BMKG Peringatkan Waspada Cuaca Ekstrem Sepekan ke Depan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperingatkan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi meningkatnya curah hujan di sejumlah wilayah Indonesia dalam sepekan ke depan.
“Kami mengajak masyarakat untuk tetap waspada tetapi tidak perlu panik. Pastikan saluran air berfungsi baik, jaga kebersihan lingkungan, dan pantau pembaruan cuaca melalui InfoBMKG sebelum beraktivitas,” ujar Kepala
BMKG
Teuku Faisal Fathani, dalam keterangan pers, Jumat (5/12/2025).
Ia mengatakan, beberapa wilayah masih berpeluang mengalami hujan dengan intensitas lebat dalam beberapa hari mendatang.
“Kami mengingatkan masyarakat agar tidak mudah mempercayai informasi cuaca dari sumber yang tidak resmi,” ujar dia.
Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto memaparkan bahwa dinamika atmosfer berskala global, regional, dan lokal yang tengah aktif, seperti Gelombang Rossby Ekuator, Gelombang Kelvin, dan Madden–Julian Oscillation (MJO), meningkatkan intensitas hujan di Indonesia.
“Aktivitas gelombang atmosfer tersebut terutama memperkuat pembentukan awan hujan di sebagian wilayah Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua,” kata dia.
Selain itu, Bibit Siklon Tropis 93W di timur Filipina turut memberi dampak tidak langsung pada peningkatan hujan di Sulawesi Utara dan Maluku Utara.
Berikut daftar wilayah dengan potensi
hujan lebat
sepekan ke depan.
Potensi hujan lebat pada 5–7 Desember 2025 berpotensi terjadi:
Sementara pada hujan lebat 8–11 Desember 2025, hujan lebat berpotensi terjadi:
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Category: Kompas.com Nasional
-
/data/photo/2021/05/31/60b4de5fce787.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
BMKG Peringatkan Waspada Cuaca Ekstrem Sepekan ke Depan Nasional 5 Desember 2025
-
/data/photo/2025/07/25/68837ca646699.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Love-Hate Relationship Gen Z dengan BPJS, Ngebantu atau Bikin Ribet? Nasional 5 Desember 2025
Love-Hate Relationship Gen Z dengan BPJS, Ngebantu atau Bikin Ribet?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com-
Buat sebagian Gen Z, BPJS itu udah kayak
love and hate relationship
gitu, kadang bikin
happy
karena ngebantu tapi dibikin kesel juga sama beberapa hal.
Ada yang berasa kebantu banget karena biaya kesehatan jadi ringan, tapi nggak sedikit yang bete sama antri yang panjang, buang waktu sampe harus ngorbanin cuti, bahkan obat yang terasa kurang lengkap dibanding klinik swasta.
Buat generasi yang dikenal nggak mau repot dan kesabarannya setipis tisu, pengalaman
Gen Z
pakai BPJS sering jadi
reality check
, apalagi urusan layanan publik nggak selalu mulus.
Kompas.com
ngobrol dengan empat Gen Z yang punya cerita love-hate sama BPJS. Yuk ulik ceritanya!
Ternyata para Gen Z masih pakai BPJS untuk pengobatan ringan, cek kesehatan, atau tindakan yang kalau bayar sendiri bisa bikin dompet langsung kosong.
Fajar Al Haidar (24 tahun) misalnya, udah akrab sama BPJS sejak SMP. Sebagai Karyawan Swasta yang kerjaannya lumayan sibuk, BPJS itu semacam senjata andalan kalau lagi nge-drop.
“Sejauh ini pake BPJS buat berobat sakit biasa sih, kayak demam, batuk, pilek. Waktu itu juga pernah sakit kayak alergi ke kulit dan dua kali berobat, karena masih kambuh, akhirnya dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar,” kata Fajar, saat diwawancarai
Kompas.com
, Selasa (2/12/2025).
Ada juga, nih, Desy Fitria (23), seorang staf tata usaha sekolah yang baru pakai BPJS Oktober tahun ini, padahal udah daftar BPJS dari lama.
“Pertama kali gue pake BPJS itu baru tahun ini di bulan Oktober. Itu pun dipakai karena harus operasi,” tuturnya.
Bukan sombong atau apa, pertama kali pake BPJS juga karena sakit awalnya dikira lambung, eh ternyata kena usus buntu dan harus operasi.
Dari pada nguras kocek sendiri, dia akhirnya nyobain
benefit
dari BPJS buat operasi usus buntunya itu.
Kalau Sherina Natasya (25) dan Felia (24), pilih pakai BPJS untuk sakit-sakit ringan aja. Misalnya, batuk, pilek, demam, atau pengobatan saluran akar gigi.
“Biasanya untuk kasus sakit biasa seperti demam, batuk, pilek, sakit yang tidak perlu rujukan ke rumah sakit,” ungkap Sherina.
Sebagai budak
corporate
yang mengadu nasib di Jakarta, biaya buat berobat gigi itu nggak main-main, makanya keduanya pilih pake BPJS.
“Kalau ada gigi yang sakit, berlubang, atau harus perawatan saluran akar, itu aku usahain pakai BPJS, karena kalau bayar sendiri itu mahal banget,” tambah Almira.
Ada
quotes
terkenal dari film Sore: Istri Dari Masa Depan, yang bilang, “Kalau aku harus ngulang seribu kali pun, kayaknya aku bakal tetep milih kamu, deh”.
Kalau Gen Z ke BPJS mungkin bilangnya gini, “Daripada aku harus ngeluarin uang banyak buat berobat, kayaknya aku bakal tetep milih kamu, deh”.
Meskipun ada kesel-keselnya, tapi para Gen Z tetep punya alasan tersendiri kenapa masih pilih berobat pake BPJS dan kenapa mereka suka beralih ke klinik swasta.
Banyak Gen Z yang merasa tetap butuh BPJS karena satu alasan kuat yaitu
cost efficiency
.Ketika biaya periksa di klinik swasta makin tinggi, BPJS terasa kayak penyelamat darurat yang wajib ada.
Bahkan, menurut Fajar, prosedurnya juga semakin gampang dengan sistem yang terintegrasi secara online.
“Ngerasa terbantu sih, nggak ngerasa ribet, karena pas dateng tinggal ngasih kartu aja, bahkan digital juga udah bisa,” katanya.
Ia bahkan merasakan kemudahan kalau berobat di luar domisili. Katanya sih tinggal ngurus lewat aplikasi JKN Mobile dan cari klinik dengan rating yang bagus supaya dapet pelayanan yang oke.
Kalau Desy ngerasa manfaat paling besar, yaitu ketika harus menjalani operasi usus buntu. Bayangin kalau nggak ada BPJS dan harus bayar operasinya sendiri, bisa bikin kantong boncos, dong.
“Sebenernya merasa terbantu banget, apalagi gue nggak perlu keluar biaya yang besar lagi untuk berobat yang kasusnya harus sampai operasi gini,” kata dia.
Sherina juga bilang gitu, sebagai anak yang sering banget flu, dia ngerasa hemat banyak uang buat berobat. Lumayan, uangnya bisa dipake buat
self-reward
pas udah sembuh.
Nggak cuma menghemat biaya, Felia juga menilai layanan dokter yang ia terima cukup baik.
“Layanan dari dokternya juga cukup kompeten dan bersih. Alhamdulillah sejauh ini dari segi tindakan dokter belum pernah nemuin yang kurang,”
Meski banyak keluhan, alasan-alasan ini membuat Gen Z mikir-mikir lagi buat ninggalin BPJS.
Kalau ada satu hal yang bikin Gen Z komplain serempak soal BPJS, jawabannya pasti waktu yang kebuang sia-sia. Antri lama, proses berlapis, sampai rujukan yang jadwalnya “keburu sembuh sebelum masuk poli”.
Desy cerita pengalamannya ketika melalui rumitnya alur pengobatan saat kondisinya gawat. Padahal kondisinya udah nggak bisa ditunda dan nunggu-nunggu lagi.
“Prosesnya lama sih, antrinya juga panjang, bahkan ketika gue udah dapet surat rujukan buat ke poli dan lanjut ke IGD, itu lama,” ucap dia.
Buat kontrol pasca operasi, dia harus nyesuain waktu kerja sama jadwal kontrol yang cuma di jam tertentu. Sedangkan kalau di klinik swasta, menurutnya jam pelayanan lebih fleksibel dan cepat.
Felia punya pengalaman serupa saat mau berobat gigi. Bahkan ia dapet rujukan beberapa minggu setelah daftar. Waktu yang terbuang bahkan berbulan-bulan hanya untuk pengobatan satu gigi.
“Perawatan satu gigi aja bisa makan waktu 3 sampai 4 bulan, sedangkan sekarang yang bermasalah ada 3,” terang Almira.
Sebagai pekerja kantoran, ia beberapa kali harus ambil cuti. Terlebih dia harus periksa gigi setiap 1 sampai 2 minggu sekali. Alhasil, cutinya dipake buat berobat gigi ke klinik terus.
“Mau nggak mau aku harus korbanin waktu kerja dengan minta masuk setengah hari atau kadang ambil cuti,” tutur dia.
Selain waktu, keluhan Gen Z lainnya adalah pelayanan dan obat yang dinilai kurang lengkap dibandingkan klinik swasta.
Fajar ingat pengalamannya di tahun 2023. Waktu itu, dia coba scaling gigi yang di-
cover
BPJS. Ia mengaku kurang nyaman, berbeda dengan pengalamannya ketika scaling di klinik gigi swasta.
“Mungkin saat itu dokternya masih KOAS atau baru. Jadi beberapa kali ngerasa ngilu giginya,” ucapnya.
Tiga narasumber lainnya, yaitu Desy, Sherina, dan Felia justru merasa obat dari BPJS lebih terbatas dan dianggap tidak sebagus di klinik swasta.
“Obatnya itu lebih terbatas dan enggak sekomplit gue berobat di swasta,” ujar Desy.
Felia bahkan pernah ngalamin adanya kesenjangan layanan, yang katanya berasa kayak jadi anak tiri kalau berobat pakai BPJS. Mereka yang berobat reguler jauh rasanya kayak diutamain dibandingkan yang pakai BPJS.
“Kadang merasa pake BPJS itu kaya dianaktirikan, kelihatan kesenjangan layanan dan obat yang diberikan juga.”
Menanggapi keluhan dari para Gen Z ini, Kepala Humas
BPJS Kesehatan
, Rizzky Anugerah menjelaskan, kalau sistem rujukan berjenjang adalah aturan yang memang sudah ditetapkan.
“FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) berfungsi sebagai garda awal sebelum pasien dirujuk ke rumah sakit,” katanya saat dihubungi
Kompas.com
, Rabu (3/12/2025).
Menurutnya, sistem ini tujuannya untuk menjaga kapasitas layanan rumah sakit supaya nggak makin numpuk.
Tapi, untuk pasien yang sakitnya sudah kategori gawat darurat, Rizzky mengimbau buat langsung datengin rumah sakit yang bekerja sama maupun tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
“Mekanisme ini bukan untuk mempersulit, melainkan untuk menjaga mutu layanan, serta menghindari penumpukan pasien di rumah sakit,” tambah dia.
BPJS, lewat Aplikasi Mobile JKN, terus beradaptasi dengan kebutuhan Gen Z yang maunya serba cepat, apalagi waktu jadi hal yang paling berharga buat para Gen Z di tengah kesibukannya.
Nggak cuma itu, layanan tersebut juga bisa merangkun rekam medis pasien dari waktu ke waktu.
“Pada aplikasi tersebut, mereka dapat mengambil antrean online, mengecek ketersediaan kamar di rumah sakit, melakukan perubahan data kepesertaan, hingga melakukan Skrining Riwayat Kesehatan,” tutupnya.
Katanya Gen-Z nggak suka baca, apalagi soal masalah yang rumit. Lewat artikel ini, Kompas.com coba bikin kamu paham dengan bahasa yang mudah.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2018/06/24/3415437599.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Negara dan Pemimpin: Menjaga Batas dalam Demokrasi Nasional 5 Desember 2025
Negara dan Pemimpin: Menjaga Batas dalam Demokrasi
Sekertaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Gereja Kristen Indonesia (GKI)
STEVEN
Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya
How Democracies Die
(2018) menunjukkan bahwa demokrasi modern tidak runtuh secara dramatis melalui kudeta atau pembubaran paksa lembaga negara.
Mereka mengingatkan bahwa demokrasi justru sering melemah dari dalam: secara perlahan, legal, dan nyaris tak disadari.
Salah satunya, melalui
pemimpin
yang terpilih secara demokratis, tetapi kemudian mempersonalisasi
kekuasaan
.
Levitsky dan Ziblatt mengingatkan bahwa tanda-tandanya sering sangat halus: ketika kritik dianggap ancaman terhadap kemajuan negara, ketika hukum dibelokkan demi mendukung kepentingan kekuasaaan.
Bentuk lainnya, ketika program negara dipresentasikan sebagai komitmen pribadi penguasa. Ketika yang terakhir terjadi, batas antara pemimpin dan negara menjadi kabur.
Dalam literatur klasik, gejala ini dirangkum dalam ungkapan Louis XIV, “L’État, c’est moi”, “Negara adalah saya.”
Tentu Indonesia tidak sedang menuju monarki absolut. Namun, personalisasi kekuasaan dalam diri pemimpin relevan sebagai pengingat agar demokrasi Indonesia tidak mengalami kemunduran dan menjadi hancur.
Beberapa sinyal awal personalisasi kekuasaan tampak dalam bahasa yang dipakai Presiden Prabowo Subianto.
Beberapa kali, Prabowo menampilkan diri sebagai sosok dengan misi sejarah dan tanggung jawab yang sudah “ditakdirkan” untuk bangsa Indonesia.
Narasi bahwa 08 adalah julukannya selagi masih berdinas di Tentara, menjadi presiden ke 8 RI, memimpin HUT RI di dekade ke 8 menguatkan “takdirnya” sebagai pemimpin bangsa.
Narasi semacam ini sah-sah saja dan bukan persoalan pada dirinya. Namun, dalam teori politik ia dapat menjadi fondasi munculnya
fusion of leader and state
.
Secara subtil, legitimasi negara melekat pada pribadi pemimpin. Pada titik ini, bisa terjadi personalisasi kekuasaan presiden.
Padahal, Negara demokrasi seharusnya dibangun oleh
rule of law
dan institusi bukan berpusat kepada persona pemimpinnya.
Dalam konteks inilah pernyataan Presiden Prabowo bahwa dirinya “bertanggung jawab atas utang proyek Whoosh” perlu dibaca secara cermat.
Walau dapat dimaknai sebagai tanggung jawab pemimpin, secara institusional utang negara adalah keputusan sistem anggaran. Ketika bahasa negara diucapkan dalam bentuk komitmen personal, batas antara pemimpin dan negara mulai berubah.
Fenomena personalisasi juga tampak dalam penggunaan bahasa yang bersifat populis dan hitam putih.
Dalam beberapa kesempatan, retorika yang digunakan memberi kesan pembelahan hitam-putih antara mereka yang dianggap ‘setia’ dan ‘tidak setia’.
Misalnya, saat Pidato di hari kelahiran Pancasila, Presiden Prabowo berkata: “Mereka-mereka yang tidak setia kepada negara akan kita singkirkan dengan tidak ragu-ragu, tanpa memandang bulu tanpa melihat keluarga siapa, partai mana, suku mana, yang tidak setia kepada negara,”(
Kompas
, 2 Juni 2025).
Personalisasi semakin terlihat dalam program-program ekonomi yang dalam persepsi publik dilekatkan pada figur presiden.
Salah satunya adalah makan bergizi gratis (MBG), inisiatif penguatan ekonomi rakyat yang secara formal berada dalam domain kementerian dan lembaga teknis.
Namun, karena presiden tampil langsung sebagai juru penjelas visi program tersebut, masyarakat kemudian melihatnya sebagai “program presiden”.
Dalam kacamata teori personalisasi kekuasaan, simbol dan visi kebijakan negara yang dilekatkan pada figur pemimpin mempercepat pengaburan batas antara institusi dan persona.
Fenomena lain terlihat pada penempatan sejumlah anggota tim sukses dan kampanye dalam jabatan negara.
Kompensasi politik memang lazim dalam demokrasi. Namun, ketika jabatan strategis diberikan terutama berdasarkan kedekatan personal, tata kelola negara menjadi kumpulan jejaring loyalis, bukan profesionalisme kelembagaan.
Literatur neo-patrimonialism melihat pola semacam ini sebagai tanda awal bahwa pejabat negara berfungsi lebih sebagai perpanjangan kehendak pemimpin dibanding sebagai bagian dari institusi yang otonom.
Risiko terbesar personalisasi kekuasaan terletak pada cara negara merespons kritik. Dalam demokrasi, kritik dipahami sebagai bagian dari perbaikan.
Namun, dalam sistem yang mempersonalisasi pemimpin, kritik terhadap kebijakan sering diperlakukan sebagai serangan terhadap negara.
Ini pola klasik yang diteropong dalam politik sebagai kemunduran demokrasi. Ketika pemimpin dan negara dianggap identik, perbedaan pendapat dan kontrol dalam demokrasi ditafsirkan penguasa sebagai ancaman dan musuh bangsa.
Kita mulai melihat pola ini dalam ruang publik: kritik dibalas dengan tudingan “anti-negara”, “antek asing”, “tidak sesuai dengan UUD 1945”, atau “musuh negara”.
Padahal, demokrasi memberi ruang pada kritik sebab kekuasaan yang tanpa kritik akan menghancurkan bangsa dan menyengsarakan rakyat.
Agar demokrasi tetap terpelihara dan tidak mengalami kemunduran, kita perlu menghindari personalisasi dan pemusatan kuasa pada presiden. Caranya, dengan melihat negara sebagai entitas yang lebih besar dari pemimpin.
Presiden memang pemimpin negara. Namun, program strategis negara tidak boleh dilekatkan pada figur presiden.
Dalam demokrasi, kebijakan publik lahir dari kerja kolektif lembaga negara. Ketika program dibingkai sebagai “program presiden”, kita sedang mengaburkan fakta bahwa pemimpin secara kolektif dan berdasarkan aturan adalah penyelenggara negara, bukan pemilik negara.
Menjaga batas ini berarti memastikan keberhasilan dan kegagalan negara tetap menjadi keberhasilan dan kegagalan institusi demokrasi, bukan pribadi.
Selain itu, negara perlu dikelola oleh pribadi-pribadi yang punya kapasitas, rekam jejak, integritas, bukan kedekatan dan loyalitas personal.
Negara membutuhkan birokrasi yang kuat, bukan kumpulan loyalis yang cenderung bekerja berdasarkan subyektifitas dan kedekatan.
Dari sisi pemimpin, sulit baginya bersikap tegas dan disiplin jika orang dekatnya tidak punya kapasitas dan integritas dalam membangun negara. Rakyat dan pemerintah mestinya belajar dari masa lalu tentang bagaimana KKN merusak negara.
Terakhir, bangsa ini perlu menghidupi budaya demokrasi yang menjamin terjadinya kontrol terhadap kekuasaan.
Kritik terhadap kebijakan harus dipahami sebagai kontribusi, bukan ancaman, apalagi dilihat sebagai musuh negara.
Kritik konstruktif sejatinya bentuk paling jujur dari kesetiaan rakyat kepada republik. Loyalitas bukan berarti membenarkan semua keputusan pemimpin, tetapi menjaga agar kekuasaan berjalan sesuai dengan mandat konstitusi.
Pemimpin selalu berganti, tetapi visi bangsa sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 harus menjadi kompas berbangsa.
Demokrasi yang dewasa adalah demokrasi yang tahu kapan mengagumi pemimpin dan kapan harus mengingatkan bahwa negara bukanlah dirinya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/12/05/693238d57da4e.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Wamenkomdigi: 90 Persen BTS di Aceh Menyala Pekan Ini Nasional 5 Desember 2025
Wamenkomdigi: 90 Persen BTS di Aceh Menyala Pekan Ini
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Wakil Menteri (Wamen) Komunikasi dan Digital (Komdigi) Nezar Patria memastikan 75-90 persen BTS dapat menyala kembali pekan ini.
Hal ini dikatakan Nezar saat mengunjungi sejumlah lokasi terdampak
banjir di Aceh
.
“Kita sudah koordinasi dengan PLN dan Pertamina, semoga pekan ini 75-90 persen BTS dapat menyala kembali,” kata Nezar, dalam siaran pers, Jumat (5/12/2025).
Ia mengungkapkan, matinya BTS dipengaruhi oleh pemadaman listrik.
BTS yang masih tegak berdiri pun terkena dampak banjir, meski ada pula yang selamat karena posisinya berada di tempat yang tinggi.
Jalur komunikasi telekomunikasi juga terganggu karena beberapa jaringan Fiber Optik (FO) yang terputus akibat ambruknya jembatan-jembatan di sejumlah jalan yang menghubungkan antar kabupaten di Aceh.
Sejauh ini, dari 3.443 BTS yang ada di Provinsi Aceh, 51 persen sudah beroperasi kembali.
“BTS di seluruh Aceh umumnya terganggu fungsinya karena ketiadaan listrik. Sekarang sudah diatasi separuhnya bisa menyala,” ucap dia.
Dalam kunjungannya ke Pidie Jaya, Aceh, Nezar menyerahkan satu unit Starlink dan genset kepada Bupati Pidie Jaya untuk membantu komunikasi di pos-pos bantuan bencana.
Di Bireuen, tim yang dipimpin Nezar mengunjungi Posko Bencana di Kantor Bupati Bireuen.
Ia pun menyerahkan satu unit Starlink dan genset untuk Bireuen, serta dua buah unit Starlink dan satu genset kepada Dandim Bireuen untuk diteruskan ke Danrem Lilawangsa, Lhokseumawe, Aceh Utara.
“Kita titipkan ke Danrem yang nantinya akan membantu komunikasi di daerah Lokop, Aceh Timur. Di sana ada lima desa hilang disapu banjir. Alat telekomunikasi sangat dibutuhkan,” ujar Nezar.
Saat di Bireuen, Nezar juga menuju ke Kecamatan Juli dan berhenti di jembatan yang menghubungkan Juli dan jalan ke arah Kabupaten Bener Meriah.
“Jembatan kokoh ini bahkan terputus separuh. Bener Meriah terisolir. Kita berikan satu unit Starlink kepada relawan TIK, yang akan digunakan untuk kebutuhan warga berkomunikasi,” ujar Nezar.
Di ujung Jembatan Juli itu, warga membangun jaringan kabel yang bisa mengangkut barang.
“Kita seberangkan satu unit Starlink dan genset ke wilayah Bener Meriah melalui keranjang yang bergulir melalui kabel itu, semoga membantu memulihkan komunikasi di masa tanggap darurat,” ujar dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/12/04/6931550a90143.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Saksi Sidang Impor Minyak Ungkap Petinggi BUMN Tolak Tas Golf Pemberiannya: Sejak Itu Saya Malu Nasional 4 Desember 2025
Saksi Sidang Impor Minyak Ungkap Petinggi BUMN Tolak Tas Golf Pemberiannya: Sejak Itu Saya Malu
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Terdakwa sekaligus VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne, menolak pemberian satu tas golf dari Originator Specialist-Business Development pada PT Jasatama Petroindo, Ferry Mahendra Setya Putra.
Hal ini diungkap Ferry yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di
PT Pertamina
Persero.
Ferry menjelaskan, ia secara spontan memberikan tas golf itu kepada Edward pada akhir Maret 2023.
Beberapa hari setelah tas golf itu sampai di rumah Edward, Ferry ditelepon oleh si penerima.
“Dua hari setelahnya, beliau telepon saya dan nolak. Saya masih ingat betul dan itu bikin saya malu. Jadi, itu jadi yang pertama dan yang terakhir karena kemudian ditolak,” ujar Ferry dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (4/12/2025).
Ferry mengaku masih cukup ingat dengan ucapan Edward yang saat itu menolak pemberiannya.
“Intinya ginilah, ‘Ngapain lu kasih gini? Gua enggak bisa terima, bro.’ Gitu. ‘Enggak enak gua terimanya,’” kata Ferry meniru ucapan Edward saat itu.
Kepada Edward, Ferry menegaskan bahwa pemberiannya murni berdasarkan kedekatan pertemanan, bukan bisnis.
Ferry mengaku berterima kasih kepada Edward yang menyempatkan diri untuk menjenguknya setelah operasi.
“Enggak ada hubungan sama bisnis, bahkan ini enggak disuruh BP, sama sekali enggak disuruh BP, pakai uang pribadi saya, makanya saya tidak melaporkan ke BP gitu ya, karena pakai uang pribadi saya,” lanjut Ferry.
PT Jasatama Petroindo merupakan perwakilan BP Singapore PTE.LTD di Indonesia.
Edward diketahui tetap menolak halus pemberian dari Ferry.
“Beliau menolak secara halus kemudian dilanjutkan dengan kata-kata, ‘Tapi, tetap gua enggak enak terimanya karena…’ Beliau pakai alasan yang saya masih ingat, istrinya dia. ‘Nanti yang ada bini gua marah karena bingung nih ditaruh di mana nih tas,’” lanjut Ferry.
Meski ditolak, tas golf ini tidak dikembalikan ke tangan Ferry lagi.
Edward memilih untuk menaruh tas golf dari Ferry di kantornya untuk nanti dipakai jika dibutuhkan.
“Terus, beliau minta izin, ‘Gua izin taruh di kantor aja ya siapa tahu bisa dipakai anak-anak.’ Bagi saya itu penolakan walaupun secara halus. Dan, sejak itu ya saya malu dan enggak pernah ngasih lagi sudah,” imbuh Ferry.
Dalam sidang, Ferry mengaku membeli tas golf ketika kebetulan melintas di depan toko perlengkapan golf di kawasan Senayan, Jakarta Selatan.
Ia melihat sebuah iklan bertuliskan ‘Buy 1 Get 1’ untuk tas golf.
Ferry pun merogoh kocek senilai Rp 3,5 juta untuk kedua tas golf itu.
Berhubung ia hanya butuh satu, sisanya diberikan kepada orang lain.
Saat itu, ia teringat pada Edward yang sudah pernah menjenguknya ketika sedang dirawat di rumah sakit.
Tas golf senilai Rp 1,75 juta ini kemudian diantar ke rumah Edward tanpa sepengetahuan calon penerima.
Pengacara terdakwa, Luhut MP Pangaribuan, menjelaskan alasan itu tidak dikembalikan meski sudah ditolak.
Menurutnya, ini masih berkaitan erat dengan budaya masyarakat Indonesia.
Luhut menjelaskan hal ini dengan sebuah analogi.
“Kamu sekarang wartawan, kan kita sudah kenal. Tiba-tiba saya ada beli mangga di situ. Aduh, saya kasih dia tadi saya diwawancara, kan gitu kirim dong mangga kan gitu. Mangga setengah kilo. Masa kamu kembaliin? Dalam konteks Indonesia, itu wajar,” ujar Luhut saat ditemui usai sidang.
Luhut menegaskan, pemberian dari Ferry ke Edward murni karena pertemanan.
Terlebih, harga barang yang diberikan tergolong kecil jika dibandingkan dengan nilai proyek yang berjalan di Pertamina.
“Kalau misalnya (pemberian suap nilainya) 1,75 juta dollar Amerika Serikat, itu masuk akal. Kalau itu (proyeknya) triliunan kan gitu. Baru seimbang. Ya. Ini di mana imbangannya?” kata Luhut.
Nama BP Singapore pernah disinggung dalam dakwaan.
Perusahaan ini menjadi satu dari sepuluh pihak yang diduga mendapat perlakuan istimewa dari para terdakwa dalam pengadaan impor minyak mentah.
“Terdakwa Agus Purwono, Sani Dinar Saifuddin, dan Dwi Sudarsono mengusulkan sepuluh mitra usaha sebagai pemenang pengadaan impor minyak mentah/kondensat meskipun praktik pelaksanaan pengadaan tidak sesuai dengan prinsip dan etika pengadaan,” ujar salah satu jaksa saat membacakan dakwaan dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (13/10/2025).
Jaksa menyebutkan, Agus, Sani, dan Dwi sengaja membocorkan harga perkiraan sendiri (HPS) yang merupakan persyaratan utama lelang.
Nilai HPS ini sifatnya rahasia.
“(Para terdakwa juga) melakukan perubahan persyaratan utama berupa volume pengadaan dan waktu pengiriman. (Serta), mengundang perusahaan yang sedang dikenai sanksi untuk mengikuti pelelangan,” imbuh jaksa.
Dalam kasus ini, BP Singapore PTE.LTD meraup keuntungan sebesar 36,258,298.95 dollar Amerika Serikat.
Namun, setelah dijumlahkan, sepuluh perusahaan asing yang mendapatkan perlakuan khusus ini memperoleh kekayaan senilai 570,267,741.36 atau 570,2 juta dollar Amerika Serikat.
Pengadaan impor minyak mentah ini hanya satu dari beberapa pengadaan yang menyebabkan kerugian negara dalam kasus ini.
Secara keseluruhan, para terdakwa maupun tersangka disebutkan telah menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 285,1 triliun.
Setidaknya, ada sembilan orang yang lebih dahulu dihadirkan di persidangan, antara lain: Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa; Muhamad Kerry Adrianto Riza; Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi; VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono.
Lalu, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, Dimas Werhaspati; dan Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak, Gading Ramadhan Joedo.
Kemudian, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan; Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin; Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya; dan VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga,
Edward Corne
.
Sejauh ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan 18 tersangka.
Berkas delapan tersangka lainnya sudah dilimpahkan ke Kejari Jakpus.
Namun, berkas Riza Chalid belum dilimpahkan karena saat ini masih buron.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/07/10/686f4a3b21960.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Ketika Keputusan Bisnis Dipidanakan, Siapa Berani Memimpin BUMN? Nasional 4 Desember 2025
Ketika Keputusan Bisnis Dipidanakan, Siapa Berani Memimpin BUMN?
Seorang konsultan bisnis / manajemen, pengajar program studi magister manajemen dan pengamat ekonomi & UMKM yang aktif menulis tentang kebijakan ekonomi dan pengembangan UMKM.
KRIMINALISASI
keputusan manajerial di BUMN menimbulkan ketakutan baru bagi profesional dan diaspora Indonesia yang ingin mengabdi. Bila keberanian dihukum, siapa yang masih bersedia memimpin transformasi perusahaan negara?
Vonis terhadap mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi, beberapa waktu lalu menimbulkan gelombang diskusi yang jauh melampaui ruang sidang. Kendati kemudian Presiden menggunakan hak prerogatifnya dengan memberikan rehabilitasi, publik memperdebatkan apakah pengadaan kapal milik PT Jembatan Nusantara merupakan
keputusan bisnis
strategis atau tindakan yang patut dipidana.
Persoalan ini mengemuka bukan hanya karena sosok Ira yang dikenal progresif dalam mendorong transformasi layanan penyeberangan, tetapi karena kasus ini memunculkan ketakutan baru: apakah setiap keputusan bisnis di
BUMN
kini berpotensi menjadi tindak pidana korupsi?
Pertanyaan itu bergema di kalangan profesional, akademisi, dan diaspora Indonesia yang selama ini didorong untuk kembali ke tanah air guna memperbaiki tata kelola perusahaan negara. Di media sosial maupun kanal opini publik, muncul keresahan bahwa kriminalisasi keputusan manajerial dapat mengubah iklim pengelolaan BUMN menjadi ruang berisiko tinggi, di mana keberanian dihukum dan inovasi dianggap ancaman.
Tokoh diaspora seperti Dino Patti Djalal pun menyuarakan keprihatinan serupa, bukan untuk membela individu, melainkan mempertanyakan arah kebijakan yang menentukan masa depan kompetensi nasional.
BUMN memikul mandat ganda: menjalankan tugas pelayanan publik sekaligus berkompetisi dalam ruang bisnis yang semakin keras. Transformasi BUMN dalam satu dekade terakhir dilakukan melalui berbagai strategi yang menuntut keberanian pengambilan keputusan: modernisasi layanan, digitalisasi, efisiensi aset, dan ekspansi model bisnis agar tidak kalah dengan perusahaan swasta dan internasional.
Tapi keberanian itu membutuhkan ruang aman. Dalam logika bisnis, keputusan tidak selalu menghasilkan keuntungan langsung, dan kerugian operasional tidak otomatis berarti kejahatan. Tidak ada perusahaan besar yang tumbuh tanpa keputusan berisiko, dan risiko itulah yang membedakan pemimpin visioner dengan administrator pasif.
Namun dinamika penegakan hukum di Indonesia sering kali memandang hasil akhir sebagai satu-satunya parameter penilaian. Bila keputusan menimbulkan kerugian, maka tuduhan korupsi kerap muncul sebelum proses bisnis dipahami secara menyeluruh. Hal ini menimbulkan ketegangan antara logika bisnis dan logika hukum; ruang abu-abu yang semakin luas dan mengancam tata kelola modern.
Dalam tata kelola korporasi internasional, terdapat prinsip penting bernama
business judgment rule
. Prinsip ini memberi perlindungan hukum bagi direksi sepanjang keputusan diambil melalui proses yang benar, dengan itikad baik, dan berdasarkan informasi memadai, bahkan bila hasil akhir tidak sesuai harapan.
Di banyak negara, prinsip ini menjaga profesional agar tidak takut mengambil keputusan strategis. Tanpa perlindungan tersebut, setiap keputusan akan didominasi rasa takut, bukan rasionalitas bisnis.
Namun di Indonesia,
business judgment rule
seringkali hanya menjadi jargon akademik. Ketika aparat penegak hukum masuk terlalu jauh ke ruang manajerial, batas antara kesalahan bisnis dan kejahatan menjadi kabur. Perdebatan pada kasus ASDP menunjukkan bagaimana perbedaan paradigma antara bisnis dan hukum dapat menjerumuskan negara pada risiko besar: stagnasi keputusan strategis karena semua orang takut bertindak.
Kasus Ira Puspadewi bukan yang pertama. Sebelumnya, Richard Joost Lino dari Pelindo II dan Karen Agustiawan dari Pertamina pernah mengalami proses hukum yang menimbulkan diskusi serupa: apakah keputusan investasi dan pengadaan merupakan tindak pidana atau risiko bisnis?
Banyak pihak berpendapat bahwa kegagalan bisnis tidak identik dengan niat jahat. Tanpa bukti
enrichment
atau keuntungan pribadi, kriminalisasi keputusan bisnis bisa menjadi preseden berbahaya. Jika kecenderungan ini terus berlanjut, maka setiap keputusan manajerial akan dihitung dari kemungkinan hukum terburuk, bukan dari nilai strategis terbaik. Akibatnya, lebih aman untuk tidak melakukan apa-apa.
Inilah bahaya terbesar yang jarang dibicarakan: bukan hanya reputasi individu yang dipertaruhkan, tetapi masa depan tata kelola perusahaan negara. Mengelola BUMN membutuhkan profesional terbaik: teknokrat, pemimpin berintegritas, dan pelaku industri yang berpengalaman global.
Pemerintah selama ini mengajak diaspora untuk pulang dan membantu memperkuat daya saing BUMN, membawa disiplin global, dan mengeksekusi transformasi melalui keberanian perubahan. Namun siapa yang mau mengambil jabatan strategis bila setiap keputusan bisnis berpotensi membuat mereka duduk di kursi terdakwa? Apakah talenta diaspora yang meninggalkan posisi aman di luar negeri akan bersedia kembali ke lingkungan di mana niat baik bisa berujung hukuman?
Ketika ruang pengambilan keputusan menjadi ruang kriminalisasi, BUMN kehilangan daya tariknya bagi profesional terbaik. Jika ini dibiarkan, transformasi BUMN hanya akan menjadi slogan. BUMN akan kembali dikelola oleh mereka yang sekadar menghindari risiko dan menjaga stabilitas birokrasi, bukan oleh pemimpin visioner yang siap menembus keterbatasan.
Kita sedang berada di persimpangan sejarah. Indonesia membutuhkan BUMN yang kuat untuk menghadapi persaingan global; bukan BUMN yang lumpuh karena ketakutan. Tidak ada ekonomi maju di dunia yang berkembang melalui kriminalisasi keputusan bisnis. Negara yang maju membangun sistem yang memisahkan kesalahan profesional dari kejahatan yang disengaja.
Jika kriminalisasi kebijakan manajerial terus terjadi, implikasinya tidak hanya pada individu, tetapi pada masa depan ekonomi: hilangnya keberanian inovasi, matinya efektivitas tata kelola, dan menghilangnya generasi pemimpin berani.
Solusi untuk kekhawatiran ini bukanlah melemahkan hukum, melainkan mengembalikan akal sehat dalam proses penegakannya. Dunia bisnis pada dasarnya bergerak di atas ketidakpastian; setiap keputusan punya kemungkinan gagal maupun berhasil.
Karena itu, penting bagi negara untuk membangun batas yang jernih antara kesalahan profesional yang lahir dari risiko bisnis, maladministrasi atau kelalaian birokratis, dan korupsi yang memang dilakukan dengan niat jahat. Jika batas itu kabur, maka setiap kegagalan akan dicurigai sebagai kejahatan.
Dalam banyak yurisdiksi korporasi modern, terdapat prinsip penting yang disebut
business judgment rule
, sebuah kerangka yang melindungi direksi ketika mereka mengambil keputusan dengan informasi yang memadai, pertimbangan rasional, dan tanpa konflik kepentingan.
Prinsip ini bukan tameng untuk kesewenang-wenangan, tetapi ruang aman bagi profesional agar berani mengambil risiko demi pertumbuhan dan perubahan. Tanpa itu, manajemen hanya akan memilih strategi paling aman: tidak melakukan apa-apa.
Selain itu, sistem audit dan pengawasan juga perlu bergeser dari pola melihat hasil akhir semata menjadi evaluasi proses secara menyeluruh. Audit yang berfokus pada proses akan menilai cara keputusan diambil: apakah melalui kajian yang matang, apakah transparan, apakah melalui mekanisme tata kelola yang benar.
Dengan perspektif seperti ini, kerugian bisnis tidak serta-merta diperlakukan sebagai bukti kejahatan, melainkan dievaluasi untuk pembelajaran dan perbaikan. Pada akhirnya, penegakan hukum dalam sektor publik harus menjadi pelindung integritas dan keberanian, bukan perangkap yang menjerat mereka yang mencoba memperbaiki keadaan.
Tanpa perlindungan bagi niat baik, sulit berharap ada pemimpin yang berani menjemput perubahan.
Pengadilan mungkin telah memutuskan kasus Ira Puspadewi (walau kemudian dikoreksi Presiden melalu Rehabilitasi), tetapi perdebatan yang lebih besar baru dimulai. Ini bukan tentang membela individu, tetapi membela akal sehat dan masa depan negeri.
Sebab bila setiap keputusan bisnis dihukum, siapa yang masih mau mengambil keputusan? Dan bila profesional terbaik enggan kembali, siapa yang akan memimpin transformasi BUMN kita? Kita harus memilih: negeri yang menghukum keberanian atau negeri yang membangun masa depan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/12/04/69316f0bba152.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/05/6931c471b79a6.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/11/26/6926a667f3b94.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)