Narasi Adu Domba Prabowo dengan Jokowi Harus Dihentikan
Category: Gelora.co
-
Pengacara Kecam Pengkambinghitaman Delpedro Marhaen
Pengacara Kecam Pengkambinghitaman Delpedro Marhaen
-

TikTok Aktifkan Lagi Fitur Live Usai Demonstrasi Mereda di Indonesia
GELORA.CO -Platform jejaring sosial TikTok resmi mengaktifkan kembali fitur Live di Indonesia setelah sempat dihentikan sementara selama tiga hari terakhir.
Dalam keterangan resminya, TikTok menjelaskan pengaktifan kembali fitur ini merupakan komitmen perusahaan untuk menjaga pengalaman penuh bagi para pengguna, sekaligus memastikan ruang digital yang aman dan beradab.
“Bersamaan dengan langkah ini (mengaktifkan fitur live), kami terus menempatkan upaya-upaya pengamanan tambahan selama beberapa waktu ke depan. Kami terus memantau situasi yang ada, dan memprioritaskan upaya dalam menyediakan platform yang aman dan beradab bagi para pengguna untuk berekspresi,” tulis keterangan TikTok dikutip redaksi di Jakarta pada Selasa, 2 September 2025.
Saat ini, fitur live sudah dapat digunakan kembali oleh pengguna di Tanah Air, termasuk oleh penjual di e-commerce, setelah sempat dinonaktifkan sejak Sabtu malam 30 Agustus 2025.
Diketahui, penonaktifan sementara video siaran langsung itu bertepatan dengan merebaknya aksi demonstrasi di sejumlah daerah.
TikTok menyebut langkah tersebut diambil secara sukarela sebagai bagian dari strategi pengamanan tambahan, agar platform tetap kondusif bagi setiap orang untuk mengekspresikan pendapatnya.
-

Korban Tewas Gempa M6,0 Afghanistan Tembus 1.400 Orang
GELORA.CO – Korban tewas gempa bumi bermagnitudo 6,0 di Afghanistan bertambah menjadi.1.400 orang lebih hingga Selasa (2/9/2025). Gempa kuat tersebut menggucang pada Minggu (31/8/2025) tengah malam saat warga terlelap tidur.
Jumlah tersebut hanya yang terdata di Provinsi Kunar, salah satu wilayah terdampak parah gempa. Sementara ada tiga provinsi lain yang mengalami kehancuran masif, salah satunya Provinsi Nangahar yang menjadi titik pusat gempa.
“Di Distrik Nurgal, Chawkay, Chapa, Dura, Pwch Dara, Watapur, dan Asadabad, Provinsi Kunar, jumlah korban jiwa akibat gempa sebagai berikut: meninggal dunia 1.411 dan luka 3.124 orang” kata Juru Bicara Pemerintah Afghanistan, Zabihullah Mujahid, di media sosial X, dikutip Rabu (3/9/2025).
Dia menambahkan 5.412 rumah hancur akibat gempa yang disebut sebagai yang terkuat ketiga yang pernah mengguncang negara Asia Selatan tersebut.
Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) menyebut titik pusat gempa berada 27 km sebelah timur Kota Jalalabad, ibu kota Provinsi Nangahar, dengan kedalaman 8 km.
Guncangan gempa dirasakan hingga Ibu Kota Islamabad, Pakistan, yang jaraknya lebih dari 300 km dari titik pusat gempa
-

Pengamat Politik Soroti Fenomena Geng Solo dan Matahari Kembar dalam Kasus Demo Ricuh
GELORA.CO – Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago menilai fenomena geng Solo serta matahari kembar turut andil dalam kasus demo berujung ricuh di Indonesia. Menurutnya, hal ini bukan sekadar perdebatan istilah, melainkan problem mendasar yang bisa memicu keretakan politik karena tak dikelola dengan baik.
“Dalam politik, loyalitas itu tidak bisa bercabang. Kalau ada loyalitas ganda, yang terjadi bukan harmoni, melainkan kekacauan,” ujar Pangi dalam Rakyat Bersuara bertema ‘Mengupas Aksi Massa, Siapa Dibaliknya?’ di iNews TV, Selasa (2/9/2025).
Pangi menjelaskan, istilah geng Solo mencuat bukan tanpa sebab. Ia memandang bahwa publik mulai merasakan adanya tarik-menarik kepentingan di sekitar lingkaran elite dan melahirkan matahari kembar.
“Kalau ini tidak segera dijernihkan, akan muncul ruang abu-abu di mana pejabat seakan punya dua pusat gravitasi. Itulah yang kita sebut sebagai loyalitas ganda, dan itu sangat berbahaya,” tutur dia.
Lebih lanjut, Pangi menyinggung bahwa persoalan ini semakin sensitif karena berkelindan dengan kondisi sosial masyarakat. Menurutnya, publik merasakan jarak antara elite politik dengan kehidupan sehari-hari mereka.
“Rakyat melihat pejabat sibuk dengan gaya hidup yang tampak berjarak, sementara mereka sendiri menghadapi beban pajak dan kesulitan ekonomi. Ketidakpekaan ini bisa memperbesar kekecewaan rakyat,” kata dia.
Pangi mengingatkan, kekecewaan yang tidak direspons dengan baik bisa berubah menjadi energi kolektif yang turun ke jalan. Ia menilai, aksi massa yang terjadi belakangan harus dipahami bukan sekadar peristiwa spontan, melainkan reaksi atas akumulasi perasaan publik terhadap kebijakan dan sikap elite.
“Di situlah pemerintah harus hadir. Jangan sampai rakyat merasa sendiri, sementara elite politik sibuk menjaga kepentingannya masing-masing,” ujarnya.
Dalam penutup pernyataannya, Pangi menekankan pentingnya ketegasan Presiden untuk meredam kegaduhan politik sekaligus memastikan arah kepemimpinan tetap tunggal.
“Presiden harus memberi garis tegas, agar tidak muncul kesan adanya matahari kembar. Negara harus tampil solid, karena hanya dengan begitu rakyat bisa merasa tenang,” tutupnya
-

Ketika Rakyat Berjuang Sendirian
OLEH: MUHAMMAD FADHIL BILAD*
AGUSTUS, bulan kemerdekaan, seharusnya menjadi momen rakyat menikmati hasil perjuangan leluhur. Namun, realitanya jauh dari harapan. Rakyat masih harus berjuang: mengejar kesejahteraan, melawan ketimpangan ekonomi, dan memperjuangkan martabat kemanusiaan.
Ibu Pertiwi menangis melihat anak-anaknya berjuang menuntut keadilan, yang kerap bertransformasi menjadi gerakan sosial. Sayangnya, gerakan organik ini sering dimanfaatkan pihak tak bertanggung jawab: fasilitas publik dirusak, rumah-rumah dijarah, kantor dibakar, bahkan rakyat tak berdosa menjadi korban kekerasan dengan dalih “pembelaan diri”. Kemurnian aspirasi rakyat pun ternoda, isu besar yang diperjuangkan menjadi kabur dan tak terarah.
Hilangnya Partisipasi yang Bermakna
Idealnya, DPR sebagai wakil rakyat mengadopsi prinsip “meaningful participation”, partisipasi bermakna, yang menjamin hak rakyat untuk didengar, dipertimbangkan, dan mendapat penjelasan atas aspirasinya. Keputusan DPR seharusnya lahir dari proses terbuka bersama rakyat. Jika prinsip ini diterapkan sungguh-sungguh, demonstrasi di jalanan tak perlu terjadi karena suara rakyat sudah terwakili. Namun, realitas berbicara lain. Maraknya aksi protes menjadi indikasi nyata bahwa DPR gagal mewujudkan partisipasi bermakna.
Lalu, kepada siapa DPR meminta pertimbangan dalam pengambilan keputusan? Bambang Wuryanto, atau akrab disapa Bambang Pacul, anggota DPR dari Fraksi PDIP, secara jujur mengungkap realitas pahit. Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR dengan Menko Polhukam pada Maret 2023, ia blak-blakan menyatakan bahwa keputusan DPR diambil berdasarkan instruksi pimpinan partai.
Sistem pengambilan keputusan di Rapat Paripurna DPR pun memperkuat pernyataan ini: suara diwakilkan oleh fraksi, bukan individu anggota DPR atau daerah pemilihan. Artinya, pimpinan partai, bukan wakil rakyat yang kita pilihlah yang menentukan arah kebijakan. Anggota DPR hanyalah “pemain orkestra” yang menari mengikuti irama sang maestro: pimpinan partai.
Chile vs. Prancis: Pelajaran dari Dua Dunia
Untuk memahami peran partai politik dalam merespons gejolak sosial, mari kita lihat dua kasus berbeda. Di Chile pada 2019, kenaikan harga tiket transportasi umum memicu protes massa yang meluas ke isu pendidikan dan ketimpangan ekonomi. Pemerintahan Bastian Piñera awalnya merespons dengan tindakan represif, namun tekanan rakyat memaksa mereka membuka dialog. Partai oposisi, seperti Partido Socialista dan Frente Amplio, mendorong reformasi struktural, menghasilkan kesepakatan lintas partai yang memberikan kanal politik formal bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasi.
Sebaliknya, di Prancis pada 2018, gerakan “Yellow Vests” dipicu kenaikan pajak bahan bakar, yang memicu demonstrasi besar, penjarahan, dan bentrokan dengan aparat. Partai oposisi seperti La France Insoumise dan Rassemblement National berusaha mengambil peran, tetapi ditolak massa yang tidak ingin gerakan mereka diklaim sebagai agenda partai. Presiden Macron akhirnya mencabut pajak bahan bakar dan meluncurkan “Grand Débat National”, sebuah forum dialog langsung dengan rakyat.
Dari kedua kasus ini, kita belajar bahwa partai politik bisa menjadi jembatan penyelesaian konflik, seperti di Chile, atau justru kehilangan relevansi jika gagal merangkul rakyat, seperti di Prancis.
Di Indonesia, partai politik bukan hanya berkuasa di parlemen, tetapi juga di setiap lini pemerintahan. Mulai dari penyusunan kabinet, penempatan pejabat di lembaga negara, kepala daerah, hingga posisi direksi dan komisaris, semua dipengaruhi rekomendasi partai. Realitas ini diperparah dengan praktik di bawah meja yang menjadi “ciri khas” Indonesia. Dengan kekuatan sebesar ini, pertanyaannya: apa peran partai dalam mendamaikan gejolak sosial-politik? Apakah partai hanya sibuk mengumpulkan “setoran” dari gaji, tunjangan, atau proyek-proyek yang digarap kadernya?
Di tingkat akar rumput, partai politik juga punya pengaruh besar. Keberadaan mereka di parlemen dan pemerintahan tak lepas dari dukungan rakyat saat pemilu, yang sering disebut sebagai “pesta demokrasi”. Saat kampanye, partai mendekati rakyat, membentuk komunitas kecil untuk menjaga simpati pemilih dengan janji-janji kesejahteraan, keadilan, dan pemerataan. Namun, setelah pemilu, komunikasi ini meredup. Partai seolah hanya hadir saat butuh suara, bukan saat rakyat butuh didengar. Apakah sarasehan dengan rakyat hanya agenda musiman menjelang pemilu? Mengapa partai tidak menggelar dialog serupa di tengah situasi krisis seperti sekarang?
September Hitam: Ancaman Ketidakstabilan
Hari ini, kita memasuki bulan yang kelam dalam sejarah Indonesia: “September Hitam”. Tragedi Semanggi II, pembunuhan Munir Said Thalib, dan peristiwa G30S/PKI menjadi pengingat betapa rapuhnya keadilan sosial di negeri ini. Di tengah dinamika politik saat ini, kabar tentang partai politik lebih banyak berputar pada manuver elit: Nasdem menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach, PAN menonaktifkan Eko Patrio dan Uya Kuya, Golkar menonaktifkan Adies Kadir, sementara Gerindra, PDIP, dan PKS setuju menghapus tunjangan rumah DPR setelah protes publik. Bahkan, Presiden memanggil ketua umum partai ke Istana Negara. Semua ini mengesankan bahwa partai politik adalah penguasa sejati republik ini, tapi apakah mereka benar-benar bekerja untuk rakyat?
Upaya partai saat ini masih jauh dari optimal, terutama jika dibandingkan dengan kekuatan besar yang mereka miliki di setiap lini pemerintahan. Jika eskalasi ketidakstabilan sosial-politik terus diabaikan, rakyat didiskriminasi, kebebasan berekspresi dibatasi, dan aspirasi tidak terpenuhi, maka risiko terburuk mengintai: revolusi rakyat. Partai politik bisa kehilangan legitimasi, digantikan oleh gerakan rakyat yang akan menentukan arah bangsa.
Ke Mana Partai Harus Melangkah?
Partai politik harus kembali ke akarnya: rakyat. Mereka harus membuka ruang dialog yang intensif, bukan hanya saat pemilu, tetapi juga di saat krisis. DPR perlu menjalankan prinsip partisipasi bermakna dengan sungguh-sungguh, mendengar dan mempertimbangkan aspirasi rakyat, bukan sekedar menjalankan instruksi pimpinan partai, sekalipun tidak bisa dilepaskan karena realitas yang tersistemik dan sudah menjadi tradisi antara partai dengan kadernya di parlemen, maka sebaik-baiknya instruksi ‘pimpinan partai’ adalah untuk membersamai dan mendengarkan secara utuh aspirasi rakyat.
Jika partai gagal menjadi jembatan antara rakyat dan negara, mereka tidak hanya kehilangan kepercayaan, tetapi juga relevansi di mata rakyat. September ini, partai politik punya pilihan: menjadi solusi atau bagian dari masalah. Pilihan ada di tangan mereka, dan waktu terus berjalan.
*(Penulis adalah Director of Diplomacy and Foreign Affairs, Indonesia South-South Foundation)
-
Beredar Surat Imbauan Pam Swakarsa di Seluruh Indonesia, Mabes TNI Buka Suara
Beredar Surat Imbauan Pam Swakarsa di Seluruh Indonesia, Mabes TNI Buka Suara
-

Nasdem Minta Gaji, Tunjangan dan Fasilitas yang Melekat ke Sahroni dan Nafa Urbach Dicabut
GELORA.CO – Fraksi Partai Nasdem DPR RI mendesak penghentian gaji, tunjangan, dan semua fasilitas yang melekat pada dua anggota DPR RI yang sudah dinonaktifkan yaitu Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach. Hal tersebut guna menindaklanjuti Surat DPP Partai NasDem Nomor 168-SE/DPP-NasDem/VIII yang menonaktifkan kedua anggota itu terhitung sejak 1 September 2025.
“Fraksi Partai NasDem DPR RI meminta penghentian sementara gaji, tunjangan, dan seluruh fasilitas bagi yang bersangkutan, yang kini berstatus nonaktif, sebagai bagian dari penegakan mekanisme dan integritas partai,” kata Ketua Fraksi Partai NasDem DPR RI, Viktor Bungtilu Laiskodat dalam keterangannya pada Selasa (2/9/2025).
Viktor menjelaskan penonaktifan status keanggotaan sudah ditindaklanjuti oleh Mahkamah Partai NasDem. Mahkamah itu yang nantinya bakal menerbitkan putusan bersifat final, mengikat, dan tak bisa digugat.
Victor meyakini semua langkah yang diambil Fraksi Partai NasDem ialah bagian dari upaya menjamin mekanisme internal partai diterapkan secara transparan dan akuntabel.
Victor juga mengajak seluruh pihak guna menjaga keutuhan dan persatuan bangsa dengan mengedepankan dialog, musyawarah, serta penyelesaian perbedaan secara konstruktif. Lewat langkah itu, Victor menilai kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif tetap terjaga.
“Mari bersama merajut persatuan dan menguatkan spirit restorasi demi membangun masa depan Indonesia yang lebih baik,” ujar Victor.
Sebelumnya, pernyataan Ahmad Sahroni memantik reaksi publik. Sahroni menyebut orang yang ingin membubarkan DPR RI merupakan orang tolol.
“Mental manusia yang begitu adalah mental manusia tertolol sedunia. Catat nih, orang yang cuma mental bilang bubarin DPR, itu adalah orang tolol sedunia,” kata Ahmad Sahroni saat kunjungan kerja di Polda Sumut, Jumat (22/8/2025).
Pernyataan Ahmad Sahroni itu lantas menjadi bulan-bulanan publik. Apalagi Politisi NasDem itu sudah hampir tiga periode digaji oleh rakyat karena menjadi anggota DPR RI. Rumah Sahroni di Tanjung Priuk akhirnya jadi bulan-bulanan massa hingga dijarah.
-

Haris Azhar Heran Delpedro Ditangkap karena Menghasut Demo: Itu Ekspresi, Bukan Hasutan!
GELORA.CO – Aktivis HAM sekaligus Pendiri Lokataru Foundation, Haris Azhar, heran dengan alasan polisi menangkap Delpedro Marhaen atas tudingan menghasut demo yang anarkis.
Sebagaimana diketahui, Direktur Eksekutif Lokataru Delpedro Marhaen (DRM) ditangkap oleh Polda Metro Jaya pada Senin, 1 September 2025 malam.
Polisi beralasan, Delpedro ditangkap dan dijadikan tersangka atas dugaan menghasut untuk melakukan aksi anarkis dalam demonstrasi hingga melibatkan pelajar atau anak di bawah umur.
Haris mengaku terkejut dan heran karena sikap polisi dinilai berlebihan.
“Ya Aneh, kok dituduhkan begitu. Padahal kemarin kan Delpedro itu yang bantu pelajar saat ditangkap Polda. Dia advokasi, kok dibilang menghasut?,” kata Haris kepada Disway.id, Selasa, 2 September 2025.
Haris menilai ada hal yang janggal atas penangkapan Direktur Eksekutif Lokataru tersebut. Haris amat menyayangkan sikap kepolisian yang tanpa dasar langsung menuding Delpedro menghasut melalui media sosial.
“Itu kan ekspresi, tidak ada yang bentuknya hasutan nggak ada. Dan itu dia tidak terkoneksi dengan, saya masih mikir di mana koneksinya? Postingan itu dengan ribuan postingan lain, dengan anak-anak di bawah umur,” kata Haris.
Minta Polisi Proporsional
Atas penangkapan rekannya, Haris meminta agar polisi melihat hal itu secara adil dam proporsional. Sebab, Delpedro selama ini mendampingi dan mengadvokasj pada anak-anak yang tertangkap saat aksi demo itu.
“Justru Lokataru ini bantuin anak-anak di bawah umur Ketika ditangkap, kok fakta itu nggak diungkap? ya kan? teman-teman ini kan justru bantuin anak-anak di bawah umur ketika mereka ditangkap,” kata Haris.
Haris setuju, jika mereka yang bertindak anarkis harus ditangkap dan diungkap segala perilakunya. Tapi, tidak dengan Lokataru dan aktivitasnya.
“Tapi kok nyasarnya ke teman-teman yang kerja-kerja campaign dan advokasi? Jadi saya pikir ini praktik pengkambinghitaman aja,” kata Haris.
Atas dugaan hasutan ini, Polda Metro Jaya menjerat Delpedro Marhaen dengan Pasal 160 KUHP dan atau Pasal 45 a Ayat 3 juncto Pasal 28 Ayat 3 UU Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan atau Pasal 76 h juncto Pasal 15 juncto Pasal 87 UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya membenarkan menangkap Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen, pada Senin, 1 September 2025, atas dugaan menghasut demo di DPR.
Penangkapan ini dilakukan oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya menangkap seorang pria berinisial DMR yang diduga menghasut dan mengajak sejumlah pihak untuk melakukan aksi anarkis.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi mengatakan DMR diduga turut melibatkan pelajar, termasuk anak-anak di bawah usia 18 tahun.
Diungkapkannya, dirinya membenarkan penangkapan tersebut.
“Benar, penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya telah melakukan penangkapan terhadap saudara DMR atas dugaan ajakan dan hasutan provokatif untuk melakukan aksi anarkis dengan melibatkan pelajar,” katanya kepada awak media, Selasa 2 September 2025.
Dijelaskannya, DMR disangkakan melanggar sejumlah pasal, mulai dari Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, Pasal 45A ayat (3) jo Pasal 28 ayat (3) UU ITE terkait penyebaran berita bohong yang menimbulkan kerusuhan, hingga Pasal 76H jo UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
“Yang bersangkutan diduga melakukan tindak pidana menghasut, menyebarkan informasi elektronik yang membuat keresahan, serta merekrut atau membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa,” jelasnya.
Menurut penyidik, dugaan tindak pidana tersebut berlangsung sejak 25 Agustus 2025 di sekitar Gedung DPR/MPR, Gelora Tanah Abang, serta beberapa wilayah lain di DKI Jakarta.
Hingga kini, proses pemeriksaan masih berjalan.
“Penyidik masih terus melakukan pendalaman terkait kegiatan maupun upaya penangkapan terhadap yang bersangkutan,” ujarnya.
