surat Bantuan ke PBB
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyebut, Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) sama sekali tidak mengetahui soal surat permohonan bantuan ke dua lembaga PBB, yakni UNDP dan UNICEF.
Tito menjelaskan, ternyata, staf
Mualem
yang mengirim surat ke
PBB
, dengan berbekal tanda tangan elektronik milik Mualem. Ia mengakui keberadaan surat tersebut, yang mana ditembuskan ke Kemendagri juga.
“Berkaitan dengan surat yang tadi disampaikan oleh Gubernur
Aceh
, kami sudah mengecek yang
UNDP
dan
UNICEF
, berkomunikasi dengan pemerintah Aceh bahwa surat itu sudah kami baca dan juga ada tembusan ke Kemendagri,” ujar Tito dalam jumpa pers di Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Jumat (19/12/2025).
“Surat itu ditandatangani barcode, jadi tanda tangan (ttd) elektronik. Dan Pak Gubernur, Pak Muzakir Manaf ini menyatakan di media bahwa beliau tidak mengetahui itu. Jadi staf yang menyampaikan surat tersebut, kami cek sepertinya sekda yang mengirim karena adanya tawaran,” sambungnya.
Meski begitu, Tito tetap mengecek bantuan berupa apa yang bisa diberikan UNDP dan UNICEF kepada korban banjir dan longsor di Aceh.
Dia membeberkan, yang paling memungkinkan saat ini adalah bantuan konseling.
“Yang paling mungkin kalau tidak diterapkan dalam status bencana nasional adalah konseling, terutama untuk anak-anak dan wanita. Nah ini yang akan kita bicarakan dalam bentuk konseling yang bentuknya seperti apa, sebanyak apa, sebesar apa. Itu yang akan kita pertimbangkan,” imbuh Tito.
Sebelumnya,
Gubernur Aceh Muzakir Manaf
alias Mualem memberikan klarifikasi terkait beredarnya surat permintaan bantuan kepada dua lembaga internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Kabar mengenai Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh yang meminta bantuan tersebut telah beredar sejak Senin (15/12/2025).
Surat dimaksud ditujukan kepada United Nations Development Programme (UNDP) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF).
Melalui surat itu, Pemprov Aceh berharap UNDP dan UNICEF dapat membantu penanganan bencana banjir bandang dan tanah longsor di Aceh.
Mualem mengaku tidak mengetahui surat permintaan bantuan kepada UNDP dan UNICEF terkait penanganan banjir bandang dan tanah longsor di daerahnya.
Ia menjelaskan bahwa maksud surat tersebut sebenarnya keliru. Surat sebenarnya ditujukan kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Aceh, bukan PBB.
“Saya tidak tahu apa-apa, sebenarnya keliru, bukan ke PBB, kepada LSM yang ada di Aceh,” ujar Mualem di Banda Aceh, dikutip dari Antara, Selasa (16/12/2025).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/12/18/6943e6782ea53.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Bantuan Prabowo ke Pemda Terdampak Banjir Sumatera Sudah Cair, Total Rp 268 Miliar
Bantuan Prabowo ke Pemda Terdampak Banjir Sumatera Sudah Cair, Total Rp 268 Miliar
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian melaporkan bahwa bantuan berupa anggaran belanja tidak terduga untuk pemerintah provinsi (pemprov) dan pemerintah daerah (pemda) yang terdampak banjir-longsor di Sumatera sudah cair.
Tito memastikan 52 kabupaten/kota dan 3 provinsi telah menerima
bantuan anggaran
tersebut, yang totalnya mencapai Rp 268 miliar.
“Anggaran belanja tidak terduga untuk 52 kabupaten/kota dan provinsi dari Bapak Presiden sebagai tambahan sebanyak Rp 268 miliar. Kami cek sudah diterima semua oleh 3 provinsi, masing-masing Rp 20 miliar, kabupaten/kota Rp 4 miliar, 52 kabupaten/kota,” ujar Tito dalam jumpa pers di Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Jumat (19/12/2025).
Tito menyebut anggaran tersebut akan digunakan oleh daerah masing-masing sesuai arahan yang telah disampaikan.
Tito lantas berterima kasih kepada Prabowo hingga Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa karena telah bekerja cepat.
“Untuk itu kami ucapkan terima kasih banyak Bapak Presiden, Bapak Mensesneg, dan Pak Menseskab yang bekerja sangat cepat, serta Menteri Keuangan,” imbuhnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2024/11/18/673a850fcc4d1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Keamanan Digital Indonesia: Retak di Hulu, Bocor di Hilir
Keamanan Digital Indonesia: Retak di Hulu, Bocor di Hilir
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
BERMULA
dari seringnya nomor telepon Whatsapp dibajak orang-orang yang tidak bertanggung jawab, kemudian oleh mereka digunakan untuk melakukan penipuan seolah-olah berinteraksi dengan nomor kontak yang ada di ponsel, saya tergerak menulis artikel ini.
Bukan semata-mata curhat pribadi, tetapi ada persoalan besar mengenai mudahnya data pribadi penduduk Indonesia, termasuk saya di dalamnya, dibajak oleh peretas. Mungkin juga pengalaman pribadi ini pernah dialami oleh para pembaca.
Dengan tulisan ini, niatan saya adalah berbagi pengetahuan dan pengalaman, jangan sampai pembajakan nomor telepon dan mungkin juga akun-akun penting lainnya terjadi pada para pembaca dan menjadi bencana digital.
Jujur, saya agak trauma tatkala nomor telepon atau akun media sosial kena bajak orang lain dengan tujuan busuk, yakni penipuan digital.
Tahun 2010, saat berkunjung ke markas Kaspersky di Moskow, Rusia, saya melihat paparan sekaligus demo bagaimana para peretas di kawasan Rusia dan negara-negara dekatnya seperti Estonia dan Ukraina, menjebol akun bank hanya menggunakan ponsel di telapak tangan.
Kaspersky sebagai produsen software antivirus terkemuka saat itu memperkenalkan antivirus khusus untuk ponsel.
Dalam demo itu diperlihatkan, bagaimana seorang peretas muda dengan mudah mencuri password akun bank seseorang hanya dalam hitungan menit. Padahal kata sandi yang diretas terdiri dari 13 karakter; gabungan angka, huruf dan lambang yang ada di keyboard ponsel atau laptop.
Dari sinilah saya “parno” seandainya tiba-tiba nomor Whatsapp saya diretas. Ini pastilah aksi sindikat terorganisir, pastilah ada orang berlatar IT atau seseorang yang punya bisnis menjual nomor-nomor Whatsapp ke sembarang orang.
Keamanan ponsel dari pabrikan itu dianggap biang dari penyerapan -kalau tidak mau disebut perampokan- data pribadi para penggunanya.
Dengan banyaknya aplikasi, seorang pengguna bisa dengan sukarela menyerahkan nomor KTP, nomor ponsel, alamat email beserta password-nya, lokasi di mana pengguna berada, rekening bank dan data-data sensitif lainnya.
Kembali kepada persoalan mengapa akun media sosial dan nomor Whatsapp demikian sering kena retas? Itulah yang membuat saya coba menesuri akar persoalannya, syukur-syukur bisa menjawab ketidakpahaman saya.
Tentu saya paham bahwa pemerintah Indonesia telah berupaya melindungi warganya di ranah digital melalui beberapa kebijakan dan institusi, utamanya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), yang mulai berlaku sejak 2022 dan mengatur hak subjek data, kewajiban pengendali data, serta sanksi atas pelanggaran.
Di sisi lain, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) bertugas mengawasi keamanan siber nasional, sementara Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) sering memblokir situs pinjaman online (pinjol) ilegal dan judi online (judol).
Ada juga strategi nasional keamanan siber untuk mencegah serangan dari dalam maupun dari luar.
Namun, secara realistis, perlindungan ini belum benar-benar efektif menjaga kerahasiaan data digital penduduk Indonesia. Buktinya Whatsapp saya sering coba dibajak.
Implementasi UU PDP masih lambat, kesadaran dan penegakan hukum rendah, serta insiden kebocoran data terus meningkat.
BSSN mencatat ratusan serangan siber setiap tahun, dan Indonesia sering masuk peringkat atas negara dengan kebocoran data terbanyak secara global. Saya termasuk salah satu “korban” di dalamnya tentu saja.
Contoh kasus kebocoran data yang merugikan rakyat yang masuk kategori kasus besar dalam kurun waktu 2023-2025, menunjukkan kerentanan sistem itu sendiri.
Kebocoran data Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2024, misalnya, di mana peretas berhasil membobol ratusan juta data pribadi dari berbagai instansi pemerintah, termasuk data ASN dan layanan publik. Perlindungan yang jauh dari maksimal.
Kemudian Data Dukcapil dan NPWP (2023-2024) di mana peretas seperti Bjorka membocorkan jutaan data kependudukan dan pajak untuk kemudian dijual di forum gelap.
Bank Syariah Indonesia dan BPJS Kesehatan juga tidak luput dari serangan peretas di mana jutaan data nasabah dan pasien bocor, menyebabkan risiko penipuan identitas dan kerugian finansial. Mengerikan.
KPU dan PLN Mobile jelas berisi data pemilih dan pelanggan listrik, juga bocor dengan total ratusan juta rekaman pada 2023-2025.
Kasus-kasus ini jelas merugikan rakyat karena data pribadi (NIK, nomor HP, alamat) digunakan untuk penipuan, pinjol ilegal, atau pencurian identitas, menyebabkan kerugian materiil dan psikologis.
Pertanyaan yang menggantung pada benak saya, mengapa momor telepon (Whatsapp) sering dibajak? Boleh jadi nomor telepon, terutama yang terkait Whatsapp, karena banyaknya layanan digital (bank, email, media sosial) menggunakan verifikasi SMS/OTP (One Time Password).
Indonesia merupakan salah satu pengguna Whatsapp terbanyak di dunia, sehingga menjadi target empuk sasaran penipuan digital. Diperkirakan mencapai lebih dari 112 juta pengguna pada tahun 2025, menempatkan Indonesia di peringkat ketiga dunia setelah India dan Brasil.
Dari literatur yang saya susuri, saya paham bagaimana cara utama pembajakan, yakni dengan cara yang disebut SIM Swapping, yakni kejahatan siber di mana pelaku menipu operator seluler untuk mentransfer nomor ponsel korban ke kartu SIM mereka, sehingga pelaku bisa menerima SMS dan panggilan korban, termasuk kode OTP untuk membajak akun bank, e-wallet dan media sosial, lalu menguras dana atau mencuri data.
Bagaimana cara kerjanya? Penjahat siber mengumpulkan data pribadi korban (via phishing atau kebocoran data), lalu menghubungi operator seluler dengan berpura-pura sebagai korban untuk memindahkan nomor ke SIM baru mereka.
Mereka lalu menerima OTP dan mengambil alih Whatsapp/akun bank sebagaimana telah saya jelaskan tadi.
Phishing
dan
social engineering
juga sering dilakukan, yakni mengirim
link
(tautan) palsu atau menipu korban dengan memberikan kode verifikasi Whatsapp, atau menggunakan data bocor untuk reset akun email/media sosial.
Banyak cara lainnya, termasuk serangan
malware
sebagaimana yang saya lihat di Moskow, Rusia itu.
Tatkala ponsel Whatsapp saya digunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab dengan maksud melakukan penipuan, jelas saya dirugikan.
Setidak-tidaknya kredibilitas saya jatuh karena dalam aksi penipuannya para pembajak bisa berpura-pura meminjam uang atau menawarkan produk tertentu, biasanya lelang fiktif.
Memang saya tidak kehilangan akses akun Whatsapp, email atau media sosial, tetapi penjahat tentu telah berkirim pesan ke “circle” saya dengan maksud menipu teman atau keluarga. Paling sering modus pinjam uang itu tadi, misalnya.
Mungkin orang lain yang lebih sial dari saya telah kehilangan akses terhadap ponselnya sendiri di mana aplikasi Whatsapp ada di ponsel tersebut.
Padahal, di dalamnya ada aplikas bank dan boleh jadi akses rekening bank seperti transfer ilegal dapat mengakibatkan kerugian jutaan bahkan miliaran rupiah.
Penyebaran data pribadi yang dilakukan oleh seseorang juga dapat digunakan untuk teror, pinjol ilegal, atau pencemaran nama baik.
Apa dampak dari nomor Whatsapp yang dibajak orang berkali-kali? Jelas akan waswas dan traumatis, apalagi “parno” yang tidak hilang begitu saja setelah melihat bagaimana anak-anak remaja di Rusia sedemikian gampangnya membobol akun bank dengan
password
rumit sekalipun.
Tambahan lagi dampak psikologis berupa stres dan kehilangan privasi. Di berbagai tempat, banyak kasus bunuh diri akibat teror melalui
peretasan
akun aplikasi percakapan maupun akun media sosial.
Pemerintah Indonesia aktif memblokir ribuan situs judol dan pinjol ilegal, serta ada Satgas Pemberantasan Judi Online.
Namun, regulasi itu masih longgar dibanding Eropa, yang menerapkan GDPR (General Data Protection Regulation) yang sangat ketat soal data dan batasan usia untuk media sosial/ponsel. Misalnya, anak di bawah 13-16 tahun dilarang memakai platform tertentu tanpa izin orangtua.
Di Indonesia, anak muda sangat rentan, mereka banyak terjebak pinjol ilegal (bunga mencekik, teror penagihan) dan judol (kecanduan cepat).
Dampaknya tentu parah, yakni kerugian finansial, utang menumpuk, depresi, gangguan mental, hingga bunuh diri.
Laporan menunjukkan korban pinjol/judol didominasi usia 19-35 tahun, sering dari kalangan mahasiswa atau pekerja muda.
Dari penelusuran ini timbul pertanyaan pada diri saya, apakah penipuan digital ini terorganisir dan justru melibatkan aparat yang paham seluk-beluk data penduduk?
Bukan saya berburuk sangka, tetapi memang banyak penipuan digital (terutama judol dan scam investasi) karakteristiknya menurut para pemerhati siber bersifat terorganisir, sering melibatkan sindikat internasional (WNA China , Rusia dan Ukraina di Indonesia atau WNI dipaksa menjadi bagian dari kriminalitas ilegal digital di Kamboja dan Myanmar).
Ini seperti “bisnis” dengan
call center, script
penipuan, dan target korban massal.
Soal keterlibatan aparat, ada dugaan oknum aparat penegak hukum terlibat di beberapa kasus lokal, misalnya “kebal hukum” karena kuatnya
backing
, tetapi ini bukan bukti sistematis atau melibatkan institusi secara keseluruhan.
Kebanyakan kasus yang terungkap justru ditangani aparat, seperti penggerebekan sindikat WNA. Rumor ini sering beredar di media sosial, tetapi sumber kredibel lebih menunjuk ke korupsi oknum secara individu ketimbang konspirasi besar institusi.
Atas semua fakta dan kejadian itu, secara pribadi saya berpendapat bahwa pemerintah Indonesia belum cukup serius dan efektif dalam melindungi rakyat di ranah digital, meski ada kemajuan seperti UU PDP tadi.
Bukti nyata adalah kebocoran data masih saja terus terjadi, bahkan setelah regulasi baru diberlakukan dan hal itu menunjukkan
enforcement
masih lemah, tata kelola buruk, dan kurangnya investasi di keamanan siber di sini.
Sementara semua layanan (e-KTP, bank, pemilu) sudah beralih online, rakyat dibiarkan “terpapar” tanpa perlindungan memadai. Ini ibaratnya seperti membangun pasar digital besar tanpa pagar dan personel keamanan yang kuat.
Bandingkan dengan Eropa dan Singapura di mana mereka sangat peduli terhadap generasi mudanya dengan pemberlakuan ketat batas usia dan sanksi berat bagi perusahaan yang melanggar privasi.
Sementara di sini, anak muda justru “terpenjara” pinjol/judol hanya karena edukasi literasi digital yang tidak serius, bahkan masih minim, regulasi yang masih longgar, dan blokir situs mudah diakali VPN (Virtual Private Network).
Penipuan terorganisir memang seperti bisnis haram yang menguntungkan segelintir orang, dan dugaan oknum aparat terlibat semakin memperburuk kepercayaan publik. Bagi saya, ini mencerminkan masalah korupsi struktural yang lebih dalam lagi.
Solusi yang saya usulkan adalah perlunya penegakan hukum super tegas (sanksi berat bagi pengelola data ceroboh), edukasi masif sejak di sekolah, batasan usia untuk platform berisiko, dan kolaborasi internasional melawan sindikat digital terorganisir.
Tanpa itu, rakyat akan terus menjadi korban di “pasar digital” yang tak terkendali ini.
Pemerintah harus bertindak lebih proaktif, bukan reaktif setelah kejadian demi kejadian. Jangan juga seolah menjadi korban seperti yang saya alami dan kesannya putus asa dengan terus menerusnya bertambah korban dari waktu ke waktu.
Karena
keamanan digital
bukan sekadar pilihan, tapi keharusan bagi negara untuk melindungi rakyatnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/12/19/6944ed9e2dd8c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/19/6944d97883f0a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/02/05/67a32266eefbe.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2024/02/12/65c9f65564214.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/18/6943b5b80f4a7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/05/20/682c7be575981.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)